Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.8K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

683 117 30
By Mizuraaaa

"Mama?"

Batin Akita tersentak hebat, seketika jantungnya terasa berdetak lebih cepat, perasaan yang asing muncul dalam dirinya. Sudah lama sekali sejak saat itu. Panggilan itu, kenapa ...?

"Ini beneran mama?"

Pertanyaan itu lolos dari mulutnya yang mulai bergetar. Netranya menatap sendu, menyipit tipis hingga bulir air mata menutupi pandangan. "Ma ..."

Nafas Akita tertahan, tenggorokannya tercekat, tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya. Seakan aura kesedihan menular dari anaknya, mata Akita sudah bergelombang, siap menumpahkan cairan asin yang menjadi pelampiasan.

"(Y/n)!!"

Akita langsung memeluk anaknya erat, seketika dibalas oleh (Y/n) tanpa pikir panjang. Keduanya menumpahkan air mata, saling membasahi pakaian satu sama lain. (Y/n) tak bisa lagi menahan, dia sangat senang.

"Maa, ini mama, kan? Ini mama aku, kan? Aku inget ma! Aku ingett!!" suara (Y/n) yang berteriak terdengar bergetar, menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.

Mungkin Akita masih tidak mengerti bagaimana menyikapinya, tapi siapa peduli? Identitasnya yang selama ini selalu dipertanyakan oleh (Y/n) telah ditemukan. Akita begitu senang. "Iya sayang, ini mama, ini mama ..."

Namun, diantara suasana haru ini, ada satu orang yang tidak mengerti situasinya sama sekali. Pandangannya menyiratkan kebingungan yang terlalu ketara, tiba-tiba saja kejadian seperti ini terjadi di hadapannya. Ada apa?

Ia terkesiap rendah ketika mendapatkan tepukan di pundaknya, lantas menoleh dan menatap si pelaku. Fukube saat itu tersenyum kecil, mengangguk dan menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan Oreki untuk mengikuti dia.

Oreki segera menurut, Fukube membawanya keluar ruangan, membiarkan waktu berdua untuk ibu dan anak itu. Sesampainya di luar ruangan, keduanya duduk di tempat yang disediakan. Fukube langsung bersandar santai, sementara Oreki tak mengerti maksud Fukube membawanya kemari.

"Satoshi, sebenarnya apa yang terjadi di dalam?" Oreki melirik sejenak ke arah pintu ruangan itu, lalu kembali bergulir pada Fukube yang baru tersadar.

"Oh, itu." Fukube yang semula bersandar menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada tempatnya mendudukkan diri. "Oreki, apa (Y/n)-chan pernah bercerita kalau dia kehilangan ingatannya?" ia memiringkan kepala, menatap Oreki.

Oreki hanya mengernyitkan alisnya, lalu menjawab dengan ragu, "Iya ... sih, tapi Shimizu-san bilang dia lupa dengan wajah ayahnya, kan?"

Fukube mengangguk, membenarkan perkataan Oreki, tetapi kemudian ia menunduk dengan jari bertautan, setelahnya menghembuskan nafas panjang. "(Y/n)-chan juga melupakan wajah ibunya."

Jawaban itu membuat Oreki membulatkan matanya sembari memundurkan badannya sedikit, tidak bisa percaya dengan hal itu. Dalam keadaan yang masih bingung, Oreki kembali bersuara, "Wajah ibunya juga? Bukankah Shimizu-san hanya melupakan sebagian ingatannya? Lalu apa yang masih ia ingat?"

Mata Fukube melirik teman di sampingnya, menyipit curiga. Sejak kapan Oreki sepeduli itu pada orang lain? Bukankah dia tak suka mencampuri urusan orang lain? Jujur saja, Fukube merasa semakin hari temannya ini semakin aneh saja.

