GIOFI (TERBIT)

By Rifannah_

15.2K 3.1K 1.5K

Syafika dituntut untuk menjadi seperti kakaknya yang sukses di dunia kerja. Dia harus meraih nilai sempurna... More

● PROLOG ●
01 - Sistem Unik
02 - Apa yang Salah?
03 - Risi Sebangku
04 - Hindari Sebangku
05 - Tolong Kembali
06 - Jadi Itu, Gio?
07 - Aksi Terbaik
08 - Fakta dan Opini
09 - Sudut Kelompok
10 - Jefri Curiga
11 - Di Bawah KKM
12 - Seleksi Teman
13 - Tak Lama Lagi
14 - Harus Bersama
15 - Nilai Ulangan
16 - Pengakuan di Pengumuman
17 - Sidang Kejujuran
19 - Dua Insan Pusat Perhatian
20 - Beauty Privilege
21 - Kalimat yang Sama
22 - Lukisan Gio
23 - Orang yang Dilukis
24 - Goresan dari Ucapan
25 - Cari Penyakit
26 - Merindu Momen
27 - Ya, Fi dan Ya, Gi
28 - Hasil Bujuk
29 - Nekat Tanya
30 - Teori Kesepakatan
31 - Sebotol Air Mineral
32 - Protagonis dan Antagonis
33 - Ramai Diserang?
34 - Tak Sesuai Harapan
35 - Biang Keladi
36 - Masa Kelam
37 - Katakan Damai
38 - Karena Jeritan
39 - Sumpah dan Sampah
40 - Minta Maaf
41 - Meluruskan Cerita
42 - Tarik Balik!
43 - Pemicu Prinsip
44 - Malam Emosional
45 - Bagian Rencana
46 - The Monster
47 - Jefri
48 - Janji Baru
49 - Giat Belajar
50 - Remaja Penuh Drama
● EPILOG ●
● GIOFI'S Arts ●

18 - Sesal pada Pencapaian

219 59 36
By Rifannah_

"Terkadang, yang sudah rendah akan dianggap menjadi orang yang paling salah. Padahal, mereka tak tahu saja siapa dalang di balik semua masalah."

= GIOFI =

"Ada apa Kak?" tanya Afi ketika dirinya sudah sampai di kursi halaman belakang. Jantungnya berdegup kencang, tak keruan. Kalau Jefri sudah memanggilnya seperti ini, biasanya topik yang akan dibahas bukan sembarangan.

"Sekarang jujur sama Kakak, sekali aja, atau Kakak nggak bakal percaya lagi sama kamu," tegas Jefri dengan tatapan tajam, ekspresi dendam, juga rahang mengatup kuat. "Kamu duduk sama Gio di kelas?"

Afi menunduk, lama menjawab.

"Oh ya sudah, Kakak nggak bakal percaya—"

"Iya. Soalnya cuma dia yang baik di sana. Kakak sendiri yang bilang kalau Afi harus hati-hati sama Henry, Yura, Heni. Yang bisa Afi percaya cuma Gio," jelas Afi sekalian jujur.

"Kamu yakin dia baik?" Kini wajah pria itu berubah tak percaya. "Dia peringkat satu di jurusan IPS dan ternyata dia duduk sama kamu yang sebelum ini peringkat satu juga. Kamu yakin masih bisa berpikir positif ke dia, Fi?"

"Iya, soalnya Afi percaya."

Jefri menghela napas lalu tertawa miris. "Kamu dimanfaatin."

"Enggak."

"Kenapa kamu yakin kalau dia nggak manfaatin kamu?" tanya Jefri, mencoba menguak lebih dalam dengan pertanyaan berputar. "Hm? Nggak bisa jawab? Kenapa? Kamu suka sama dia Fi?"

Afi diam dan menunduk.

"Oke, Kakak dapat jawabannya." Jefri menggelengkan kepala. "Kamu ... turunin nilai demi sekelas lagi sama dia?"

Ah, memang selalu tepat dugaan pria ini terhadap Afi di segala aspek.

"Kamu diam, berarti iya. Ya ampun Afi, istigfar, bisa-bisanya kamu rela turunin nilai demi sekelas lagi sama cowok. Padahal Kakak sudah kasih kepercayaan sama kesempatan untuk kamu ngelakuin yang Kakak saranin, supaya aman, jaga pertemanan.

"Kakak percayakan sama kamu, nggak Kakak tegasin terus-menerus, Kakak biarkan kamu yang jalankan sendiri tanpa perlu dibimbing selalu supaya nggak risi, tapi kamu malah begitu. Salah arah. Mau aja dimanfaatin. Plot twist terbesar, ternyata cowok itu berhasil manfaatin kamu terlalu rapi sampai-sampai kamu nggak menduga kalau dia bakal rebut peringkat kamu secara langsung."

