Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

464 93 40
By Mizuraaaa

"(Y/n)-chan, kau yakin mau masuk sekolah?"

Langkahnya terhenti akibat pertanyaan itu. Kakinya menapak sejajar, sementara tubuh tak bergerak sedikitpun, untuk berbalik atau sekedar menoleh. Kepalanya, menunduk kecil.

Laki-laki di belakangnya menatap cemas, menegakkan tubuh yang sebelumnya bersandar pada tembok rumah. "Aku bisa meminta izin kepada guru, kau tidak perlu memaksakannya jika kondisimu belum begitu baik."

Fukube melangkahkan kakinya mendekat, mengikis jarak diantara keduanya. "Tidak, Fukube-kun." penolakan tegas itu membuat Fukube berhenti di tempat, menaikkan sebelah alisnya.

"Aku, ingin membanggakan Ibu dengan menjadi orang yang sukses di masa depan nanti." ia bergumam pelan, lalu mendongakkan kepala untuk menatap langit yang tergambar begitu indahnya. Sesaat kemudian, kepala menoleh ke belakang, seiring dengan hembusan angin yang menerbangkan surai coklatnya.

"Bukankah aku harus belajar lebih giat lagi untuk itu?"

Angin yang sama membawa rambut pendek Fukube melambai-lambai. Iris matanya melebar terpesona, akan lengkungan indah yang tercipta sedemikian rupa pada mata dan bibir yang manis itu.

Manis?

Terlihat manis.

Fukube tidak pernah merasakannya.

Walau sebenarnya ingin.

Ia terkekeh lembut seraya mengulas senyum manis, seiring dengan kepala menunduk lemah untuk sesaat. Fukube kembali mendekat, mengeluarkan tangan dari saku celananya.

"Yosh, aku rasa (Y/n)-chan yang kukenal sudah kembali, dengan perubahan baik yang lain juga tentunya." ia mengacak surai lembut (Y/n) dengan kasar, membuat tataannya sedikit kusut, akan tetapi tak sedikitpun mengganggu sang pemilik rambut.

Gadis itu mengangkat kedua bahu, terkekeh geli. "Tentu saja, Ibu bilang aku hebat, dan aku tidak akan membiarkan ucapannya menjadi suatu kebohongan." senyumnya kian melebar, menambah kecantikan paras yang dimilikinya.

Fukube menatap (Y/n) dengan penuh kelembutan, tak bisa menyembunyikan rasa senang bisa melihat gadisnya kembali ceria seperti ini. Ia pun terkekeh pelan, lalu merangkul bahu (Y/n) agar lebih dekat padanya.

"Haha, sudahlah, kita harus segera berangkat sebelum terlambat, atau kita mendapat hukuman."

"Tidak masalah, yang penting Fukube-kun juga dihukum dan menemaniku! Hahaha!"

"Ihh, dasar! Haha!"

Hari pertama sekolah setelah liburan musim panas, dimulai!

.
.
.
.

"Hadohhh!! Kok bisa hari pertama sekolah malah pelajaran matematika gini?!"

Fukube mendengus geli melihat jeritan frustasi sahabatnya. Sok-sokan semangat belajar, begitu berpapasan dengan matematika langsung ciut, paling baru mulai 5 menit sudah menyerah karena kepalanya panas.

Tangan Fukube terangkat, menepuk kepala (Y/n) beberapa kali. "Yosh yosh yosh, jangan paksakan dirimu, lakukan saja semampu—"

"Tidak! Aku akan berusaha! Aku akan mengalahkan semua rintangan yang menghalangi! Karena itu adalah jalan ninjaku!" ujar (Y/n) tegas dengan semangat menggebu-gebu. Kobaran api menyala di kedua matanya, membuat Fukube diam-diam ngeri melihat tekad ala-ala anime shounen itu.

Dalam sekejap mata, (Y/n) yang semula masih berdiri di depan pintu kelas dengan papan bertuliskan 1-5 langsung melesat masuk ke dalam. Mendudukkan dirinya di kursi, (Y/n) membuka tas miliknya, dan mengeluarkan buku matematika dari tasnya.

Fukube ikut memasuki kelas, tetapi membatu di depan kelas menatapi (Y/n) yang tengah fokus membaca buku tebal itu. Seseorang menyenggol bahunya, teman sekelas, sama-sama memandangi gadis yang tiba-tiba rajin pada hari pertama masuk sekolah.

