Jendela Joshua (End)

By meynadd

5.1K 1.3K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 09 - Lima Menit Bersama

116 39 18
By meynadd

     Bau-bau tak sedap menggerogoti sekujur kerongkongan. Bukan sekedar bau amis yang menyeruak di sekitar jejeran tenda yang memperlihatkan ikan-ikan yang sudah lama dibiarkan di suhu ruang tanpa ada satupun yang mengelepar-lepar.

     Akan tetapi jalanan aspal yang sedikit berlumuran lumpur telah mengundang bau-bau lain hingga memaksa indra penciuman untuk mengambil napas di antara orang-orang yang lalu lalang tanpa memberikan cukup ruang untuk bergerak leluasa. Bau keringat dan sampah-sampah dagangan mendominasi semuanya kala dipapar sinar terik dari balik awan.

     Tak khayal ketika dia melewati tenda-tenda yang menjual sayur-mayur, memperhatikan beberapa barang dagang yang membusuk kemudian berserakan di pinggiran tenda.

     Kasian sekali bila dia memperhitungkan jumlah kerugian yang ditanggung para pedagang. Di sisi lain, Joshua harus mengasihani dirinya sendiri karena kantung-kantung kresek sudah memenuhi muatan sepasang tangan dengan beban yang cukup lumayan.

     Baru hanya sekantung sawi dan toge, seratus buah bungkus mie kuning dan mihun, sekilo bawang merah dan bawang putih, lima kilo tepung.

     Sementara Hendra mentengteng sepapan telur ayam, sekilo cabai merah dan cabai rawit, dan yang terakhir dua kantung minyak goreng. Kebutuhan memasak untuk jualan nanti malam ditambah kebutuhan primer setiap karyawan Kedai Sejahtera.

     "Hahh ternyata capek juga tujuh keliling buat belanja begini," gerutu Hendra sembari mengerutkan hidung, mengendus-ngendus bau sekitar yang tak ada bedanya walau sudah melewati beberapa tenda ikan dari tadi.

     "Dipikir-pikir enak kali si Dodit main tukeran shift sama kita, Josh."

      "Sudah jelas Mas Dodit ada urusan sama Pakde semenjak dia baru kembali bekerja kemarin. Hen," timpal Joshua menekankan.

     Kemudian mengalih atensi ke para pedagang yang menyahut-nyahut dirinya dengan menawarkan produk mereka beli satu gratis satu sehingga membuat Joshua menggerak-gerak tangan, senyum sumringah.

     Di sepanjang jalan terdapat beraneka ragam barang dagangan yang bertengger di masing-masing tenda. Memancing rasa penasaran Joshua untuk menghampiri salah satu lapak yang menyediakan kerajinan-kerajinan tangan yang sangat memikat mata. Namun, Hendra menghalaunya agar tak perlu membuang waktu penting mereka dengan hal yang tak ada kaitannya dengan tugas mereka saat ini.

     Ketika mereka berdua hendak berjalan keluar dari keramaian, Hendra terpikir sesuatu dan menghentikan langkah.

     "Josh, kayaknya ada barang yang kurang nih."

      Joshua pun mengecek-ngecek belanjaan, menerawang apa yang dilewatkan oleh mereka sewaktu masih berada di titik terdalam pusat pasar.

     Tanpa berpikir panjang, sontak Hendra terlonjak, membulatkan kedua bola mata.

     "Astaga! Daging sapinya lupa kubawa. Mana sudahku bayar tadi."

     Hendra terlihat panik di tengah-tengah lautan manusia yang sibuk dengan kepentingan masing-masing.

     Joshua mengamati sekeliling, menyadari bahwa orang-orang mulai bertambah banyak dari sebelumnya sampai mereka hampir memblokir setengah jalan yang dilalui.

     "Kamu tunggu di sini, Josh. Jangan kemana-mana, nanti aku balik ke sini lagi."

     Joshua tak dapat menangkap jelas perkataan Hendra yang melirih rendah lantaran suara berisik sekelilingnya menjadi tak karuan.

     "Apa?!?"

     "Tunggu saja."

     "Hen ... Hen ... jangan tinggalin gitu dong!"

     Namun, Joshua terlambat. Hendra sudah lebih dulu menyusup di antara lautan manusia lalu pergi entah kemana mengingat cakupan pasar tersebut begitu luas.

     Joshua menelisik dari balik kepala orang-orang. Berupaya menyusul tapi tak ada gunanya. Dia kehilangan jejak. Sepenggal kalimat yang Joshua rekam hanya kata "tunggu" dan "di sini."

