AMBISI

By srnrml

5.1K 146 93

"Terkadang ambisi terlalu tinggi dapat menjatuhkanmu ke jurang yang paling dalam." Pasti kalian pernah atau s... More

Thalassic Crown
Ursa dan Hukum Newton 3
Angan
Percakapan-Percakapan Frustrasi
The Savage Driver
Second Chance
Pod Quest
Tendangan Maut Jihan
Giriwarsa
Me and My Petrichor

Lost

380 14 0
By srnrml

Penulis: trasaa__
Genre: Romance

Alunan musik jazz masih terus bergema mengiringi setiap tegukan kopi yang hampir habis diminum. Sembari menunggu satu orang lagi untuk melengkapi sebuah acara yang mereka sebut reuni, Raya dan beberapa teman lainnya kembali menghabiskan waktu dengan berbagi cerita. Tentang masa-masa SMA mereka, dan hal-hal menarik lainnya.

"Tapi emang keren sih lo, Ray. Celetukan lo dulu pengen punya cafe estetik akhirnya tercapai juga. Lah gue, masih aja kerja jadi sales," kata Dios, pria berambut ikal yang sejak tadi memuji-muji Raya. Entah tidak sengaja, atau mengadu tentang nasibnya saja.

"Namanya kerja nggak ada yang bad-lah, Yos. Daripada lo nganggur, nggak guna namanya. Mau ngasih makan apa nanti ke istri lo kelak? oksigen? Itu aja punya Tuhan kok," celetuk Raya tepat sasaran.

Olla, yang sudah paham akan sikap Raya sejak SMA itu hanya bisa menggelengkan kepala, "Sadis emang kalau Raya udah bersabda."

"Yang jadi pacar Raya nih nantinya harus tahan banting deh gue rasa, apa gue jadi besi aja ya biar bisa jadi pacar lo, Ray?" Robi, si penyandang playboy kelas kakap yang dulu selalu menggombal, nampaknya mencoba mengambil alih percakapan.

"Lo jadi besi yang beratnya hampir berkilo-kilo? Lah berat badan bertambah aja langsung heboh digrup WhatsApp."

Tawa mereka pun akhirnya pecah, karena sikap Raya yang bisa dibilang tidak pernah berubah; masih keras kepala dan tidak mau kalah.

"Ray, tapi Raya jahat tahu nggak. Kenapa pas Ira ngelamar kerja disini sebulan lalu Raya nggak terima Ira?"

Raya mengembuskan napas kasar, tentu saja ia mengingat betul bagaimana saat itu Ira memohon ingin bekerja di cafenya. Tetapi dengan tegas Raya menolak, "Ya lo tahu sendiri kan gue nggak bisa nerima orang lemot," ujar Raya sarkas, "Karena Ambist cafe ini butuh team yang ambisius dan pekerja keras, lah kerjaan lo aja waktu di sekolah tidur mulu."

Ira memajukan bibirnya, kesal. "Tapi kan Ira bisa berubah. Raya aja yang nggak mau ngasih kesempatan."

"Jangan kan lo, Ra. Gue aja yang ada bakat jadi barista ditolak sebelum interview." kata Robi tiba-tiba.

"Rob, lo bau ketek. Gue nggak mau punya karyawan yang meresahkan. Lagian diluar sana banyak kali kerjaan, kenapa sih harus mengandalkan seorang teman? bukannya kata teman itu sebenernya cuma saingan?" balas Raya tajam, yang akhirnya sukses membuat mereka semua diam.

Salah memang berdebat dengan Raya. Meski awalnya Ira, Robi dan Dios menduga bahwa Raya bisa bersikap lebih manis sesuai penampilannya; yang terbalut dress hitam dan rambut terurai. Nyatanya dugaan itu salah, Raya tetaplah seorang Raya; si perempuan ambisius lagi keras kepala.

Dan Olla adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana sisi lain seorang Raya. Ia tahu bagaimana Raya yang dulu sedikit tomboy kini memilih mengurai rambutnya, ia tahu betapa hebohnya Raya kala memilih dress yang terlihat istimewa itu, ia tahu bahwa hari ini adalah hari yang sudah Raya tunggu-tunggu.