"Temenmu kenapa? Bukannya biasanya malesan, ya?"

Kedua bahu Fukube terangkat tak acuh, seraya mengeluarkan kekehan kecil. "Entahlah, dia bilang ingin memulai perubahan dalam hidupnya." nada bicaranya terdengar mengejek, walau sebenarnya cukup senang melihat semangat (Y/n) yang sudah kembali.

"Hmm, padahal baru masuk, biasanya kan tidak langsung materi yang berat-berat."

.

"Hari ini kita ulangan."

"APA?!"

Seluruh murid menjerit tidak percaya dengan mata membelalak sempurna, beberapa menggebrak meja untuk menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap tindakan tiba-tiba dari sang guru.

"Ulangan. Telinga kalian gak bermasalah, kan?" ulang gurunya, menunjukkan bawa ia tidak sedang bercanda.

"BU, GAK BISA GITU DONG BU!"

"INI HARI PERTAMA MASUK LOH, BU!"

"Pengen pindah kelas, pindah kelas!!"

"Halah, susah susah sekolah, ngepet aja hayuk."

"BU, SAYA BELUM BELAJAR APA APA!"

"Matematika, ilmu yang mematikan~"

"Hayu bolos, ke kantin sabi nih."

"BU, TOLONG KASIHANI OTAK SAYA YANG KAPASITASNYA CUMA 2MB."

"KITA INI BEDA LOH, BU, JANGAN SAMAIN SAMA MURID EMAS IBU YANG OTAKNYA SPEK DEWA."

"Ha?! Gak usah bawa-bawa aku! Kalau bego mah ya bego aja!"

Kelas mendadak ricuh. Oleh racauan, jeritan, teriakan, protesan, bahkan senandungan dan segala macam yang bisa dilakukan untuk mencegah ulangan tidak terduga tersebut. Namun, suasana menjadi hening ketika gurunya meniup telunjuk di depan bibirnya.

"Sshh, kalian jangan malas! Kalian sudah libur selama dua bulan, seharusnya kalian jangan menghabiskan waktu dengan main main saja! Kita hanya mengulang materi musim lalu, seharusnya kalian ingat jika benar-benar memperhatikan penjelasan Ibu!"

Nampaknya masih banyak yang belum setuju, termasuk gadis yang kini menjambak rambutnya sendiri dengan tatapan kosong yang terarah pada papan tulis. Iris matanya bergulir pada sosok laki-laki di depan, lalu mencubit pinggangnya keras.

"A—aduh!! Apasih?!"

"Kau bilang materinya tidak akan terlalu berat, lalu sekarang apa? Ulangan!" tuntutnya, menatap tajam Fukube yang masih meringis seraya mengusap pinggangnya yang terkena cubitan.

"Ya mana aku tau! Tuh, dia yang ngomong gitu!"

(Y/n) mengalihkan tatapannya pada seseorang yang Fukube tunjuk. Gadis itu menyipitkan mata, mencoba mencari memori dalam kepala yang mungkin terhapus tanpa sadar. Ia menatap lekat lelaki berkacamata yang menghindari tatapannya itu.

"Siapa namanya?" ia kembali menatap Fukube. "Rindou."

"Wah, sembarangan tuh anak, ngajak ribut bener!" (Y/n) menggulung lengan serangamnya, bersiap untuk memulai perkelahian dengan lelaki kurang ajar yang membuat rencananya berantakan seketika.

Ketika mendengar bahwa hari pertama sekolah setelah liburan biasanya tidak terlalu sibuk, (Y/n) menyimpan kembali bukunya dan tidur di kelas, sehingga tak sedikitpun rumus dalam buku yang masuk ke dalam otaknya.

Dan tiba-tiba,

Ulangan matematika menyerang.

"Oi oi! Mau kemana?! Duduk!" Fukube menarik tubuh (Y/n) yang sudah berdiri, bersiap menghampiri remaja berkacamata itu untuk mengajaknya berkelahi. (Y/n) menatap Fukube tidak habis pikir, lalu menatap seseorang yang dipanggil Rindou itu bergantian.