     Yang benar saja, Joshua menunggu di tengah pasar padat begini? Apa Hendra tak memikirkannya lebih dulu jika dia akan merayap ke tempat lain kalau-kalau tak ingat jalurnya yang mana. Padahal mereka sudah beberapa kali berputar-putar mencari jalan keluar dari sini. Dan Joshua berharap temannya itu berhasil melakukan untuk kedua kalinya.

     "Nak, jangan ngehalang jalan orang!" tegur salah satu pria yang merasa keberatan karena Joshua berdiri tepat di tengah jalan.

     Joshua mengangguk-ngangguk, tersenyum getir. Kemudian pria itu pergi dan tenggelam di antara lautan manusia.

     Hingga seseorang berusaha menepuk-nepuk pundaknya. Lantas Joshua berbalik badan.

     "Mas, mari menepi dulu ya. Nggak baik kalau berdiri tengah jalan begini."

     Joshua seketika ternganga, sedetik kemudian mengikuti intruksi dari wanita muda tersebut lalu dibawa ke luar pasar dan menepi ke trotoar.

     Kedua mata Joshua membulat sempurna, mencoba menerka-nerka sesosok wanita di depannya ini.

     "Eh ... Mba, kayaknya kita pernah bertemu sebelumnya ya?"

     Wanita tersebut berbinar-binar kemudian menunjuk-nunjuk ke arah Joshua.

     "Mas yang salah ngambil pesanan itu ya?"

     Joshua mengangguk, terkekeh hambar.

     "Karena kita ketemu lagi. Kenalkan saya Kartika Sari. Panggil saja Tika atau Mba Tika." Lantas wanita itu menjulurkan tangannya.

     Joshua memindahkan kantung kresek yang dia genggam di tangan kanannya ke sebelah tangan kirinya lalu membalas juluran tangan tersebut.

     "Saya Joshua Evans, panggil saja Joshua, Mba."

     "Atau Mas Joshua?"

     Joshua menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Cukup panggil saya Josh."

     Joshua lalu duduk di tepi trotoar, menyaksikan orang-orang yang berada di dalam sana mulai meninggalkan tempat. Kendaraan beroda dua dan roda empat yang menempati pinggiran jalan dekat trotoar sudah bergerak dan melesat ke jalan raya.

     Paparan sang surya semakin menusuk ubun-ubun membuat cairan bening luruh melalui kening hingga pelipisnya, tapi ini jauh lebih baik daripada berpengap-pengap di dalam sana.

     Dia dapat menghirup udara dengan sangat tenang, mendapat ruang untuk dirinya dengan leluasa tak kalah senangnya dia diterpa angin sepoi-sepoi, menghembus poni yang melengkung berwarna hitam-kecoklatan sehingga menampakkan dahi putih pucatnya.

     Ketenangan membuyar sejenak ketika wanita yang masih bersamanya berdeham. Joshua tak perlu dua kali mengizinkan Kartika untuk duduk di sampingnya.

     Mereka duduk dengan sedikit jarak, didampingi kantung kresek belanjaan di tangan mereka masing-masing.

     "Josh, kamu lagi nunggu seseorang?"

     "Iya Mba Tika. Nunggu teman saya, katanya ada belanjaan yang kurang. Kalau mba kemari sendirian saja?"

     Kartika hanya mengangguk. Sedetik kemudian, dia berdeham.

     "Sebelum saya pulang, gimana kalau saya temanin kamu buat nungguin temanmu?"

     Joshua tersentak. Dia memperhatikan Kartika dari samping. Helaian tiap helaian rambut panjang bergelombang dengan warna yang sama hitam-kecoklatan, tertiup angin. Postur wajah kuning langsat yang menawan itu kini menertawakan dirinya yang pipinya sudah merah merona.

     Perasaan aneh itu kembali menjalar, mengikat hati untuk tetap bersama wanita yang sepertinya lebih tua enam tahun. Walaupun otak membantah agar tak perlu untuk ditemani. Justru dia hanya mengiyakan.

     "Kamu orang korea kan? Dari tampang saja kayak nggak asing lagi bagi saya. Dan jarang-jarang ada orang korea yang bisa lancar berbahasa Indonesia kayak kamu gini," puji Kartika.

     "Makasih Mba Tika. Saya sebenarnya blasteran Korea-Indonesia, Mba."

     "Oalah, pantesan."

     Begitu Joshua menyadari sudah berjalan lima belas menit lamanya menunggu Hendra, malah tambah semakin kikuk dan canggung duduk bersama Kartika yang telah repot-repot menemani.

