Sekitar tiga belas pemuda membentuk dua barisan vertikal yang menghadap langsung ke dua pintu. Sisa dua pemuda lagi berada di dalam kamar mandi pertama dan kamar mandi kedua yang saling bersebelahan.
Kebanyakan dari mereka yang mengantre terlihat berwajah bantal hingga berlumuran air liur basi. Masing-masing dari mereka pula membawa handuk beserta perlengkapan mandi yang minimalnya berupa sikat dan pasta gigi. Tak jarang mereka menyediakan gayung, sabun dan shampoo sashet meskipun perlengkapan tersebut sudah tersedia dari sana.
Beberapa dari mereka menguap lebar-lebar, mengucek-ngucek mata akibat rasa kantuk yang kian mendera sampai ada pula yang menyempatkan diri untuk menggosok gigi terlebih dahulu di kala menunggu giliran yang akan membuat jenuh.
Pada dua barisan paling belakang, terdapat Hendra dan Umar berbaris di barisan kamar mandi pertama. Lalu Joshua dan Dodit di barisan kamar mandi kedua. Keempatnya juga dilanda rasa jenuh yang menjerat tiada ampun.
Sehingga membuat Umar bersedekap, memejamkan mata sesaat, acuh tak acuh terhadap kegaduhan di barisan paling depan oleh orang-orang tak sabaran.
Sedangkan Hendra bergumam sumpah serapah, mengakibatkan orang di depannya terusik setelah sesaat beradu mulut yang untung saja tidak menarik perhatian yang lain.
Dodit dengan hati gundah, menangkupkan kedua belah tangan kepada Tuhan supaya antrian menjadi tenang dan longgar.
Sementara itu, Joshua memiringkan kepala ke samping kiri, menyaksikan orang-orang berteriak dan menggedor-gedor kedua pintu kamar mandi hingga akhirnya dua orang di dalamnya menampakkan batang hidung dengan pakaian yang sudah berganti.
Tiga belas pemuda itu menghela napas lega setelah menunggu tujuh menit yang lalu.
Joshua dan yang lainnya maju selangkah setelah barisan paling depan masuk ke dalam kamar mandi.
Tak sampai satu menit dua pemuda tersebut tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan ekspresi yang sama panik.
"Eh kenapa tuh?" tanya Joshua menelisik sambil menggoyang-goyangkan bahu Hendra dari samping.
Namun, Hendra tampak masih marah terhadap rekan kerja yang berdiri membelakanginya.
Sejurus kemudian Umar lebih dulu menimpali.
"Air kerannya mati lagi tuh, Josh. Hampir tiap bulan ini air keran mati terus."
"Gawat! Aku sudah memecahkan rekor tiga hari nggak mandi-mandi!" jerit Dodit sesaat. Mengundang tatapan aneh Joshua ketika Dodit mengangkat kedua lengan sembari mengendus lama kedua sisi ketiak layaknya merasakan sensasi bau parfum mahal.
"Ahh mantap," ucap Dodit kemudian melirik ke arah Joshua yang tak berkedip sedikitpun.
"Mau nyoba, Josh? Rasanya sama kayak jeruk kasturi tapi yang ini jauh lebih asam," tawar Dodit menyeringai sembari menyodorkan ketiak yang sedikit membasahi lengan kausnya.
"Nggak Mas Dodit ... makasih," tolak Joshua sambil tersenyum kecut sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya.
Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Orang-orang ternyata sudah bubar dari barisan, sebagian dari mereka berpencar ke segala arah dan duduk selonjoran di lantai, beberapa dari mereka juga nampak ada yang meyambangi ke ruangan Marzuki untuk mengajukan keluhan.
"Apa Pakde belum bayar tagihan air PAM bulan ini?" tanya Hendra dibalas gidikan bahu oleh Umar.
Untuk pertanyaan itu sendiri tak perlu mendapatkan jawaban pasti karena semuanya sudah jelas sekarang.
***
***
Joshua tak habis pikir dengan apa yang terjadi belakangan. Minggu lalu, kedai ini mengalami insiden mati lampu dengan alasan yang serupa, belum bayar tagihan listrik. Namun, orang-orang malah menormalisasi seakan-akan hal itu tak lebih dari hal lumrah dan secara ajaib dapat ditangani dengan mudah.
Joshua sempat berpendapat kalau itu merupakan pemandangan biasa yang terjadi di sini, tidak seperti ketika dia tinggal di sana, yang jarang kali ada pemadaman listrik ataupun air keran.
Pas sekali, tuan rumah yang sedang diperbincangkan hangat akhirnya menunjukkan diri. Sehingga sekumpulan pemuda yang tepar di lantai kembali berdiri tegak, beramai-ramai menghampiri ke arah bos mereka.
"Pakde, jadi gimana? Kami semua nggak bisa mandi gara-gara air mati!" tanggap salah satu dari mereka.
"Iya Pakde, ditambah air PAM belakangan ini menunggak tiap bulan." Yang lain juga menimpali.
