Harmony ; family relationship

By cherriessade

39K 3K 330

(COMPLETED) [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bukan cerita tentang kisah percintaan atau penghianatan, bukan juga mi... More

prolog
one
two
three
four
five
six
seven
eight
nine
ten
eleven
twelve
thirteen
fourteen
fifteen
sixteen
seventeen
eighteen
nineteen
twenty
twenty one
twenty two
twenty three
twenty four
twenty five
twenty six
twenty seven
twenty eight
twenty nine
thirty
thirty one
thirty three
thirty four
thirty five
thirty six
thirty seven
thirty eight
thirty nine
fourty
fourty one
fourty two (END)
Promote

thirty two

331 38 10
By cherriessade

Bara duduk dikursi tunggu tepat disebelah ruangan bersama Agatha yang tak henti-henti merasa panik.

Melirik gadis itu sekilas, Bara menghembuskan nafas. "Tenangin diri lo, Alin nggak akan kenapa-napa"

"Tapi Kak, " Agatha berujar panik, "dia phobia ruang sempit. Dia sudah didalam sejak 12 jam yang lalu. Aku takut dia–"

Agatha berhenti melanjutkan ucapannya ketika dirasa tangan Bara yang menggenggamnya halus, lalu gadis itu menghela, "aku takut dia kenapa-napa"

Bara menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan seakan ingin menyuruhnya untuk tenang, "nggak akan."

Tak lama kemudian, suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai, menghampiri ruangan dengan wajah panik.

"Tante?"

Lantas wanita itu melirik Agatha yang memanggilnya, "Agatha, gimana keadaan Alin, nak? Alin kenapa?"

"Aku masih belum tau keadaannya. Tapi dia jadi kaya gini gara-gara phobia-nya." ujar Agatha melemah.

Rana mengusap rambutnya, tubuhnya merosot berjongkok dilantai. Menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu. Ini semua karena-nya. Dia lah yang membuat Alinza seperti ini.

Agatha menghampiri Ibu dari temannya, mengusap bahu Rana. "Alin...bakal baik-baik aja, Tan"

Berujar itu meski dirinya sama khawatirnya dengan Rana.

Rana masih menangis. Phobia itu. Dia yang menciptakannya. Dan dia menyesal.

Ingatannya terlempar begitu saja ke-hari itu. Hari dimana dia mengurung Alinza didalam gudang yang sempit. Bukan tanpa alasan Rana melakukannya, dia hanya ingin membuat Alin jera. Pasalnya anak perempuan itu selalu berbuat ulah disekolahnya, selama itu Rana hanya bersabar. Menasihati Alin agar tidak berbuat kembali. Namun, lagi-lagi anak itu seakan tidak mendengar perkataannya. Anak itu membuat masalah berulang-ulang hingga sampai pada puncak kemarahannya. Rana hanya ingin membuat anak itu jera....
pada awalnya.

Dia mengunci Alin selama 5 jam. Sebenarnya dia juga tidak berniat untuk mengunci selama itu, niatnya hanya setengah jam. Tetapi karena dia tak sengaja tertidur disela-sela pekerjaannya. Saat bangun, Rana langsung panik dan berlari menuju gudang. Mendapati Alin yang pingsan disana membuatnya langsung sesenggukan. Merasa menjadi ibu paling jahat didunia. Merasa dirinya menjadi tidak berguna sebagai orang tua.

Suara kenop pintu yang berbunyi menyadarkan Rana. Dia mendongak melihat seorang Dokter cantik yang baru saja keluar dari ruangan itu. Lantas dia bangkit, menghampiri dokter itu.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"

"Untuk saat ini, dia sudah baik-baik saja. Pasien butuh istirahat yang cukup dan pola makan yang sehat. Saya juga akan resepkan obat dan vitamin." ujar Dokter itu, saat hendak melangkah, dia tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang.

"Bara?"

Rana yang masih berdiri disebelah dokter cantik itu juga menoleh, baru menyadari kehadiran anak laki-laki disana. Dia mengernyit, merasa tidak asing dengan anak itu, seperti sering melihatnya.

