Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.7K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

498 89 4
By Mizuraaaa

Satu buket bunga lepas dari genggaman, tersimpan apik di atas pemakaman dengan marga Shimizu yang terukir jelas. Sunyi setia menemani, kala rentetan kalimat belum juga meluncur dari bibir.

Wajahnya mengernyit dalam, meringis menahan perih dalam dada. Sesak, segala persiapan yang disusun rapi dalam kepala terkikis perlahan hingga lenyap. Pilu yang menyelimuti kian bergemuruh, tidak berniat berlalu menjauh.

Usapan pada bahu menyadarkannya. Seseorang yang selalu mendukungnya, mencoba memberi kekuatan dengan mengelus pundaknya pelan. Ia meraih tangan itu, lalu menggenggamnya erat.

Dua temen di belakang yang ikut menemani hanya bisa memandang sendu, merasa tak memiliki hak untuk bertindak. Kehilangan adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan, wajar jika gadis itu begitu merasa begitu hancur.

"Ibu," panggilnya, genggaman pada tangan Fukube yang masih setia pada bahunya semakin erat, menahan rasa sesak yang ada. "Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf." nada bicaranya seolah tertahan, menyembunyikan getaran yang kini menular pada kedua bahu rapuhnya.

Fukube mengangkat tangannya yang lain, memeluk punggung (Y/n) penuh kelembutan. "Ini bukan salahmu, (Y/n)-chan, Bibi pasti mengerti," bisiknya menenangkan, mencoba menguatkan meskipun dirinya sendiri merasakan hal yang sama.

Gadis itu menutup mulutnya rapat menggunakan telapak tangan, air matanya mulai menetes tanpa diperintah, mengalir melewati wajahnya dan jatuh ke tanah. Ia terisak, membungkuk pasrah.

Bagaimana caranya ia percaya bahwa apa yang ada di depannya ini adalah makam ibunya?

Masih banyak yang tidak ia mengerti. Rasanya baru kemarin ia sarapan bersama ibunya, bercanda bersama ibunya, memasak bersama ibunya, lalu apa yang matanya lihat kali ini? Jasad ibunya telah terkubur dalam, sementara jiwanya melayang tinggi menembus awan.

"Engh."

Ia meringis. Cahaya yang masuk secara tiba-tiba pada netra membuatnya mengerjap cepat, seketika memegang kepala yang terasa pusing luar biasa. Pandangannya masih berkunang-kunang, perlu waktu untuk menjernihkannya.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, gadis itu mendudukkan tubuhnya yang masih lemas. Rasanya begitu letih, lelah menyelimuti dengan nafas yang sedikit berat. Mengalihkan pandang ke sekitar, ia melebarkan mata saat mendapati seseorang yang dikenalinya.

"M-mama?" panggil gadis kecil itu, begitu pelan, tetapi mampu mengusik tidur sang Ibu yang berada di pinggiran ranjangnya.

Wanita dewasa itu menegakkan tubuhnya, lalu mengucek mata yang terasa gatal. Kedua matanya terbuka, hingga kemudian kian melebar ketika melihat objek di hadapannya. "Sayang?" ujarnya pelan, masih belum percaya.

"Mama, kita di— akhh!!"

Akita tersentak hebat. Tubuhnya yang semula mendudukkan diri di kursi langsung bangkit, mendekat pada anaknya yang tengah memegang kepala kuat. "Mama, kepala aku, sakit ...," keluhnya, menutup mata erat.

Netra Akita berkeliaran, mencari cara untuk mengatasi rasa paniknya. Hingga pada akhirnya, Akita menemukan segelas air pada nakas di samping dan segera meraihnya.

Gelas berukuran sedang dengan air yang terisi penuh di sodorkan, Akita berkata dengan raut wajah khawatir, "Minum dulu, kau pasti masih syok." ia menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan putri kecilnya.

(Y/n) mengangkat kepalanya perlahan, lalu menatap gelas itu. Namun, sedetik kemudian irisnya menyusut, sementara matanya melebar cepat. Air dalam gelas yang Akita sodorkan bergoyang, menimbulkan denyutan pada kepala yang memancing sesuatu untuk bereaksi.

Nafasnya mulai tak teratur, sesak tiba-tiba mendominasi, pula pusing yang semakin merajalela.