"Tapi Fukube-kun, dia—"

"Sstt, jalani aja kayak biasanya! Semampumu saja."

(Y/n) memandang Fukube dengan kekesalan yang tersirat dalam iris matanya. Ketika lelaki itu membalikkan badannya menghadap ke depan, ia memutar manik mata malas. "Ck, iya deh."

'Tuhan, bantu aku,' harapnya pasrah.

.
.

"WOI, KOK BISA?!"

Fukube menatap tak percaya terhadap coretan pulpen yang membentuk nilai memuaskan pemberian dari sang guru. Yang membuatnya terkejut setengah mati adalah, nilai itu diberikan untuk,

(Y/n).

"Gila, (Y/n)-chan kalau serius ternyata bisa juga!" Fukube masih memandangi hasil nilai itu dengan mata berbinar, perasaan bangga terhadap sahabatnya yang sudah tumbuh semakin dewasa.

Memang tidak terlalu tinggi, tetapi ini meningkat pesat dibanding beberapa bulan lalu ketika (Y/n) selalu menetaskan telur setiap ulangan harian matematika.

Menyadari tak ada respon atas pekikan kagetnya sedari tadi, ia menolehkan kepala. Lelaki muda itu terkesiap hebat, nyaris jantungan melihat wajah kacau (Y/n) dengan rambut tergerai panjang menutupi sebagian wajahnya, sementara kedua tangan menopang kepala.

"(Y/n)-chan, kau kenapa?" tanyanya ngeri, kenapa jadi horror begini?

"Fukube-kun."

"Y-ya?"

"Otakku panas, bentar lagi kepalaku akan meleleh."

"Weh buset ya jangan!!" panik Fukube, segera memegangi kepala (Y/n) agar tidak terlanjur meleleh. Sementara itu, seseorang yang belum keluar kelas meskipun bel istirahat sudah berbunyi memandangi keduanya.

Dia Rindou, murid emas guru matematika.

Menatap muak, lantas bergumam, tanpa sadar bahwa suaranya terlalu keras untuk tidak didengar oleh orang lain yang berada di kelas. "Ck, palingan juga nyontek."

"INI ANAK ANJ***!!!"

.
.
.

"Kau mau pesan apa? Biar aku yang belikan."

Gadis itu terdiam sebentar, mendongakkan kepalanya untuk berfikir sejenak. Dengan jari yang mengetuk-ngetuk dagu, ia menjawab, "Beliin salad dong."

"Loh, gak biasanya?" Fukube menatap (Y/n) heran.

"Aku lagi pengen gendut."

"Lahh." Fukube tertawa atas jawaban konyol (Y/n), lalu menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Salad itu gak bikin gendut, (Y/n)-chan." ia mengingatkan.

"Maksudnya bukan aku, tapi dompet aku yang gendut."

Fukube kembali tergelak mendengarnya, lalu mengangkat tangan hingga selanjutnya mengacak surai panjang sahabatnya. "Yeh! Bilang aja mau ngirit! Hahah!"

(Y/n) menepis tangan Fukube dari kepalanya. Meskipun terkadang suka, tapi jika terlalu sering kesal juga, tataan rambutnya menjadi berantakan. Dengan rambut sepanjang ini, berantakan sedikit saja sudah terlihat seperti gembel.

"Sudah sana! Belikan juga susu kotak rasa tomat, aku cari mejanya."

Laki-laki yang berstatus sebagai sahabatnya itu menatap kepergian (Y/n) dengan sudut mata berkedut, benar-benar bingung dengan kelakuan (Y/n) yang semakin hari semakin aneh saja.

"Oi! Mana ada susu rasa tomat!"

.
.

Gadis itu mendudukkan diri di salah satu meja, menidurkan kepalanya untuk melepas lelah sesaat. Kepalanya teramat pusing, berdenyut sakit ketika mengingat kembali rumus matematika yang menjadi hal terseram baginya.

Kini kepala terangkat malas, dengan kedua tangan yang masih terulur di atas meja. Tatapannya menyapu kantin hari ini. Cukup ramai, tetapi kebanyakan membawa makanannya ke kelas. Biasanya dia juga begitu, tapi ia ingin merasakan suasana kantin juga.

Masih mengedarkan pandang, (Y/n) terkesiap rendah mendapati seseorang yang dikenalnya. Seketika tangan terangkat, bergerak berupa lambaian seraya berseru, "Oreki-san!"