"Gio memang nggak manfaatin Afi."

"Tapi kamu kasih dia kisi-kisi dari les Pak Mujiarto? Sudah Kakak tebak Fi."

Terpaksa Afi diam lagi.

Jefri berdecak kesal, kontan berdiri menjauh. "Ya sudah, terserah kamu mau mikir apa ke dia, Fi. Kalau Ibu sama Bapak kecewa sama kamu di nilai, Kakak lebih kecewa ke ini. Kamu nggak belajar dari masa lalu.

"Kamu tahu Kakak juga pernah dimanfaatin teman, kita punya pengalaman sama, tapi kamu dengan santainya mau aja dimanfaatin lagi tanpa mikir risiko yang kamu dapat. Untung cuma nilai yang kamu turunin bukan harga diri."

Tangan Afi terkepal kuat saat melihat Jefri berlalu dari hadapannya. Omongan Jefri barusan membuat Afi kembali teringat dengan kejadian masa lalu. Darah yang tersisa pada penggaris besinya, teriakan anak-anak yang terkejut melihat kepala anak lain berdarah, laporan guru bimbingan konseling, dan cecak yang dimasukkan ke baju kemeja, kembali muncul di pikiran.

Sejak kejadian itu, pertemanan Afi dibatasi.

Afi tak suka bila Jefri merasa bahwa mereka memiliki pengalaman yang sama, padahal jauh berbeda.

Jefri melangkah menuju pintu lalu berhenti sebentar. "Oh ya, turunin nilai demi sekelas lagi sama cowok yang kamu suka itu sebutannya sudah menurunkan harga diri, sih, Fi. Nggak ada bedanya. Standar kamu yang sebelumnya tinggi, sudah terpandang rendah di mata Gio. Cowok itu pasti lagi ketawa menang sekarang sudah dapat predikat membanggakan, apalagi dapat beasiswa.

"Sudah, jangan berteman sama dia lagi. Bulan ini kamu nggak akan Kakak antar jalan keluar buat liburan apa pun, termasuk ketemu empat teman kamu yang kamu arahkan untuk berbohong juga, anggap aja ini latihan buat introspeksi diri."

Dan kini, Afi semakin dibatasi.

* * *

Indah sekali. Benar-benar indah.

Semua barang yang bisa jadi mainan Afi dalam melepas penat atau hal gila dari pikirannya sudah disita. Tak ada lagi ponsel, MacBook, bahkan teman selama libur semester hampir dua bulan. Yang bisa dia lakukan hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Mau melakukan pembelaan pun Afi tak bisa, pastinya sudah disergah duluan.

Kini, di dalam kamarnya, tepat di depan jendela, Afi merenung dan menyesal. Terlalu banyak hal mengagetkan yang terjadi hari ini, membuatnya ingin membanting segala barang.

"Seharusnya gue nggak gitu kemarin, bego banget, sih!" Afi menepuk pelipisnya. "Padahal udah jelas, si Gio bilang kalau dia nggak mau, lo kenapa malah maksa?!" Lanjut, cewek itu menampar dirinya sendiri.

Emosi Afi perlahan memuncak. Dia menjerit tertahan, tangannya terulur untuk mengacak, menjambak rambut lurusnya sendiri, menampar pipi, dan melempar segala barang yang berada di meja belajar. Terakhir, Afi melempar kursi yang dia duduki ke arah lemari hingga patah di bagian sandaran.

Air mata Afi keluar. Dia pun langsung menutup mulutnya agar tidak terdengar oleh orang di luar kamar. Ingin rasanya dia berteriak keras ketika segala hal yang sudah direncakan, ternyata berbanding terbalik dari harapan. Hanya rasa sesal yang tersisa. Seperti pepatah, penyesalan itu selalu datang belakangan.

"Afi? Kenapa?" Itu suara Jefri.

Suara pintu yang diketuk menghentikan tangisnya. Afi menyeka ujung mata dengan cepat dan kasar, lantas berjalan menuju pintu kamarnya yang dikunci. Cewek bermata sipit itu bercermin sebentar untuk memastikan dirinya tidak terlihat seperti orang baru menangis.

Namun, dengan wajah merah padam seperti ini, sudah pasti akan ketahuan. Afi pun tak mau membuka pintu, hanya menjawab panggilan itu dari baliknya.