Ah, dia ingat. Anak lelaki itu sering terlihat bersama dengan anaknya. Tidak sekali dua kali Rana melihat mereka pulang bersama, seingatnya anak itu juga pernah mampir kerumahnya beberapa kali.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Dokter seumuran Daddy-nya.

"Dia teman aku," Bara melirik ruangan tersebut membuat Dokter Brisya mengerti. Lalu memandangnya penuh selidik, "bukannya pacar kamu? setau Tante kamu jarang punya temen cewe?"

Bara mendengus malas, dia tahu Brisya sedang menggodanya. Wanita itu tidak jauh berbeda dengan Mommy, Mama Caitlin, dan Mama Michelle yang senang menggodanya.

Sebenarnya jika dilihat dari urutan silsilah keluarga, Brisya adalah neneknya. Ayah Brisya dua bersaudara dengan ayah dari neneknya. Berarti Daddy-nya merupakan keponakan Brisya. Namun, karena dia hanya satu tahun lebih tua daripada Daddy, jadi, Daddy-nya hampir tidak pernah memanggil Brisya dengan panggilan Tante. Begitupula Bara dan Beltran yang tidak pernah memanggilnya nenek. Jika tahu, Brisya tentu akan memarahi mereka. Dia belum setua itu.

Kembali pada kenyataannya, setelah tersenyum senyum memandangnya penuh arti, Brisya segera berlalu dari sana.

Dia melihat Agatha yang meliriknya penasaran, seolah bertanya apa dia kenal dengan dokter tersebut.

"Tante gue" jawab Bara membuat Agatha manggut-manggut. Kemudian mereka masuk keruangan Alinza. Melihat gadis itu yang sudah tersadar.

"Alin, maafin Mama, nak." Rana memegang tangan putrinya, menangis.

Alin hanya memandang Rana. Kemudian mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Mama-nya. "Mama nggak perlu minta maaf, Mama nggak salah. Alin...yang perlu minta maaf sama Mama. Maafin aku"

Rana mengelus surai lembut anaknya, " maafin Mama juga"

Gadis itu mengangguk, kemudian mengedarkan pandangan melihat Agatha dan Bara yang berdiri dibelakang Mama-nya.

Agatha mendekat, "lo udah ngerasa baikan?"

Dia mengangguk pelan, "udah kok, lo nggak perlu khawatir."

Baru kemudian Agatha dapat menghembuskan nafas. Lega mendengarnya.

Namun, sebenarnya Alin mencari satu orang lagi.

Seseorang yang dia lihat dengan samar. Seseorang yang dia lihat dalam sisa kesadarannya yang bahkan dia sendiri tidak yakin apakah benar atau hanya mimpi. Dengan sisa kesadarannya yang masih sedikit, dengan pandangannya yang agak buram, dia melihat seseorang yang membawanya ala bridal style. Bukan Bara.

Meski entah itu kenyataan atau dirinya yang benar-benar bermimpi, tapi jauh dari hatinya yang paling dalam, ada secercah harapan orang itu berada disini. Menemaninya. Saat ini.

Alin menghembuskan nafas, lagi-lagi dirinya terlalu berharap.

***

Sehabis keluar dari rumah sakit, Bara langsung menuju parkiran. Dia berjalan sendirian karena Agatha yang belum mau pulang.

Masuk kedalam mobil, lelaki itu menoleh pada seseorang dengan wajah khawatir seolah sedang menunggu kabar darinya.

"Dia baik-baik aja" sahut Bara sambil memasang seatbelt.

Elvano menghela lega.

"Kenapa lo nggak ikut masuk?" tanya Bara agak heran, lalu menyambung dengan ragu, "dia nyari lo"

Elvano terdiam mendengarnya, selang beberapa detik kemudian lelaki berdarah Spanyol-Swiss itu terkekeh, mendorong bahu Bara pelan, "ngaco lu!"

"Ngapain dia nyariin gue? gue sama dia gaada hubungan apa-apa" tawanya yang justru terdengar hambar.

