Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

dua puluh delapan

44.2K 7.6K 488
By luckybbgrl

"Emang tadi ada apa, Sus? Kok Ayah sampe kambuh?"

Rea berjalan cepat di samping Sekar. Di belakang keduanya terdapat Bara yang ikutan berjalan cepat sambil menoleh ke kanan kiri seolah-olah tengah mengamati sekitar.

Cowok itu mengerutkan keningnya bingung. Tempat ini terasa familiar untuknya, tapi dimana?

"Akh!"

Bara memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sekilas pandangannya memburam dan berputar-putar, beberapa kali juga menunjukkan kilasan sosok perempuan yang duduk di atas kursi roda dengan pandangan kosong lurus.

Tapi tak lama segera kembali seperti semula. Dengan buru-buru ia segera menyusul Rea yang telah jauh di depan sana setelah denyutan di kepalanya hilang.

Dalam hati ia bertanya-tanya, siapa perempuan itu? Ia seperti pernah melihatnya dan kilasan-kilasan tadi seperti kilasan ingatan miliknya. Tapi kapan?

"Tadi Bu Widya ke sini, Mbak," Rea otomatis menoleh ketika mendengar jawaban Sekar yang diluar dugaannya.

Mama? Kenapa Mamanya menemui Ayahnya? Bukankah dalam novel disebutkan tidak pernah ada seorangpun selain Rea yang menjenguk Wijaya?

"Pak Wijaya di kamar ini, Mbak!" Sekar mendekat ke salah satu pintu ruangan yang merupakan kamar rawat Wijaya. Rea ikut mendekat, jantungnya berdetak cukup kencang mendengar keributan yang dibuat oleh Wijaya sendirian di dalam sana.

"Emangnya Mama ke sini ada apa, Sus?" Rea bertanya sebelum Sekar sempat membuka pintu ruangan tersebut, perempuan berumur 20-an itu menoleh.

"Saya kurang tau juga, Mbak. Tadi Bu Widya minta ngobrol empat mata sama Pak Wijaya," Sekar menjawab, setelahnya membuka pintu ruangan tersebut. Membuat suara teriakan Wijaya semakin menjadi dan terlihat disana ada Suster Nuri juga yang tengah berusaha menenangkan.

"WIDYAA!!" Wijaya berteriak marah kemudian menangis.

"Pak Wijaya, harap tenang. Mari, minum dulu," Nuri yang baru datang saat shift siang tadi langsung menghampiri Wijaya saat menerima berita bahwa beliau tengah kambuh.

"GAK MAU!!"

Prangg

"SAYA MAU WIDYA!!" Wijaya melotot ke arah Nuri setelah menampik gelas air putih yang dibawa oleh Nuri.

Wijaya berusaha berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang lemah karena sudah hampir tiga tahun depresi membuatnya kesusahan untuk berdiri.

"ARGHHH. KAKI BODOH!" Wijaya memukul-mukul kakinya sendiri. Rea yang melihat itu nampak berkaca-kaca. Ketiganya masuk, kemudian pintu ditutup lagi oleh Sekar.

Rea buru-buru mendekat, duduk bersimpuh di depan Wijaya dengan tangan yang mencekal kedua tangan pria itu.

"Ayah, ini Rea," nada bergetar terdengar jelas saat Rea berbicara, matanya menatap Wijaya dengan sendu berharap Ayahnya bisa langsung sadar.

Brukk

"KAMU BUKAN ANAK SAYA!" Wijaya melotot tajam ke arah Rea yang terdorong ke belakang karena ia dorong. Tatapan marah Wijaya bertubrukan dengan tatapan terkejut Rea.

Apakah Ayah Rea tahu ini bukan anaknya?

Perasaan sedih, kecewa, dan marah melebur jadi satu di dalam hatinya. Entah ini perasaan Rea asli atau perasaannya yang telah menganggap Wijaya Ayahnya sendiri, tapi rasanya sangat menyesakkan.

Bara yang melihat Rea terjatuh mendekat, berusaha membantu gadis itu untuk bangun. Wijaya yang melihat ada sosok lain mengalihkan pandangannya, ia mengamati cowok itu dengan teliti. Apakah itu Nathan yang sering dibicarakan Rea?

"Lepaskan anakku!" Wijaya menarik tangan Rea agar menjauh dari Bara. Ia sudah salah membuat Rea anaknya berambisi untuk balas dendam sampai rela dirinya sendiri terluka, ia tidak ingin Rea yang sekarang juga mengalami hal yang sama.

Rea yang melihat perubahan suasana hati Ayahnya semakin menangis. Buru-buru ia memeluk sang Ayah dan berkata lirih.

"Ayah, Ayah gak sendirian kok. Ada aku. Ayah tau kan aku sayang banget sama Ayah?"

Wijaya menangis mendengar kalimat yang diucapkan gadis itu. Melihat di pertemuan sebelumnya, Wijaya langsung tahu bahwa yang ada dalam tubuh anaknya bukanlah Rea asli, aura mereka berbeda.

