Imperial Shadow ≡ NoRen

By bubbleryfox

319K 57.8K 11.9K

Pangeran kedua kerajaan Phinexia telah mendapatkan amanat dari sang raja untuk menikahi putra mahkota kerajaa... More

Prolog
1. Tak ingin
2. Bertemu
3. Kita
4. Keliling
5. Menunggu
6. Team
7. Jeno
8. Rutinitas
9. Budaya
10. Api
11. Etiket
12. Senyum
13. Kemalangan
14. Bagian
15. Fraksi
16. Baru
17. Bebas
18. Mencoba
19. Aman
20. Keluarga
21. Akademi
22. Pertunangan
23. Tidak sendiri
25. Berkelana
26. Anugerah
27. Destinasi
28. Harga Pengorbanan
29. Langkah
30. Keturunan
31. Utusan Dewa
32. Courting
33. Latihan
34. Rahasia mereka
35. Titik balik
36. Hubungan baru
37. Terlambat
38. Pengertian
39. Awal Revolusi
40. Pesan
41. Malam Penantian
42. Pembelaan
43. Destructive Fire
44. Kerajaan yang makmur
45. Saudara
46. Pemilik Hati
47. Masa yang baru
48. Perubahan

24. Awal Baru

5.4K 1.1K 148
By bubbleryfox

Yang belom baca, kemarin juga ch. 23 baru di up yaaa. Jangan kelompat hehe



Sudah seminggu sejak pertunangan mereka. Atas instruksi dari Raja untuk Jeno kembali bekerja, dia sudah kembali ke ruang kerjanya.


Dia dan Bangchan kembali melakukan tugas mereka seperti sebelum Croastrow datang, mungkin yang berubah hanyalah Jeno yang tidak lagi workaholic dan dia yang berusaha selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kastil permata hutan ketika sempat. Bangchan selalu ditarik untuk menemani Jeno.


Hari ini ada yang sedikit berbeda. Pada sore itu Jeno dan Bangchan berdiam lebih lama di dalam kereta kuda kerajaan dengan percakapan yang menarik.


"Bagaimana jika dia tidak mau?" tanya Jeno untuk kesekian kalinya sejak kereta kuda itu membawa mereka dari kerajaan.


Bangchan memutar bola matanya. "Jangan jadi pecundang dan mundur di saat-saat terakhir Lee Jeno."


"Gampang bagimu untuk berkata saja."


Bangchan mendelik sambil memelototi Jeno. "Aku sudah mempersiapkan semuanya, jadi sebaiknya kau pergi keluar sana dengan berani dan ajak tunanganmu bulan madu!"


"Ini bukan bulan madu!" bantah Jeno setengah berteriak.


Keduanya saling bertatapan dan menghembuskan nafas panjang.


"Hei Bang, kalau aku mengajakmu ikut juga, apa kau bersedia?"


"Untuk menjadi support mentalmu?" tebak Bangchan


Ada jeda lama dari pertanyaan tersebut, dahi Jeno juga mengkerut sambil memikirkan kalimat terbaik untuk mengungkapkan pikirannya. "Aku menganggapmu sudah seperti keluargaku sendiri. Dan mereka," matanya beralih melihat keluar jendela dimana ada kastil yang tampaknya sepi. "Mereka memberikan makna baru dari keluarga untukku."


Diakhir kalimat itu ada senyuman kecil di bibir Jeno. Dan aku ingin kau juga menjadi bagian dari keluarga baruku merupakan kalimat yang tidak terucap tapi terbaca oleh Bangchan.


Anak Marquess Bang mengedikkan bahunya dengan jahil. "Baiklah, aku sudah berjanji akan mengikuti semua permintaan konyol dan bodohmu bukan?"


Jeno hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Akhirnya mereka turun dari kereta kuda itu dan memasuki kastil tanpa pengawal ataupun ksatria yang lalu lalang.



━╋━◇◇◇━╋━



Pemandangan di depan Jeno mengingatkannya akan hari dimana mereka bertemu. Ketika Renjun ada di taman belakang istana, diantara kumpulan gagak yang memutarinya seakan dialah pusat kehidupan mereka.


Sore itu belum semua Croastrow kembali dari manapun urusan mereka masing-masing. Seluruh kastil isinya kosong kecuali taman belakang dimana Renjun dan para gagak berada.


Jeno berjalan meninggalkan Bangchan untuk mendekati Renjun. Para gagak membukakan jalan baginya untuk mendekat.


"Um," Jeno menggaruk belakang kepalanya. Dia masih ragu dan khawatir akan ditolak.


"Apa kau mau berkelana bersamaku?" tanyanya dengan suara yang agak kecil.


