Jendela Joshua (End)

By meynadd

5.1K 1.3K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde

133 43 10
By meynadd

Lagi-lagi Joshua salah langkah. Kalaupun dia menolak ajakan murahan dengan embel-embel traktir, seharusnya jangan langsung tergoda tanpa tahu menahu bagaimana nasibnya ke depan.

Teruntuk orang awam, sekecil apapun itu kemungkinan akan berkonsekuensi. Paling tidak mereka akan menghadapi tanpa memikirkan keputusan yang telah dibuat lalu anggaplah hal itu tidak pernah terjadi.

Tetapi Joshua adalah kebalikan dari itu. Padahal mereka bertiga sudah diingatkan dari awal oleh Umar untuk tidak pergi keluar larut malam dan mereka tidak mau mendengarkan. Kalau Joshua? Tentu saja dia pura-pura tidak mendengar, pemuda nan lugu yang tertipu akan hawa nafsu.

Bagaimana tatapan tajam itu dihunuskan ternyata sebanding dengan tatapan sang ibu. Itu yang membuat Joshua meneguk air liur berkali-kali, menunduk dan mencoba memalingkan perhatian. Justru karena Umar, Joshua dapat dengan santai menghadapinya.

"Ojo ngono, (Jangan begitu) Mar. Kita nih mau masuk," desak Dodit harap-harap cemas di saat pintu besi berderit pelan, bergeser sedikit demi sedikit oleh empunya.

Hendra dan Joshua menyetujui dengan sepasang wajah melas yang terpatri walaupun mereka tahu itu tidak akan mempan terhadap perhatian dingin Umar yang pasti tak menaruh belas kasih.

"Nggak usah masuk," kata Umar singkat. Lalu pintu semakin bergeser. "Parah! Traktir nggak bilang-bilang!"

"Ya, kalau apa-apa diajak keluar makan, ujung-ujungnya kamu nggak mau, Mar."Hendra lantas mengungkapkan fakta yang ada. Umar memicingkan mata lebih tajam.

"Kalau traktir, aku mau lah woi!"

Pintu besi tersentak kuat, bergeser dalam tarikan kencang hingga menyisakan celah yang tinggal menampakkan separuh wajah Umar.

Demikian Dodit memutar otak.

"Wis mangan apa durung? (Udah makan atau belum?)" tanyanya pada Umar lantas menyodorkan sebungkus makanan yang kebetulan sengaja dia bawa pulang.

"Nih, untuk kowe, Mar. Ojo lali dipangan yo (Jangan lupa dimakan ya)."

Dengan begitu, peluang untuk meluluhkan nurani Umar menjadi lebih mudah serta pintu besi menganga lebar untuk mereka bertiga.

Kalau orang-orang terbuai akan tawaran manis, tentu tidak mungkin menolak hal yang menguntungkan bagi mereka terhadap sesuatu yang jelas menang telak sesuai kesepakatan yang dibuat antar dua belah pihak.

Pada dasarnya seekor tikus yang ingin terlepas dari cengkeraman harimau yang kelaparan. Tikus itu melakukan berbagai cara untuk bisa melarikan diri, salah satunya dengan cara menawarkan suatu hal, menyakinkan bahwa Harimau itu akan mendapatkan balasan apabila melepaskannya. Dan buaian-buaian daging lezat itu berhasil.

Akan tetapi di situasi kali ini sangatlah berbeda. Sang raja hutan tak bisa dikelabui atas tawaran dari sang hewan pengerat. Insting Harimau yang seperti biasanya menajam, dapat mencium bau-bau kelicikan yang mampu memanipulasi diri.

Umar mengambil bungkusan tersebut. "Makasih Dit," ujarnya samar-samar masih dengan tampang mendatar.

"Apa kalian lupa?" Umar menyeringai, melebarkan celah pintu menjadi seutuh bagian tubuhnya.

"Kalau ada yang keluar lewat dari pukul sepuluh ke atas. Mereka nggak diizinkan masuk ke kedai."

Keinginan mereka bertiga lantas digagalkan.