"Eh, ini Bayu chat gue katanya lima menit lagi nyampe."

Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar dalam diri Raya ketika Dios berbicara soal Bayu. Entah harus senang ataupun takut, Raya benar-benar tidak mengerti.

"Udah lima tahun berlalu, si Bayu baru mau ikut reuni sama kita. Selama ini dia kemana sih?"

Kalau ada hadiah yang bisa Raya berikan pada Olla. Mungkin Olla akan senang menerimanya. Raya sangat berterima kasih sekali karena Olla sudah menyampaikan apa yang sebenarnya ingin Raya tanyakan.

"La, pesen satu kopi lagi buat lo gratis."

"Hah serius, Ray? Aaaa makasih cantikkuu." Benar kan, apa kata Raya?

"Dia netep di Bandung. Jadi nggak sempet kali buat maen-maen ke Jakarta. Lagian, gara-gara Raya juga sih si Bayu pindah sekolah."

Tentu saja Raya segera menepis ucapan Robi, ia benar- benar tak terima,"Bukan gara-gara gue. Bayu pindah kan karena orang tuanya kerja di luar kota."

"Tapi Ray, siapa sih yang nggak marah ketika dia cuma nyatain perasaan tulusnya di tengah lapangan. Lo malah nampar dia, dan nyuruh dia pindah sekolah? Jahat tahu nggak, lo!" sambung Robi, terang-terangan.

"Iya Ira juga inget kejadian itu, malu banget deh kalau jadi Bayu."

"Belum lagi seremnya Raya kalau udah pembagian raport, tuh si Bayu yang peringkat dua selalu dimarah-marahin. Ngakak gue, Ray." sela Robi ikut-ikutan.

Kini giliran Raya yang dibuat bungkam. Tidak, Raya bukan kalah telak. Hanya saja, ia memang harus mengakui kesalahan itu. Raya tahu, tanpa mereka bicara pun Raya sudah meminta maaf pada Bayu lewat sebuah surat. Walaupun, yang Raya terima hanyalah karma. Ya, sejak kejadian di lapangan itu Bayu tidak lagi muncul di hadapan Raya, Bayu menghilang bak ditelan semesta. Lalu apakah kini sosok Bayu yang dulu ia kenal paling menyebalkan, sudah tidak lagi?

Lalu bagaimana sosoknya sekarang? Apa masih akan bertanya pada Raya kapan Raya akan menyukainya? Apakah masih menyuruh Raya untuk mengurai rambutnya yang cantik? Apakah Bayu yang sekarang masih akan berbicara hal-hal yang aneh, semacam, "Ray kenapa ya ayam diciptakan untuk hidup dan dimakan sama manusia. Kenapa mereka nggak sekolah? Apa kalau ayam sekolah bisa dapet peringkat dua kaya gue?"

Kemudian dengan ketusnya Raya akan menjawab, "Ayam sama lo lebih pinteran ayam kali. Lo kalau disuruh pergi dari hadapan gue nggak pernah denger, sedangkan ayam diusir sekali aja udah pergi!"

"Nanti kalau gue pergi lo kehilangan nggak?"

"Justru gue seneng. Karena nggak punya lagi saingan nyebelin macam lo."

"Ray, kalaupun gue nggak pergi juga lo tetep peringkat 1 kok."

"Tapi nilai lo sama gue diraport cuma beda tipis. Paham lo?!"

Waktu itu, Raya terlalu berambisi untuk selalu menjadi nomor satu. Tanpa ia tahu bahwa Bayu pun berambisi agar terlihat dimata Raya.

"Guys minta waktunya bentar. Gue mau buat pengumuman penting nih. Di depan semua murid SMA Bina Bangsa, gue Bayu Wicaksana adalah pacar dari Raya Anindita, jadi bagi siapapun cowok yang mau deketin dia. Berhenti dari sekarang, paham!"