"Aaaarghh! S-sakit! Ma, sakit!"

Akita menahan nafasnya melihat tingkah laku (Y/n) yang mulai tak terkendali. Jantungnya berdegup kencang, manik matanya dan bibirnya bergetar hebat. Takut, hanya itu yang dirasakannya.

(Y/n) menggelengkan kepalanya kuat, menendang-nendang kedua kakinya bergantian, dan menjerit sekeras-kerasnya. Kepalanya serasa ingin pecah, ketika sebuah kilasan hadir dengan ketidakjelasannya.

Gelap, nafasnya sesak, dan gerakannya sia-sia. Kenapa gadis itu merasakan semuanya dalam satu waktu? Ini semua terasa tidak nyata, tubuhnya seakan melayang terbawa arus yang deras, dan tak ada yang bisa ia lakukan. Yang ia tau hanya ia tidak mampu menahannya. Sakit, sesak, takut, (Y/n) ingin mengungkapkan semuanya, tetapi begitu sulit.

"(Y/n)-chan? (Y/n)-chan ada apa?!" tanya Akita dengan panik. "(Y/n)-chan lihat Mama! Ada apa, sayang?!" panggil Akita terus menerus.

"Arghh! Singkirkan itu dariku!"

PRAKKKK

(Y/n) menghempas gelas yang berada di genggaman Akita. Wanita dewasa itu terperanjat kaget ketika suara bising itu memasuki pendengarannya, sementara (Y/n) tidak terganggu sama sekali. Atau malah, apa yang ada di kepalanya lebih mengganggu dari pada itu.

"Mama!! Tolong akuuuu!!!"

Sebuah serangan pada kepalanya membuat (Y/n) seakan tersambar petir. Suaranya mulai tak terdengar, gerakan acaknya mulai berhenti. Tubuhnya melemas hebat, hingga akhirnya kembali ambruk pada ranjang rumah sakit yang serba putih itu.

Netra Akita berkilat, ketika cahaya memantul pada air mata yang sudah menggenang. Kedua telapak tangannya menutupi mulut, melangkah mundur dengan iris bergetar tidak percaya.

"Dokter!!"

.
.

"Kau, siapa?"

Wanita dewasa itu tersentak hebat. Dengan mata melebar sempurna, ia melangkah mundur, seraya menutup bibirnya yang terkatup rapat menggunakan kedua tangan. Kepalanya menggeleng perlahan, tidak ingin mempercayai apapun yang dilihat maupun didengarnya.

"Sayang, maksudmu apa? Ini Mama." Akita tersenyum canggung, mendekat. Namun, hatinya seakan diremas sekuat mungkin ketika anaknya mundur, menghindari sentuhannya.

"M-mama? Mama siapa?" tanyanya, menatap takut terhadap orang asing di hadapannya. "Kau bukan Mamaku."

Akita membeku di tempat, tak mampu bereaksi dikala dadanya terasa dihantam oleh ribuan palu sekuat mungkin. Teramat sakit, apa yang dikatakan oleh (Y/n) tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh benaknya.

Cklek

Ketika suara pintu terbuka menggema, seluruh atensi tertuju padanya. Seorang pria kecil muncul dari balik pintu, menatap ke sekeliling dengan pandangan bingung.

Kala manik coklatnya mendapati seseorang yang dikenal, ia segera mendekat. "Bibi Akita! Bagaimana (Y/n)-chan?" tanyanya, mendongakkan kepala pada lawan bicara yang lebih tinggi daripadanya. "Oh iya, Ibu ada di luar, sedang menerima telepon dari Ayah."

"Fukube-kun?"

Diri terkesiap rendah, lantas menolehkan kepala. Kala menatapi figur gadis dengan surai sedikit berantakan, ia mengulas senyum tipis. "(Y/n)-chan, kau baik-baik saja ternyata?" tanyanya lega.

Sementara itu, di samping keduanya, Akita memandangi Fukube dan (Y/n) secara bergantian. Kepalanya pusing luar biasa, ia tak bisa memproses apapun yang terjadi di hadapannya.

"(Y/n)? Fukube-kun, itu namaku?"