"Nggak papa, tadi cuma jatoh dari kursi aja," jawab Afi, bohong untuk kesekian kali dalam sehari. Padahal dia tahu, semakin banyak kebohongan yang diucapkan justru akan menambah kesusahan kelak pada diri.

"Kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Buka pintu dulu." Jefri tetap mengetuk.

"Nggak bisa, lagi ganti baju." Lagi, Afi berbohong.

"Oh, ya sudah, jangan ngamuk-ngamuk." Mau sebanyak apa pun Afi berbohong, Jefri tetap saja bisa menebaknya dengan tepat. "Besok kamu belajar naik motor, jadi Kakak nggak perlu anter kamu ke mana-mana lagi."

"Eh, beneran?" Kunci pintu kamar cepat-cepat Afi buka.

"Kalau sampai Kakak lihat besok di kamar kamu ada yang rusak, ya nggak jadi."

Jatuh harapan lagi untuk kesekian kali, Afi kembali mengunci pintu. "Ya udah, nggak usah aja."

"Oh, berarti memang ada yang rusak. Bohong lagi, bohong lagi, panen dosa kamu, Fi," tebak Jefri sambil berjalan menjauh dari kamar adiknya. "Beli novel besok mau nggak?"

"Nggak! Nanti kalau Kak Jef udah lihat apa yang rusak pasti nggak jadi!" sahut Afi dari dalam. "Nggak jelas."

"Loh? Beneran ini, mau dulu apa enggak?" Jefri bertanya dari posisinya di depan televisi, menonton berita.

"Kalau ada pengecualian lagi, nggak mau!" Afi kini bersandar pada pintu kamarnya. "Udah, fokus nonton televisi sana!"

Jefri di luar tertawa kecil. "Kali ini nggak ada pengecualian. Sekali lagi Kakak tanya, mau nggak?"

"Nggak!"

"Yang bener?"

"Iya! Hush, hush!" Pintu kamar Afi terbuka, dia terlihat mengintip. "Ta-tapi kalau beli dua, baru mau."

Senyuman Jefri merekah. "Ya sudah, besok. Jangan ngamuk-ngamuk lagi ya."

"Iya, enggak." Afi kembali menutup pintu dan merapikan semua barang yang dia hambur tadi, termasuk kursi yang sudah rusak juga dia perbaiki dengan lem.

"Ampuh." Jefri kembali menonton televisi dengan tenang.

* * *

Sejak pertama bertemu, Gio hanya ingin menjadi orang yang—kalau bisa—di bawah Afi, tetapi termasuk dalam sepuluh orang penerima beasiswa. Bukan melampaui gadis itu terlalu jauh.

Kini, cowok itu hanya mampu merenung meratapi pretasinya hari ini.

"Gio, Nak!" Ibu Gio muncul dari balik pintu dan menghampiri putranya. Begitu pintu terbuka, senyumnya merekah. "Sudah bilang ke orang itu?"

"Loh, Ibu bangun lagi?" Gio berbalik dan meletakkan mahkota peringkatnya di atas kasur yang teronggok di lantai.

"Ibu aslinya denger aja kamu melangkah masuk tadi. Gimana, sudah bilang ke orang itu?"

"Ehehe, iya Bu."

"Alhamdulillah." Sumia—Ibu Gio—kontan berlutut dan melihat rapot putranya. "Sampai dapat mahkota warna emas loh, coba ini beneran emas ya. Ibu jual pasti. SMA Darwijaya ada-ada aja kalau ngasih hadiah, selalu di luar dugaan."

Gio ikut tertawa. "Kalau emas asli, sih, mungkin mahkota ini nggak bakal ada di sini Bu. Sepulang sekolah langsung Gio jual pokoknya. Ehm, tapi coba beneran asli ya? Sayang banget. Sebenernya percuma aja, sih, dapet mahkota palsu doang, buat pajangan. Serasa menang ajang pageant."

"Nggak papa, lho, buat kenang-kenangan. Oh ya, kamu jadinya dapet beasiswa buat sekolah?" Sumia bertanya dengan mata berbinar.

Gio mengangguk. "Alhamdulillah, iya Bu. Soalnya Gio masuk peringkat satu di jurusan IPS. Kalau antar jurusan digabung satu angkatan, Gio dapat peringkat dua, selisih empat angka sama yang juara di IPA. Kan, sepuluh orang yang dapet peringkat di tiap angkatan bakalan dapet beasiswa."

Sumia lantas mengusap kepala Gio. "Bangga Ibu, Nak. Kamu jadi nggak perlu ngemis-ngemis lagi ke orang itu."

Ekspresi Gio berubah. "Ngemis-ngemis, maksud Ibu?"

