More Than Frenemy

Por pinkishdelight

1.6M 289K 146K

[Frenemy vol. 2] "I still hate you. But I like you. I just do." Más

read me please!
intro and chapter 1: cheaters [2021]
chapter 2: peachdelight [2021]
chapter 3: lovebirds [2021]
chapter 4: siblings [2021]
chapter 5: anniversary [2021]
chapter 6: officially missing you [2022]
chapter 7: lights out
chapter 8: priority [2022]
chapter 9: valentine [2022]
chapter 10: support system [2022]
chapter 11: appaling [2022]
12. boyfriend material
chapter 13: parasite
chapter 14: trust issue [2022]
chapter 15: torn [2022]
chapter 16: love language [2022]
chapter 17: tense [2022]
chapter 18: birthday gift [2022]
chapter 19: fever
chapter 20: complicated [2022]
chapter 21: dead end [2022]
chapter 22: fireworks [2022]
chapter 23: let go [2022]
chapter 24: lee [2022]
chapter 25: graduation [2022]
chapter 26: clingy [2022]
chapter 27: honeymoon suite [2022]
chapter 28: night guest [2023]
Q n A
Mark and Liv answer your questions
chapter 29: baby peach [2023]
chapter 30: public enemy [2023]
31. pattaya
chapter 32: family [2023]
chapter 33: blank future [2023]
chapter 34: rooftop surprise [2023]
chapter 35: bruises [2023]
chapter 36: decision [2023]
chapter 37: another decision [2023]
chapter 38: sniper [2023]
chapter 39: bulletproof [2023]
chapter 40: fate
chapter 41: santorini [2023]
season 2 [mark lee pov], chapter 1: plot twist [2024]
chapter 2: reality [2024]
chapter 3: spy [2024]
chapter 4: rooftop prince [2024]
chapter 5: sleepyhead
chapter 6: villa [2024]
chapter 7: overdose [2024]
chapter 8: our home
chapter 9: dark shadow [2024]
chapter 10: her secret [2024]
chapter 11: fugitive [2024]
chapter 12: i miss you being mine
chapter 13: gone [2024]
chapter 14: brainy kim
chapter 15: bipolar [2024]
chapter 16: london sweetheart [2024]
chapter 17: the princess [2024]
chapter 18: mafia game [2024]
chapter 19: red hawk [2024]
chapter 20: the vow [2024]
chapter 21: camping ground
chapter 22: recovery [2024]
chapter 23: opera house [2023]
chapter 25: backstage [2024]
chapter 26: Don
chapter 27: the devil's call
chapter 28: flu [2024]
chapter 29: unexpected [2024]
30: the wedding day [2024]
31: won byun [2024]
32. first marriage day
chapter 33: wrong energy
chapter 34: house arrest plan
chapter 35: positive
chapter 36: blessing and curse
chapter 37: without her
chapter 38: run, baby, run
chapter 39: getting close

chapter 24: symptoms [2024]

7.3K 1.5K 905
Por pinkishdelight

The Goddess Diana With A Lion, lukisan terkenal karya Angelo Graf von Courten. Itu yang pertama kali kuingat begitu melihat Livia Byun menggiring singa jantan di panggung pertunjukan. Persis seperti Diana dalam lukisan karya Angelo Graf ㅡwalaupun tentunya Liv tidak bertelanjang dada sambil membawa senjata berburu.

Diana adalah dewa dalam mitologi Yunani yang melambangkan kecantikan, keberanian, dan alam liar. Uniknya, persembahan untuk Diana diadakan tiap tanggal 13 Agustus ㅡsama seperti tanggal lahir Liv. Kisah cinta Diana juga dikisahkan penuh liku, tapi dia selalu memperjuangkan hidupnya dan rakyat jelata serta binatang liar. Sebagian besar penonton mungkin mengira dia perempuan gila, tapi kurasa pesan itu yang ingin Liv sampaikan lewat penampilannya.

Seperti disihir, saat itu singa jantan yang dibawa Liv menurut dan duduk dengan tenang sepanjang pertunjukan. Sementara itu bagaikan mimpi aku melihat sekaligus mendengar seorang Livia Byun menyanyikan lagu opera. Sangat baik untuk ukuran orang yang setahuku tidak pernah melatih suaranya dan makan sangat sembarangan. Bisa jadi bakat alami ㅡLiv memang masih saja penuh misteri.

Selama bernyanyi Liv tersenyum dan terus menatap lelaki di balkon. Sulit untuk mengartikan senyum itu dari jarak yang lumayan jauh. Apa pun itu, hatiku sangat panas. Sejak melihat Liv di atas panggung sampai aku dan Red Hawk kembali ke jet kami, aku hanya bicara seperlunya. Energiku seolah mendadak terkuras habis. Cuma ingin menghempaskan diri di kasur. Lalu tidur atau lupa ingatan.










"Nesun Dorma," gumam Red Hawk ketika kami sudah di pesawat lagi, menyebut judul aria yang tadi Liv bawakan. "Itu lagu yang sangat populer. Anda pasti tau."

"Puccini, kan?"

"Tapi anda tau artinya?"

"Nope," jawabku singkat tanpa menunjukkan ketertarikan.

"Nobody shall sleep.
Even you, Princess, in your cold room, watch the stars that tremble with love and with hope.
On your mouth, I will tell it when the light shines.
And my kiss will dissolve the silence that makes you mine.
At dawn, I will win.
I will win.
I will win."

Red menyebutkan bait demi bait sementara aku menyimak. Setelah mencerna sesaat, akhirnya aku menoleh padanya.

"So?" tanyaku.

"Saya rasa Livia Byun memilih lagu itu sebagai bentuk protes terselubung. Dari penggalan syair lagu, apalagi biasanya Nessun Dorma lebih umum dinyanyikan laki-laki," ujar Red. "Bahkan dari jauh saya bisa merasakan aura kemarahannya. Liv menunjukkan kalau dia tidak ingin ada di sana, dan suatu saat akan 'menang'. Tidak mau dipaksa lagi melakukan hal yang ia tidak suka."

Lagi-lagi aku diam mencerna kata-kata Red Hawk, lalu terkekeh pelan. "Itu kan cuma perkiraan."

Red Hawk menghela napas. "Saya tau anda shock dan kecewa, tapi bukannya anda sendiri yang bilang dia pasti cuma terpaksa?"

"Yeah," anggukku. "Tapi perasaan shock dan kecewa nggak bisa dihindari, kan?"

Hanya tatapan iba yang selanjutnya kuterima dari Red Hawk. Seperti biasa dia menepuk-nepuk pundakku, lalu menyerah, pergi ke sisi lain kabin pesawat. Akhirnya mengerti kalau aku butuh waktu untuk sendiri.

Selepas kepergiannya, aku menghela napas. Apa yang Red Hawk duga tentang cara Liv memberontak sebenarnya sejalan dengan yang kupikirkan tentang lukisan The Goddess Diana With A Lion. Bukan tidak mungkin kalau Liv memang sengaja memadukan dua unsur itu menjadi ekspresi kemarahannya di atas panggung. Yah, aku masih berusaha yakin dia tidak akan mencintai orang lain.













Sayangnya, dia terus membuatku ragu.

Kukira kami bisa bertemu lagi dua atau tiga hari kemudian. Tapi bahkan sudah seminggu berlalu Liv bilang dia masih belum bisa kembali. Bagaimana kalau setelah pertunjukan ternyata Liv bersama dengan Don sampai sekarang? Bagaimana kalau dia tidak dibolehkan pergi lagi? Bagaimana kalau ternyata pertunjukan aria adalah kali terakhir aku bisa melihatnya?

