FAR

By SyifaZali

118K 18.7K 1.6K

Mungkin beginilah rasanya menjadi istri yang tak diinginkan. Menjadi pasangan yang tidak pernah didamba. Aku... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 44
Epilog
Free Chapter πŸ™Š
INFOO

Chapter 43

2K 369 74
By SyifaZali

Alfarez dan korneanya
.
.
.
🍁🍁🍁

Point Of View:

"Dok, bagaimana keadaan teman saya? Baik-baik saja, kan?" Pria yang baru sadar dari mimpinya itu langsung mencengkram tangan dokter yang berada disampingnya. Dokter itu menghela nafas.

"Kondisi anda lebih kritis daripada teman anda. Teman anda mengalami luka dibagian korneanya. 98% kemungkinan dia mengalami kebutaan setelah pulih." Aufar menghembuskan nafas pelan. Ia mengingat mata Farez tadi mengeluarkan banyak darah, mengerikan sekali. Melihatnya saja sudah bisa merasakan bagaimana sakitnya.

"Dok, hape saya mana?" Tanya pria itu ketika mencari ponselnya disaku tidak ada. Sekujur tubuhnya sudah serasa mati rasa. Dia hanya menggerakkan tangan dan organ wajahnya saja.

"Ini, saya dapet dari Perawat diluar. Keluarga anda juga sudah dikabari." Jelas dokter itu membuat Aufar berdecak. Pria itu hanya ingin menangis sekarang, merasa tidak berguna. Ia sudah berjanji dengan jari kelingking bahwa ia akan kembali.

"Kaki anda mengalami cedera parah. Dan itu membuat kaki anda harus diamputasi. Pendarahan pada kaki anda—"

"Dok, apa ada kerusakan lain selain kaki saya?" Aufar memotong pembicaraan dokter itu. Dokter itu menatap mata Aufar lekat.

"Karena mungkin penyelamatan agak terlambat, anda juga mengalami Trauma tumpul di dada. Trauma tumpul di dada dapat membuat penumpukan udara di paru dan ini merusak paru dan jantung," Aufar menghela nafas.

"Saya paham tentang penyakit itu. Dok, boleh minta tolong?" Tanya Aufar membuat dokter itu kembali menatap pasiennya. Bagi seorang dokter, berusaha yang terbaik adalah kesehariannya.

"Pindahkan kornea mata saya kepada teman saya, Alfarez." Aufar memegang tangan dokter itu ketika dokter itu menggeleng.

"Anda bisa sembuh jika tuhan berkehendak. Lagipula, operasi pemindahan mata hanya bisa dilakukan ketika orang tersebut sudah meninggal." Jelas dokter itu.

"Trauma tumpul di dada? Dokter yakin? Traumatis ini sudah membuat 99% orang meninggal. Dan saya sudah merasa tercekik sekarang." Jelas Aufar membuat dokter itu meneteskan sedikit air matanya. Ternyata pasiennya sungguh pandai.

"Tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter itu meyakinkan pasiennya. Aufar menggeleng.

"Saya ingin mendonorkan mata saya kepada Alfarez, dok."

"Donor mata itu perlu persetujuan keluarga, tidak sembarangan." Sangkal dokter itu masih tidak menerima keputusan dari pasiennya yang keras kepala.

"Saya hanya memiliki istri. Dan satu-satunya keluarga saya yang sudah menemani saya dari dulu sampai sekarang hanya Alfarez. Dok, izinkan saya membalas Budi." Pinta Aufar. Pria itu berkaca-kaca. Dadanya bergejolak.

Paru-parunya sesak, ia mulai kesulitan bernafas. Dokter itu mengangguk. Beberapa saat kemudian, dokter itu keluar dari ruangan Aufar, meninggalkannya sendirian dengan alat bantu yang sudah dipasang di tubuh pasiennya.

Aufar mengambil ponselnya untuk merekam sesuatu. Ia ingin meninggalkan beberapa pesan penting.

Ia menghela nafas, mengingat kisah Rasulullah yang terakhir ia baca. Ia membaca kisah kekasih Allah itu tentang Amul Huzni, yakni tahun kesedihan yang terjadi pada tahun ke 10 masa kenabian. Dimana beliau harus kehilangan Abu Thalib sebagai pamannya, dan Sayyidatina Khadijah sebagai istrinya.