Sumia tetap menyunggingkan senyum. "Jangan lagi main ke sana, ya. Ibu nggak mau lihat kamu dapet tatapan sinis. Ibu nggak mau kamu dianggap pengemis sama mereka, cuma demi dapetin uang buat sekolah."

Gio menghela napas lalu menggeleng. "Nggak papa Bu, mereka udah anggap Gio kayak keluarga gara-gara ranking ini. Ibu tenang aja."

"Kalau misalnya, nanti ranking kamu turun dan kamu kembali dianggap rendah sama mereka, ya sudah, jangan datang lagi. Kamu nggak usah mempersusah diri. Penghasilan Ibu aslinya cukup buat biayain kamu sekolah, jangan kamu jadikan dirimu lebih rendah, Nak," jelas Sumia dengan wajah khawatir. "Karena kamu sekarang udah dapet beasiswa, itu artinya kamu nggak perlu ke sana lagi, kan?"

"Tapi Bu, Gio akhirnya dibangga-banggain ayah di depan sahabatnya," sambungnya meski itu menyakitkan. "Hari ini, ayah juga ngajak makan malam di rumahnya."

"Nggak usah ke sana," pinta Sumia seraya menggenggam tangan putra semata wayangnya.

"Lebih baik Gio ke sana. Nggak akan ada yang tahu kesempatan emas kapan datangnya Bu. Gio butuh itu." Senyumnya merekah, membuat siapa pun yang melihatnya ikut terbawa suasana ceria. Gio berdiri dan mempersiapkan diri untuk pergi makan malam di rumah ayahnya.

"Hati-hati, Gi."

"Selalu Bu, jangan khawatir."

Gio hanya mampu mengenakan pakaian serba hitam, kemeja dan celana hitam. Sangat sederhana. Jika Gio nanti berdiri dengan sahabat ayahnya juga anak-anak sepantarannya, sudah pasti dia terlihat amat sederhana. Namun, itu tak menjadi masalah untuk Gio, asalkan dia sudah dianggap menjadi salah satu anak ayahnya, maka dia mensyukuri segala apa pun yang dia dapat.

Begitu motornya sampai di halaman depan rumah besar dengan dua lantai, Gio berhenti sebentar karena ponselnya tiba-tiba berdering. Panggilan dari ayahnya, Gio gesit menerima.

"Halo, Gio di mana?"

"Sudah di depan rumah, Yah."

"Oh, ya sudah, langsung masuk ke ruang makan. Anak sahabat Ayah udah ada yang nungguin kamu."

Gio mengetuk pintu rumah dan langsung disambut Gerald—kakak yang berbeda ibu dengannya. Dia pun dibimbing untuk berjalan menuju ruang makan di mana ayahnya, para sahabat, dan anak masing-masing dari mereka berkumpul.

Semua menyambut dengan heboh. Ada yang kontan menyalami, menawarkan makanan, merangkul, juga memuji Gio. Mereka bilang, Gio amat mirip dengan ayahnya saat masih muda, Gio cerdas sekali sampai bisa mendapatkan peringkat satu di jurusan IPS angkatan 17 SMA Darwijaya, dan Gio adalah anak yang tampan nan kekar, sudah seperti atlet.

Malam itu, Handoko—ayah Gio—merangkul putra keduanya dengan bangga, membuat Gio merasa berharga karena sudah dilahirkan ke dunia walau disebut sebagai anak istri kedua yang hanya sah secara agama.

Di malam yang indah ini, Gio bertemu dengan dia.

= GIOFI =

Sebentar lagi lebaran sobat.
Minal 'Aidin Wal Faizin.
Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga amal ibadah kita semua diterima oleh Allah SWT, semoga dosa-dosa kita yang disengaja maupun tidak diampuni oleh Allah SWT, dan semoga tahun depan kita masih bertemu dengan bulan Ramadhan. Aamiin.

Jumpa lagi di part selanjutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

SAUJANA By Nula

Teen Fiction

1K 516 39
Mari kita bersama selamanya. Tanpa memperhatikan dari jauh, dan tanpa rasa sakit. "Kesempatan hidup di bumi yang fana ini hanya satu kali, Rin, dan...
636K 43.9K 96
(Sebelum baca dimohon persiapkan hati kalian terlebih dahulu karena terdapat banyak LUKA di dalamnya) -Aku, Kamu, dan Masa Lalu- Namanya Naushafarin...
2.8K 1.5K 28
Kharisma Awandara merupakan kapten basket SMA MATAHARI. Pria yang wajahnya sesuai dengan namanya, berkharisma, begitu juga dengan otak pria itu. Nam...
597 167 47
Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya akulah yang kaumiliki di dun...