Aku berusaha menyibukkan diri, mengalihkan berbagai pikiran negatif yang mengganggu. Dari luar aku yakin orang-orang tidak akan tahu betapa pikiranku sedang kusut, tapi di dalam aku makin kacau. Bingung harus sedih atau marah pada siapa. Selama ini aku hanya mengeluh pada Tuhan, tapi kurasa sekarang pertahananku sudah runtuh. Aku butuh seseorang untuk bersandar.












"Eh- siapa sih? Daniel??" kakakku terbangun, padahal aku baru merangkak naik ke atas kasurnya. "Astaga ㅡMark, kamu ngapain???"

"Istrimu tidur sama Daniel kan?" tanyaku.

"Iya. Kenapa? Kamu mau gantian tidur sama Daniel? Boleh, sana cepet. Sejak Daniel sakit aku tidur sendiri ㅡIH MARK LEE, NGAPAIN SIH? INGET TUHAN, JANGAN INCEST!"

Walaupun James meronta, tapi tetap kupeluk dia. "Pikiranmu kotor banget ya," gumamku. "Diem, aku lagi tertekan."

"Nggak tanya. Pergi sana ㅡatau mau ditendang?!" usir James.

"Huahh... akhirnya bisa ngerasain lagi punya kakak," aku malah mendekapnya makin erat bagaikan guling.

"Creepy. Go away, pervert. Bury your face on Liv instead," James mendorongku sambil bergidik ngeri.

Tanpa melawan akhirnya aku telentang lemas. Menatap langit-langit kamar. Bisa kurasakan kakakku menatapku kebingungan. Atau bukan bingung, tapi mengira aku stress.

"Are you drunk?" akhirnya dia bertanya, lalu menjawab sendiri. "Enggak ah kayaknya."

"Yeah, not drunk. Just sad," sahutku.

"Why?"

Tidak langsung menjawab, aku berguling ke samping supaya menghadap James. Dia menungguku curhat. Rasa keponya jauh lebih tinggi daripada keinginan untuk mengusirku.

"James," ujarku. "Menurutmu aku sama Liv cocok nggak?"

Dia terkekeh. "Mau jawaban bohong atau jujur?"

"Serius, James."

"Hmm..." kakakku ikut berguling menyamping juga. "Walaupun lebih jelek dari aku, tapi kamu nggak jelek-jelek banget loh Mark. Jangan minder gitu dong."

"ISH!!" kupukul James dengan bantal. Sempat-sempatnya dia usil.

"Hahahaha sorry. Just kidding, okay. Emang kenapa tiba-tiba kamu insecure? Ke mana Mark Lee yang tengil??"

"Liv udah punya calon suami yang dipilih keluarganya."

"H-hah?" seketika James berhenti tertawa. Ia menatapku serius. "Seriously??"

"Dead serious," aku menghela napas.

James menatapku prihatin. "Damn, man. Are you okay?"

"Of course no," keluhku.

Kakakku diam karena kaget. Cukup lama. Dan sepertinya dia juga bingung mau bereaksi bagaimana. Seperti bangkai, aku bergeming.

"Jadi sekarang kalian lagi berantem?" akhirnya James buka suara lagi.

"Nope. Liv nggak tau kalau aku tau. Jadi orang lain juga jangan sampai tau. Ini rahasia kita," ujarku.

Lagi-lagi James terdiam. Dia tertegun seolah sedang memikirkan sesuatu sambil bersandar di kepala ranjang.

"Kalau bukan tau dari Liv langsung, kamu tau dari mana? Liv keliatannya sayang banget sama kamu, Mark Lee. Mana mungkin dia tiba-tiba mau jadi istri orang??" kata James.

"Dari sumber yang bisa dipercaya. Bukan karena kemauan dia. Tapi keluarganya," aku menyahut lemah. "Kamu tau kan mereka siapa, kita bukan apa-apanya. Menurut mereka kita paling cuma gembel."

Helaan napas terdengar dari mulut kakakku. "Yeah, baru pertama aku liat ada orang beli pabrik mainan kayak beli permen. Makanya aku heran masa dia cantik dan punya segalanya kok mau sama bebek? Coba ngaku deh, kamu kasih apa Liv? Hm?"

"Ya mau lah, bebeknya seksi banget gini."

"Well, well, love is blind, though," James tertawa kecil. "Bercanda, Mark. Geli sih bilangnya, tapi kamu anak baik ㅡbeneran. Simply good. That's why people love you. Because you're loveable."

Aku tersenyum. "I know. I know she loves me."

"So what's the probs dude??"

"I saw him. Tunangannya Liv. Mungkin orang paling kaya di Eropa. Tinggi, keren, kaya, perfect. Serasi banget sama Liv, menurutku," ujarku.

"Terus udah sejauh ini kamu mau menyerah?" tanya James.

"Maybe. Aku cuma jadi sadar, ternyata kehidupan Liv itu terlalu jauh levelnya di atas aku yang bukan siapa-siapa," aku berkata.

Bulir air jatuh dari sudut mataku dan kubiarkan ㅡmasa bodoh James lihat. Sepertinya memang lihat, soalnya jadi ada keheningan canggung cukup lama di antara kami. James berguling jadi telentang lagi menatap langit-langit.

"Bukannya sejak ngejar-ngejar Liv kamu sering pamer Korintus 13 ayat 8, yang katanya sesuai tanggal lahir Liv," kata kakakku. "Love never fails. Aku aja inget loh, masa kamu lupa?"

"Love never fails... yeah..."

"If you love her and she love you, that's enough. Love never fails."

James benar. Terlalu cemas dan ketakutan tidak akan mengubah apa pun. Lebih baik aku fokus pada rencanaku bersama Red Hawk, dan di sisi lain selalu percaya pada janji Tuhan. Pasti ada titik terang. Aku sudah sejauh ini, konyol juga kalau tiba-tiba ingin menyerah.

"Thanks, James," ucapku.

"Jangan sedih lagi. Udah makan belum? Kurang gula darah bisa bikin mood jadi gloomy. Pacarmu masak risotto enak banget tadi, kayaknya masih ada sisa sedikit."

"Hah?? Liv ke sini??"

"Bukan ke sini, tapi dia di sini. Udah tidur dari tadi di kamarmu," tandas James. "Makanya kan tadi aku suruh kamu ngusel ke Liv aja."

"K-kok?? Dia nggak bilang apa-apa loh."

"Handphone-nya mati, tadi langsung dia charge."

"Terus kalian nggak ada satu pun yang telepon aku buat kasih tau Liv udah pulang??"

"Lupa, hehehehe."

Selalu saja aku dilupakan sebagai anggota keluarga. Sebenarnya yang anak di keluarga ini aku atau Liv sih??

Aku mendengus. "Ish- jahat banget."

"Liv ke sini soalnya besok aku berangkat bawa Daniel ke London. Kamu lupa ya?" ujar James.

"Astaga- iya juga. Jadi besok kalian pergi jam berapa?"

"Mungkin habis sarapan. Tadinya kami mau naik pesawat biasa, tapi Daniel belum bisa ketemu orang banyak," kakakku menghela napas. "Terpaksa terima bantuan Liv lagi. Private jet."

"Itu yang terbaik buat Daniel."

"Yeah, sebagai gantinya kamu harus jadi budak Liv seumur hidup. Anggap aja bayar hutang keluarga."

Aku tertawa, kemudian berguling memeluk James lagi. "I'll miss you."

"Bohong. Waktu kita masih kecil kan hobimu berdoa biar aku diusir dari rumah."

"Tapi waktu kamu hilang dua hari gara-gara ketinggalan rombongan study tour, di rumah aku nangis sampai demam."