Begitulah pernyataan Bayu yang dulu membuat Raya murka, Raya menampar Bayu hingga memerah. Ia tak lagi peduli betapa hebohnya orang-orang yang melihat. Terlebih saat Raya merebut mic yang Bayu gunakan untuk melancarkan aksinya. Bayu persis orang bodoh kala Raya mempermalukannya habis-habisan, "Apa yang lo bilang ke mereka semua itu adalah mimpi. Kenapa lo nggak bangun aja dari mimpi lo sekarang, hah? Oh, apa perlu Tuhan ngutuk lo jadi ayam supaya ketika gue usir sekali lo beneran pergi?"

Raya pikir kepergian Bayu saat itu adalah awal bahagia baginya. Tetapi Raya salah. Nyatanya, penyesalan terbesar Raya ialah saat ia merasa harus kehilangan. Ya, sosok Bayu kala itu telah mengabulkan permintannya.

Mungkin, penantian yang kini ia idam-idamkan pun harus ia telan pahit-pahit. Bahwa saat semua orang memanggil nama itu, Raya hanya bisa melihat bahwa Bayu tengah bersama seorang perempuan, yang orang-orang sebut sebagai pasangan.

"Maaf ya lama, istri gue minta rujak bebek di jalan. Lagi ngidam."

Seketika, dunia Raya terasa ingin runtuh. Bersamaan dengan lagu-lagu sendu yang bergema di ruangan itu. Raya; sosok yang selalu mendapatkan segala sesuatu. Kini telah dipatahkan oleh semesta. Senyum yang semula tergambar, perlahan memudar. Oh, beginikah cara Bayu memberinya pelajaran?

"Naya? Lo nikah sama Bayu? Duduk cepet, gila nggak nyangka gue." ujar Dios heboh, disusul ucapan selamat lainnya yang jujur tak ingin Raya dengar.

"Hai, Raya. Masih inget aku nggak?"

Jelas Raya bisa melihat siapa yang saat ini menyapanya itu. Ya dia lah Naya, gadis pendiam yang selalu mengikuti Raya di masa SMA. Seseorang yang selalu memuji Raya karena kepintarannya, dan orang yang mengetahui tentang surat itu.

"Gue nggak pikun, kok," jawab Raya ketus.

Olla yang menyaksikan pemandangan ini lantas masih tak percaya. "Lo berdua udah nikah? Kapan? Kenapa nggak ngundang-ngundang?" tanya Olla beruntut, masa bodo kalau ia dicap kepo.

"Baru setahun yang lalu kok, La. Kalau Raya mana pasangannya belum nikah ya?"

Raya tertawa sinis, ia tahu bahwa kenyataan ini begitu pahit. Tetapi bukan Raya jika ia tak bisa menutupi kesedihannya.

"Gue sibuk ngejer karir. Sampe lupa kalau nikah ternyata penting juga, ya?"

"Tipe Raya itu tinggi, jadi jangan tanya-tanya soal nikah. Nanti kalau lo nih liat dia nikah sama siwon kaget, loh" sela Olla sengaja.

"Oh. Tapi Raya beda deh sekarang, lebih feminim. Iya nggak sayang?"

Raya tidak tahu mengapa Naya yang dulu begitu baik kini justru terlihat menyebalkan. Apa sikap menyebalkan Bayu itu menular pada istrinya? Lihat bagaimana Naya meminta persetujuan tentang kecantikan Raya? Apa maksudnya?

"Sayang, cantik mana aku sama Raya?"

"Kamu."

"Hadah ini acara reuni apa ajang Puteri Indonesia, ya? Bingung gue." ujar Dios yang semula memperhatikan, "Lo mau pesen americano nggak, Rob?"

"Gue mau ke toilet."

"Gue ikut, deh."

Kini yang tersisa hanya mereka berempat, Ira yang sibuk mencerna ucapan mereka. Olla yang sedikit gelisah, dan Raya yang masih setia pada tempatnya. Mendadak acara reuni berubah menjadi begitu canggung. Tak ada cerita-cerita menarik yang semula mereka ucapkan. Tak ada pertanyaan kabar yang keluar dari dua orang di hadapan Raya, perlahan keceriaan itu sirna.