Aufar melirik buku tulis yang ditinggalkan dokter itu berada di atas meja disampingnya. Mengambilnya lalu merobeknya sedikit. Pena dokter itu juga tertinggal. Dengan sedikit tenaganya ia menulis sebuah kalimat yang sedari tadi terlintas didalam benaknya.

"Setelah membaca kisah Rasulullah, Aku ingin pernikahan kita seperti pernikahan Rasulullah dan Sayyidatina Khadijah, namun diperjalanan, Sayyidatina Khadijah harus pergi meninggalkan Rasulullah. Dan ternyata, aku juga harus pergi meninggalkanmu."

Matanya memanas, membuat kepalanya semakin pening. Ia menyelipkan kertas itu dibelakang casing ponselnya itu. Ia menghela nafas, mengingat segala dosa-dosanya di masa lalu. Dadanya sesak.

Ia mengingat ucapan Rasulullah ketika beliau mengalami sakaratul maut. Rasulullah hanya memanggil, Ummatku, Ummatku, dan Ummatku. Aufar menangis, ia takut jika nanti di Yaumul akhir ia tidak termasuk dalam golongan "Ummatku" itu.

"Ya Rasulullah, Maaf, aku terlambat." Aufar menangis membuat dadanya yang sudah sesak bertambah sesak. Nafasnya tak beraturan. Mulutnya lalu berdzikir, mengucapkan kalimat yang jarang sekali ia sebut selama hidupnya.

"Subhanallah, wa Alhamdulillah, wa Lailahaillallah,wa Allahu Akbar."

🍁🍁🍁

Mata Alfarez terbuka setelah empat hari koma. Kamarnya sudah berpindah. Matanya langsung tertuju kepada perempuan yang sedang mengaji menggunakan mukena berwarna putih diatas sajadahnya. Suaranya merintih.

"Eh, udah bangun." Wanita itu mengusap air matanya. Matanya sembab. Farez menggerakkan tangannya. Menatap sekeliling ruangan itu. Ruangan putih itu membuatnya tau bahwa kini dia sedang di kamar rumah sakit.

Ia memegang kepalanya ketika mengingat sesuatu. Kecelakaan. Ia mengingat wajah Aufar yang menahan kesakitan sebelum ia benar-benar tidak bisa melihat.

"Au-aufar dimana?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut pria itu membuat Maida menutup mulutnya. Membelakangi pria itu agar tidak menangis lagi. Bi Suni yang baru datang itu tergopoh-gopoh.

"Alfarez  sudah bangun?" Bi Suni memeluk pria itu sambil menangis. Maida yang melihat pemandangan itu justru menangis.

"Aufar dimana, Bu?" Pertanyaan itu terulang dari mulutnya namun ditujukan kepada bi Suni. Bi Suni menatap Maida. Keduanya saling bertatapan membuat tanda tanya besar dikepala pria yang baru saja bangun itu.

"Kamu bisa melihatnya setelah pulih. Makanya, cepat pulih, ya?" Kata Maida sedikit gemetar. Farez mengangguk tersenyum.

"Pas kecelakaan, gue kira, gue bakal buta karena pecahan kaca itu masuk dan merusak mata gue." Farez tersenyum mendapati matanya baik-baik saja. Maida menutup mulutnya, menahan agar suaranya tidak terdengar pria itu.

"Alhamdulillah," kata bi Suni lalu menatap Maida sesekali.

"Semoga Aufar baik-baik aja." Pria itu tersenyum senang, medapati semuanya baik-baik saja. Ia menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Maida kembali terduduk diatas sajadahnya.

Menatap gambar kiblat yang terletak di tempat sujud sajadah itu.

Perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Dia ingin menangis keras, namun, jiwa nya sudah berjanji untuk membuat pria pemilik mata suaminya itu bahagia.

🍁🍁🍁


"Selamat, pasien Alfarez sudah boleh dipulangkan." Kata dokter itu ketika mengecek keadaan Farez. Farez yang sudah menggunakan baju kemeja dan celana hitamnya itu bersemangat setelah hampir satu bulan dirawat dirumah sakit itu.

"Gak ada yang ngabarin Abi gue, ya?" Maida menggeleng. Bagaimana bisa mengabari, tahu Abi Farez saja tidak. Farez mengangguk, bernafas lega. Ia memang tidak ingin Abi nya tau bahwa dia tidak baik-baik saja selama satu bulan ini.

"Aufar udah pulang?" Tanya Farez saat merapikan barangnya. Ponsel milik pria itu hancur ditempat kejadian kecelakaan pada saat itu.