"Hahaha I know, masih inget kamu jelek banget waktu aku pulang. Mukanya banyak ingusnya," kakakku terbahak. "Heh Mark Lee, pindah ke kamarmu sana!"

"Can I just sleep here? Kita nggak tau berapa bulan lagi baru bisa ketemu," pintaku.

"Hm... ya udah deh terserah," James menarik selimut.

"James."

"What?"

"Kalau kita ketemu lagi nanti, Daniel harus udah jauh lebih baik. Janji?"

"Okay, don't worry. I'm a good dad," sahut kakakku. "Aku boleh minta tolong ke kamu juga nggak?"

"Sure, what?"

"Tiap beberapa minggu sekali tolong gantiin aku berkunjung ke penjara."

Dalam remang kamar aku terkesiap. "Hah? Maksudnya ke psikopat yang udah bikin Daniel trauma parah??"

"Iya," kakakku tersenyum. "Dia divonis hukuman seumur hidup. Sejak sidang terakhir aku rutin berkunjung ke penjara karena dia mungkin butuh bantuan buat bertobat."

"James, kamu buang-buang waktu. Orang sejahat dia nggak akan berpikir buat hal semacam itu."

"Tuhan Maha Pemaaf, kita cuma manusia yang nggak berhak saling menghakimi," sahut James. "Kalau kamu nggak mau ya udah, aku minta Papa atau Mama aja."

"Eh, jangan. Okeㅡ mau deh mau," sambarku.

"Good," sambil tersenyum James menepuk-nepuk kepalaku. "Mulai dari besok harusnya. Udah tiga mingguan aku nggak ke penjara."

"Oke, aku coba besok habis pulang dari bandara," gumamku setengah sadar.

"Bawa sedikit makanan, kalau mau. Kasian makanan di penjara terbatas."

"Hmm."

Sebenarnya aku ingin mendebat sikap James yang menurutku terlalu baik pada psikopat yang sudah membunuh puluhan orang ㅡbahkan hampir menghabisi anak dan adiknya. Tapi terlalu ngantuk sekarang. Lagipula dia ada benarnya. Sebenci apa pun, terlalu arogan menghakimi dosa orang lain. Nilai manusia di mata Tuhan cuma Tuhan juga yang tahu.

Fiuh- besok akan jadi hari yang panjang.

Anehnya, entah kenapa aku merasa agak engan bertemu dengan Liv besok pagi.

Bukan karena kesal padanya, tapi pada diriku sendiri. Aku mulai ragu ㅡapakah aku yang bukan siapa-siapa ini memang pantas untuk Liv dan dunianya yang di luar jangkauanku?







*****

Pagi-pagi toh mau tidak mau aku tetap harus ke kamar untuk mencari baju ganti. Padahal aku sudah bersiap basa-basi saat bertemu Liv, tapi ternyata kamarku kosong. Walaupun memang ada aroma Liv masih samar-samar tercium.

"Liv?" panggilku sambil membuka pintu kamar mandi, tapi tidak ada juga.

Kucari siapa tahu dia tidur di kolong seperti biasanya, tetap tidak ada. Baru jam enam pagi, masa dia pulang? Ah- sudahlah. Lebih baik aku mandi dulu baru mencari Liv lagi. Toh dia pasti akan ikut mengantar kakakku dan keluarganya ke bandara.

Oh iya, perkembangan rencanaku dan Red Hawk belum terlalu signifikan. Setelah kami tahu kalau Liv memang bertunangan dengan Don, Red berencana mencari tahu apakah Don sudah punya kekasih atau belum. Selain itu, dia juga berusaha mencari celah supaya bisa jadi bagian dari klan mafia yang sama. Sulit, tapi bukannya tidak mungkin.

Kalau kudengar dari Red, sebenarnya si Don ini tidak terlalu jahat. Maksudku, sebagian mafia merugikan orang lain tanpa pandang bulu. Menindas, merampok, mencuri, dan semacamnya. Nah, klan Don ini adalah yang berusaha membatasi kejahatan-kejahatan seperti itu. Entahlah ㅡmungkin semacam mengendalikan kekerasan dengan kekerasan lagi. Pantas saja saat di gedung opera wajah-wajah yang kulihat sama sekali tidak seram. Malah tampak begitu berkelas dan anggun seperti kawanan angsa.

Mungkin ini pemikiran yang nekat, tapiㅡ apa mungkin Don bisa kuajak bicara baik-baik?








"Markleeee~"

Baru selesai berpakaian, pintu kamar dibuka dari luar lalu kepala Daniel muncul. Tampangnya seperti anak kucing yang kelaparan.

"Hey, buddy~" sahutku.

Anak itu masuk. "Dan mau ngomong."

"Hahaha serius amat sih," kuacak poninya. "Ya udah ngomong aja."

"Itu..." ujar Daniel ragu-ragu.

"Apa, Dan?"

Dia lalu memegang tanganku dan menatap penuh harap. "Anterin ke Picilit~"

"Peachdelight? Ngapain?"

"Jemput Baby," dia berkata lirih. "Boleh kan Baby dibawa naik pesawat?"

Aku menghela napas lalu mengusap kepalanya. "Dan, Baby tuh anak orang, bukan mainan. Nggak boleh dibawa-bawa sembarangan."

"Yaaah," keluh Daniel. "Terus nanti kalo Dan kangen Baby, siapa yang mau tanggung jawab??"

"Hahaha siapa sih yang ngajarin ngomong kayak gitu?" aku menggendongnya lalu keluar dari kamar. "Video call aja nanti, terus kamu yang nurut di sana jadi cepet pulang lagi ke sini."

"Dan kan emang nurut, yang sering nakal tuh kamu," tukasnya.

"Iya lah terserah. Kamu liat titi Liv nggak?"

"Di kebun sama nenek," jawab bocah itu. "Mau turun! Dan nggak mau ke kebun, nanti disuruh makan sayur!"

Seolah makan sayuran bisa membuat dia meninggal, Daniel berontak dari gendonganku lalu berlari menuruni tangga. Kebun yang dia maksud ada di lantai yang sama dengan kamarku, jadi aku berbelok ke sudut lain koridor menuju ruangan berdinding kaca. Musim gugur membuat sebagian besar tanaman meranggas, tapi ada juga yang tetap hidup. Tampak Liv berdiri membelakangiku. Dia sedang bicara dengan ibuku yang sedang memanjat membetulkan sulur tanaman rambat.

"Dipindah ke sebelah kanan?" tanya Liv.

"Bukan, sayang, agak ke depan sini. Di kanan khusus tanaman obat," sahut Mama, seolah ada mata di punggungnya yang tahu Liv sedang membawa tanamannya ke mana.

Liv mengangkat pot bunga mawar biru lalu berjalan maju dengan hati-hati. Sampai-sampai kepalanya hampir menabrak pot gantung berisi tanaman dengan warna dan bentuk sangat aneh ㅡhijau campur biru, merah, dan kuning. Ini semua karena Liv tidak melihat ke depan ㅡuntung kuhalangi dengan tanganku.

"Ah- hampir aja," ujarku, memegang jidat Liv dari belakang.

Dia meletakkan pot di rak lalu berbalik, matanya membulat saat melihatku. "Kamu? Kayak hantu tau-tau muncul," ucapnya pelan.

"Kamu juga," aku membalas. "Kenapa nggak bilang udah pulang? Untung kemarin aku nggak pulang ke apartemen, sendirian, kesepian, kedinginan, kelaparanㅡ"

"Emang di apartemen nggak ada pemanas ruangan sama kompor?" sambar Mama. Dia sudah turun dari tangga, berjalan menghampiri kami sambil melepas sarung tangan karet.