"Eh?" Fukube mengernyitkan kedua alisnya, tidak mengerti. "Apa maksudmu? (Y/n)-chan lupa dengan namamu sendiri?" ia memiringkan kepala, bertanya dengan polosnya.

Namun, (Y/n) tak lagi menjawab. Gadis kecil itu tetap diam, seraya menatap kosong ke arah Fukube. Kepalanya sangat pusing, ia tak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya, ini benar-benar menyiksa dirinya yang masih begitu kecil.

"Bibi Akita," panggil Fukube lirih, lalu menolehkan kepala. "(Y/n)-chan kenapa?" tanyanya khawatir.

Akita mengangkat tangannya perlahan, anggota tubuhnya itu bergetar hebat, menutupi sebagian wajahnya yang berkeringat dingin. Ia menelan saliva susah payah, lalu berujar, "Tunggu sebentar, Bibi panggilkan dokter lagi."

.
.
.
.

"Fukube-kun."

Fukube menoleh atas panggilan itu, lalu memiringkan kepala dengan senyum manis yang terpasang. "Iya?"

Gadis itu masih meringkuk di ranjangnya, memeluk kedua lutut yang tertekuk erat, seraya menyembunyikan sebagian wajahnya dibalik kedua lengan. "Sebenarnya apa yang terjadi? Aku bingung." ia mengeluarkan hembusan nafas, terlalu dini untuk memikirkan hal semacam ini.

Ia menatap sahabatnya dengan manik bergetar, lalu berujar lirih penuh sesal, "Aku, juga tidak tau," lelaki kecil itu menundukkan kepalanya, masih mencoba berfikir dan mengira-ngira apa yang sebagai terjadi di sini.

Setelah memikirkan beberapa hal, kepalanya kembali terangkat, lalu beralih pada gadis di sampingnya. "(Y/n)-chan, aku keluar dulu sebentar, ya? Kau tunggu di sini." ia tersenyum tipis, lalu bangkit dari duduknya.

Gerakan Fukube terhenti seketika. Sebuah tangan mencekal pergelangan kecilnya, sehingga memaksanya untuk menoleh ke belakang. Ia mendapati wajah cemas sahabat kecilnya, dengan sedikit sirat takut.

"Jangan pergi, bagaimana jika Bibi tadi datang lagi? Dia siapa?"

Fukube menatap (Y/n) dengan pandangan sendu. Ia berbalik, lalu menggenggam tangan (Y/n) yang mencekalnya dengan lembut. Tersenyum, Fukube mencoba menenangkan. "(Y/n)-chan, dia Mamamu, kau tidak perlu khawatir."

"Mama?" tanya (Y/n) dengan nada kebingungan. "Tapi aku tidak pernah ingat memiliki Mama dengan wajah sepertinya."

Fukube memang tidak mengerti, dirinya masih terlalu kecil, tetapi kenapa, melihat (Y/n) seperti ini membuat hatinya sakit. Tatapan gadis itu kosong, dengan wajah yang memendam banyak beban. Diusia sekecil ini, haruskah?

"(Y/n)-chan," panggilnya, menepuk bahu sang gadis, lalu tersenyum. "Aku tidak akan lama, tunggu di sini sebentar, ya?"

Pada akhirnya kepala (Y/n) mengangguk, berakhir dengan wajah yang jatuh ke bawah, menunduk dalam. "Baiklah," jawabnya lemah, sedikit tidak rela, walau begitu tetap mengizinkan.

Fukube tersenyum kecil, lalu tangannya mendarat pada rambut coklat (Y/n), mengacaknya pelan. "Aku akan segera kembali," janjinya, sebelum ia benar-benar menjauh dari ranjang itu.

Ia melangkah mendekati pintu keluar, lalu mulai memegang kenop pintu. Pintu terbuka kecil, hingga cahaya dari luar menyilaukan penglihatannya. Tubuh yang semula berniat untuk keluar, tertunda, mengurungkan diri.

"Ketika melihat semua ini terjadi setelah Shimizu-san bereaksi terhadap air, bisa dipastikan tenggelamnya Shimizu-san membuat mentalnya terguncang hebat. Kami bisa menyimpulkan hilangnya sebagian ingatan Shimizu-san terjadi karena trauma berat yang dideritanya."