"Kalian mau denger nggak cerita kenapa aku bisa nikah sama Bayu?" tutur Naya tiba-tiba, yang sontak membuat mereka terkejut kala mendengarnya.

"Mau, sih. Iya itu yang pengen gue tanya tadi." Olla menyahuti.

"Tapi sebelum itu, aku nggak mau Raya ngedenger ini. Bisa nggak kalau Raya pergi? Bentar juga nggak apa-apa."

Mendengar itu mata Raya langsung membulat sempurna, ada segumpal amarah yang ingin meledak. Tetapi semesta tak memberinya izin, saat ponselnya tiba-tiba berdering.

"Tunggu. Tapi menurut gue kayanya lo didiemin lama-lama nyebelin ya, Nay. Raya tuh dari tadi biasa aja. Tapi lo kok terus nyenggol dia, kenapa?" geretak Olla tak tahan, ia mulai bangkit dari kursinya.

"Iya, Ira juga ngerasa gitu. Padahal tadi sebelum ada kalian acara ini seru."

"Lo berdua norak banget ya? Ngerasa udah jadi pasangan paling bahagia di dunia ini? Yang udah nikah bukan cuma lo, Nay. Ada banyak pasutri di dunia ini, tapi nggak ada deh yang lebay macem lo!" Entah apa yang kini Raya lakukan, ia benar-benar kesal. Bagaimana bisa ia mengabaikan ponselnya yang terus berdering digenggaman.

"Lo bisa diem juga nggak? Paham kan mood orang hamil tuh gimana? Oh ya, gimana mau paham lo kan nggak pernah hamil. Nikah aja belum, iya, kan?"

Untuk pertama kalinya Raya melihat amarah di wajah itu. Benar, dia sosok Bayu yang selama ini Raya tunggu, dia sosok Bayu yang dulu menyebalkan, dia sosok Bayu yang selalu memberinya senyuman. Kenapa? Kenapa sekarang semuanya hilang? Apa kedatangan Bayu hanya melampiaskan dendam? Apa Bayu belum memaafkannya?

"Puas banget gue ngeliat lo semenyedihkan ini, Ray. Gimana rasanya dihina sama orang yang dulu mengagumi lo?"

Raya tertawa dingin. Tidak, ia tidak boleh kalah. Raya harus tetap terlihat kuat. Walau rasanya sakit sekali. Apa ini hukuman yang semesta berikan? Jika iya, bolehkah Raya menolaknya saat ini juga?

"Gue nggak akan pernah terlihat menyedihkan dimata siapa-siapa, karena gue hidup dengan bahagia. Jadi lo nggak usah sok tahu tentang hidup gue, paham?!" sehabis mengatakan itu Raya memilih pergi dari sana, tanpa peduli bagaimana kini orang-orang menatapnya.

Sedangkan Bayu mendadak diam seribu bahasa, ia tidak akan merasa bersalah. Sebab, Raya memang pantas menerimnya. Semua yang Bayu katakan tidak sebanding dengan apa yang Raya lakukan di masa lalu.

"Lo keterlaluan, Bay. Gue tahu Raya dulu salah. Tapi apa lo penah mikirin perasaan dia? Apa kata maaf yang Raya tulis lewat surat nggak cukup?" Olla berkata dengan suara yang gemetar. "Lo baca kan? Raya udah ceritain semuanya lewat surat yang gue titip ke Naya dulu. Karena lo udah blokir nomornya, jadi dia cuma bisa lakuin itu."

Kening Bayu berkerut. "Naya nggak ngasih apa-apa."

Olla menatap Naya curiga, sepertinya ia mulai paham sekarang. "Nay? Lo kemanain suratnya? Gue tahu lo sama Bayu itu deket. Kalian bertetangga. Maka dari itu sebelum Bayu pindah gue nitip surat itu. Lo nggak ngasih?"

Tidak ada jawaban yang Naya berikan, yang bisa ia lakukan hanyalah diam. Entah berapa lama waktu yang terbuang sia-sia.

"Jadi ini alesan kamu nggak mau ngundang temen-temen SMA pas kita nikah?" tanya Bayu pada Naya, yang sukses membuat Naya pucat pasi.