"Mama juga, kenapa nggak bilang dia ada di rumah kita??" protesku.

Mama menepuk pundakku. "Lupa, sorry. Namanya juga udah tua."

"Kata siapa tua? Masih keliatan kayak baru lulus SMA kok ㅡsama Porongbyun aja masih keliatan tuaan dia," kelakarku.

"Stop it, remember that I'm you mother," kata Mama, jitakan pelan mendarat di kepalaku seiring dia melangkah ke luar kebun.

Biasanya Liv marah kalau kupanggil Pororo di depan orang lain, anehnya sekarang dia bengong menatapku. Pipinya merona merah jambu, hampir sama dengan bibirnya yang selalu sewarna buah peach meski jarang sekali dipoles lipstik.

"Apa? Terpesona banget keliatannya? Hehehehe," aku terkekeh jahil.

Padahal sejujurnya terbalik, justru aku yang diam-diam terpesona karena Liv tampak makin cantik setelah kami cukup lama tidak bertemu. Ditambah sedikit getir menyadari memang dia tidak pantas bersanding denganku. James benar, Liv seperti puteri sementara aku seperti bebek liar di halaman istana. Bebek liar yang seksi.

"Um... ng-nggak," dia menyahut pelan dan mengalihkan pandangan.

"Ya udah, sarapan yuk. Habis itu kita kan mau langsung anter Daniel ke bandara," ajakku.

Ketika aku sudah berbalik dan mau berjalan menyusul Mama ke bawah, terasa ada yang menarik bagian belakang sweater-ku. Tangan Liv. Aku berbalik dan menatapnya kebingungan.

"Apa?"

Dia sedikit mendengus. "Apa??" malah mengulang pertanyaanku dengan nada meninggi.

"Ck- nggak jelas. Padahal nggak jadi kebentur pot tapi kepalanya tetep gangguan," decakku.

Tapi baru saja mau melangkah lagi, tangan Liv kembali menarik sweater-ku.

"Apa sih, Pororong?"

Cengkeraman Liv mengendur, lalu punggungku menghangat karena dia merepet, membenamkan wajahnya di pundakku.

"Ternyata cuma aku yang kangen," gumamamnya teredam di sana.

Eh- menggemaskan sekali kelakuannya. Aku berbalik dan meraih pinggang Liv, tersenyum pada wajah cemberutnya yang mirip Pororo.

"Mau minta peluk aja drama," ujarku diiringi tawa kecil. "Hug me, I miss you too."

Dia tersenyum tipis lalu menyambut tanganku yang terbuka. Aroma rambutnya yang kusuka tercium harum. Sudah ribuan kali aku memeluk Liv sejak kami masih berteman, tapi ini pertama kalinya aku merasa setengah hati melakukannya. Adegan dia bertatap lekat dengan Don kembali terputar dalam benakku.

Selama jauh dariku apakah ada lengan lain yang memeluknya?

Masuk akal, karena Don adalah tunangannya.

Liv mengangkat wajahnya dari bahuku, sedikit mendongak. Tanpa dia bilang apa-apa pun aku sudah tahu kalau dia ingin lebih dari sekedar pelukan. Ujung hidungnya makin dekat, dan dia mulai berjinjit. Di saat yang sama terdengar O Mio Babbino Caro dari lantai bawah. Alunan lagu klasik opera membawa fantasi buruk tentang Liv bermesraan dengan tunangannya, aku mundur selangkah.

"Um- yang lain pasti udah nungguin kita, ayo," aku mengedik ke arah tangga sambil tersenyum kaku.

Tanpa menghiraukan ekspresi heran dan agak kecewa di wajah Liv, aku segera berbalik dan meninggalkan kebun. Sambil menuruni tangga aku berusaha mengatur napas, mengendalikan emosi. Aku tidak ingin marah pada Liv. Tapi membayangkan dia bersama Don berhari-hari membuatku muak. Walaupun Liv pasti tidak sudi disentuh lelaki itu, bagaimana kalau dia dipaksa??

"Kok turun sendiri? Liv mana?" pertanyaan Papa menarik kesadaranku dari berkelana.

"Di kebun, nanti juga ke sini," jawabku.

"Kamu kenapa? Sembelit??" tanya ayahku lagi.

Aku menggeleng. "Nggak, cuma agak pusing tadi. Paling cuma dehidrasi, makanya ini mau ambil minum."

Papa mengangguk-angguk lalu kembali menyenandungkan lagu klasik yang mengalun memenuhi ruangan. Sejenak aku terhenyak. Dalam keadaan normal pasti ayahku yang seorang guru vokal akan sangat senang kalau tahu Liv bisa bernyanyi dengan begitu indahnya. Dia pasti akan makin menyayangi Liv.

"Malah bengong di sini, katanya mau sarapan?" Liv entah sejak kapan sudah menyusulku.

Entah ide dari mana, sebuah pertanyaan kulontarkan padanya. "Liv, kamu lahir di Itali kan? Bisa nyanyi lagu ini nggak?"

Padahal nada bicaraku santai, tapi bisa kulihat mata Liv sejenak bergetar. Dia lalu menggeleng dan tertawa kecil. "Nggak lah, tau sendiri kan aku sama sekali nggak tertarik sama seni," ujarnya sambil mendekat. "Tertariknya cuma sama kamu."

Cup

Ish, bisa-bisanya dia mempermainkan hatiku yang sedang tak karuan. Setelah mencium pipi kananku dia lalu cekikikan dan pergi ke meja makan duluan. Sial ㅡkenapa sih dia cantik dan menggemaskan begitu?? Mau kesal jadi susah kan.

Keadaan pagi ini menjadi begitu ironis bagiku. Liv tampak sudah begitu menyatu dengan keluargaku, tidak secanggung dulu. Melihat dia berbincang dan tertawa lepas dengan orang tua dan kakakku, harusnya aku juga bahagia seperti mereka. Tapi di satu sisi aku tahu, hati Liv memang milikku tapi tidak dengan kehidupannya.

Mendadak aku merasa sangat tidak berdaya. Insecure. Dibanding Don aku kalah telak. Dari segi harta, kedudukan, fisik ㅡDon memenangkan segala yang dibutuhkan untuk mengambil Liv dari keluarganya. Karena mereka satu level.

"What's wrong?"

Tangan Liv mengusap bahuku saat sedang melamun sambil menumpuk piring kotor bekas sarapan. Yang lain sudah bersiap memasukkan barang bawaan ke mobil sebelum berangkat ke airport.

"What?" aku bertanya balik.

Liv menghela napas. "Kamu dari tadi murung. Ada apa?"

"Cuma agak sedih Daniel mau pergi. Nanti nggak ada yang minta dibacain buku cerita atau mewarnai gambar robot," bohongku.

"Jangan sedih, kita kan bisa ke London buat mengunjungi mereka," hibur Liv. "Habis dari airport kamu ada kegiatan?"

"Um... mau ke penjara."

"Hah? Ngapain??"

"Ada urusan, James yang minta tolong."

Sejenak tampak ragu, Liv lalu bertanya. "Aku boleh ikut?"

"Nggak seru di penjara, mendingan kamu ke kampus aja. Udah seminggu kan nggak kuliah? Kerjain skripsi atau bimbingan sana. Biar cepet selesai," setelah mengusap kepala Liv aku memasukkan piring ke mesin cuci piring lalu pergi dari dapur.

