Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

495 89 5
By Mizuraaaa

"(Y/N)!!!!"

Prakkk

Obat tablet itu langsung berserakan si lantai, menimbulkan suara bising, kala tangannya dihempas oleh tangan asing yang tidak diketahuinya. Gadis itu mengangkat kepala dengan tatapan kosong, mendapati seseorang menatapnya dengan emosi meledak-ledak.

"Kenapa?"

"Kenapa kau membuang obatku?"

Pertanyaan polos yang keluar dari mulut gadis itu membuat Fukube naik pitam. Dia tidak mengerti lagi, manusia mana yang mau memakan setumpukkan obat sekaligus, ia bahkan tidak bisa menghitungnya.

"Bodoh!!" bentaknya keras. "Sebenarnya apa yang salah denganmu?!!"

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya tidak mencoba untuk mengelak dan berpura-pura tidak mendengar semuanya. Kepalanya tertunduk lemah, tidak sanggup menatap remaja di hadapannya.

"Sadar, (Y/n)! Kau mulai gila!!"

Dia memang gila. (Y/n) mengakuinya dalam hati dengan lantang. Dirinya kosong, tak bisa merasakan apapun. Perih dan sesaknya pun telah sirna, tapi tak ada yang menggantikan perasaan itu dalam hatinya. Apa yang (Y/n) rasakan? Tidak ada!

"Kau boleh menangis sepuasnya!! Kau boleh berteriak sekeras-kerasnya!"

Kepala (Y/n) bergerak sendiri tanpa kemauannya, terangkat tinggi hingga wajah Fukube yang putus asa dapat tertangkap dengan jelas olehnya.

"Tapi jangan begini ...,"

Hati gadis itu berdenyut, merasakan getaran berbeda, perasaan yang sudah lama tak ia temukan. Sesak menguasai dada secepat kilat, orang yang berada di hadapannya menjadi buram ketika air mata telah menggenang dalam netra.

Gadis itu mulai bergumam dengan suara bergetar, hingga akhirnya,

"HAAAAAAAAA!!!!!!!"

(Y/n) menjerit frustasi dengan suara serak. Bahunya merosot, tubuhnya ambruk ke lantai. Namun, sebelum itu terjadi Fukube menyadarinya terlebih dahulu, sehingga menangkap tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

Gadis itu berteriak histeris dengan kedua tangan memeluk bahu Fukube erat. Suaranya yang bergetar terdengar memilukan, membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa prihatin, begitu menyayat hati.

"Aku tidak sanggup! Aku tidak bisa lagi!!" bentaknya. Fukube dengan sabar mengusapi punggung (Y/n), mencoba memberi sedikit ketenangan hati.

"Kau tidak mengerti!" ucapan (Y/n) terhenti sesaat ketika tenggorokannya tercekat, menahan nafas sejenak hingga melanjutkan, "Aku, aku sangat menyayangi ibu ...," lirihnya, suara mengecil perlahan.

(Y/n) masih terisak, dengan air mata yang meluncur deras membasahi bahu Fukube. "Aku bahkan belum sempat, aku tidak sempat mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya!! Aku tidak ingin berpisah dari Ibu!!" suaranya kembali meninggi.

"Ibu selalu melimpahkan kasih sayangnya terhadapku, meskipun aku tidak mengingatnya sama sekali, dia tetap melakukannya! Selama ini aku hidup dalam keraguan, Fukube! Sampai saat kemarin aku masih ragu terhadap identitas diriku sendiri!!"

Fukube dapat merasakan bahu (Y/n) yang bergetar hebat. Isakan gadis itu terdengar jelas, tak dapat dipungkiri ia pun merasa sedih mendengar semua beban yang (Y/n) keluarkan dari kepalanya.

"Tapi kenapa? Pada akhirnya aku menemukan siapa diriku dan meyakini siapa keluargaku sendiri. Dan setelah itu," pegangan (Y/n) terhadap pakaian Fukube semakin erat, menimbulkan bekas kusut. "Aku malah kehilangannya." suaranya tertahan, sama seperti nafasnya.