Tak memiliki waktu untuk itu, Fukube hanya memakluminya, mungkin Oreki hanya penasaran, tak lebih. Ia pun menghela nafas lelah. "(Y/n)-chan masih bisa mengingat beberapa kenangan dengan ayah dan ibunya, tapi wajahnya benar-benar tidak dia ingat."

"(Y/n)-chan ingat pernah bermain dengan ayahnya, (Y/n)-chan ingat pernah memasak dengan ibunya, tapi dia sama sekali tidak bisa mengingat wajah orang itu. Setiap aku tanya, katanya wajahnya buram, dia tak tau siapa yang bermain dan memasak bersamanya."

"Waktu itu, saat sadar, (Y/n)-chan tidak bisa mengenali bibi Akita. Kau tau? Itu juga melukai hatiku. Aku memang belum mempunyai anak, tapi entah kenapa, aku bisa merasakan bertapa sakitnya hati bibi Akita." Fukube memejamkan matanya erat, sejenak menahan nafas untuk menetralkan perasaan aneh dalam hatinya.

"Membayangkan orang yang sangat kau sayangi, melupakanmu begitu saja, bisa kau rasakan?"

Pertanyaan Fukube membuat Oreki termenung, ia pun menundukkan kepalanya lemas. Melupakan. Saat dimana orang yang kau sayangi melupakanmu, bukankah itu menyakitkan? Bagaimana bisa ada orang yang tahan terhadap situasi seperti itu? Ibunya (Y/n) benar-benar kuat.

"Walau begitu, itu sudah bertahun-tahun, kan? Ibunya Shimizu-san pasti bisa menjalin hubungan lagi walau Shimizu-san tidak mengingatnya."

Fukube menoleh, mengernyitkan alisnya sedikit. Ah, kenapa ini sedikit membingungkan, ya? "Iya, tentu saja. Tapi jika kau melihat secara langsung." ia memberi jeda, merubah posisinya menjadi bersandar. "Ada suatu dinding pembatas tak kasat mata yang menjadi jarak diantara hubungan mereka."

"Entahlah, aku merasa, sampai saat kemarin pun, (Y/n)-chan masih memberi jarak antara dia dan ibunya. Meskipun begitu, aku yakin bibi Akita dapat merubah pikiran (Y/n)-chan sesedikit apapun."

Fukube mengulas senyum kecil diantara ceritanya, tanpa sadar diperhatikan oleh sepasang manik hijau gelap itu. Kenapa, ya? Oreki tidak nyaman. Rasanya, seperti dia tertinggal begitu jauh.

Sebenarnya sedekat apa Fukube dan (Y/n) itu?

"Dan lalu, (Y/n)-chan juga tetap mengingatku, itu lah yang bisa menyimpulkan ingatannya hanya hilang sebagian." Fukube menegakkan tubuhnya seraya meregangkan otot leher, entah karena apa hari ini sedikit melelahkan, senyum terpatri di bibirnya.

Oreki hanya bisa melihat dalam diam, Fukube yang begitu santai menghadapi semua ini. Lalu, tanpa sadar, sebuah kalimat yang terpikirkan dalam benaknya keluar begitu saja. "Kau sepenting itu bagi Shimizu-san, ya?"

Pertanyaan itu membuat Fukube terkesiap, lantas menatap temannya dengan mata yang melebar singkat. Setelah itu ia tertawa kecil, menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Entahlah, mungkin hanya karena kita sudah berteman dari sejak kecil?"

Fukube memang tertawa, tapi kenapa, rasanya sakit, ya?

Laki-laki itu sedikit terperanjat, dering ponsel pada saku celana membuat ia terkejut. Segera di raih benda pipih itu dan ditatap layarnya, seketika berdecak malas. Fukube melirik Oreki sejenak, terkekeh pelan. "Aku pergi dulu ya, ayah menelpon."

Perginya Fukube yang menjadi lawan bicara membuat keheningan hadir menemaninya. Oreki menyandarkan punggung, lantas termenung seorang diri. Ternyata, tanpa sadar Oreki ingin mengetahui semua tentang gadis itu.

