The Thing Between Us

By Janeloui22

50K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[9-3] Anomali Rasa

946 129 9
By Janeloui22

Heya, nanti agak maleman keknya bakal publish ISP chapter 8 dulu. My eyes are swollen, too much facing monitor I guess. Hmmm

•Anomali Rasa•

Atasan saya hobinya ngedumel—mungkin sama kayak atasan yang lain. Kali ini dia marah-marah perihal beberapa artikel yang saya tulis selama dua bulan terakhir. Katanya isinya terlalu pedas dan blak-blakan. Lah, buktinya memang begitu, makanya saya tulis dan jadi headline utama dan bikin sekumpulan orang-orang dalam berita kena sentil.

Selain atasan, saya juga dapat teguran dari staf Humas salah satu kementerian sewaktu ngebahas sejumlah kebijakan menteri mereka yang nyeleneh dan nggak masuk akal. Bahkan, di samping nggak masuk akal, kebijakan Si Ibu juga nggak mendatangkan faedah apapun selain ngegeruk anggaran alias nggak berguna sama sekali. Udah bukan hal baru, ibu-ibu satu itu memang suka pencitraan.

Hal yang ngebuat mereka melayangkan teguran dengan panik dan terburu-buru sebenarnya cuma dua: saya nanya, ‘Sebenarnya anggaran yang dibicarakan ini benar dialokasikan buat kegiatan hari anak atau untuk anak penanggung jawab program?’ terus pertanyaan satu ini mungkin terlalu gegabah karena emang dilandasi sama perasaan muak dan geram, ‘Tadi di lorong saya ngelihat Pak Dirjen lagi cat calling salah satu stafnya. Itu hal biasa ya? Tapi mbaknya kelihatan nggak nyaman dan sampai ngomong terima kasih waktu saya ajak naik lift bareng.’ Belum lagi insiden bareng insider istana karena pertanyaan seputar dana bansos karena kebetulan hari itu ada rapat bareng humas Kemensos. Setelah itu, saya dapat kabar kalau Juan Iskandar Janari mulai dikenal di istana. Kepalang basah, jadi hajar aja.

Please Juan, kalau kamu gini terus, karir kamu sebagai jurnalis nggak bakalan lama,” kata Pak Bos yang punya kepala plontos. Jangan bayangin pria pendek dengan perut buncit karena bos saya ini terbilang kurus dan tinggi. Mungkin dia kurus karena ngebatin, kurang tahu juga.

“Kalau jadi jurnalis nggak lama, saya bisa jadi pengacara,” tutur saya terkesan sekenanya. Itu emang Plan B yang saya harap nggak pernah terealisasi. “Atau buka toko roti. Waktu di Leiden saya pernah part time jadi tukang roti. Bos mau coba?”

“Boleh,” Bos auto nyahut. Terus kembali ngedumel kayak biasa, “Juan! Kamu ini suka banget mengalihkan pembicaraan!”

“Hehehe…”

“Malah ketawa!”

“Kalau saya balik marah nanti malah ribut.”

“Bener juga.”

“Em, Pak? Saya nggak bisa ikut kunjungan ke Kemenkumham besok pagi. Jadinya mau ngambil cuti,” kata saya agak tiba-tiba sampai Pak Bos yang hampir marah pun mendadak melunak dan bertanya-tanya. Ini cuti pertama yang saya ambil selama dua tahun kerja di sini.

“Kamu sakit? Tumben banget cuti,” tutur Pak Bos.

Saya ngasih gelengan sekaligus menyilangkan kedua tangan depan dada. “Enggak. Cuma ada janji sama kenalan. Udah sebulan ini saya bantuin dia nerjemahin berkas atau sekadar jadi temen diskusi.”

“Cewek?” tanyanya kepo.

Lagi-lagi saya ngangguk.

“Pantes.”

“Anaknya pinter cuma suka malu-malu. Saya ngasih rekomendasi ke dia supaya ngirim tulisannya ke sini. Untuk ukuran freelance writer dan nggak ada dasar jurnalistik sama sekali, artikel yang dia buat bagus banget. Saya nggak ngomong gini sebagai Juan yang suka sama dia, tapi sebagai jurnalis yang menikmati tulisan ciamik dari bibit muda kritis dan analitis,” terang saya secara profesional. Nggak peduli sesuka apapun saya sama Rumi, kalau di tempat kerja saja harus tetap profesional.