Lantas Marzuki menimang-nimang sembari memijat kening. Lalu perhatiannya kembali tertuju ke semua anak buah yang mengerubungi dirinya, sedang meminta penjelasan.
"Sebelumnya saya kan sudah pernah bilang ke kalian semua, saya nggak akan nambah anggaran kalian di luar kebutuhan. Bila pemakaiannya melebihi batas, itu artinya kalian sendiri yang harus membayarnya."
"Pak, mohon maaf. Tapi di antara kami sudah berhemat-hemat. Satu orang pemakaiannya hanya seember dan ada pula yang rela nggak mandi berhari-hari. Masa kita yang bayar?!"
"Bukan masalah hemat atau tidaknya, anggaran itu sendiri yang salah dipergunakan dengan hal yang nggak-nggak!" ketus Marzuki, setengah mengolok-ngolok.
"Atau mungkin bapak gunakan sebagian dari anggaran demi kepentingan sendiri? Kemarin bapak sendiri yang bilang, kalau ada masalah langsung konsultasi pada bapak. Inilah yang kita tunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Berharap ada kerja samanya? Dan bapak harus sadar, semua yang telah diupayakan untuk Kedai ini berkat bantuan kami, sementara bapak yang mengaturnya."
Salah satu pemuda tampak menggebu-gebu mencurahkan isi hatinya kemudian disetujui anggukan oleh beberapa pihak.
Marzuki membuang napas berat, begitu karyawan-karyawannya semakin memanas.
"Jadi kami mohon jangan salahkan kami dalam hal ini. Karena tanggung jawab atas ketersediaan fasilitas untuk kami itu bapak! Hanya itu saja Pak. Biar kami yang bekerja dan bapak urus apa yang menjadi tanggung jawab bapak."
Ketika Marzuki ingin menyela percakapan, pemuda itu kembali meneruskan.
"Terserah pada bapak, kami bisa kapan saja mengundurkan diri atau bapak sendiri yang turun tangan lalu memecat beberapa di antara kami? Tapi bapak tahu sendiri apa konsekuensinya kan?"
Marzuki terdiam, tak dapat menyanggah sampai giginya bergemetaran.
Situasi menjadi kacau balau sekarang dan tampak semua karyawannya berpihak pada tanggapan pemuda tersebut.
"Seandainya bapak sejak itu nggak—"
"Cukup! Jangan diteruskan!"
Umar tiba-tiba menengahi sehingga membuat rekan-rekannya membisu. "Kita kan sudah tahu apa yang telah dialami Kedai Sejahtera akhir-akhir ini?"
Tak berselang lama, pemuda yang lain menghampiri Marzuki sambil memberikan sepucuk surat yang tergeletak di atas meja makan.
"Pakde, ini dari petugas PLN, katanya bapak minggu lalu baru menyicil tagihannya saja. Jadi uang yang seharusnya bapak bayarkan sebagiannya lagi pasti untuk urusan itu kan?" tekannya. "Dan uang tagihan air PAM pasti untuk urusan itu juga?"
Marzuki membuang wajah sebisa mungkin agar dia tidak bertemu tatap secara langsung dengan mata karyawan-karyawannya.
Pria itu melepaskan kacamata, mengusap wajah dari pangkal kening hingga ke ujung dagu.
"Pak, kami nggak masalah untuk hal itu, malah kami bersyukur sudah mendapatkan pekerjaan dari bapak dan mau terbuka pada kami," ujar pemuda yang lain pula.
Marzuki menunduk sekejap lalu memalingkan kembali perhatian menyeluruh ke semua anak buahnya. Dia tersenyum pahit sambil menggenggam sepucuk surat hingga remuk.
"Baiklah ... semuanya kembali bekerja, biar selebihnya saya yang tangani."
Semua pemuda mengangguk lalu bubar dari tempat.
Sinar mentari mulai meninggi dari pandangan lalu menembus sepenjuru ruangan.
Joshua berjalan perlahan menuju tangga dengan raut penuh tanda tanya.
"Hen, tadi itu apa?"
Hendra berhenti di anak tangga ketiga kemudian berbalik badan.
"Josh ...." Dia melirih, berpikir sejenak untuk memilah kata yang tepat.
Joshua tahu ada hal yang tidak beres dari cara bicara Hendra yang dibiarkan melantur-lantur, tidak seperti Hendra yang biasanya Joshua kenal.
"Agak rumit kalau aku jelaskan padamu, Josh. Kamu akan tahu sendiri kalau kamu tanyakan langsung sama Pakde." Dia menepuk pundak Joshua, lantas berlalu menaiki tangga.
Hendak saja naik menyusul, Joshua sekilas berbalik badan dan mendapati Marzuki masih berada di sana, terduduk lesu. Melihat keadaan Marzuki yang demikian, Joshua tahu pria itu masih tertekan usai perbincangan tadi.
Hlm 11 | Jendela Joshua