"(Y/n)-chan pernah tenggelam saat umurnya 8 tahun, saat itu pantai sepi sehingga tak ada yang menolongnya. Pada akhirnya ada yang menolong (Y/n)-chan walau terlambat, dia sudah tidak sadarkan diri dan segera di bawa ke rumah sakit."

"Setelah beberapa kejadian di rumah sakit, dokter menyimpulkan (Y/n)-chan terkena trauma. Saat dia tenggelam di usia itu, mentalnya terguncang hebat hingga menimbulkan trauma parah, bahkan sampai merusak jaringan sel otaknya, yang berakibat pada hilangnya sebagian ingatan (Y/n)-chan."

Cerita Akita berputar dalam otaknya dengan berlandaskan ingatan suara. Jari telunjuk Oreki menekan pelipisnya, kepalanya sedikit pusing. Sejak pagi dia belum mengistirahatkan tubuhnya, tidur apalagi, padahal jam segini seharusnya Oreki sudah tidur berkali-kali.

Oreki kembali mengingat pembicaraannya dengan Fukube. Ternyata Fukube begitu penting bagi (Y/n), bahkan gadis itu tak melupakan Fukube meskipun orang tuanya sendiri tidak dia ingat. Dipikir-pikir durhaka juga tuh anak.

Namun, menyadari hal itu, membuat sesuatu dalam hatinya terasa sakit. Sebenarnya Oreki itu siapa bagi (Y/n)? Apa hanya sekedar kenalan lewat yang tak perlu ditanggapi lebih? Karena sejujurnya, melihat kedekatan Fukube dan (Y/n), mereka seperti tidak dapat dipisahkan.

Entah kenapa, Oreki merasa khawatir.

.

Beberapa menit setelah (Y/n) sadar, dokter langsung datang untuk mengecek keadaannya. Beberapa pemeriksaan dilangsungkan, sementara itu ibunya masih mencoba untuk menghentikan laju air mata.

Fukube mengusap bahu Akita, mencoba menenangkannya. Bagaimanapun juga, Akita tidak sedih, Akita sangat senang, begitu senang hingga tak bisa berhenti mengeluarkan air mata. Setelah sekian lama, akhirnya, ia merasa diakui.

Diantara semua itu, Oreki masih belum menemui titik terang dari pertanyannya. Saat di mana Akita mengatakan bahwa dia merasa pernah mendengar nama kecilnya membuat Oreki tidak bisa berfikir jernih, itu sangat mengganggunya.

'Sebenarnya, Shimizu-san itu dia atau bukan, ya?'

.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Pertanyaan itu membuatnya mengulas senyum kecil, mengangguk pelan. "Sudah lebih baik, tapi kepalaku masih sedikit pusing." seraya mengusap kepala, ia terkekeh untuk menenangkan kekhawatiran temannya.

Oreki menghembuskan nafas pelan, ia tersenyum tipis melihat keadaan (Y/n) yang tidak begitu parah. Lantas tangannya pun terangkat, mengacak-acak surai (Y/n) yang tengah duduk dengan tubuh bersandar. "Baguslah kalau begitu."

Tak lama setelah itu, suara pintu terbuka memasuki indra pendengaran. Wajah (Y/n) langsung cerah mendapati sahabatnya masuk. "Fukube-kun! Kau di sini?!" sedikit rasa bingung memasuki benak. Tapi tak apa, rasa senangnya mengalahkan rasa bingung yang ada.

"Iya lah! Kau pikir aku akan diam saja saat bibi Akita menelpon sambil menangis dan mengatakan bahwa kau pingsan setelah dari pantai?" pertanyaan Fukube begitu panjang, ia bahkan tidak sempat untuk menarik nafasnya, intinya ia memasang raut wajah kesal.