Dengan hati dan pikiran masih panas begini kurasa lebih baik menjaga jarak dulu dengan Liv. Tenang saja, aku tidak mengabaikannya seperti waktu itu kok. Kuperlakukan dia seperti biasa saat kami bersama, tapi kalau ada kesempatan untuk menjauh juga akan kuambil. Maaf, Liv. Aku cuma butuh waktu untuk membiasakan diri berbagi dengan lelaki lain.

Proses mengantar kakakku dan keluarga kecilnya sampai mereka take off berjalan biasa saja. Tanpa kesedihan berlebihan atau adegan tangis menangis seperti di drama. Liv benar, keluarga kami cukup makmur untuk bolak-balik ke London kalau suatu saat saling merindukan. Bahkan aku punya jet pribadi ㅡwalaupun tidak ada yang tahu sih.

Liv dan aku berpisah dengan Papa dan Mama di area parkir. Setelah membiarkan mereka pergi duluan, Liv berpegang padaku. Mukanya mirip Noel dan Leon kalau kami tinggalkan di Peachdelight. Kubelai punggung tangannya.

"Aku beneran nggak boleh ikut?" Liv menanyakan hal yang sama.

"Bukan nggak boleh, cuma lebih baik kan waktunya dipakai buat hal yang lebih bermanfaat," ujarku.

"Kan bisa ke kampusnya habis dari penjara?"

"Aku belum tau di sana mau lama atau sebentar. Udah sekarang cari taksi deh yuk," aku menggiringnya.

"Kok taksi? Nggak dianterin?" tanyanya.

Sebenarnya aku agak tidak tega melihat ekspresi Liv, tapi harus tegas. Daripada nanti tidak sengaja menyakiti perasaannya. Lagi pula lebih baik kusuruh dia mengurus skripsi daripada buang-buang waktu bertemu sampah sialan itu di penjara.

"Beda arahnya lumayan jauh, Liv. Sorry," kugenggam tangannya sambil minta maaf.

Dia tampak kecewa. "I just wanna be with you..."

"Kalau skripsi kamu cepet selesai kan kamu juga yang lega. Udah nggak masuk lama banget loh, sekarang kuliah dulu, nanti kalau udah selesai aku jemput. Ya?" bujukku.

"Hng- ya udah deh," akhirnya Liv setuju walau masih memasang muka masam.

"Nah, Pororong anak baik~" aku tersenyum padanya. "Ayo cari taksi di sana."

Liv bergelayut di lenganku sampai kami menemukan taksi yang akan membawanya pergi ke kampus. Kami saling melambaikan tangan sebelum mobil tancap gas. Tampang Liv tampak benar-benar engan berpisah denganku. Tapi untuk sementara aku akan mengabaikannya.

Dari airport aku langsung menuju penjara. Ini pertama kalinya aku mau mengunjungi narapidana. Ironisnya, orang ini yang hampir membunuhku. Oh iya, nama psikopat itu Shin Yamato ㅡnamanya aneh kan? Dia keturunan Korea Jepang. Kata James selama ini dia penyendiri yang bekerja mengolah obat herbal. Tidak ada yang menyangka kalau pria 'baik hati' itu ternyata seorang pembunuh yang sempat menggemparkan satu negara.

Aku duduk menghadap sekat kaca yang membatasi tempat pengunjung dengan ruang kecil untuk tahanan yang akan ditemui. Tidak lama kemudian pintu di dalam terbuka, lalu seorang polisi masuk menggiring tahanan jangkung dengan kedua tangan diborgol. Dia masih tetap berdiri sampai polisi pergi. Lalu alih-alih duduk, dia membungkuk 90 derajat padaku.

"Ini pertama kalinya kita bertemu lagi setelah saya hampir membunuh anda. Saya meminta maaf atas insiden tersebut," ujarnya dengan suara terdengar seperti perempuan.

Aku mendengus. "Bukannya psikopat seperti anda tidak punya rasa bersalah atau menyesal?"

Pria dengan rambut panjang diikat ke belakang itu duduk lalu menatapku dengan mata kosong mengerikan. "Terakhir berkunjung ke sini, kakak anda bilang mau pergi ke luar negeri membawa anaknya berobat. Dia juga bilang adiknya akan menggantikan berkunjung. Ternyata anda benar-benar datang."

"Jawab dulu pertanyaan saya yang sebelumnya," gertakku.

"Soal penyesalan?" dia berdecak. "Ya. Saya sama sekali tidak menyesal sudah membunuh dan menyakiti banyak orang. Karena semua itu normal bagi saya. Anda benar, psikopat seperti saya tidak punya perasaan."

"Cih- James really wasted his time here," decihku.

Orang itu mengeluarkan sesuatu dari balik baju tahanan yang ia kenakan. Ternyata sebuah alkitab. Aku pernah melihat alkitab merah tua itu. Milik kakakku.

"Kakak anda memberikan benda ini untuk saya pada kunjungan pertamanya. Dia bilang, walaupun saya sudah melakukan banyak dosa tapi Tuhan akan selalu memaafkan orang yang bertobat," dia tersenyum hambar. "Saya sudah bilang kalau psikopat tidak akan mengerti penyesalan, tapi kakak anda bersikeras kalau saya bisa berubah jadi seseorang yang lebih baik."

"Terus? Berhasil?"

Pria itu mengangkat bahu. "Setidaknya saya bersyukur sekarang dikurung dan sekalu diawasi. Asal anda tahu, seandainya bisa, saya juga ingin menghilangkan perasaan ingin membunuh. Kakak anda berhasil membuat saya berusaha sebisa mungkin jadi seseorang yang berguna di tempat ini."

Obrolan ini mendadak terasa menarik. Dalam hati aku memuji kebaikan kakakku. Dia berhasil membimbing seorang penjahat ke jalan yang lebih baik.

"Berguna? Contohnya apa?" aku bertanya penasaran.

"Saya seorang pembuat obat herbal yang lumayan hebat. Lapas ini bekerja sama dengan perusaan farmasi, sebagian narapidana dipekerjakan sesuai kemampuan. Dan keahlian saya meracik obat cukup berguna di sini," jawabnya.

"Hukum di negara ini aneh ya ternyata. Jadi sekarang anda hidup tenang tanpa rasa bersalah? Saya rasa anda lebih pantas divonis hukuman mati," tukasku.

"Saya juga kadang berpikir lebih baik mati," dia tertawa dingin, seram sekali. "Tapi nyatanya vonis akhir cuma hukuman seumur hidup."

"Yah, lumayan lah. Orang seperti anda pantas membusuk di penjara sampai mati," aku terkekeh, merasa jahat tapi sadar bajingan ini jauh lebih jahat.

Kepalanya mengangguk. "Ya, apapun yang terjadi, jangan biarkan saya bebas lagi. Saya ingin sisa hidup saya bisa berguna untuk orang lain, seperti yang kakak anda inginkan juga. Jangan sampai usahanya meyakinkan saya jadi sia-sia."

"Oke, tanpa diminta pun saya akan memastikan anda tidak akan pernah menghirup udara di luar penjara lagi. Sampai kapan pun," tandasku.

Dia menyeringai. "Bagus," ujarnya. "Oh iya, kalau ada kerabat yang sakit, anda juga bisa minta bantuan pada saya."

"Hah? Anda bercanda?" aku tertawa sarkastik. "Anda pikir saya cukup gila untuk percaya pada anda??"

"Saya tidak memaksa," sahutnya tenang. "Hanya menawarkan."

Aku sudah hampir mengumpatinya lagi, tapi pintu di belakang Shin Yamato dibuka dan polisi yang tadi masuk.

"Jam berkunjung sudah habis," ucapnya.

Sebelum digiring pergi, Shin Yamato membungkuk lagi padaku. Sejujurnya sangat membuatku muak dan geram, tapi ingat pada kakakku yang menyuruh untuk memaafkan orang itu. Yah, mungkin butuh waktu tapi aku akan berusaha memaafkannya juga.