"Di saat aku sudah yakin dengan semuanya, aku harus kehilangan semuanya juga. Ibu adalah segalanya bagiku, aku tidak sanggup, Fukube." (Y/n) tidak tahan, dadanya sesak luar biasa, semua ini terasa sangat menyiksanya.

"Sejujurnya, jauh dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin ibu tau. Bahwa ingat atau tidakpun aku terhadapnya, aku tetap menyayanginya." gadis itu kembali terisak, membenturkan dahinya pada bahu Fukube yang cukup kuat.

Fukube menatap sendu sahabatnya yang tengah hancur. Ia bisa merasakan seberapa terlukanya gadis itu, ia tau seberapa banyak beban yang (Y/n) tanggung sendirian. Rasanya begitu berat.

"Menangislah, menangis sebanyak apapun yang kau mau, keluarkan semuanya." laki-laki bersurai coklat itu tidak melarang (Y/n) menangis, tentu saja.

Memang apa yang salah dengan menangis? Menangis tidak menyatakan bahwa seseorang itu lemah, itu hanya pembuktian bahwa dirinya telah melewati hidup yang cukup berat.

Siapapun berhak menangis ketika rasa lelah telah bersarang begitu lama. Setiap orang punya mental yang berbeda, batasan mereka berbeda pula. Tak ada yang berhak menyepelekan rasa sakit orang lain.

"Fukube, aku bahkan belum berterimakasih atas segala yang ia berikan padaku." air matanya belum juga mengering, isakan masih terdengar, getaran masih melanda, gadis itu belum cukup tenang. "Kasih sayangnya begitu melimpah, aku bahkan tidak sanggup menampungnya seorang diri."

Kini gigi beralih menggigit bibir bawah, lemah, kekuatannya belum sekuat itu hingga membuatnya berdarah. "Bagaimana bisa, bagaimana bisa aku meragukan seseorang yang menyayangiku begitu tulus seperti Ibu?"

(Y/n) putus asa, rasa sesal memenuhi jiwanya. Dia juga marah terhadap dirinya sendiri, itulah mengapa ia memiliki pemikiran untuk membunuh dirinya sendiri. Selain menyiksa diri yang ia benci, mungkin ia juga bisa bertemu kedua orang tuanya, hanya itu yang (Y/n) inginkan.

"Fukube," panggilnya pelan. Fukube tak memberi balasan, tetapi tangannya terus bergerak mengelus lembut dari ujung kepala (Y/n) hingga ke punggungnya. "Aku sangat menyayanginya, aku ingin dia tau itu, apa dia bisa mendengarnya?"

Fukube perlahan mengangguk. "Pasti, dia pasti mendengarnya."

Semua ini berawal dari dua gadis SMA yang tinggal di Takayama. Keduanya berteman begitu dekat, nyaris tidak bisa dipisahkan. Bahkan setelah lulus sekolah, hubungan keduanya tetap baik.

Keduanya adalah Hina dan Akita.

Namun, suatu ketika Hina mengatakan bahwa dirinya akan menikah dan tinggal di Tokyo, ikut bersama calon suaminya yang seorang pengusaha di sana, meninggalkan Akita seorang diri.

Sejujurnya Akita terkejut, mengingat usia Hina yang memang masih muda saat itu. Padahal Hina bisa menikmati hidupnya dulu, apa sebegitu cintanya Hina terhadap kekasihnya sehingga ingin menggenggamnya secepat mungkin? Entahlah, Akita pusing.

Beberapa tahun setelahnya, Akita sama-sama menikah dan pindah ke kota yang tidak jauh dari Takayama, lebih tepatnya di pinggiran pantai. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang gadis cantik yang ia beri nama (Y/n).

Keluarga kecil mereka menjalani hari-harinya dengan damai dan tentram. (Y/n) selalu bahagia dengan kehadiran kedua orang tuanya yang begitu menyayanginya.

Hingga pada saat umurnya menginjak usia dua tahun, (Y/n) diajak untuk pergi ke rumah kakek dan neneknya di Takayama, sekaligus bertemu dengan teman Ibunya yang sudah lama tidak berjumpa.