Renjun yang sudah menatapnya hanya diam, dan hal ini membuat Jeno semakin khawatir. "Anggaplah hadiah pertunangan kita, dan permohonan maaf karena saat itu..." perjelasnya. Tetapi pada kalimat terakhir dia gantungkan, bingung bagaimana cara meminta maaf untuk acara mereka yang digelar personal, acara yang tidak sampai akhir karena letusan gunung Phoebi, atau perjamuan tanpa aba-aba dari orang tuanya.


Hah, lumayan banyak hal yang dibiarkan Croastrow untuk Phynexia lakukan.


Jeno sudah menghembuskan nafas panjang memikirkannya, tetapi semangat dan harapan Jeno mulai bangkit ketika Renjun mengangguk.


"Kau mengangguk untuk apa? Untuk berkelana denganku?" atau untuk menyetujui bahwa banyak hal yang memerlukan permohonan maaf?


Renjun mengangguk kembali.


"Sungguh?" tawa Jeno senang. Beberapa gagak ikut berteriak seakan ikut tertawa bersama Jeno dan Jeno tak masalah melepas beban pada sore itu untuk tertawa bersama mereka.


Dari kejauhan berdiri Bangchan dan Yukhei yang belum lama sampai dan menyaksikan gerak gerik Jeno yang menghampiri Renjun.


"Tadi dia seakan akan kencing di celana karena takut ditolak." kata Bangchan.


"Oh ya? Lain kali akan kusediakan pot untuknya. Kapan mereka pergi?" Tanggap Yukhei dengan serius.


"Mungkin besok atau lusa."


"Kalau begitu kita harus segera ke pasar untuk membeli pot." Dia mengangguk dan saling melempar seringaian dengan Bangchan.



━╋━◇◇◇━╋━



Pada pagi hari -lebih tepatnya subuh- mereka akan pergi, Jeno, Bangchan dan Jisung sudah ada di Kastil Permata Hutan lengkap dengan bawaan dan kereta kuda yang disiapkan oleh keluarga Bang.


"Hyung, hati-hati. Kau tahu sekarang ada yang mengincarmu." Pesan Jisung pada kakaknya. Jeno mengangguk menyetujui sebelum merangkul Jisung sebagai salam perpisahan.


"Biar Xiaojun dan YiYang yang ikut dengan kalian ya," kata Yukhei. Xiaojun dan YiYangpun sudah lengkap membawa beberapa tas di tangan mereka dan memasukan tas-tas tersebut ke bagasi kereta.


"Aku perlu tetap disini, para jiejie akan datang dan sebaiknya ada yang siap menerima kedatangan mereka dan membantu mengantarkan buku-buku ini." gumam Yukhei yang menatapi kotak-kotak buku yang kemarin hari mereka kelompokkan. Sekarang kotak-kotak itu telah rapi dan dibungkus dengan kain.


"Kau tak akan tinggal untuk menjaga kastil?" tanya Bangchan yang mendengar gumaman Yukhei.


"Untuk apa menjaga benda mati?" tanya Yukhei yang sangat bingung dengan pertanyaan Bangchan.


Bangchan mengedikan bahunya. "Alasan yang wajar." jawabnya.


Bangchan tidak sibuk menjelaskan bahwa menjaga 'rumah utama' bangsawan merupakan suatu langkah yang menunjukan kekuasaan dan kekuatan bagi aristokrat di Phynexia.


"Hahh, kalau bisa aku tak ingin tinggal dan bertemu jiejie." kelu Yukhei lagi.


"Mereka baik kok ge," bela Chenle.


Yukhei berdecak sambil melipat tangan dan menggelengkan kepalanya sangat tidak setuju. "Mereka hanya baik padamu saja karena kau adik bungsu. Tapi coba padaku atau YangYang."


"Renjun-ge juga disayang," tambah Chenle sebagai pembelaan.


"Dia pengecualian. Pokoknya ya kalian pergilah, biar disini aku dan Chenle yang atur." simpul Yukhei.


Tetapi pagi itu tidak sunyi apalagi ketika Yukhei melihat dari ujung matanya ada YangYang yang diam-diam ingin memasukan tas miliknya ke bagasi.


"Hei! Enak saja kau mau ikut. Kau harus disini menemaniku menerima para jiejie!" Teriak Yukhei sambil mengejar YangYang yang terbang berusaha untuk lari dari gepalan tangan Yukhei.


Chenle, Jisung, Jeno dan Bangchan ikut tertawa bebas menyaksikan mereka sedangkan para Croastrow lain menatap penuh afeksi pada keluarga mereka.