Joshua mengingat perkataan itu yang persis di saat pertama kali Marzuki menegaskan. Pria itu juga memberi tahu alasan kenapa para karyawan yang direkrut di sini harus menetap tinggal sebab waktu itu sangat berharga, lebih berharga dari berlian dan emas.

Tidak ingin karyawan-karyawannya telat pada waktunya. Marzuki menuturkan, anggaplah Kedai ini sebagai rumah sendiri. Tidak melupakan hal, mana saatnya berpulang dan bepergian.

"Karena aku ditugaskan Pakde menutup kedai, kalau ada siapa-siapa yang masih ada di luar ... jangan biarkan mereka masuk."

"Tunggu, tapi kita ini kan tem—"

Pintu besi secara kasar menghentakkan tepat di depan wajah mereka bertiga.

Hendra meluapkan amarah, menggedor-gedor pintu besi dengan sangat agresif. Dodit berusaha memanggil-manggil penuh permohonan.

Sementara Joshua malah berputus asa. "Sudahlah nggak ada gunanya kalian begitu. Mas Umar nggak akan mendengarkan kalian."

Dia menyandarkan diri di belakang pintu lalu menghempas perlahan tubuh ke bawah kemudian duduk dalam keadaan memeluk kedua tungkai kaki, menenggelamkan kepala di antara keduanya.

"Untuk hari ini kita tidur di luar kedai saja."

Dodit dan Hendra kemudian berhenti setelah Joshua memutuskan secara sepihak. Hendra meratapi akibat dari perkataannya tempo hari. Apa yang pernah dikatakan sudah menjadi pembuktian sekarang.

Dodit muram akibat seporsi makanan untuk berjaga-jaga tengah malam telah berpindah tangan, yang seharusnya sebagai penyelamat malah menjadi musibah. Kini mereka harus sama-sama merasakan di balik dinginnya dunia luar beralaskan puing-puing kardus tipis.

Secara tiba-tiba Umar menampakkan diri kembali di ambang pintu sembari tersenyum tipis.

Joshua, Dodit dan Hendra terbelalak kemudian saling bertukar pandang. Berusaha menampik kenyataan yang baru saja mereka saksikan. Hendra lantas mengepal tangan dalam-dalam, membusungkan dada. Refleks Joshua dan Dodit mengunci lengan kanan dan kiri agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Hei! yang benar saja aku biarkan kalian tidur di luar sini." Umar melanjutkan dengan gelagat tawanya seraya menggeser pintu besi setengah bagian.

"Aku nggak suka kalian membenciku gara-gara hal sepele."

Mereka bertiga mengedipkan mata berkali-kali, dan benar saja dugaan mereka. Trik lama yang biasa Umar peroleh guna dipakai dalam situasi tertentu berhasil juga untuk situasi seperti ini sehingga mereka tak bisa membedakan mana yang serius dan mana yang hanya akting.

***

***

Setelah mereka bertiga diperbolehkan masuk semalam adalah sebuah keuntungan yang sangat berarti. Mengingat bagaimana tubuh yang dibaringkan sesaat di atas lantai beralas kardus apalagi membiarkan tubuh berselimut angin malam cukup membuat Joshua merinding kedinginan.

Dia bernapas lega, bersyukur bahwa itu hanyalah akal-akalan Umar agar mereka bertiga mendapat imbas atas apa yang dia dan yang lainnya langgar. Cukup mempan dan berefek jera terhadap pelanggar berikutnya untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.

Joshua teringat pada malam itu Umar menyakinkan diri dengan tidak memberi tahu hal kecil ini kepada Marzuki. Terbayang di benak Joshua badai besar apa yang akan menimpa dirinya suatu saat, sebelum batas ketentuan itu habis termakan oleh waktu.

"Kenapa kalian berlima nggak masuk kerja hah?!" Marzuki meninggikan suara hingga mengundang perhatian sepenjuru ruangan.

Joshua yang sedang memegang gagang sapu lebih berfokus pada lima presensi yang menunduk di hadapan Marzuki?sampai fokusnya pada lantai berpaling.

Tidak hanya dia, beberapa pemuda lainnya ikut andil mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sekali-kali menyibukkan diri supaya Marzuki tak mendapati mereka sedang menguping pembicaraan.