Akita mendapat kabar bahwa Hina memutuskan kembali tinggal di Takayama, ia tidak bisa meninggalkan kota kelahirannya terlalu lama, sementara suaminya yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, tetap tinggal di Tokyo dan berkunjung ke Takayama sesekali.

Akita berinisiatif mengenalkan (Y/n) dan anak kedua Hina yang ternyata tidak jauh berbeda umurnya dengan (Y/n). Akita sedikit kaget mendengar Hina sudah punya dua anak, terlebih anak pertamanya selisih empat tahun dengan anak keduanya, yang mana seumuran dengan (Y/n).

Itu artinya, jarak di antara pernikahan Hina dan Akita cukup jauh.

Pada akhirnya Hina dan Akita benar-benar mengenalkan keduanya. Gadis kecil cantik dan lelaki imut yang diberi nama Fukube. Setelah pertemuan itu, Fukube dan (Y/n) sangat sering bertemu, setiap akhir pekan atau ketika tinta merah tercetak pada kalender.

Berhubung kota tempat Akita tinggal dan Takayama memang tidak terlalu jauh, keduanya sangat sering bertemu, keluarga mereka semakin dekat satu sama lain, terutama kedua anaknya yang merasa memiliki teman baik.

Dengan seringnya (Y/n) pergi berkunjung ke Takayama, bukan hanya dengan Fukube, gadis itu juga semakin dekat dengan Nenek dan Kakek dari Ibunya. Kedua orang yang sudah lanjut usia itu sangat menyayangi cucu mereka satu-satunya, begitu pula (Y/n) terhadap mereka.

Namun, saat usia gadis itu menginjak 5 tahun, nenek dan kakeknya meninggal. Keduanya, sekaligus meninggalkan (Y/n).

(Y/n) mungkin masih kecil, ia tak terlalu mengerti apa yang terjadi, tetapi tetap saja ia merasa kehilangan kasih sayang kedua orang paruh baya itu. Walaupun begitu, orang tuanya tetap ada bersamanya, dan saling menguatkan satu sama lain.

Selama beberapa minggu gadis kecil itu selalu murung. Bahkan Fukube yang mencoba menghiburnya begitu kebingungan dengan sikap anehnya. Dengan itupun, Ayahnya berinisiatif membelikan seekor kelinci sebagai hewan peliharaan.

(Y/n) begitu senang atas pemberian itu. Hewan putih dengan telinga panjang itu sangat menggemaskan, dan (Y/n) sangat menyayanginya. Ia sering mengajak Fukube bermain dengan kelinci itu ketika Fukube berkunjung ke kota tempat tinggalnya.

Sayangnya, kelinci tersebut tak dapat bertahan lama. Setelah beberapa bulan memeliharanya, (Y/n) kembali kehilangan untuk yang kedua kalinya. Meskipun hanya seekor binatang peliharaan, (Y/n) sangat menyayanginya, bahkan ia menangis kencang ketika kedua orang tuanya mengubur kelinci itu.

Fukube yang masih kecil juga belum mengerti banyak, tetapi melihat (Y/n) yang terluka begitu menyayat hatinya, seakan ia merasakan luka yang sama. Di usianya yang sangat dini, (Y/n) cukup hancur kehilangan beberapa hal yang sangat di sayanginya.

Hingga puncak akhirnya, ketika gadis itu kehilangan sang ayah di usia 8 tahun.

Fukube sangat tau, ia melihat semuanya secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana teriakan frustasi (Y/n) terdengar, tangisnya yang tak henti, pula seberapa terpuruknya gadis itu ketika pertama kali menjalani hari tanpa ayahnya.

Setelah beberapa hari berlalu, (Y/n) menjadi lebih tenang, tetapi kebiasaan melamunnya tidak menghilang. Akita berusaha keras agar anaknya bisa ceria lagi, dengan cara apapun. Dan salah satu yang dilakukannya, adalah mengajak gadis itu jalan-jalan ke pantai.