"Oke gue jadi tahu sekarang, memang semuanya udah lewat. Tapi yang lo lakuin itu jahat tahu nggak, Nay. Lo udah buat Bayu benci sama Raya, padahal Raya nggak seburuk yang kalian kira!"

Di sisi lain, Raya yang masih sibuk mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata mulai menunjukkan sosok aslinya. Bulir-bulir bening perlahan jatuh dari matanya yang tajam. Pertahanannya mendadak roboh. Iya, Raya tetaplah seorang manusia; yang bisa menangis kapan saja.

Ada dua hal yang pernah membuat Raya menangisi hidup, ialah ketika Ayahnya meninggal dunia dan kedua kala Ibunya dinyatakan mengidap skizofrenia. Hal itu merubah semua yang ada dalam diri Raya. Tak ada lagi waktu yang Raya buang sia-sia, tak ada lagi hari-hari seru layaknya seoang remaja, yang ada hanyalah ambisi untuk bahagia.

Untuk seorang anak yang baru menginjak bangku SMA, Raya memang berbeda dari lainnya. Ia hidup dengan ambisi, berharap masa depannya kelak tidak suram. Sebab, ada Ibu yang harus ia cukupi, ada mimpi yang perlu ia capai. Tak peduli bagaimana orang-orang merasakan indahnya cinta. Bagi Raya, hidup sukses adalah hal paling berharga. Tetapi kenyatannya, kini ia harus mengalah pada semesta. Dibiarkannya air mata itu terjun bebas di pipi, Raya tak bisa lagi menutupi.

"Iya, Bi. Maaf baru Raya angkat. Raya lagi di jalan pulang. Bibi jaga Mamah dulu ya, Raya bentar lagi nyampe." Begitulah kalimat yang selalu Raya ucapkan kala Ibunya kambuh, dan Raya tak ada di sisinya.

Raya tahu, bahwa hidupnya palsu. Di mata orang, ia terlihat begitu sempurna. Tetapi dimata semesta, Raya bukanlah siapa-siapa, "Harusnya Raya nggak ketemu sama Bayu kan, Ma? Harusnya Raya nemenin Mama aja di rumah. Maafin Raya, Ma. Raya nyesel," ucapnya pada diri sendiri.

Surat untuk Bayu

Ada dua hal yang pernah buat gue nangis, Bay. Pertama ketika Ayah gue meninggal dunia, dan kedua saat Ibu gue dinyatakan sakit skizofrenia. Nggak! Ibu gue bukan gila, dia cuma dikasih hal istimewa aja sama semesta. Walaupun gue merasa udah kehilangan sosoknya. Tapi setidaknya dia masih ada. Kenapa ya? Setiap gue takut kehilangan sesuatu, pasti sesuatu itu bakalan hilang? Gue pernah bener-bener takut kehilangan Ayah. Dan bener aja, Ayah dipanggil tuhan diwaktu yang nggak disangka. Nggak! Lo nggak boleh kasian sama gue. Karena gue benci sama lo! gue nggak akan pernah merasa kehilangan lo, karena gue takut lo bakalan hilang, dan buat gue nangis untuk ketiga kali.

Jadi, maafin gue ya. Btw, kata-kata lo di lapangan kemarin norak sih.

Besok, sekolah lagi ya? Ini bukan permintaan. Tapi perintah.

Tertanda, Raya Anindita

--SELESAI--

Continue Reading

You'll Also Like

131K 7.1K 8
Salam ngakak dri Author^^.
1.3K 291 9
Seorang anak SMA yang selalu dijadikan pelampiasan emosi oleh sang ayah. Yang memiliki kehidupan yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya. Rafael...
17K 567 8
Penerbit Indie yang siap menerbitkan cerita anda dengan GRATIS! Dalam bentuk cetak! Kuy, buruan cek! HUBUNGI KAMI MELALUI : Shopee : evolifmedia Inst...
253K 8.9K 37
[ Sebelum baca, budayakan untuk follow author nya seng. Mana tau tertarik sama next story author nya 😘] ...