(Y/n) menunduk lemah, seraya memainkan jari-jarinya ia berkata lirih, "Maaf, aku tidak tau kejadiannya akan jadi seperti ini."

Oreki melirik dengan ekor matanya, melihat raut wajah (Y/n) yang penuh penyesalan membuatnya sadar ini bukan situasi biasa. Fukube dan (Y/n) kan selalu bercanda, rasanya aneh ketika melihat hal seperti ini secara langsung.

"Aku sudah mendengar cerita lengkapnya dari bibi Akita."

"Satoshi, jangan salahkan Shimizu-san, ini salahku, aku yang mengajaknya ke pantai!" Oreki memotong dengan cepat, mencegah Fukube agar tidak memarahi (Y/n).

Seketika pandangan Oreki dan Fukube bertemu, Fukube menatap aneh pada sahabatnya yang satu ini. Sedari SMP, sikap ini baru pertama kali dia lihat. Oreki repot-repot membela orang lain? Bukankah itu aneh?

"Tidak! Ini bukan salah Oreki-san. Seharusnya, jika mau aku bisa menolak, tapi aku malah tetap ikut dan jadi seperti ini." (Y/n) segera memberi penjelasan panjang, menatap Fukube penuh harap agar laki-laki itu bisa memaafkannya.

"Tapi kan kau bisa memberitahuku. Kau ingat? Semalam aku menelponmu, tapi kau bilang besok tidak akan kemana-mana!"

Kepala (Y/n) kembali ditundukkan, ia sadar kalau ini salahnya, karena kecerobohannya semua jadi tidak terkendali. "Maaf, aku benar-benar menyesal."

Fukube menatap (Y/n) dalam diam. Gadis itu terlihat seperti anak kucing yang tidak dikasih makan tiga hari tiga malam, itu membuatnya tidak tega, ia menghembuskan nafas lelahnya. Kedua kaki melangkah mendekat, lalu mendudukkan diri di kursi yang di sediakan.

Posisi Fukube duduk di kursi sebelah kiri, sementara Oreki di sebelah kanannya. Saat itu Fukube menatap gadis itu dalam, membuat nyali (Y/n) semakin ciut takut dimarahi.

"Tidak, aku yang minta maaf."

Penyataan itu membuat (Y/n) mengangkat kepala seketika, menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"

Fukube mengulas senyum kecil, tangannya terangkat untuk mengusap rambut coklat (Y/n) hingga turun ke pipinya. Ditatapinya wajah itu, wajah yang begitu dicintai olehnya, namun tak bisa ia gapai sama sekali.

"Maaf, aku selalu mengekangmu dan menghalangi keinginanmu. Aku telah membuatmu terperangkap dalam ketakutan itu tanpa mencoba melepasnya. Maaf, aku hanya takut, aku takut kehilanganmu."

Eh? Air mata menetes membasahi pipi gadis itu. Ia bingung. Kenapa, dia menangis? "Tidak, itu bukan salahmu." hanya itu yang keluar dari bibir mungil (Y/n).

"Kau tau? Meskipun saat itu aku masih memiliki pemikiran anak kecil, aku sangat terkejut mengetahui kau tenggelam di pantai. Aku, benar-benar takut, aku tidak ingin itu terjadi lagi."

"Fukube-kun ..."

Fukube menutup matanya erat, mencoba menetralkan nafasnya yang sedikit tidak teratur. "Maaf, aku tidak sepeka Oreki untuk menyadari bahwa kau harus keluar dari semua ini. Maaf, aku benar-benar minta maaf."

"Tidak!" jawabnya penuh penekanan. "Aku tau maksudmu tidak seperti itu! Aku tau!" (Y/n) menepuk kedua pundak Fukube, menariknya untuk lebih dekat dengannya.