Suhu udara terasa makin rendah saat aku keluar dari gerbang penjara, padahal masih tengah hari. Karena hari ini libur jadi aku langsung kembali ke apartemen untuk berbenah. Dua hari yang lalu aku mabuk-mabukan karena stress dan belum membereskan rumah sampai sekarang. Liv tidak boleh melihat jejak apa pun. Selesai beres-beres, sambil istirahat aku menelepon Red.

"Halo," sahutnya.

"Ternyata Liv pulang ke Seoul kemarin," ujarku to the point.

"Ah, saya masih di Roma. Menginap di salah satu tempat yang sering dilewati Don atau kerabatnya dari rumah mereka. Dan... kemarin ada mobil yang lebih mewah daripada yang lain lewat ㅡtapi bukan milik Don..."

Napasku tercekat. "Jadi menurutmu itu Liv?"

"Well- um- saya tidak bisa langsung menyimpulkan."

"Apa mungkin selama di Roma Liv tinggal di rumah Don?" tanyaku datar.

"Saya membuntuti Don beberapa hari belakangan, tapi tidak pernah ada Livia Byun bersamanya."

"Hm... kalau di daerah sekitar rumah Don? Pernah ada Liv berkeliaran di sana?"

"Sejauh ini, tidak."

Aku mengempaskan diri di sofa lalu menghela napas frustasi. "Terus kira-kira seminggu belakangan Liv di mana??"

"No idea," sahut Red. "Saat ini saya lebih fokus untuk mencari celah supaya bisa masuk ke jajaran orang yang bisa dekat dengan Don."

"Ada celahnya?"

"Salah satu bodyguard Don ada yang cukup lemah. Dia sudah lama bekerja dan paling tua. Saya bisa meracuni dia supaya diare beberapa hari, lalu pura-pura jadi kerabatnya dan menggantikan orang itu jadi bodyguard. Dua atau tiga hari akan cukup sebelum ketahuan."

"Jadi kita tunggu sampai Liv pergi ke Roma lagi, baru kamu menyusup?"

"Ya, jadi saya mungkin bisa cari tahu kesepakatan di antara mereka."

Ide Red Hawk terdengar matang dan brilian. Tapi malah aku yang ragu sekarang. Nyaliku seolah mendadak ciut. Aku ingin memiliki Liv sekaligus sudah putus asa untuk memilikinya. Ini semua sangat melelahkan.

"Bos? Halo??" panggil Red karena aku diam cukup lama.

"Ya."

"Anda kenapa?"

"Hm... apa mungkin lebih baik kita berhenti sampai sini? Kalaupun kita tau kesepakatan antara Liv dan Don atau keluarganya, mereka terlalu kuat buat dilawan."

"Apa??" Red berseru. "Lalu mau menyerah begitu saja?? Anda laki-laki bukan??"

"Hey- that's a little bit rudeㅡ"

"Bos, maaf, saya tidak bekerja sama dengan pengecut," tandas Red. "Setiap bekerja saya mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa. Anda memang berhak memberhentikan saya kapan saja, tapi alasan konyol seperti itu tidak bisa saya terima."

Aku tertawa sedih. "Yeah I'm such a coward."

Sejenak hening, lalu Red bicara lagi. "Bos, saya yakin anda cuma bingung. Sabar sedikit lagi, jangan kalah sebelum perang. Kalaupun harus kalah, lebih baik kalah dengan terhormat."

"Okay, Oprah Winfrey," jawabku sambil tertawa lagi.

"Masih ada yang mau anda bahas?"

"Enough for now, bye Red."

"Okay, take a good rest, bye."

Bunyi tut pelan mengakhiri percakapan kami. Dengan tak acuh aku membiarkan ponsel merosot lalu jatuh ke lantai berlapis karpet. Kemudian aku meringkuk, berharap bisa mengurangi rasa pedih tak kasat mata di dadaku. Sudah lama aku tidak menangis gara-gara Liv ㅡbahkan tidak setelah melihat Liv di gedung opera. Tapi sekarang aku membiarkan air mata meleleh sampai membuat separuh wajahku dan permukaan sofa jadi basah. Aku sudah tidak sanggup memendam kesedihan ini lagi.

Livia Byun, aku ingin kuat sampai akhir. Tapi aku tidak tahu akan bisa kuat sampai kapan.

*****



Mataku pedih, tapi tidak sepedih biasanya kalau setelah menangis sampai ketiduran. Ternyata aku sudah tidak meringkuk lagi, melainkan berbaring telentang di atas sofa. Ada sensasi dingin di sekitar kelopak mataku dan baru saja mau merabanya, aku sadar tanganku digenggam tangan lain yang sangat kukenal.

"Liv...?" suaraku serak seiring bergeser untuk melongok ke bawah dari tepian sofa.

Benar, itu dia. Berbaring di karpet dengan satu tangan dijadikan bantal dan satunya lagi terulur ke atas menggenggam tanganku. Astaga ㅡjam berapa ini? Apa aku ketiduran sangat lama dan lupa menjemput Liv? Oh- sial. Aku langsung menggerutu begitu sadar Liv pasti tahu kalau aku habis menangis.

Aku duduk lalu memungut ponsel yang tergeletak di dekat Liv ㅡternyata mati. Mungkin dia menelepon tapi tidak kujawab, jadi pulang sendiri. Sensasi dingin di sekitar mataku ternyata eyemask. Kulepas benda itu dari mataku. Sekarang aku makin yakin Liv tahu aku menangis sampai bengkak. Ah- Mark Lee bodoh.

"Ck- kenapa tidur di situ sih? Kan dingin," decakku sambil berusaha mengangkatnya dari lantai untuk dipindah ke atas sofa.

Padahal sofa cukup besar untuk ditiduri berdua. Aku dan Liv kadang tidur di sini kalau malas pindah ke kamar atau sambil nonton serial TV. Baru saja kubaringkan di sofa, Liv melenguh lalu membuka matanya.

"Ngh- aku mau dibawa ke mana?" gumam Liv.

"Nggak ke mana-mana, cuma dipindah," jawabku. "Um- Liv- sorry, aku ketiduran dari sore. Kamu jadinya pulang sendiri? Jam berapa?"

Dia tersenyum lalu bergeser sedikit sambil menepuk bagian sofa yang kosong. "Sini dulu," ujarnya.

Karena merasa bersalah, aku menurut. Seperti dia aku pun berbaring miring bertumpu pada lenganku sendiri. Aku lupa kapan terakhir kami berbaring bersebelahan seperti ini. Ahㅡ di rumah rooftop sebelum ke Roma dulu. Pemandangan bibir Liv yang agak kering pecah-pecah, membuatku menerka tadi dia cukup lama menunggu dijemput.

"Kamu tadi chat atau telepon ya? Handphone-ku mati ternyata, maaf banget aku nggak sengaja," untuk kedua kalinya aku minta maaf.

"It's okay, Mark. Tadi aku selesai sekitar jam empat, habis itu chat kamu beberapa kali, dilanjut telepon tiga kali. Karena nggak kamu jawab ya udah aku pulang sendiri. Nggak perlu kan aku jadi kayak cewek bodoh di drama-drama yang kedinginan nunggu dijemput pacarnya sambil ada soundtrack lagu sedih?" Liv mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil.

Aku ikut tertawa. "Terus kenapa tidur di bawah tadi? Padahal di atas juga muat berdua ㅡkayak gini."

"Tidur telentang bisa mengurangi resiko sakit kepala setelah menangis," kata Liv.