"Udah." Jawab Maida spontan.

"Lah, gue sakit, dia kaga jenguk. Sahabat macam apa." Celetuk Farez Sambil terkekeh. Maida tersenyum tipis lalu membantu Farez merapikan bajunya.

"Tapi gue curiga," Farez berfikir sejenak. "Kalau Aufar udah pulang, kenapa elo masih disini??" Maida menghela nafas.

"Kamu pasti laper, nanti kita makan diluar aja, ya." Maida mengalihkan pembicaraan. Farez masih tetap orang yang sama. Dia selalu banyak bicara dan menghargai lawan bicaranya.

Setelah taksi datang, bi Suni, Maida dan Farez memulai perjalanan. Selama di kota pelajar ini, Maida hanya berada dirumah sakit saja. Taksi itu dipesan melalui aplikasi taksi online.

Farez sesekali menoleh kebelakang, memastikan bahwa jalan yang mereka tempuh benar-benar jalan menuju stasiun. "Beneran ini jalannya? Kok gue ingetnya belok kanan, ya?" Farez mengingat-ingat.

"Kamu lupa Kali." Kata Maida berusaha meyakinkan. Mobil itu terparkir didepan sebuah gapura yang bertuliskan, "Makam Al-Lathif".  Farez menuruni taksi lalu mengerutkan kening, menoleh kearah Maida.

Maida tersenyum tipis lalu berjalan memasuki gapura tersebut, Farez mengekor dibelakangnya. Sampai di tengah makam-makam itu Maida berhenti. Matanya menatap batu yang tertancap diatas tanah.

"Mai?" Maida menoleh ke arah Farez tersenyum tipis. Lalu sepersekian detik kemudian, "Assalamualaikum, Ya Aufar, Kaifa Khaluk?" Hati Farez mencelos, melihat nama yang tertulis dibantu nisan.

"A-a-aufar?!" Badannya terduduk, bibirnya gemetar, kakinya lunglai. Matanya memanas, air matanya jatuh perlahan.

"Matanya ada pada matamu." Farez mendongak ketika mendengar kalimat Maida. Ia memegang kedua matanya.

"Kerusakan kornea." Maida duduk disebelahnya, mata perempuan itu berkaca-kaca, sepertinya dia sudah lelah menangis.

"Matamu mengalami kerusakan kornea dan butuh pendonor mata. Dan pendonor itu adalah mas Aufar." Farez menggenggam tanah gundukan yang berada dihadapannya.

"Kenapa Lo! Gue bisa hidup dengan kebutaan! Lo stress?! Lo stresss far! Kenapa Lo biarin mata Lo jadi mata gue?!! Gue lebih baik kehilangan mata daripada kehilangan sahabat, Far!" Suara pria itu meninggi.

Farez menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menangis tersedu-sedu. Ia tau bahwa sesuatu hal yang berlebihan itu tidak baik, namun, hatinya sungguh sakit kali ini. Dengan ragu-ragu, Maida mengelus punggungnya, menenangkannya.

"Mas Aufar udah berhasil melewati malam pertamanya sendirian. Hanya ditemani amal dan perbuatannya. Aku penasaran, apa dia bisa ngejawab semua pertanyaan dari malaikat mungkar nakir?" Maida terkekeh pelan. Angin berhembus membuat sesak di dadanya kembali hadir.

"Dia gak bisa sendirian. Dia harus gue temenin. Dia sebenarnya adalah orang yang penakut. Dia—" Farez tersedu-sedu menggenggam batu nisan itu.

"Lo terlalu baik, far." Farez menunduk. Maida yang sedari Menahan tangis mnya pun sekarang sudah menangis. Ia rindu suaminya itu. Suami yang dulu sering membuatnya menangis itu sampai sekarang masih membuatnya menangis.

Namun, dalam konteks yang berbeda.

Setelah tangisan mereda, mereka akhirnya membaca surah yaasin bersama-sama, mendoakan agar jiwa yang kini berada entah dimana itu bahagia. 

"Aufar Farobi Abdullah, manusia terkuat yang pernah aku temui."

🍁🍁🍁

Alhamdulillah, bisa update hari ini 😭

Makasih buat yang udah bacaa!

Jazakumullahu Khairan Katsiran 🥰

Gilaa! Maaf ya dah bkin sembab 😭 gasengaja sumpah wkwkkw

Semoga feelnya dapet😭😭😭

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️😭

Continue Reading

You'll Also Like

7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
636K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
499K 53.9K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+