Joshua menyipitkan mata untuk mengenali pemuda-pemuda itu dan benar, merekalah yang absen kerja kemarin malam. Di antara mereka tak ada yang berani bersuara. Terdengar suara kekecewaan berat yang keluar dari mulut Marzuki. Pria itu mengatupkan mata, memijat hidung dengan kedua jari membuat kacamatanya naik turun.

"Kalian berlima ikut ke ruangan saya," perintag Marzuki dalam keadaan semrawutan. Menyudahi drama di hadapan anak buahnya yang lain. Dia menghela napas diiringi hentakan kaki menuju ke ruangan belakang dekat tangga, sesaat dia membalikkan pandangan ke sekelilingnya yang membisu.

"Teruntuk kalian semua tanpa terkecuali, dengarkan ini baik-baik. Kalau dari kalian merasa ada masalah mengenai pekerjaan dan lain sebagainya yang masih ada kaitan dengan kedai ini, langsung konsultasi pada saya. Dengan begitu apa yang membuat kalian keberatan bekerja di sini bisa diatasi bersama."

Dia menginterupsi kemudian menghilang diikuti kelima pemuda yang bersangkutan.

Setelah beberapa saat, ruangan berdengung. Orang-orang mulai heboh menanggapi dan membicarakan seputar konsultasi karyawan yang sama sekali tak pernah terapkan di sini.

Joshua mengulangi dan merekam jelas-jelas ucapan Marzuki barusan di kepala. Dia mendengar dari orang-orang dulu bahwa mendongkrak gaji dinaikkan itu hal yang sangat mustahil. Dan ini merupakan kesempatan bagus untuknya berkonsultasi.

"Josh!" panggil Hendra, bersamaan itu Umar dan Dodit turut menimbrung.

"Kamu ngerasa aneh nggak kalau Pakde tiba-tiba ngomong begitu?"

"Entahlah, Hen ... aku nggak ngerti." Joshua mengaku.

Di sebelah Joshua, Umar menyibak surat kabar lalu membentangkannya di tengah-tengah mereka berempat. "Coba lihat ini."

Dodit mengernyitkan dahi, menelateni tulisan tebal yang tertera di bagian atas surat kabar kemudian beralih pada paragraf kecil seraya membacanya.

"Karyawan restoran cepat saji banyak mengundurkan diri karena mereka tidak mendapat hak untuk berkonsultasi langsung kepada pemilik. Mereka sangat menyayangkan pihak pemilik yang tidak pernah menerapkan aturan tersebut di lingkungan kerja."

Mereka bertiga mencerna baik berita di genggaman Umar.

Umar menghela napas dalam kemudian mengambil alih posisi Dodit lalu membaca potongan paragraf kecil lainnya.

"Setelah para karyawan itu mengundurkan diri, restoran itu tidak beroperasi kembali. Dikabarkan bahwa sang pemilik terkena imbas dan akhirnya restoran itu jatuh bangkrut."

Pemuda dingin itu pun kemudian menyimpulkan.

"Aku rasa, Pakde melakukan itu bertujuan untuk mengantisipasi agar para karyawannya nggak ada yang mengundurkan diri dan nggak ingin bernasib sama dengan yang ada di koran."

Joshua mulai paham situasinya sekarang. Dia melihat tanggal berita yang tercetak, lalu menyadari kejadian itu berlangsung dua hari yang lalu. Namun ada kejanggalan yang berbanding terbalik, seakan-akan Marzuki menyembunyikan sesuatu dari mereka semua. Baru terpikir olehnya, tapi tidak dapat memastikan apakah itu benar atau tidak.



Hlm 08 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

10.9K 1.8K 5
[Tenaga Pendidik Version] Seven still choosy and Juni still clumsy
19.4M 872K 57
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
3.1K 754 23
𝘉𝘢𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘳 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘦𝘧𝘦𝘬𝘵𝘪𝘧 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘰𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘱𝘢𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨. 🌲 Moraroka adal...
172K 13.6K 33
"Kata Deden, kalo ngakunya temen, terus punya sesuatu buat dibagi, jangan bagi senengnya doang, Bi. Harus sekalian sama sedih." Dhiwa menuntun Bia ag...