"Tidak mungkin ...,"

Manik coklat Fukube berkilat terpantul cahaya, bergetar sendu. Ia dapat melihat jelas Akita yang tengah menangis frustasi atas apa yang di dengarnya mengenai kondisi anaknya. Di sana ada Hina juga, mencoba menenangkan sahabatnya itu.

Fukube tidak mengerti banyak, tapi satu yang pasti, melihat hal ini membuat hatinya sakit. Tangannya bergerak, meremas kain yang membalut dada kuat. Fukube seakan bisa merasakan semua rasa sakit ini.

Sahabatnya, akan baik-baik saja, kan?

.
.
.

"Kita sampai!" serunya ceria, mengangkat kedua tangan semangat.

Ia membiarkan gadis kecil itu berjalan di depan, sementara ia menutup pintu terlebih dahulu. Setelahnya ia pun mengikuti langkah anaknya.

Gadis itu tampak mengedarkan pandangannya, dengan tatapan tidak percaya yang tergambar jelas. Langkahnya terhenti di bagian tengah rumah, terdiam, masih mencermati apa yang baru saja ia lihat.

"Ini rumah aku?" tanyanya polos.

Setelah melalui beberapa hal dibantu bujukan Fukube yang masih diingat oleh (Y/n), akhirnya ia 'menerima' Akita sebagai ibunya, walau mungkin tidak dengan sepenuh hatinya.

Akita tersenyum kecil, lalu mengangguk walau dapat dipastikan (Y/n) tak melihatnya, karena posisinya ada di belakang. "Iya, kita tinggal di sini bersama."

"Hanya berdua?"

Sesaat, senyum Akita luntur. Ia mulai berlutut, mensejajarkan tinggi dengan (Y/n) yang masih kecil. "Tidak." Akita menggeleng. "Kita tinggal bersama dengan Ayahmu juga."

"E-eh?" gumam Akita bingung.

Akita melebarkan matanya, tidak menyangka dengan respon yang (Y/n) berikan. Gadis itu tiba-tiba mengalirkan satu tetes air mata, dengan tatapan kosong yang mengarah lurus ke depan.

"Sayang? Kau kenapa?" tanya Akita khawatir.

Mata (Y/n) berkedip beberapa kali, tersadar. Ia terkekeh canggung, lalu menghapus jejak air mata itu sesegera mungkin, dan berlanjut dengan usapan pada rambutnya. "A-ah, aku tidak mengerti, ketika mendengar kata 'Ayah', aku, merasa sangat sedih."

"Lalu di mana 'Ayah' sekarang?"

Akita tidak bisa menahan perasaan dalam dirinya sendiri. Netranya kembali berlinang oleh air mata, sementara mulut ditutup rapat oleh telapak tangan. Tidak sanggup, ini berat untuknya.

"Ayahmu, sudah tiada." pada akhirnya Akita memberi jawaban, meski diucapkan dengan susah payah.

(Y/n) menundukkan kepala pelan. "Ah, begitu ...?"

Gadis itu tampak melangkahkan kembali kedua kakinya, menuju kemanapun, dengan perasaan sebagai satu-satunya penunjuk arah. Rumah ini terasa tidak asing di ingatannya, tetapi entah kenapa, ia tidak tau.

"Ini?" pertanyaannya terputus oleh diri sendiri. "Iya, ini dapur." Akita yang ternyata terus mengikutinya, menjawab pertanyaan tersebut.

"Akh," ringis (Y/n) pelan, menundukkan kepala seraya meremasnya kuat. Akita mendekat dengan perasaan cemas, menatapnya khawatir. "(Y/n)-chan, ada apa?"

"Aku, merasa memiliki ingatan di tempat ini." Akita melebarkan matanya, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang ia alami. "Seolah aku pernah melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi, dengan siapa aku melakukannya?"

"Buram, semakin mengingatnya kepalaku semakin sakit."

Akita menatap anaknya dalam diam, lantas kemudian menghembuskan nafas pasrah. Ia menarik sudut bibirnya paksa, mengelus puncak kepala (Y/n) hingga ke bawah. "Tidak apa, kau tidak perlu memaksakannya." ia mendekat, lalu membawa (Y/n) ke dalam rengkuhannya.