Wijaya memang terlahir dengan kemampuan melihat aura seseorang. Rea anaknya, memiliki aura ungu tua, sedangan Rea yang ini memiliki aura merah. Kedua warna aura ini perbedannya terlihat dengan jelas, dan tidak mungkin jika dalam waktu dua minggu seseorang bisa merubah auranya sampai sejelas itu.

Ia pikir awalnya hanya kebetulan Rea bisa merubah auranya dengan cepat. Tapi melihat reaksi gadis itu saat untuk pertama kalinya ia berbicara, ia yakin mereka beda orang. Apalagi saat pertemuan mereka kemarin, Rea ini sama sekali tidak menceritakan apapun. Kebiasaan Rea anaknya adalah menceritakan apapun kepadanya untuk memancingnya berbicara, dan anak ini tidak melakukannya.

Tapi kenapa ia merasakan rasa sayang anak ini sama besarnya dengan rasa sayang Rea anaknya?

Wijaya semakin menangis, teringat dengan Rea anaknya yang selama ini tidak pernah sekalipun ia ajak bicara atau dijawab ketika menjenguknya. Ia menyesal karena satu-satunya orang yang menyayanginya dulu ia sia-siakan, dan bodohnya baru ia sadari saat raganya diisi oleh orang lain.

"Ya, Ayah juga sayang kamu," Wijaya membalas dengan lirih diikuti tangannya yang terangkat membalas pelukan gadis itu.

Entah kenapa perasaan Rea terasa sangat tenang mendengar perkataan Wijaya. Seolah-olah Wijaya benar-benar menyayanginya karena menyebut 'kamu' dibanding menyebut nama anaknya.

Setelah Wijaya sedikit tenang, Nuri dan Sekar menawarkan Rea dan Bara untuk membawa Wijaya berjalan-jalan terlebih dahulu karena keduanya hendak membersihkan kamar tersebut.

Rea mendorong kursi roda tempat Wijaya duduk, di sampingnya Bara ikutan berjalan santai. Beberapa saat ia was-was karena Ayah Rea melirik ke arahnya dengan pandangan tidak enak.

Rea yang menyadari Wijaya menoleh beberapa kali ke arah Bara melirik cowok itu tidak enak, kemudian sedikit membungkuk ke depan agar lebih dekat dengan Wijaya.

"Ayah mau berhenti di taman sana dulu?" tanya Rea sembari menunjuk ke arah taman terdekat dengan tempat mereka bertiga sekarang. Wijaya mengangguk sebagai jawaban.

Rea segera menegakkan tubuhnya, mendorong kursi roda Wijaya lagi menuju ke taman tersebut. Sesampainya di taman itu, Rea menghentikan kursi roda Wijaya dan beralih berjalan ke depan pria itu.

Gadis itu berjongkok di depan Wijaya, matanya bergulir menatap Bara yang masih setia berdiri di belakang Wijaya. Ia memberi isyarat pada cowok itu agar mendekat ke arahnya, setelah memastikan Bara ikut berlutut di sampingnya Rea kembali menatap Wijaya. Ia sedikit heran melihat kerutan kesal Wijaya saat melihat ke arah Bara.

Memangnya Bara salah apa sampai Wijaya marah saat melihatnya?

"Ayah kenalin, ini Bara. Temen Rea," Rea melirik ke arah Bara, cowok itu membungkuk sopan. Kerutan di dahinya juga berangsur hilang setelah mendengar perkataan Rea.

"Siapa?" Wijaya menoleh ke arah Rea meski matanya masih menatap ke arah Bara.

"Bara, Yah."

"Iya, Om. Saya Bara," Bara mengangguk lagi. Wijaya meneliti penampilan cowok itu dari atas hingga ke bawah, sebelum kemudian kembali menatap Rea tanpa berbicara apa-apa. Rea yang melihat Wijaya tidak memberikan respon apapun tersenyum canggung.

"Ayah tadi udah makan?" Wijaya diam cukup lama, kemudian menggeleng sebagai jawaban.

"Oh, mau saya belikan bubur ayam, Om?" Bara menatap Wijaya dengan memasang wajah sesopan mungkin. Wijaya yang mendengar tawaran Bara melirik tajam ke arah cowok itu sebentar kemudian menatap Rea lagi tanpa menjawab.

Rea menatap Wijaya dan Bara bergantian. Bingung dengan Wijaya yang memberikan respon negatif terhadap niat baik Bara, ia jadi tidak enak dengan cowok itu. Sudah direpotkan dengan menyuruh mengantarkannya ke sini, ia juga mendapatkan tatapan sinis terus dari Wijaya.

"Oh iya, Bar. Beliin aja," Rea dengan inisiatif mengiyakan tawaran Bara. Gadis itu juga merogoh sakunya untuk mengambil uang. "Nih uangnya!" ucapnya sambil menyodorokan selembar uang berwarna merah ke arah cowok itu.

Bara berdiri tanpa meraih sodoran uang Rea. Menepuk-nepuk lututnya yang kotor sebelum berdiri dengan sedikit membungkuk menatap Rea.

"Nanti aja, pake uang gue dulu," ucapnya sebelum beralih menghadap Wijaya dan menganggukkan kepalanya sopan, kemudian pergi.