"Aku tau kau sangat peduli padaku, jadi kau tidak ingin aku kenapa-kenapa, begitu, kan?" tanya (Y/n) penuh harap. "Aku tau kau begitu! Kau tidak bersalah sama sekali! Semua ini murni kesalahanku, karena aku semuanya jadi seperti ini, tolong maafkan aku!"

Fukube mengulas senyum tipis seraya memiringkan kepalanya, (Y/n) itu, lucu sekali, ya? Tangannya terangkat lagi, kembali mengusap rambut gadis itu untuk yang kedua kalinya. "Tidak, ini bukan salahmu, buktinya kejadian ini menghasilkan sesuatu, kan? Sekarang kau mengingat bibi Akita, bukankah seharusnya kau senang?"

Bibir (Y/n) semakin bergetar, matanya menyipit dengan air mata yang semakin menggenang. "Iya, aku senang ..., aku sangat senang ...." dengan cepat ia memeluk Fukube erat, dirinya terisak saat wajahnya disembunyikan pada bahu Fukube.

Fukube hanya tertawa kecil, mengusap punggung (Y/n) berkali-kali untuk menenangkannya dari semua ini. Ah, bagaimana, ya? Fukube semakin menyayangi gadis ini, bagaimana cara dia melepaskan semua rasa yang dia miliki?

Seraya terus mengusap rambut indah (Y/n), Fukube berfikir. Gadis ini begitu berharga baginya, ia selalu menyukai bagaimana gadis ini berperilaku di hadapannya. Entah sikap manjanya, atau malah sikap rakusnya, semua ekspresi gadis ini terlalu candu baginya.

Tidak bisakah ia memiliki semua itu untuk dirinya sendiri? Fukube terkekeh miris. Mana mungkin ia seegois itu demi kebahagiaannya sendiri.

Sementara itu, orang yang sedari tadi memperhatikan interaksi keduanya dengan ekspresi datar, hanya terdiam. Entah kenapa, melihat pemandangan ini, dada Oreki terasa ... sesak.

"Hei, sepertinya sudah waktunya aku pulang."

Ucapan seseorang membuat keduanya tersadar, seketika menatap Oreki yang masih memasang raut wajah datar. Fukube sejenak menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu, terimakasih sudah membawa (Y/n)-chan ke sini."

Fukube segera bangkit dari tempatnya duduk, begitu pula Oreki yang mulai berjalan menghampiri teman satu SMPnya itu. Oreki menepuk bahu Fukube, menggelengkan kepalanya. "Tidak, ini juga salahku telah membawanya tanpa seizin dirimu."

Fukube hanya terkekeh canggung menanggapi hal itu. "Hee, aku ini sahabatnya, bukan ayahnya, kau tidak perlu meminta izin padaku." ia melakukan hal yang sama, menepuk bahu Oreki sedikit lebih keras.

Oreki meringis, menatap Fukube tajam yang hanya ditanggapi oleh kekehan. Laki-laki bermanik hijau itu pun menghembuskan nafas panjang. "Baiklah, aku pulang dulu, ya."

"Oreki-san, tunggu!"

Gerakan Oreki terhenti seketika sebelum dia sempat keluar dari ruangan. Pintunya sudah terbuka selebar tubuhnya sendiri, dengan tangan yang masih menggenggam kenop pintu ia menoleh. "Ya?"

"Maaf telah merusak liburanmu, aku malah menjadi beban seperti ini," ujar (Y/n) penuh penyesalan, ia menautkan jari-jarinya gelisah menunggu jawaban.

Oreki tersenyum kecil, menggelengkan kepala. "Tidak masalah, jangan pikirkan liburan itu, aku senang bisa membantumu." setelah mengatakan hal itu, ia pun segera keluar dan menutup pintunya rapat, meninggalkan kedua orang itu dalam keheningan, yang salah satunya dalam keadaan bingung.

'Sejak kapan Oreki tersenyum semudah itu?'

.
.

"Oreki, sudah mau pulang?"

