Love Story 1 (PJM) ✅

By Min_iren

3.6K 1.2K 6.4K

Sepenggal cerita cinta dari anak kuliahan yang memiliki banyak rasa di dalamnya. Dibaca yah! Kalau gak dibaca... More

1 (satu)
2 (dua)
3 (tiga)
4 (empat)
5 (Lima)
6 (enam)
8 (delapan)
9 (sembilan)
10 (sepuluh)
11 (sebelas)
12 (dua belas)
13 (tiga belas)
14 (empat belas)
15 (Lima belas)

7 (tujuh)

202 78 438
By Min_iren


Darah yang terus mengalir pada telapak tangan Hani membuat siapapun yang melihatnya pasti bergidik nyeri.

"Jungkook ...," panggil Airin pada suaminya. "Mana sapu tanganmu, sayang? Cepat berikan padaku. Tangan Hani terluka, lihatlah tangannya berdarah, 'kan?" Airin mengadu pada suaminya yang sudah berada di sampingnya.

"Kau mengenalnya?"

"Kami baru saja berkenalan dan sekarang aku harus mengobati lukanya."

Jungkook menganggukkan kepala, apa yang istrinya lakukan ini tidak ada yang salah.

Merasa ada sapuan pelan mengenai lukanya-- Hani sontak meringis kesakitan dan sedikit menarik lengannya.

"Sakit, ya? Kita ke UKS saja, ya?" ajak Airin.

Hani menggelengkan kepala, "tidak usah. Hani akan langsung ke klinik saja."

"Dia berkata benar, Rin. Lukanya cukup parah, UKS tidak akan cukup menangani luka itu." Jira membenarkan keputusan Hani.

"Kalau begitu Hani permisi. Terimakasih sudah menolong Hani." Kemudian Hani membungkukkan kepala pada dua gadis dari fakultas teknik ini yang menolongnya tadi.

Hani berbalik badan setelah berpamitan lalu melangkahkan kakinya yang sedikit kesakitan karena lututnya terluka.

Sembari melangkah dan menahan rasa nyeri-- dirinya masih memikirkan Jimin yang sama sekali tidak peduli terhadapnya.

Berbagai spekulasi buruk mulai bermunculan. Ia berusaha menepis semua tentang Jimin yang tidak-tidak agaknya memang suatu hal yang sulit dienyahkan.

Apakah Hani berbuat salah? Kenapa Jimin seperti tidak mengenal Hani? Ada apa dengan Jimin? Begitu kata hatinya yang berjalan keluar dari gedung fakultas teknik.

Jimin masih terdiam pada posisinya di kantin ini sembari menatap tempat di mana gadis Shin itu terjatuh dan terluka. Ia terlihat sangat menyesali karena tidak bisa membantu Hani secara langsung saat gadis itu membutuhkan pertolongan.

"Dasar bodoh!" Pekik Taehyung pada sahabat sepermesumannya.

Jimin tak merespon otak mesumnya sedang memikirkan Hani yang saat ini hilang dari pandangannya.

"Kenapa kau tidak menghampirinya? Dia butuh pertolonganmu, sialan! Apa kau memang masih memiliki rasa pada si Choi Ara itu? Sampai kau bersikap acuh pada...," Taehyung berusaha mengingat nama gadis yang pernah meminta nomer ponsel Jimin padanya. "Aduh.... Siapa ya namanya," lanjutnya kembali sembari menggaruk rambutnya sendiri yang belum ia keramasi selama tiga hari ini.

"Hani."

"Iya, itu. Hani," imbuh Taehyung.

"Justru aku sedang menolongnya. Kau tahu kalau Ara bisa saja melukai Hani lebih parah dari ini."

"Maka dari itu kau harus bertindak, bukan malah diam seperti orang idiot di sini."

Jimin menghembuskan napasnya. Terlalu rumit untuk menjelaskan bagaimana ia yang tidak bisa bertindak tegas dengan semua kelakuan dari gadis yang merupakan mantan kekasihnya sendiri.

Ia pernah menjalin hubungan dengan gadis bernama Choi Ara dari fakultas kedokteran yang merupakan gadis cantik nan hits di fakultasnya sendiri.