Wijaya memperhatikan Rea yang memperhatikan punggung tegap Bara yang menjauh. Apakah mereka memiliki hubungan lebih?

"Kamu kenapa...," Rea menoleh mendengar Wijaya berbicara dengan nada menggantung, kedua alis gadis itu terangkat menunggu kelanjutan ucapan Ayahnya. "Deket-deket sama itu?"

"Dia teman Rea, Yah," Rea menatap Wijaya dengan tersenyum. "Emangnya kenapa?" tanya Rea saat melihat Wijaya menyipitkan matanya curiga.

"Kamu selingkuh dari Nathan?" Rea mendelik mendengar perkataan Wijaya yang tidak terduga.

Bagaimana bisa Wijaya tahu soal Rea yang berpacaran dengan Nathan? Rea semakin dibuat bingung dengan kenyataan bahwa Wijaya tahu nama Nathan, padahal Mamanya sendiri tidak tahu.

"Ha? Enggak kok, Rea udah putus sama Nathan," Rea menggeleng cepat. Mendengar jawaban Rea mengapa membuat Wijaya menghela nafas lega, senyumannya tercetak tipis. Tangannya terangkat terulur hendak mengelus kepala Rea, tapi tak sampai hingga membuat tangannya hanya bergantung di udara.

Rea yang melihat itu berinisiatif mendekat, meraih tangan Wijaya dan menaruhnya di kepalanya sendiri. Membiarkan Wijaya mengelus disana dan memilih untuk menikmatinya. Sudah lama ia tidak merasakan elusan sayang di kepala dari orang tuanya. Untuk saat ini, Wijaya Ayahnya kan?

"Kalo kamu baca buku diary Rea, berhenti ya. Jangan diterusin," Rea tertegun mendengar perkataan lirih Wijaya.

Lagi-lagi soal buku diary Rea.

Kenapa Wijaya berbicara seolah-olah itu bukan buku diary miliknya?

Seolah-olah tahu bahwa ia bukan Rea anaknya?

Kenapa Wijaya menyuruhnya berhenti jika telah membacanya?

"Biarin Ibu sama Papa kamu bahagia."

Sebenarnya ada apa dengan buku diary Rea?

••••

Nathan memandangi handphone-nya yang tengah menyala membuka beranda aplikasi instagram. Layarnya menunjukkan salah satu postingan akun instagram dengan username adreapad.

adreapad
Rumah Sakit Jiwa Hanum

adreapad 's Hero ♡

Setelah semua pertandingan selesai, Galang mengajak semuanya untuk mampir ke cafe-nya dulu untuk nongkrong. Begitupun dengan Nathan yang kini tengah berkumpul bersama teman-temannya sambil mengamati foto postingan Rea berserta caption secara bergantian.

"Hero?" gumamnya pelan.

Bukankah 'hero' biasanya dipakai anak perempuan untuk Ayahnya?

"Eh, ini bokap-nya Rea?" Nathan mendongak mencari asal suara saat telinganya mendengar kalimat itu. Itu Gilang, dia tengah menyodorkan handphone-nya ke depan dan membuat beberapa anak lain di sampingnya bergerumbul karena penasaran.

"Loh, bokap-nya di Rumah Sakit Jiwa? Bukannya selama ini perusahaan cabang Admj itu yang ngurus bokap-nya Rea ya?" Aldi, anak IPA 2 bertanya sambil kembali ke tempat duduknya dan menatap Gilang heran.

"Loh, katanya perusahaan cabang Admj yang itu dulu bangkrut?" Willy, anak IPA 5 ikutan menyahut.

"Heh, gak mungkin. Masa iya bangkrut? Kalo bangkrut mana mungkin dia sanggup sekolah di Binar Mulia. Tau sendiri SPP perbulannya berapa," Galang meraih gelas es kopi-nya, kemudian meminumnya.

"Iya juga ya," Willy mengangguk-anggukan kepalanya paham.

"Gue gak tau juga ya ini bener apa enggak, katanya sih bokap-nya Rea yang waktu itu ngurus sampe akhirnya mentalnya kena gegara bangkrut. Terus nyokap-nya Rea nikah lagi pas bokap-nya Rea masuk RSJ, jadinya yang ngurus perusahaan itu bokap tiri-nya Rea," Juniar, anak IPS 2 ikutan menambahi.

"Lo tau dari mana dah?"

"Nyokap gue temennya nyokap-nya Rea."

Agung bukan Ayah kandung Rea, apakah selama ini perkataan Ibunya omong kosong?

Apakah berarti, ia sudah salah sangka sampai bertindak terlalu jauh kepada Rea yang tidak ada hubungannya sama sekali?

Nathan buru-buru mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke dalam saku sambil berdiri dan melangkah keluar cafe. Menghampiri motor sport-nya dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi pulang ke rumahnya.

To be continue...

•••••

maaf, kemarin belum selesai part ini😭

Continue Reading

You'll Also Like

383K 44.3K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
1.7M 134K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
622K 31.5K 38
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...
893K 86.6K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...