Kontan aku langsung diam. Sudah kuduga Liv tahu kalau aku habis menangis, tapi kukira dia tidak akan membahas hal itu secepat ini. Telapak tangan Liv terulur lalu menangkup pipiku dan mengusap-usapnya lembut.

"Kamu mau cerita duluan sebelum aku tanya?" ujarnya. "Who hurt you? Me?"

Kupejamkan mata sambil mengatur napas. Berharap air mataku tidak tumpah lagi. Aku tidak ingin hidup Liv makin dibebani rasa bersalah karena menyakitiku ㅡmeskipun itu faktanya. Ini jalan yang kupilih dari awal, jadi harus kutanggung sendiri resikonya.

"No. I hurt myself," sahutku. "Tadi aku tiba-tiba kepikiran, wajar hubungan kita nggak disetujui keluarga kamu. Soalnya aku dan kalian ada di level yang jauh berbeda."

Liv mengerutkan dahi. "Kamu menganggap menilai orang dari hartanya itu hal yang wajar??"

"Yah- nyatanya dunia emang gitu, kan? Orang dinilai dari kekayaannya. Yang lebih kaya selalu punya kekuasaan lebih, bisa semena-mena yang lebih miskin."

Setelah sejenak terdiam, tangan Liv bergeser ke dadaku. "Tapi kamu orang dengan hati paling kaya yang pernah aku kenal," kata Liv.

Aku tersenyum menatapnya. "Aku bisa apa biar kakekmu dan semua keluargamu setuju sama hubungan kita? Apa nggak bisa kamu tetap jadi bagian dari mereka tapi jadi punyaku juga?"

"Sayangnya mereka nggak suka perdamaian," Liv tertawa sarkastik. "Kamu bisa berdoa dari jauh, biar aku yang berurusan sama mereka."

"Tapiㅡ aku merasa nggak berdaya, Liv. Nggak bisa berbuat apa-apa sementara kamu sibuk sendiri. Selain itu aku juga seolah jadi orang buta yang nggak tau apa-apa," ujarku.

"Maksudnya apa? Emang apa yang mau kamu tau?"

"Di antara kita masih ada rahasia, aku rasa udah waktunya kamu lebih terbuka. Misalnya tentang selama ini kamu pergi ke mana, atau cerita tentang tentang yang terjadi di luar sana, atau apa pun."

"Kenapa tiba-tiba..." sahut Liv, lalu berkata lirih. "Kamu udah nggak percaya aku lagi?"

"Bukan nggak percaya, aku cuma nggak mau kamu menanggung semua beban itu sendiri," kutatap nanar kedua mata Livia Byun.

Dia terdiam. Menghindari tatapanku. Wajahnya mengingatkanku pada patung-patung di pemakaman ㅡdipahat sempurna tapi sarat dengan kesedihan mendalam.

"Justru aku mau menanggung semuanya sendiri, karena nggak mau kamu sedih atau kesusahan. Kamu udah lupa seberapa sering aku bikin kamu kecewa, sedih, dan sakit? Mark Lee, kamu masih sabar sampai detik ini pun udah lebih dari cukup..." Liv akhirnya berucap lagi, pelan tapi terdengar sungguh-sungguh. "Cukup kamu ada walaupun dari jauh, aku jadi nggak merasa sendiri. Dan tiap pergi menghadapi orang-orang itu aku berusaha semaksimal mungkin ㅡbiar bisa segera pulang dan liat kamu lagi."

Dia tersenyum padaku, lalu aku baru menyadari yang dimaksud Red Hawk. Senyum Liv yang kali ini memang hangat dan tulus. Berbeda dengan saat dia bernyanyi tempo hari ㅡberlebihan, kaku, dibuat-buat. Selain itu, secantik apa pun Liv di panggung, menurutku jauh lebih cantik saat dia ada di sisiku seperti sekarang. Livia Byun yang kukenal, Livia Byun yang jadi dirinya sendiri.

"Okay, then," anggukku, mengalah karena toh percuma memaksa dia. "Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, kalau kamu udah nggak sanggup menanggung semua itu sendirian, tawaran ini selalu berlaku."

"Kamu yang paling tau aku sekuat apa, kamu juga yang bikin aku makin kuat. Tiap putus asa dan hampir menyerah, aku bisa bangkit lagi karena ingat kalau aku masih punya rumah untuk pulang. Dan itu kamu, Mark Lee. Dari awal selalu kamu dan nggak akan berubah jadi hal lain. Kecuali kalau kamu nggak bersedia lagi ㅡaku nggak akan memaksa," kata Liv.

"Terus gimana kalau aku nggak mau? Nanti kamu jadi tunawisma dong, nggak punya rumah," kelakarku. Sengaja melontarkan lelucon konyol karena ingin mencairkan suasanan suram di antara kami.

Liv tertawa. Dia bergeser mendekat padaku sampai nyaris tak berjarak. "Makanya, jangan biarin aku jadi gelandangan."

"Yah, mau gimana lagi. Hal yang berharga emang butuh banyak perjuangan buat dimiliki," aku menghela napas.

"You are, you're that precious," kata Liv.

"I'm talking about you," sahutku sembari menatap matanya yang begitu dekat.

Tangan Liv mengusap permukaan dadaku lagi. "My favorite shirt. Vancouver shirt."

Aku meniru membelai bagian belakang kepalanya. "My favorite person. Pororo Byun."

Aku menyusupkan satu lengan ke bawah lehernya, supaya bisa merengkuh dia erat-erat. Kedua tangan Liv juga melingkari tubuhku, rasanya sangat lembut bagaikan memeluk segumpal besar kapas. Dan wangi seperti pagi musim semi. Pesona memabukkan yang sekali lagi berhasil memaksaku bertahan dalam pendakian curam yang entah akan membawaku ke puncak ㅡatau terjun bebas dari ujung jurang kebuntuan.

Suhu ruangan yang cenderung dingin dan kerinduan yang menyesakkan membuatku tidak bisa menahan hasrat untuk menyapukan bibirku di permukaan keningnya, lalu hidungnya, kedua pipinya, bibir, rahang, dan terus ke lehernya yang hangat. Liv mendesah pelan. Jemarinya mencengkeram bagian belakang sweaterku, lalu kedua tangan itu berpindah makin ke atas sampai pundak. Didorongnya bahuku pelan.

"Apa?" tanyaku. Kaget karena diinterupsi.

"Sorry. Tiba-tiba perasaanku nggak enak," ujar Liv, wajahnya tampak cemas.

"Kenapa?" aku mengernyit.

"Kamu udah telepon James? Coba tanya mereka udah sampai atau belum," Liv menggeliatkan tubuhnya yang masih setengah tertindih olehku, mengisyaratkan supaya aku segera menyingkir.

"Jangan bikin takut deh, lagian James mungkin udah kasih kabar, tapi handphoneku kan mati. Harusnya mereka landing di London sekitar jam lima sore, kalau ada apa-apa pasti papa atau mama telepon kita," jawabku santai.

Sepertinya Liv tidak begitu menghiraukanku, dia menelepon dengan ponselnya sendiri.

"Halo? Udah sampai kan katanya? Ah- bukan apa-apa, takutnya mereka lagi istirahat. Thanks, Ma," Liv bicara singkat di telepon.

"Mama?" tanyaku.

"Yep," dia mengangguk.

"Bener kan nggak ada apa-apa, kamu terlalu paranoid," aku tertawa kecil lalu menarik Liv dan mulai mengendus-endus lehernya lagi.

"Sebentar- Peachdelight," cetus Liv. "Perasaanku beneran nggak enak, Mark. Jangan-jangan ada yang nggak beres di sana. Noel Leon kabur misalnya ㅡatau Baby sakit lagi?"