Singkat cerita, Ara berselingkuh di belakang Jimin dengan seorang lelaki tampan dari kampus lain. Awalnya Jimin tidak percaya, namun semua bukti-bukti sudah terkuak begitu saja kebenarannya.

Jimin mengakhiri hubungan itu dan disetujui langsung oleh Ara. Ia tidak terlalu memusingkan atas berakhirnya hubungan tersebut dan lebih memilih hidup santai sambil berbisnis yang sampai saat ini ia lakoni.

Lambat laun-- yang entah dari mana tiba-tiba Jimin mendengar kabar bahwa gadis yang pernah dekat dengannya di tampar habis oleh gadis tempramen macam Choi Ara dengan alasan yang tak masuk di akal.

Segala macam isu buruk tentang Ara sudah ia ketahui. Namun, semua orang tidak bisa menentang tentang kelakuan buruk Ara karena ia memiliki kecantikan yang bisa menutupi keburukannya dan sedikit berkuasa di kampus ini.

Bukan berarti Jimin tak berani menentang, hanya saja ia terlalu malas untuk bertindak yang berurusan dengan mantan kekasihnya itu. Meskipun sebenarnya ia juga masih sering memandangi tubuh indah Ara yang bagaikan biola itu dengan mata mesumnya ketika mereka tak sengaja bertemu seperti tadi di kantin ini.

Tapi, agaknya kali ini ia tidak bisa tinggal diam. Apa yang baru saja Taehyung ucapkan itu, benar. Ia tak bisa terus-menerus diam seolah tak peduli dengan kelakuan mantan kekasihnya itu yang merugikan banyak pihak. Terlebih perlakuan Ara kepada gadis lugu nan polos seperti Hani, Jimin tidak akan tinggal diam untuk yang satu ini.

🌿

"Iya Hyumi, iya," Hani kini berada di kosannya sembari melakukan obrolan di ponsel dengan sahabatnya.

"Iya, Hyumi. Hani dengar, kok."

.....

"Iya, Hyumi. Tolong pelankan suara Hyumi. Telinga Hani sakit sekali menderangnya."

.....

"Heumm..., Hani akan istirahat setelah ini."

Kemudian panggilan telepon itu terputus setelah keduanya sepakat untuk menyudahi obrolan.

Hani menatap telapak tangannya yang sudah dibungkus dengan perban. Ia mendapatkan beberapa jahitan pada lukanya dan untungnya luka lain yang ada di lututnya tidak terlalu parah seperti telapak tangannya itu.

Sekarang memang belum waktu jam tidurnya Hani, tapi malam ini ia ingin tidur lebih cepat dari biasanya. Namun keputusannya untuk tidur lebih cepat itu harus gagal karena bunyi nyaring ketukan dari pintu kamar kosnya.

"Jimin?" Hani terkejut dengan kehadiran Jimin yang tiba-tiba datang ke kosannya.

Jimin tersenyum tulus kali ini. Tidak seperti biasanya yang tersenyum setan atau tersenyum penuh kemesuman.

"Boleh aku masuk?" Hani mengangguk dan langsung mempersilahkan Jimin masuk ke dalam kosannya.

Ini pertama kalinya bagi Jimin masuk ke dalam kosan Hani. Selama ini, ia selalu mengantarkan Hani sampai pintu gerbang area kosan jika sesekali mereka pulang bersama.

Suasana kosan yang Hani tempati cukup luas dibanding kosan yang ia tempati. Terdapat satu kamar tidur yang di dalamnya menyatu dengan kamar mandi, satu ruang tamu sekaligus ruang santai, kamar mandi luar dan dapur.

Ini sih bukan kosan tapi lebih cocok di katakan sebuah apartemen kecil nan minimalis. Pikir Jimin begitu.

"Silahkan duduk." Hani mempersilahkan Jimin duduk di sofa berwarna pink itu. "Jimin mau minum apa?" Lanjutnya sembari melangkah pelan karena lututnya masih terasa ngilu.

"Tidak usah, Hani."