Orang yang dipanggil berhenti bergerak, lalu menoleh ke asal suara. Mengetahui siapa pemanggilnya, sekaligus merasa diminta untuk mendekat, Oreki berjalan ke arahnya.

"Shimizu-san, sendirian?"

"Kan ada Oreki-san, kau tidak menganggap dirimu sendiri?" balasnya terkekeh pelan.

"Iya tadi."

(Y/n) melanjutkan tawa lembutnya, membiarkan Oreki duduk di meja yang sama dan di kursi yang saling berhadapan. "Fukube-kun sedang membeli makananku dulu, kau sudah mendapatkan makanan?" tanya (Y/n) basa-basi.

"Sudah," jawabnya, mengangkat sebungkus roti melon di tangan.

(Y/n) menopang pipinya menggunakan tangan, menatap heran pada Oreki. Memangnya dengan makan sebungkus roti saja bisa membuat kenyang, ya? Kalau (Y/n) mungkin sudah pingsan ketika jam pelajaran pertama berlangsung setengah jalan.

"Eh," gumam (Y/n), menyadari Fukube tengah menolehkan kepala ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu. "Fukube-kun! Di sini!" (Y/n) melakukan hal yang sama, melambaikan tangannya ke atas.

Fukube menemukan sahabatnya, lalu tersenyum tipis dan segera mendekat. Dia meletakan mangkok berisi salad dan susu kotak itu di meja, lalu menatap (Y/n) sesaat. "Nih, aku ngambil makanan buat aku dulu."

"Loh, kau belum ambil?" (Y/n) menatap heran seraya meraih mangkok dan sekotak susu pesanannya tersebut untuk mendekat. "Belum, kan stand makanan kita beda, aku beliin punyamu dulu biar gak kelaparan."

(Y/n) menatap Fukube dengan mata berbinar, sangat terharu dengan perjuangan sahabatnya ini. Ia menyimpan kedua tangannya di pipi, berujar, "Haaa, terimakasih banyakkk, kau benar-benar keren."

"Berisik!" Fukube menoyor kepala (Y/n) yang dibalas oleh tawa geli. Melirik ke samping, Fukube baru sadar ada orang lain selain sahabatnya. Ia menaikan alis sebagai sapaan, sementara Oreki mengangguk sebagai tanggapan.

Fukube segera berbalik, lalu berucap, "Kalian ngobrol aja dulu, aku ngambil dulu makanan, ya!"

"Iya!!"

(Y/n) tertawa geli sesaat, lalu mengalihkan atensi pada salad di hadapannya. Dengan menggunakan garpunya, ia menusuk salad tersebut, lalu memasukannya ke dalam mulut.

(Y/n) mengunyah makanannya dengan tenang, seraya memainkan garpu di tangan, sementara tatapan masih berkeliaran mencari sesuatu yang menarik perhatian.

"Shimizu-san."

Panggilan seseorang membuatnya tersadar, menolehkan kepala seiring menelan habis salad yang sudah terkunyah dalam mulut. "Iya?" tanyanya singkat, kembali menusuk salad dan memakannya lagi.

"Aku, ingin meminta maaf."

(Y/n) mengernyitkan alis bingung. "Untuk apa?"

Kepala Oreki tertunduk lemah, seraya menggenggam erat roti melon yang sudah termakan setengah di tangannya. Perasaan ragu mulai menyelimuti, walau begitu tak ada pilihan lain baginya.

"Kau tau, setelah dari pemakaman kita belum bertemu lagi, dan aku belum sempat berbicara denganmu. Jujur saja, aku benar-benar merasa bersalah."

(Y/n) memiringkan kepalanya, lalu mendengus geli seakan yang diucapkan Oreki adalah sebuah candaan. "Sudahlah, jangan dipikirkan, lupakan saja." ia menjawab santai, sementara bola matanya bergulir ke bawah.

"Aku tau, tetapi tetap saja." Oreki menggigit kecil mulut bagian dalamnya. "Jika aku lebih teliti mengambil keputusan dengan tidak mengajakmu ke pantai, kau tidak akan masuk rumah sakit, dan semua ini tidak akan terjadi. Jika saj— mmph."