Sebenarnya karena tinggal di pinggiran pantai, (Y/n) sering pergi ke tempat itu, tetapi akhir-akhir ini memang dirinya jarang pergi ke sana, jadi Akita berinisiatif untuk mengajaknya ke sana.

Namun, lagi-lagi takdir tak berpihak padanya.

Gadis itu, kehilangan kembali untuk yang kesekian kalinya. Dan ini lebih penting dari apapun yang ia miliki di dunia ini.

(Y/n), kehilangan jati dirinya.

Akita begitu frustasi ketika melihat anaknya sendiri, yang ia sayangi sepenuh hati, tidak mengingatnya sama sekali. Fukube tau seberapa terlukanya hati ibu satu anak itu, tapi hebatnya, ketika di hadapan (Y/n) yang tidak tau apa-apa, Akita bersikap begitu tegar, dan memamerkan senyumannya.

Fukube menyaksikan semuanya, ia tau segalanya. Beban berat yang (Y/n) tanggung tak bisa disepelekan, gadis itu sudah melewati banyak hal di usianya yang cukup dini.

Setelah semua itu terjadi, (Y/n) dan ibunya pindah ke Takayama. Dokter memperkirakan trauma (Y/n) berkaitan dengan laut, jadi untuk mencegah hal yang lebih buruk, Akita memilih menghindari tempat itu.

Keduanya tinggal di rumah bekas Nenek Kakeknya yang sudah meninggal. Akita menghidupi keluarganya seorang diri, menjaga dan membesarkan (Y/n) yang masih ragu untuk menganggapnya sebagai ibu.

Selain Fukube dan beberapa kenangan bersama kedua orang tuanya yang berwujud kabur, (Y/n) tidak lagi mengingat apapun, bahkan ia tidak mengenali dirinya sendiri. Tak ada yang mengetahui alasan (Y/n) masih mengingat Fukube.

Namun, dengan sisa ingatannya itu, (Y/n) menjadi semakin lengket terhadap Fukube. Hampir setiap hari ia mengunjungi rumah laki-laki muda itu, terlebih kini mereka berada di kota yang sama.

Fukube terkadang mencoba mengingatkan Akita kepada (Y/n) dan menyadarkannya, sehingga perlahan (Y/n) mulai mengikis jarak walau tidak sepenuhnya. Laki-laki itu juga dengan setia mendengar semua cerita dan keluhan gadis itu.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, keduanya tumbuh bersama, menjadi sepasang manusia dengan wajah menawan yang dimilikinya. Persahabatan terjalin erat, hidup berjalan dengan normal, bahkan mungkin lebih menyenangkan.

Ketika pertama kali pindah ke Takayama, (Y/n) masuk ke SD yang sama dengan Fukube, tetapi tidak dengan SMP, keduanya harus terpisah karena (Y/n) gagal memasuki SMP yang sama.

Dan ketika itulah, (Y/n) mendapat pengalaman buruk yang disebabkan oleh Ryouta. Pembual handal yang mengeluarkan deretan kalimat manis dari mulut, hingga akhirnya menunjukkan taring ketika tujuan yang sebenarnya terungkap.

Sejak saat itu (Y/n) sulit mempercayai seseorang, dia memilih menyendiri, tidak ingin mengambil risiko dengan memilih teman yang salah. Satu-satunya yang gadis itu syukuri adalah, Fukube masih di sampingnya.

Kehidupannya di SMA cukup menyenangkan baginya, terlebih dengan pujaan hati yang sesekali membuatnya curi-curi pandang. Begitu berbunga-bunga, dan normal selayaknya anak SMA biasa.

(Y/n) sekalipun tak pernah berfikir, bahwa hari ini akan tiba.

Saat di mana orang yang berada di pelukannya, adalah orang terakhir yang tersisa yang ia percayai. Gadis itu tidak ingin mempercayainya, tetapi kenyataan memperlihatkan diri begitu jelas di hadapannya.

Siapa yang pernah berfikir Akita akan pergi secepat ini?

Saat ini, (Y/n) hanya mempunyai Fukube di sisinya.