***

Seminggu berlalu, orang-orang yang menculiknya telah diamankan. Setelah pulang dari rumah sakit, Alin masuk sekolah seperti biasa walaupun Agatha sempat melarangnya, Adara yang mengkhawatirkannya juga menyuruhnya untuk beristirahat dirumah.

Bara juga beberapa kali mampir kerumahnya, entah apa tujuan lelaki itu, tapi sepertinya dia khawatir. Alin tidak tahu mengapa Bara terlihat begitu khawatir, namun aneh sekali. Alin justru menganggap perlakuan Bara pada dirinya itu normal. Padahal orang-orang pasti berpikir Bara menyukainya. Tapi Alin tidak berpikir begitu, karena dia tahu....Bara menyukai Agatha.

Seperti saat ini, lelaki itu sedang berada dirumahnya yang sepi. Mamanya baru berangkat tiga hari yang lalu ke Jerman. Alin tidak bisa berbuat apapun selain mengerti keadaan dan segala kesibukan Rana. Rana bekerja keras juga demi dirinya.

"Kakak pulang aja, " Alin meringis, segera meralat kalimatnya saat Bara menoleh dengan alis tertaut, "maksudnya, ini kan udah malem, nanti Tante Queen nyariin. Kak Bara kan juga perlu istirahat, aku bisa jaga diri kok."

Lelaki itu melirik arloji ditangannya. Ah, ya benar. Ini sudah larut, tidak enak juga bila dilihat tetangga.

Alin mengantarkannya kedepan. Gadis itu menatap punggung Bara yang mulai berjalan menjauh.

"Kak," serunya dengan suara pelan, membuat lelaki menoleh. Alin mengulas senyumnya, senyum paling tulus yang tercipta begitu saja seolah tersambung dari hatinya. "Makasih ya..."

"Makasih karena udah mau peduli sama aku" senyum berubah kecut. Seakan tidak ada yang benar-benar memperdulikannya selain Bara.

Mungkin Alin sudah berbaikan dengan Rana. Dia juga yakin Rana menyayanginya atau mungkin Rana juga sangat memperdulikannya. Tetapi sejauh ini, Alin rasa Bara jauh lebih memperdulikannya dibanding Rana. Atau karena Rana yang tidak menunjukan kepeduliannya secara terus terang. Entahlah, tapi dia hanya ingin berterimakasih kepada Bara.

"Makasih untuk semuanya" Alin masih mempertahankan senyumnya.

Bara tak banyak menjawab, dia hanya mengangguk. Lalu melanjutkan langkahnya seperti biasa. Alin hanya tidak tahu, dibalik punggung itu, ada sebuah senyum yang disembunyikan oleh malam. Senyum yang tertarik begitu saja, senyum yang menggambarkan langsung isi hatinya.

Alin memandang punggung itu dengan pandangan yang kosong. Sampai mobil Bara hilang dari halaman rumahnya, baru ia tersadar dari lamunan kosongnya.

Alin dan Bara. Mereka.....hanya tidak tahu bahwa mereka saling terikat. Fakta bahwa mereka memiliki darah yang sama yang mengalir dalam nadi mereka, tidak satupun dari mereka yang mengetahuinya.

***

TBC

paham kan kenapa Alin itu paling banyak muncul dicerita ini hehe.

Published July 24th, 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

3M 49.5K 35
βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ Megan tidak menyadari bahwa rumah yang ia beli adalah rumah bekas pembunuhan beberapa tahun silam. Beberapa hari tinggal di rumah i...
80.3K 2.8K 43
"Kebodohan gue adalah, dimana gue ngelupain orang yang selalu ada dan mentingin orang yang baru ada." ... Galvin Mahendra. "Gak usah nyesel! Kagak...
AlZoe [END] By jwies

Teen Fiction

226K 8.2K 83
[BUDIDAYA KAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA,DAN JANGAN LUPA VOMENT] 'Al, I love you'-Zoeline 'Gatau diri, benci gue sama Lo'-Alvarez __________________...
11.3K 1.5K 21
πŸ“ ZONA BAPER BERATπŸ“ __________________________ Gadis SMA yang menemukan bayi di pinggir jalan saat ia pulang dari pemakaman orang tuanya menjadi mi...