The Thing Between Us

By Janeloui22

51.8K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[9-2] Anomali Rasa

930 138 29
By Janeloui22

Ini cerita romance. Udah gitu aja. Hehehe

•Anomali Rasa•

Namanya Rumi Marissa Harits, usianya cuma setahun lebih tua dari Dek Sarah—adik sepupu yang tinggal di rumah kami karena nggak diizinin buat ngekost di Dipati Ukur sama orang tuanya—artinya dia baru 21 tahun, mungkin udah semester tujuh dan lagi pusing-pusingnya ngerjain skripsi kayak mahasiswa normal pada umumnya.

Tiap dia turun ke dapur bareng Dek Sarah, ekor mata saya bakal otomatis bergerak, melirik si gadis muda yang ngebuat bunga di taman ibu tertunduk malu karena kecantikannya yang memukau. Saya mengukir senyum, mengangguk takzim sewaktu mata kami saling beradu tatap dan Rumi melempar senyum manis.

Enggak mau memungkiri apalagi berdalih, saya memang tertarik sama gadis ini. Dia cantik dan kelihatan bersinar—tercermin pula dari cara bicaranya yang lugas dan cerdas sewaktu menjelaskan tentang kebijakan perburuhan pada Dek Sarah yang manggut-manggut aja. Meski begitu, nggak peduli semenarik apapun bunga muda di dalam sana, saya belum punya niat buat mengajaknya berkenalan karena bakal terkesan ngotot dan centil. Hal yang saya khawatirkan juga, dia mungkin bakal ngerasa nggak nyaman dan nggak mau berkawan lagi sama Dek Sarah. Kemungkinan terakhir memang terlalu ekstrim, tapi saya tetap harus berjaga-jaga takutnya fakta memang membuktikan demikian.

A Juan,” kata Dek Sarah dari ambang pintu. Temannya yang cantik berdiri di belakang. Tubuhnya tinggi, langsing juga tapi ini nggak ada korelasinya sama ungkapan yang mau saya paparkan selanjutnya, jadi diri di belakang pun tetap kelihatan jelas dan bebas.

“Iya dek?” sahut saya berusaha memasang sikap tenang kayak biasa.

Lagi-lagi tatapan kami bertemu. Kali ini Rumi menundukkan muka, nyembunyiin ekspresinya. Duh, tiba-tiba jadi merasa iri sama lantai yang bisa mengamati ekspresi Rumi sebanyak yang dia mau.

“Lagi sibuk banget, nggak?”

“Enggak. Baru submit artikel. Kenapa?”

Aa waktu kuliah ngambil jurusan apa?” tanya Dek Sarah. Dia ngelirik ke belakang, narik Rumi buat jalan ke luar dan duduk di meja yang sama bareng saya. Ibu jarinya nunjuk ke samping, sempet ngebuat Rumi agak tersentak sewaktu bilang, “Teh Rumi mau nanya ceunah. Buat skripsinya.”

“Kamu satu jurusan sama Sarah, kan?”

Rumi ngangguk. “Iya. Sama-sama jurusan Sejarah. Waktu denger Sarah bilang kalau kakak sepupunya kuliah di Leiden, saya jadi tertarik buat nanyain beberapa hal terkait skripsi karena kan banyak arsip Indonesia di Belanda. Saya nggak mempertimbangkan kalau A Juan itu kerja dan pasti sibuk. Maaf karena ganggu waktunya ya.”

“Nggak terlalu sibuk kok,” kata saya sambil nyeruput kopi dingin. Awet memang. “Ngomong-omong tema skripsinya tentang apa?”

Belum sempat Rumi ngejawab, Dek Sarah udah ngeduluin, minta izin buat ke kamar mandi karena mules. Kalau udah mules, dia pasti bakal tinggal lama di kamar mandi. Situasi saat ini jadi agak canggung. Duh, saya harus berusaha sekuat tenaga buat mengendalikan ekspresi muka biar nggak terlalu kentara senang dan gugupnya.

“Jadi apa tema skripsinya?” Pertanyaan itu memecah keheningan antara saya dan Rumi. Seteguk kopi kembali mendahului, melarutkan gugup dan menumbuhkan percaya diri. Entah gimana cara ngejelasinnya, tapi cara itu terbilang efektif. “Sarah kalau udah semedi di kamar mandi suka lama. Jadi santai aja.”

“Hehehe… iya a.”

Rumi nyentuh rambutnya, ternyata perempuan secantik ini bisa gugup juga. Atau dia takut? Tapi kan muka saya nggak kelihatan kayak penjahat atau orang mesum, dia nggak punya alasan buat gugup apalagi takut. Tapi, sekali lagi tapi, emangnya kita punya alasan pasti buat ngerasa takut? Terlalu julid dan banyak ngeritik agaknya ngebuat penilaian saya sedikit kabur bahkan cenderung egois.

“Saya ngambil jurusan Civil Law,” cetus saya pada akhirnya. Tangan menggeser laptop, ngebuat jarak pandang kami semakin jelas dan nggak tersekat apapun. “Jadi kalau sekiranya skripsi kamu ada hubungannya sama masalah hukum perdata atau perdagangan, saya mungkin bisa jelasin.”

“Sebenernya saya agak malu dan segan karena harus nanya langsung kayak gini,” kata Rumi sambil ngegaruk tengkuk. Bahkan kebiasaannya saat gugup kelihatan menawan. Senyumnya terukir canggung, dan kekeh tawanya juga kedengaran canggung. “Saya juga agak gugup.”

“Kenapa?”