━╋━◇◇◇━╋━



Hari itu Chenle sedang mengikuti Hendery dan NingNing yang sedang mengumpulkan rempah-rempah liar di hutan. Mereka dalam perjalanan kembali ke kastil di sore itu ketika mereka terbang diatas istana dan Chenle melihat sosok familiar yang hanya duduk sendiri di taman belakang istana -tempat para Croastrow dulu-.


Chenle segera berpamitan pada yang lain sebelum menukikkan tubuhnya agar mendarat di samping sosok itu.


"Pangeran Jisung," sapa Chenle.


"Pangeran Chenle, hai." sapa Jisung dengan senyuman.


"Sedang apa?" Chenle lalu mendudukan badannya di rumput sebelah Jisung sudah lama berada.


"Meminjam buku milik Jeno-hyung." lalu pangeran bungsu Phynexia itu mengangkat buku yang sedari tadi ada di pangkuannya.


"Tanpa sepengetahuannya?" canda Chenle, dan Jisung hanya ikut tertawa tanpa mengakui dosa-nya.


Mereka berdua menatapi langit yang mulai berubah warna, sinar matahari yang makin teduh, dan selimut malam yang muncul di sisi lain. Chenle bukanlah seseorang yang asing akan kesunyian karena walaupun sunyi dia tau dia tidak pernah kesepian.


Tetapi beda halnya dengan Jisung yang terbiasa dengan keramaian namun akrab dengan kesepian. Sore ini yang sunyi dan sepi hanya membawa dirinya semakin terdiam dan menerawang hidupnya.


"Kau tahu, jujur aku belum tahu akan menjadi apa di masa depan." celetuk Jisung.


Chenle melihati wajah Jisung yang masih menerawang langit. "Tapi kau seorang pangeran, bukankah itu sudah jelas?"


Ada tawa tanpa canda gurau yang keluar dari mulut Jisung. "Di Phynexia, anak ketiga adalah bukti kemakmuran. Tidak memegang tanggung jawab, ekspetasi ataupun beban. Kami mimpi liar yang bebas berkelana."


"Itu bagus?" ragu Chenle.


"Tapi aku tak punya itu."


Chenle menatap Jisung lebih lekat, mengamati senyum tipis dan sedih itu. "Mimpi liar maksudmu?"


Jisung mengangguk "Aku hanya benar-benar tidak tahu harus menjadi apa secara keseluruhan. Maksudku lihatlah Mark-hyung yang hebat dengan masyarakat. Dia baik, bertanggung jawab, ramah dan menerima perannya sebagai putra mahkota, calon raja Phynexia di waktu yang akan mendatang.


"Lalu ada Jeno-hyung. Dia memang lebih suka bekerja sendiri dan tidak bisa mengatasi banyak orang, tapi dia pintar dan ingin belajar. Dia memasuki akademi dan menjadi seorang pelajar yang disegani orang-orang walau bekerja dari belakang. Ya walau kau tahu tidak semua orang dapat menghargai apa yang penting."


"Lalu ada aku," sebutnya dengan lirih. Api bangga yang menceritakan kakak-kakaknya kini padam. "Aku yang hanya aku. Pangeran bungsu yang telah hidup dengan manja dan tidak menemukan mimpi diluar hidup nyaman yang kini dia jalani." akhir Jisung.


Chenle tau membaca kesunyian, dia tau Jisung hanya ingin meluapkan perasaannya. Jadi dengan tanpa ragu Chenle mengubah topik mereka. "Jadi... kau meminjam buku Jeno-ge untuk apa?"


Kali ini Jisung akhirnya kembali tertawa dengan kerlingan jahil. "Hanya karena."


Chenle mengikuti tawa itu. Dia berdiri dan memberikan tangannya kepada Jisung yang masih terduduk. "Mau ikut pergi mengganggu Yukhei-ge? Kita ajak YangYang-ge, Hendery-ge dan NingNing juga."


"Tentu." Jisung menerima uluran tangan Chenle yang menariknya. "Memangnya atas alasan apa kita akan mengganggu um-Hyuckei-hyung?"


Kali ini kerlingan jahil itu ada pada mata Chenle. "Hanya karena." mengulang alasan Jisung tadi.


Di sore itu, Jisung mulai masuk menjadi bagian dimana dia akan akrab dengan kesunyian tetapi asing dengan kesepian. Suatu perubahan yang akan dia tukar berapa kalipun dengan rela hati.




━╋━◇◇◇━╋━



up lagi just because... :)) 

Btw, susah ya bahasa indonesia... susah banget nyari kata translate-an dri Bah. Inggris. Sekalinya nemu artinya udh ngga sedalam atau ngga seringan yang diinginkan. Curhat aja wkwk

Continue Reading

You'll Also Like

44.6K 4.9K 19
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
1M 61.5K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
117K 9.6K 86
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
425K 34.3K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"