Gadis itu hanya diam, tak dapat dipungkiri pelukan ini terasa hangat, tetapi juga membingungkan. (Y/n) pun berucap lirih, "Maaf, aku tidak mengingat apapun, Ibu."

"Eh?" Akita menghentikan usapan lembutnya. "Ibu?" ulangnya sekali lagi. Tanpa sadar Akita melepas pelukannya, lalu menatapi ubin lantai dengan pandangan kosong.

"A-ada apa?" tanya (Y/n) gugup, tidak mengerti. "Apa panggilanku salah? Bagaimana aku yang dulu memanggilmu?"

Aku yang dulu.

Suatu kalimat yang membuat pikiran Akita semakin kacau. Satu susunan kata yang seolah mengatakan, dia dan dia sebelum ini, adalah orang yang berbeda. Entah kenapa hati Akita terasa begitu sakit.

"Tidak, bukan apa-apa. Panggil aku sesukamu, (Y/n)-chan."

"Ibu ...,"

Gadis itu meremas celana yang dipakainya dengan kuat, melampiaskan segala rasa sakit yang menyerangnya tanpa henti. Ia menggigit bibir begitu keras, tidak sanggup untuk melanjutkan.

"Aku menyayangimu."

"Sangat, selalu, setiap waktu. Sampai kapanpun, bahkan sedari dulu, sebelum atau sesudah ingatanku kembali, aku benar-benar menyayangimu, Ibu."

(Y/n) menahan nafasnya, tenggorokannya tercekat oleh sesuatu, begitu sulit untuk bersuara. Akan tetapi ia telah bertekad, ia tidak bisa berhenti di sini. "Terimakasih," gumamnya.

"Terimakasih sudah menjadi Ibuku, kau adalah Ibu terhebat yang pernah ku temui."

Tarikan nafas dalam dilalui dengan cepat oleh (Y/n), ia segera menghapus sisa cairan bening pada pipinya, dan menatap makam sang Ibu dengan netra berkaca-kaca. Di sampingnya, Fukube masih setia mengusap pundaknya.

"Ibu tidak perlu khawatir." (Y/n) mengulas senyum kecil. "Aku dikelilingi orang baik di sini, itu pasti karena doamu selama ini, kan? Maaf aku sempat meragukanmu, aku benar-benar menyesal."

(Y/n) mengangkat tangan, lalu mendaratkannya pada makam tersebut. Dielus pelan, dengan senyum lembut terpatri indah. Dalam bayangannya, Ibunya sudah bahagia di alam sana, tidak mungkin orang sebaik Akita menderita di akhirat, bukan?

Orang seperti Akita, yang melimpahkan seluruh kasih sayang terhadapnya, pantas bahagia.

"Kau memanggilnya ibu lagi?"

Pertanyaan dari seseorang menepis sunyi yang sempat ingin bergabung. (Y/n) tak melunturkan senyumannya, tak juga mengalihkan tatapannya. "Iya," jawabnya singkat, tak membuat Oreki puas dengan itu.

Sadar akan hal itu, (Y/n) melanjutkan, "Selama 7 tahun, aku mengenal dia sebagai Ibu, bukan Mama atau sebagainya." ia memberi jeda, menahan nafasnya sejenak untuk meredakan pilu yang kembali hadir.

"Ibu yang sangat menyayangiku, merawatku sepenuh hati, membahagiakanku setengah mati, dan memberikan segala untukku. Ingatan konyol ini tidak akan semata-mata membuatku lupa atas perjuangan 'Ibu' yang aku kagumi selama 7 tahun ini."

(Y/n) menarik nafas dalam untuk yang kesekian kalinya, seiring dengan kelopak mata yang tertutup lembut. Netra (e/c) terbuka kembali, dengan sesuatu di dalamnya, yang menyiratkan kesenduan.

"Jika aku tau semua ini akan terjadi, seharusnya aku tidak usah bersusah payah mengingat ingatan bodoh ini."

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

69.8K 10.5K 44
Suna Rintarou X You "I love you for infinity." #Fanfiction
222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
298K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
183K 35K 53
Cerita tentang (fullname) yang baru pindah ke sekolah Elite yang isinya anak konglomerat semua. Dari yang anak CEO, tuan muda, anak pengusaha, pengac...