Saya nanya meski udah bisa nebak jawabannya. Maksudnya, siapa sih yang nggak canggung ngomong berdua sama saudara sepupu temen sendiri yang baru dikenal beberapa menit yang lalu? Belum lagi, bukan nggak mungkin, Rumi menyiratkan anggapan kalau lulusan luar negeri itu udah pasti keren-keren. Banyak yang keren, tapi label ‘lulusan luar negeri’ itu nggak bisa dijadikan tolok ukur pasti seseorang punya kualitas baik atau enggak. Meskipun, saya nggak memungkiri kalau pola pikir seperti ini sebagian besar dipengaruhi sama didikan selama menuntut ilmu di Leiden yang dipadukan sama didikan ibu dan bapak serta pengalaman tinggal di Indonesia selama tujuh belas tahun.

By the way, saya nggak sekeren kelihatannya kok,” cetus saya tiba-tiba. “Jadi nggak perlu segan. Saya bilang gitu karena khawatir kamu ngerasa segan sama latar belakang pendidikan yang sebenarnya nggak terlalu istimewa karena siapapun bisa kuliah di sana kalau emang ada kesempatan dan usaha. Tapi kalau alasan segannya karena usia, hm, saya nggak bisa mundurin usia supaya sepantaran sama kamu. Jadi santai aja, saya tunggu kamu siap sambil ngedit tulisan buat publikasi ya.”

“Kalau siap nikah kayaknya masih lama. Hehehe…”

Ya Tuhan. Jadi langsung kaku dan panas karena candaan anak yang lebih muda. Jarang saya mendapat candaan kayak gini. Terutama dari kolega perempuan yang sebagian sudah pada menikah sedangkan sebagian lainnya selalu menciptakan jarak karena ‘segan’. Atau mungkin saya terlalu membosankan? Tidak tahu lah. Yang pasti, candaan seperti ini sangat jarang terjadi.

“Hahaha… hampir aja terbawa perasaan,” sahutan itu diselipi tawa. Sambil nopang dagu, saya ngelihatin Rumi, sekali lagi nangkap sebaris rasa gugup yang tertutup semyum lebar dan ekspresi ceria. “Jadi Rumi, saya panggil nama aja ya, skripsi kamu tentang apa?”

“Penanganan banjir di Batavia,” katanya. Dia ngelihat saya ngerutin dahi, terus buru-buru nambahin, “mungkin ini nggak ada hubungannya sama sekali sama jurusan aa. Jadi barusan juga sempet ragu buat nanya.”

Kekeh pelan yang Rumi kasih serta gerakan tangannya yang kikuk malah ngebuat saya semakin kepincut. Dengan hati-hati, takutnya itu malah menyinggung, saya mengajukan pertanyaan yang ngebuat wajah si cantik di depan diwarnai ekspresi haru. “Pasti banyak sumber bahasa Belanda, kan? Saya yakin kamu juga belajar bahasa Belanda, tapi kalau kamu butuh bantuan dan nggak keberatan, saya bisa bantu nerjemahin. Daripada bayar sama penerjemah yang biaya per lembarnya bisa sampai lima puluh ribu, mending sama saya aja. Cuma, saya biasanya agak slow respond karena kerjaan numpuk.”

“Serius boleh?” tanya Rumi—secara mengejutkan—sambil megangin tangan saya.

Cuma anggukan yang bisa saya kasih. Senyum juga canggung. Ya Tuhan, kapan ya terakhir kali merasa sebaper ini?

“Oh, saya hubungi aa lewat apa? WhatsApp? Line? Atau Instagram?” tanyanya sambil nyodorin ponsel.

“Telepati,” jelas itu cuma gurauan. Dia ketawa, kelihatan cantik sewaktu pipinya yang berisi membentuk lengkung simetris. “Kalau lewat email gapapa? Saya lebih nyaman kalau bekorespondensi pakai email. Nggak merasa diburu-buru.”

“Boleh!” katanya, “bentar aku siapin note dulu buat nulis email aa.”

Saya ngeluarin kartu nama, lagi-lagi membuat senyum semanis gula itu terukir lembut. Jemarinya yang kecil dan lentik narik kartu nama, ngebaca dengan khusyuk, dan kembali mengeluarkan tawa kecil. Mungkin Rumi memang punya sifat periang.

“Makasih banyak! Seneng deh karena bisa kenalan sama A Juan!”

Sekali lagi, jantung saya berdebar kencang. Saya memilih buat kembali ngebuka laptop dengan alasan mau ngecek email dari editor. Padahal, kalau harus jujur, itu cuma dalih karena saya nggak yakin bisa bertahan cukup lama tanpa menunjukkan ketertarikan yang kentara akibat terlalu banyak ngelihat senyum Rumi yang semanis gula.

Ketika ngebaca koran dan UU Perburuhan, terus ngebaca beberapa artikel tentang korupsi, aku ngerasa tergelitik sama fakta kalau kebijakan yang dibuat selalu sama dan mandet eksekusinya. Hmm... Ini serius banget, padahal mah emang diriku julid.

Gimana akhir pekan kalian? Semoga selalu menyenangkan. Ada salam juga dari Winter Spring, katanya mau cepat-cepat ketemu kalian. Hehehe... See you!!!
💕❣💙💘❤💚🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

414K 30.7K 40
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
90.2K 10K 30
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
90.8K 9.1K 37
FIKSI
Drie By VAnswan

Fanfiction

30.6K 3.8K 21
Mamanya bilang, Chandra harus mengalah pada adiknya, Nathan, karena Chandra adalah seorang kakak. Lalu papanya bilang, Chandra harus mengalah pada ka...