Oreki melebarkan matanya, sesaat kemudian berkedip beberapa kali dengan rasa bingung yang menjadi-jadi dalam benak.

Rasa segar dari sayur dan manis buah-buahan yang bercampur dalam salad memenuhi rongga mulutnya secara tiba-tiba. Dan lagi, pemandangan di hadapannya membuat Oreki terdiam, (Y/n) tengah tersenyum manis dengan tangan terulur setelah menyuapi Oreki dengan makanan miliknya.

"Aku bilang lupakan saja," kekehnya, menarik tangan sekaligus garpu yang digenggamnya, sementara Oreki melanjutkan kunyahan. (Y/n) mengalihkan tatap ke bawah, lalu mengaduk-aduk saladnya tidak nafsu. "Dibicarakan sebanyak apapun, hal itu hanyalah 'jika', bukan?"

(Y/n) mengulas senyum tipis, walau tersirat kesedihan di matanya. "Tidak ada gunanya berandai-andai. Lagipula, Ibu menuliskan surat untukku, dan aku menyadari sesuatu."

Menelan habis salad dalam mulut, Oreki menaikkan sebelah alis. "Surat?"

(Y/n) mengangguk. "Ibu bilang, aku tidak bisa menyalahkan siapapun, semua ini adalah kecelakaan, dan tak ada satupun orang yang mengharapkan hal itu."

"Perginya Ibuku dari dunia ini merupakan suatu hal yang buruk, bukankah aku lebih memperburuknya jika aku menyalahkan orang lain dan tenggelam dalam pilu untuk selamanya?"

Memang suaranya terdengar begitu sendu, tetapi Oreki mengetahui sesuatu. Senyum yang (Y/n) pasang, adalah senyum paling tulus yang pernah ia lihat beberapa minggu terakhir ini.

(Y/n) sudah sadar.

(Y/n) tau dirinya melakukan hal bodoh dengan menyalahkan orang lain, jika Oreki ikut menimpali bahwa dirinya ikut bersalah, hal itu malah membuat perasaan (Y/n) semakin memburuk.

Gadis itu sudah cukup merasa bersalah dengan merepotkan Fukube dan memicu permasalahan dengan Kei. Dengan penyesalan tak mendasar dari Oreki, (Y/n) malah merasa ia menyalahkan Oreki juga walau sebenarnya tidak begitu.

Oreki mengulas senyum tipis, tatapannya tak beralih sedikitpun dari gadis yang kini berada di hadapannya. Di lihat dari manapun juga, (Y/n) memang berbeda dari gadis lain. Pada awalnya dia memang labil, tetapi setidaknya dia mencari cara untuk berkembang.

Mungkin, hal itu yang membuat ketertarikan Oreki timbul.

"Oh iya, gimana? Salad tadi enak?"

Lamunan singkat Oreki buyar seketika. (Y/n) tersenyum begitu lebar hingga kedua matanya melengkung indah, dengan sedikit rona tipis di pipi membuatnya terlihat begitu menggemaskan.

Oreki melebarkan mata, tidak sanggup tapi doyan. Dengan segera ia menundukkan kepala, lalu menggunakan tangannya untuk menopang dahi. "I-iya, manis ...."

Bersamaan dengan itu, Fukube datang dan langsung duduk di samping sahabat kecilnya. Ia menatap (Y/n) yang tertawa geli dengan bingung, lalu beralih pada teman SMPnya.

Oreki terlihat begitu tersiksa dengan telinga yang memerah hebat.

'Oreki ngape dah?'

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Note: maaf, suami author nyasar.

"RINDOU, AYO BALIK!!!"

Continue Reading

You'll Also Like

198K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
60K 7.3K 34
[Completed] ❝𝐃𝐢𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐜𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐤𝐚𝐦𝐢❞ Cahaya kecil yang muncul di tengah-tengah gelapnya geng yang bernama To...
9.3K 694 7
Haechan sendirian beberapa tahun belakangan, mereka menganggap dirinya seperti orang asing. Hingga ia mulai menjauh, mereka menariknya untuk kembali.
28.8K 4.8K 53
Zombie apocalypse itu benar benar terjadi? Bagaimana dengan (Name)? Apakah dia bisa melewati nya? Tanpa diduga nya, (Name) adalah orang yang terincar...