"Kalau Baby sakit pasti Jaehyun kasih tau kita. Lagian Baby masih punya bibi kandung, Hyunjae?"

"Kamu lupa Jaehyun lagi di Nagoya? Hyunjae juga masih tugas jauh di rumah sakit luar kota," Liv sibuk menelepon, lalu dengan gelisah menunggu jawaban.

"Terus sekarang kamu telepon siapa?" tanyaku.

"Pengasuhnya Baby. Ish- kenapa nggak diangkat??"

"Coba telepon ke kasir aja? Peachdelight belum tutup kan jam segini?"

"Oke."

Perutku berbunyi. Lapar sekali karena seharian ini aku baru makan satu kali. Melihat Liv cemas aku juga jadi ikut cemas. Semoga semuanya baik-baik saja, jadi kami bisa pesan makanan lalu makan sehingga energiku bisa terisi kembali untuk bersenang-senang dengannya setelah sekian lama tiap hari kesepian di apartemen ini.

"Halo? Baby lagi apㅡ HAH? PINGSAN?? Kenapa nggak ada yang kasih kabar dari tadi??? Baru dibawa ke rumah sakit? Rumah sakit mana?? Ahㅡ oke."

"Siapa yang pingsan??" tanyaku, langsung panik setelah menyimak.

"Baby," jawab Liv dengan ekspresi masih shock. "Katanya tiba-tiba nggak bisa gerak waktu habis disuapin. Mark- ayo susul Baby ke rumah sakit sekarang!"

Dengan tergesa aku dan Liv keluar dari apartemen lalu segera pergi ke rumah sakit. Aku menyetir dengan kecepatan tinggi, sesekali melirik Liv yang memasang tampang sok kuat sambil buru-buru menyeka tiap air mata yang meleleh ke pipinya. Apa dia dan Baby ternyata punya hubungan batin yang kuat? Bisa-bisanya firasat Liv sangat tepat seperti telepati.

Di ruang gawat darurat kami mencari Baby, tapi rupanya sudah dipindah ke ruang rawat inap anak khusus penyakit dalam. Wajah Liv sudah sangat merah. Kugenggam tangannya sementara kami naik dengan lift ke lantai lima tempat Baby sekarang berada. Baru saja pintu lift terbuka, terdengar samar-samar suara anak kecil menangis. Sangat familiar.

"Baby," gumam Liv.

"Liv, hey! Ini rumah sakit, jangan lari-lari," kupanggil dia karena tiba-tiba lari ke sumber suara.

Tangisan Baby meraung-raung menyebut 'papa' berulang kali. Aku menyusul Liv ke ruangan dengan pintu sedikit terbuka. Di dalam tampak Baby digendong pengasuhnya. Saat melihat Liv, tangisan anak itu sedikit mereda. Tanpa diminta, Liv mengambil alih Baby lalu memeluknya erat-erat.

"Baby kenapa?" tanyaku pada babysitter yang tampak sangat kewalahan.

"Waktu dibawa ke sini masih pingsan, barusan diambil sampel darah jadi bangun terus nangis. Maaf, saya terlalu panik jadi belum sempat kasih kabar ke siapa-siapa," sahut perempuan seumuran ibunya Daniel itu.

Belum sempat kami mengobrol lebih lanjut, pintu dibuka dari luar. Seorang dokter perempuan berambut pendek sudah berdiri di ambang pintu dan tersenyum ramah pada kami.

"Pasien Jung Baby?" tanyanya. "Orang tuanya sudah ada?"

"Saya, saya ibunya ㅡbukan ibu kandung ㅡtapi saya ibunya," sahut Liv.

Aku kaget mendengar itu, soalnya selama ini Liv engan dianggap atau disebut ibu oleh Baby. Terlalu membuatnya merasa terbebani secara moral, katanya. Dokter tadi memberi isyarat supaya Liv mengikutinya. Baby mau diberikan pada pengasuhnya tapi menangis lagi, jadi dokter membolehkan dia ikut dibawa.

"Saya permisi mengurus administrasi dulu, tadi belum selesai," kata pengasuhnya Baby.

"Ah- oke. Butuh bantuan?" tawarku, tapi dia menggeleng sambil tersenyum lalu keluar dari ruangan ini.

Tinggal aku sendirian di kamar dengan dinding dilukis gambar warna-warni. Sepertinya ini ruang pemeriksaan khusus anak-anak yang mengidap penyakit dalam. Duduk di kursi yang empuk tidak membuat kecemasanku melunak. Kira-kira Baby mengidap penyakit apa? Seberapa parah?

Kasihan sekali dia. Sudah dibuang orang tuanya sejak bayi, lalu sekarang sakit di usia yang masih sangat kecil. Padahal orang tuanya yang berbuat dosa, tapi apa Baby yang harus menanggung dosa-dosa itu? Aku tidak habis pikir.

Sraaak

"Liv," aku bangkit saat Liv membuka pintu. Baby tertidur di gendongannya. "Apa kata dokter? Baby kenapa??"

Alih-alih menjawab, Liv menyandarkan keningnya di bahuku. Walau tidak terlihat tapi aku tahu dia menangis. "Baby lumpuh dari pinggang sampai kaki."

"A-apa??"

Liv sesenggukan. Yang kubisa sekarang cuma memeluk dia dan Baby. Lumpuh katanya? Kenapa?? Selama ini kami merawat dia dengan baik, bahkan sebelum sakit-sakitan dia sehat-sehat saja.

"Penyebabnya apa, Liv? Nggak parah kan? Baby bisa sembuh kan??" cecarku.

Akhirnya Liv mengangkat wajahnya dari bahuku, berusaha tegar. "Dokter bilang bisa jadi karena Baby nggak minum air susu ibunya sama sekali sejak lahir. Semua gejalanya mengarah ke penyakit syaraf langka. Penderitanya cuma satu beberapa di seluruh dunia. Penyakit ini menyerang syaraf pengidapnya sedikit demi sedikit... makanya Baby lumpuh."

Sekali lagi aku terhenyak. Kutatap Baby yang tertidur pulas di pelukan Liv. Aku mengusap kepalanya dengan sangat sedih.

"Kita bawa Baby berobat, ke mana ajaㅡ asal bisa sembuh, ya?" ujarku.

Tapi Liv tidak menunjukkan antusias sama sekali. Ia menatapku nanar, perlahan kemudian mulutnya bicara. "Mark... penyakit Baby sama kayak penyakit kakek-ku. Belum ada obatnya sampai sekarang..."

Isakan Liv pecah lagi. Aku kembali merengkuh dia dan Baby. Untuk sesaat aku memang kaget, tapi lalu senyum tipis tanpa sadar mengembang di bibirku. Mendadak aku merasa jahat karena yang kupikirkan pertama kali bukannya kesehatan Baby, melainkan kalimat terakhir yang dilontarkan Liv barusan.

Penyakit kakek Byun.

Sebuah informasi yang sangat penting. Yang Liv ungkap tanpa sadar. Akhirnya ada hal yang bisa kupegang sebagai kartu mati lawanku. Rahasia yang bisa dipakai untuk melawan dan mengancam keluarga mafia Liv. Ya, sekarang aku tahu penyakit Guang Bian, kakek Byun, sang penguasa.

Semua keinginan untuk menyerah mendadak sirna dari benakku tanpa sisa. Berganti dengan rencana licik yang akan kupertaruhkan.

Segera.



Seguir leyendo

También te gustarán

35.1K 3K 66
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
285K 22.1K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1M 61.6K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
805K 84.1K 57
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...