Sambil ngurut kening, Bos nyahut, “Agak disayangkan sih karena kamu nggak bisa ikut. Meskipun ada untungnya juga buat mereka karena nggak bakal dicecar sama pertanyaan kayak di kementerian sebelah. Ya udah, sukses ya, semoga berhasil.”

“Berhasil apa?” tanya saya kedengaran kayak orang bego. Emang kalau udah menyangkut romansa otak ini suka mendadak mandeg.

“Berhasil jadi pacar,” jawab Bos tenang. Dia balik lagi duduk di kursinya, ngebuka dokumen di atas meja.

“Dia baru 21 tahun, masih kuliah.”

“Saya dan istri beda sepuluh tahun. Hubungan dengan gap year agak jauh itu sah-sah aja kalau dilakukan sesama orang dewasa. Kalau 21 tahun, artinya udah dewasa. Lagian dia juga nggak akan mungkin ngelanjutin korespondensi sama kamu kalau nggak ada rasa tertarik sama sekali. Lagian ya, siapa yang nggak tertarik sama laki-laki muda, brilian, ganteng, pinter, dan kompeten kayak kamu? Kolegamu juga banyak yang suka, cuma keburu tertolak sama sikap cuek dan nggak peka itu,” terangnya panjang lebar.

Kata-kata itu sedikit menohok. Mungkin memang benar, saya terlalu cuek, sinis, dan nggak peka. Siapa juga yang tahan berlama-lama sama orang dengan perangai kayak gini? Bahkan saya kaget sama fakta kalau Rumi selalu baik-baik aja meskipun harus mendengar banyak celoteh julid dari pria seperempat abad ini. Bahkan, alih-alih bosen, tiap kali ketemu meskipun cuma seminggu dua kali, dia selalu pasang telinga dan perhatian buat ngedengerin ocehan saya terkait pekerjaan. Saya nggak terlalu sering menceritakan hal personal karena takut nggak sesuai sama selera dia. Bahkan selama dua bulan kenal sama Rumi, saya bakal menyesuaikan obrolan sama hal yang dia suka aja. Karena itu juga saya mendadak tahu banyak anime karena dia penggemar serial animasi Jepang. Saya suka tiap detik  yang dihabiskan bareng Rumi.

“Kalau saya ajak dia pacaran padahal baru kenal dua bulan, aneh nggak ya?”

Lagi-lagi pertanyaan konyol kembali terucap. Saya sampai nepuk pipi sebelum ngusap rambut karena ngerasa malu. Untung di ruang pimpinan cuma ada kami berdua.

“Lah ya nggak tahu, saya bahkan nggak tahu cewek yang kamu deketin. Kenapa nanya sama saya?”

“Barangkali ada saran. Tapi nggak perlu, saya udah tahu jawabannya,” kata saya percaya diri. Memang betul jawabannya sudah ada di kepala.

“Yakin nih nggak butuh saran?” ada sesuatu yang menyebalkan dari caranya nawarin saran—seolah lagi nguji kesabaran lewat lirikan mata menggoda orang yang dimabuk cinta.

Berhubung saya udah sangat sering dihadapkan sama situasi yang menuntut banyak kesabaran, kayak rapat bareng dedengkot pemerintah atau penanam modal yang suka menindas, jadi godaan itu nggak cukup untuk ngebuat saya kesal. Lagian ada hal yang harus saya urusi sekarang—harus ngebuka draft artikel dan nulis surel biat Rumi. Karena itu saya milih mundur dan keluar dari ruangan ini.

“Saya balik ke Bandung sore ini ya. Titip salam buat Humas Kemenkumham. Bilangin juga kalau nanti saya bakal buatin artikel ciamik yang bikin mereka terpekik lagi.”

To Be Continued

I wish I have more time to stay in touch with you all. Need to finish my tasks first so I can chill here. Ahaha

Thank you for coming. I love you~
💜💕❣💘💙❤💚🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

61.3K 12.4K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
487K 48.9K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
248K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
39.3K 5K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...