"Fukube-kun, terimakasih masih berada di sampingku hingga saat ini."

Fukube merasakan denyutan pada sesuatu yang jauh dalam dirinya. Ia meringis, lalu memeluk (Y/n) lebih erat untuk meredam suara ringisannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, tetapi tidak membentuk senyum yang sebegitu mestinya.

"Iya."

Setelahnya, (Y/n) menghabiskan malam itu dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia terisak dalam pelukan Fukube, membiarkan keduanya terjaga di malam yang panjang itu, mengeluarkan semua keluh kesah dan beban berat di kepalanya.

.
.
.
.
.

"Udah bangun?"

Gadis itu melirik jam dinding sekilas, menatap jarum yang mengarah pada angka lima. Pasti langit di luar sana sedang menggambarkan perpaduan antara oranye dan biru gelap, bersiap berganti suasana.

Atensinya kembali beralih pada Fukube yang duduk di sofa, menatapnya. Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Kakinya mulai bergerak maju, sementara Fukube menggeser dirinya agar (Y/n) bisa duduk di sampingnya. Ia membiarkan gadis itu bersandar lelah, masih menutupkan matanya.

Setelah menangis hingga dini hari, (Y/n) tidur dengan nyenyak seharian penuh. Gadis itu juga meminum obatnya, hanya satu tablet, demam (Y/n) mungkin sudah turun saat ini.

"Fukube-kun," panggilnya.

"Hm?"

Ia menundukkan kepala, menautkan jari-jarinya. "Aku minta maaf." mendengar kata itu, lantas kepala Fukube menoleh. "Maaf, aku terlalu egois, tidak seharusnya aku menunjukkan sikap seperti itu."

Siku (Y/n) mulai bertumpu pada pahanya, sementara kedua telapak tangan menopang wajah yang menunduk lemas. "Kau kesusahan karena aku, ini salahku, aku benar-benar minta maaf."

Sebuah senyum tipis terpatri. Tatapannya mengarah lembut, lalu menggerakkan tangannya untuk meraih tubuh sang gadis, membawanya pada pelukan yang begitu hangat. "Tidak apa." Fukube mengusap rambut (Y/n) pelan. "Aku mengerti, ini berat bagimu, kau berhak bersikap seperti itu."

(Y/n) menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, kembali terisak dalam pelukan Fukube. Gadis itu merasa sangat bersalah, ia merepotkan semua orang hanya karena masalahnya, ia juga memicu pertengkaran dengan Kei, semua adalah salahnya.

Ia benar-benar merasa bodoh, padahal masih banyak orang yang memiliki masalah lebih berat darinya, (Y/n) merasa sikapnya sangat kekanak-kanakan, bahkan mungkin lebih parah.

Tangan Fukube masih setia mengusap rambut (Y/n), menenangkan gadis yang begitu rapuh di hadapannya. Sejujurnya Fukube bingung, mengapa Tuhan memberikan ujian seberat ini terhadap (Y/n), Fukube tidak sanggup melihat (Y/n) tersiksa seperti ini.

"Yang paling penting, kau siap untuk besok?"

Pertanyaan Fukube membuat (Y/n) mematung sejenak. Kepala gadis itu terangkat, posisinya yang masih berada dalam pelukan Fukube membuat wajah keduanya berhadapan begitu dekat.

Ia menganggukkan kepala lemah. "Iya, aku siap."

"Kau yakin? Kau tidak perlu memaksakannya jika itu masih melukaimu."

Gadis itu mengalihkan tatapannya sejenak, lalu mengedipkan mata lemah. "Aku yakin, Fukube-kun."

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

28.8K 4.8K 53
Zombie apocalypse itu benar benar terjadi? Bagaimana dengan (Name)? Apakah dia bisa melewati nya? Tanpa diduga nya, (Name) adalah orang yang terincar...
197K 9.7K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
155K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
252K 37.4K 73
Haruhi, perempuan yang mulai menyukai sepak bola karena kagum dengan permainan seseorang. Namun ia tidak diperbolehkan ikut bertanding di klub sekola...