"Mau minum apa?" Hani kembali mengulang pertanyaan yang sama. Jimin tak bisa menolak sebab Jimin merasakan hawa menyeramkan Hani saat ini.

Baguslah, jika Jimin merasa demikian. Siapa suruh tadi siang mengabaikan Hani seolah tak peduli dengan kejadian itu.

"Air bening saja."

Sedikit mencerna dari permintaan Jimin. Akhirnya beberapa detik Hani mengerti apa yang dikatakan Jimin atas permintaannya.

"Ada apa, ya? Malam-malam Jimin ke kosan Hani? Sepertinya Hani tidak memberitahu di mana letak kamar kos Hani. Apa Jimin mencari tahu sendiri? Atau Jimin ternyata diam-diam menguntit Hani?"

Kalimat panjang Hani membuat Jimin meneguk ludahnya sendiri. Ia sendiri sudah tahu resiko apa yang akan ia dapatkan ketika bertemu Hani seperti sekarang ini.

"Aku minta maaf."

"Jimin tidak melakukan kesalahan apapun pada Hani. Jadi, jangan minta maaf."

"Maaf tidak bisa menolongmu siang tadi."

"Hani tidak meminta tolong pada siapapun termasuk pada Jimin. Entah Jimin bisa atau tidak menolong Hani bukanlah suatu hal yang diharuskan."

Jimin di skak mati oleh Hani, dan sekarang ia rasanya ingin lompat dari balkon kosan ini saja.

Gadis yang duduk di depanya ini seperti bukan Hani yang ia kenal-- polos dan lugu. Jadi, nyawa siapa yang merasuki raga Hani sekarang ini?

Jitak saja kepala Jimin supaya ia tersadar. Tetapi jika dipikir lagi, apa yang dikatakan oleh Hani memang benar dan tidak salah.

Mengenai ia yang bisa atau tidaknya menolong Hani itu bukan merupakan hal yang diharuskan. Mengingat hubungan merekapun saat ini tak lebih dari sebatas teman. Terkecuali mereka memiliki hubungan spesial, tentu kejadian seperti tadi-- Jimin harus menolongnya.

"Diminum dulu air beningnya." Suara Hani membuyarkan setengah lamunan Jimin.

"Mau keluar bersamaku membeli eskrim?" ucap Jimin setelah meneguk habis segelas air.

"Mau," ucap Hani tanpa ragu dan begitu antusias. Dalam sekejap hawa menyeramkan Hani langsung sirna ketika dapat ajakan membeli es krim dari Jimin.

Jimin yang melihat sikap antusian Hani langsung yakin kalau nyawa Hani saat ini telah kembali memasuki raganya.

"Tapi, lutut Hani masih ngilu."

"Nanti aku gendong."

"Sampai toko es krimnya?"

"Tidak. Aku gendong sampai parkiran," jedanya. "Aku membawa mobil, kau tidak perlu khawatir."

Hani tersenyum semringah. Bukan karena Jimin membawa mobil tapi karena ia bisa jajan es krim sekaligus berduaan dengan Jimin. Tak masalah juga seandainya Jimin membawa motor, tetapi kali ini lututnya sedang tidak bisa di ajak kompromi jika menaiki kendaraan beroda dua itu.

"Hani ambil sweater dulu, ya." Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar.

Jimin bisa bernapas sedikit lega. Ide dari Taehyung tadi siang rupanya sangat mujarab. Jimin diberi pinjam mobil dan sebuah ide bujukan untuk mengajak Hani ke suatu tempat atau memberikan sesuatu yang gadis Shin itu sukai supaya Jimin bisa dimaafkan dan kembali mendekati Hani.

Kalau Taehyung pintarnya seperti ini-- Jimin, 'kan semakin sayang sekali pada sahabat sepermesumannya ini.

Tbc 💋

Terimakasih sudah membaca :)
Semoga suka dengan tulisan absurdku ;)

Jimintulitiku !!! Kamu ganteng sekali, sayang....
Aduhhh aaaawwwwwhhh 💋

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
607K 26.3K 41
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
16.9M 751K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1.9M 90.3K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...