Sekali lagi laki-laki itu harus menghentikan langkahnya. Di luar ruangan ia berpapasan dengan Akita, mau tak mau harus menjawab dengan sopan. Kepala mengangguk pelan, Oreki menjawab, "Iya, sepertinya saya butuh istirahat, lagipula keadaan Shimizu-san sudah membaik."

Akita mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali dengan bibir yang membentuk huruf o, tak lama kemudian ia menyunggingkan senyuman. "Baiklah, hati-hati di jalan, ya."

Oreki mengangguk mengiyakan, setelah membungkuk kecil laki-laki itu segera pergi, sementara Akita mulai memasuki ruangan di mana anaknya berada.

"Eh? Mama!" seru (Y/n) riang, matanya berbinar mendapati kehadiran Akita.

"Bagaimana, bi?" tanya Fukube, Sama-sama mengalihkan perhatiannya pada Akita.

"Untuk hari ini (Y/n)-chan harus menginap dulu, besok dokter akan mengecek lagi keadaanmu. Jika memungkinkan, kau baru boleh pulang."

Penjelasan Akita mengenai kondisinya membuat (Y/n) seketika cemberut. Apa-apaan? Padahal (Y/n) sangat tidak suka menginap di rumah sakit. Lagipula dia tidak apa-apa, ingatannya sudah kembali, hanya pusing yang tersisa, kenapa harus repot-repot begitu?

"Kalau begitu, bibi mau beli makanan dulu, ya." Akita berkata seraya menatap Fukube, membuat orang yang ditatap seketika mengernyit alis. "Loh? Memangnya ini pukul berapa, bi?"

Akita mengangkat lengannya, melirik jam yang melingkar indah pada pergelangan tangannya. "Sekitar tiga puluh menit lagi pukul tujuh. Fukube-kun pasti belum makan, kan? Jadi biar bibi sekalian belikan."

Senyum terpatri pada bibir Fukube, lantas mengangguk senang. "Baiklah, terimakasih bibi."

Setelahnya Akita kembali keluar dari ruangan, memberi waktu bagi anaknya dan Fukube untuk mengobrol ringan. Yah, lagipula anaknya itu sangat menyukai Fukube, kan? Dalam artian sebagai orang yang dikagumi.

Seraya melangkahkan kaki Akita berfikir, sepertinya makanan di kantin rumah sakit tidak terlalu menarik. Kedua bahunya terangkat, dengan tak acuh ia pun memutuskan mencari makan dari luar.

Akita mulai keluar dari gedung rumah sakit, segera menghampiri jalan raya untuk menyebrang. Malam ini jalanan terlihat begitu padat, apa mungkin karena efek musim panas? Akita terkekeh, tidak ada hubungannya sekali.

Setelah menolehkan kepala ke kanan dan kiri, ia merasa bisa menyebrangi jalan raya ini dengan sedikit memperhatikan kecepatan ia berlari. Ia bersiap, lalu mulai berjalan dengan kecepatan sedang, tetapi tanpa sadar,

TIIINNN TIIINNN

"Eh ...?"

BRAKKKK

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

45.6K 7.2K 15
Ketika kamu mendapatkan sebuah paket misterius dan ternyata isinya adalah sekumpulan para cowok ganteng versi chibi. ⚠︎ Warning! ➪ Cerita asli dan ka...
118K 19.4K 24
Ketika hidup (name) yang tenang berubah dengan kebobrokan dunia luar dan dalam dinding harus terganggu karena pasukan SC yang terus menerus mengincar...
35.7K 4.4K 45
Rival? Direbutin sama 4 orang secara diam diam, hmm menarik, berawal dari suka dengan diam diam kepadanya, saat menyukainya tiba tiba satu persatu ri...
9.3K 689 7
Haechan sendirian beberapa tahun belakangan, mereka menganggap dirinya seperti orang asing. Hingga ia mulai menjauh, mereka menariknya untuk kembali.