      Egois, satu kata yang cocok mendeskripsikan dirinya. Menahan wanita agar tidak pulang, merupakan hal yang tidak etis lelaki terhadap perempuan.

     "Mba, kayaknya teman saya masih lama. Jadi, Mba pulang saja. Saya bisa sendiri kok," ujar Joshua menyakinkan, tersenyum sumringah.

     "Nggak apa-apa loh. Lagian saya nggak ada kerjaan nanti. Daripada nunggu lama gimana kalau kita sempatin jalan-jalan dulu?"

     Kartika mencetuskan ide kemudian menarik lengan kiri Joshua, membuat empunya tersentak berdiri.

     "Eh Mba ... nanti teman saya gimana?"

      "Lima menit saja, Joshua. Tenang, kita nggak akan lama-lama."

     Kartika menuntun sembari menggenggam tangan Joshua. Berat yang dipikul pada satu tangan tak membuat mereka goyah, mempercepat langkah supaya waktu luang bagi mereka berdua tidak cepat menipis.

     Antara bingung dan cemas, Joshua membuang jauh-jauh kedua hal itu karena untuk sementara dia tersenyum sangat senang. Atau bisa dibilang dia senang karena diculik oleh seorang bidadari? Seperti yang dikatakan Kartika, anggaplah ini sebagai bentuk perkenalan baru yang super epik.

***

***

     Menit demi menit dilewati. Joshua tak dapat menghitung, sudah berapa menit yang dihabiskan bersama Kartika untuk berjalan-jalan sekitar pasar.

     Dia yang tetap berada di Jogja saja tidak pernah satu kali pun menyempatkan diri untuk berlibur lantaran terlalu sibuk dengan pekerjaan dan juga memikirkan cara agar dapat menemukan ayahnya dalam kurung waktu yang singkat. Dia sudah lama mengetahui bahwa hal itu sangat mustahil dilakukan seorang diri.

     Walau hanya sekedar berjalan sekitar pasar, bagi Joshua itu lebih dari cukup apalagi ditambah memesan es cendol pedagang kaki lima yang tak jauh dari pusat pasar. Kini dia merasa seolah-olah melakukan kencan, yang pada kenyataannya bahwa memang seperti itu.

     "Kamu suka banget es cendol ya, Josh?" tanya Kartika sesaat setelah mendapati Joshua yang asik sekali menyedot-nyedot plastik minumannya hingga hampir menyisakan setengah bagian.

     "Iya Mba, gara-gara teman satu kerja. Kalau ada mas-mas cendol lewat biasanya temanku selalu ngajakin minum bareng sama rekan-rekan yang lain," ujar Joshua kembali menyedot isi plastiknya.

     "Awalnya nggak cocok di lidah, ternyata lama kelamaan jadi ketagihan."

     "Oh ya? Ngomong-ngomong kamu kerja—"

      "Woi Joshua!"

     Joshua dan Kartika menoleh serentak ke asal suara. Kartika melirik arloji, dan menyadari sudah lima menit lebih mereka menghabiskan waktu bersama.

     "Kamu di sini rupanya. Kan udah ku bilang jangan kemana-mana!" ketus Hendra final lalu menghampiri.

     Joshua mengidikkan bahu, pura-pura tidak tahu. Kemudian pandangannya beralih kepada Kartika.

    "Mba Tika. Makasih untuk es cendolnya." Joshua tersenyum, pamit undur diri dibalas anggukan dan senyuman yang tak kalah manisnya oleh Kartika.

     Mereka kemudian berpisah jalur, berjalan menjauh, melambaikan tangan satu sama lain.

     "Josh, Mba yang tadi itu siapa?" tanya Hendra penasaran sembari merampas es cendol dari genggaman Joshua, menyedot sampai tandas.

     "Ahh kepoo."

     Jika seandainya dia dapat menghentikan waktu. Dia ingin sekali menghabiskan waktu lebih banyak lagi dan ingin membicarakan banyak hal dengan wanita tersebut. Entah kenapa rasanya begitu nyaman walau hanya sesaat.


Hlm 09 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

4.2K 740 24
Dandelia Amarantha Kara, merupakan putri bungsu yang lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang di bidang kesehatan. Dia terpaksa meninggalkan...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

373K 45K 100
hanya fiksi! baca aja kalo mau
289K 43.1K 29
[🥇 1st winner of The Goosebumps Love from WattpadRomanceID] [MEDICAL CONTENT] KIM DOYOUNG, JUNG JAEHYUN "Saya bisa lihat kamu, Arawinda." - Angkasa...
10.9K 1.8K 5
[Tenaga Pendidik Version] Seven still choosy and Juni still clumsy