The Thing Between Us

By Janeloui22

51.8K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[8-3] Fail Play

2K 236 33
By Janeloui22

Aloha~

Jadi ini part terakhir. Aku gak tau kenapa semua ceritaku belakangan ini terkesan random dan absurd. I try to cook some good stories but they always take some times. Dan aku lagi sibuk karena kucingku baru lahiran duh. I have eight cats at home, they are basically cute little monsters that consume all my time and money. But I love them. Maaf oot. Hmm

It just has 4K words so enjoy. Dan beberapa bagian awal mengandung mature content jadi buat bocil jangan baca ya 😉😉😉

•Fail Play•

“We have to recognise that there cannot be relationships unless there is commitment, unless there is loyalty, unless there is love, patience, persistence.”
—Cornel West—

Hal pertama yang Rose lihat ketika memasuki apartemen studio milik Jeffrey adalah sepasang gitar dan keyboard yang seluruhnya berwarna hitam di ujung ruangan. Apartemen berbentuk L itu kelihatan cukup rapih dan nyaman, meskipun agak gelap karena entah sengaja atau enggak Jeffrey cuma menyalakan lampu di dekat pintu masuk aja. Sambil jalan ke ruang tengah, jari Rose menyusuri tepian meja di bawah TV, ngerasa takjub karena dia nggak nemuin debu sedikitpun.

“Kamu suka bersih-bersih?” tanya Rose sembari nengok ke arah Jeffrey yang langsung mendudukan diri di atas sofa.

Jeffrey ngasih anggukan. “Iya. Buat jaga-jaga barangkali mamah tiba-tiba ke sini. Lagian aku juga nggak suka tempat kotor.”

“Oh, gitu ya,” sahut Rose yang kelihatan sedikit ragu buat duduk di dekat pacarnya.

Ngelihat keraguan itu, Jeffrey langsung menyunggingkan senyum sambil narik tangan Rose buat duduk di sampingnya. “Make yourself at home,” katanya sebelum jalan ke arah kulkas buat ngambil dua kaleng bir. “Mau? Ini light.”

“Ada kopi?” tanya Rose karena dia nggak begitu suka minum bir.

“Ada kok. Yakin mau minum kopi malem-malem? Nanti gak bisa tidur,” tutur Jeffrey sambil ngambil kopi instan kalengan dari dalam kulkas.

Jawaban yang Rose lempar seketika menghentikan gerakan Jeffrey—ngebuat dia mematung selama beberapa saat. “I think we supposed to not sleep this night…”

“Did I hear it wrong?” tanya Jeffrey sambil nyodorin kopi ke Rose.

“Kita mau ngobrol, kan?” tutur Rose dengan ekspresi polos. Dia merhatiin perubahan air muka Jeffrey, cowok itu mengulas senyum canggung sebelum ngebuka kaleng birnya dan meminumnya sedikit terlalu buru-buru. Bahkan Jeffrey duduk di atas karpet, memilih buat bersandar ke tepian sofa alih-alih duduk di sampingnya. Oleh karena itu, tanpa pertimbangan apapun, Rose lebih milih buat turun dan duduk di samping Jeffrey. Dia nggak mau ada sekat di antara mereka. “Aku bosenin ya?”

Jeffrey nyahut agak panik, “Enggak! Jelas enggak!”

“Atau aku nggak cukup cantik?” tanya Rose lagi. Ekspresinya kelihatan sedih.

“Kamu cantik, Rose. Sangat cantik,” kata Jeffrey sembari membelai pipi pacarnya yang terasa dingin. Tatapan mereka bertemu—cukup lama untuk ngebuat Jeffrey sadar kalau ada sesuatu yang Rose harapkan di balik tatapannya yang dalam.

“Then why do you never touch me, Jeffrey?”

Satu pertanyaan itu menciptakan beragam reaksi dalam diri Jeffrey. Senang dan bingung. Ini bukan kali pertama dia ngebawa perempuan ke tempatnya, entah buat teman ngobrol bahkan teman tidur, tapi biasanya dia selalu paham semua situasi yang menyelimuti dirinya dan mereka. Jeffrey tahu kalau mereka nggak keberatan dengan jenis hubungan yang dia ajukan. Tapi dengan Rose, dia selalu berusaha menahan karena perempuan itu nggak mau sesuatu yang lebih dari sekadar pelukan dan kecupan. Sebuah tapi kembali Jeffrey ajukan malam ini: Tapi kenapa tatapan matanya saat ini seolah nunjukin hal yang berkebalikan? Jeffrey tahu arti tatapan itu. Rose menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar pelukan dan kecupan di bibir.

Senyum manisnya terukir. Jeffrey nyentuh punggung tangan Rose, mengaitkan jari-jemarinya di sana sebelum menciumnya beberapa kali. Tatapannya terpatri di sepasang mata Rose yang memancarkan kemilau hitam yang terlihat melalui pantulan lampu yang temaram. Gadis itu menegang—seolah sentuhan yang sensual udah bisa ngebuat pikirannya melayang. Jeffrey paham, ini reaksi yang dikasih seorang perempuan yang nggak berpengalaman sama sekali. Rose bahkan nggak punya bayangan tentang gimana hubungan yang sensual antara laki-laki dan perempuan.

Ini pertama kalinya dia menghadapi perempuan yang sepenuhnya virgin baik tubuh dan pikiran sehingga untuk beberapa menit otaknya terus mengajukan ‘bagaimana’ supaya Rose nggak merasa tersiksa dan terlalu keteteran. Satu-satunya yang Jeffrey tahu cuma dia harus bersikap lembut karena ini bakal jadi kali pertama buat Rose. Meskipun nggak berarti setelahnya dia bakalan kasar karena semua itu situasional. Lagipula dia bisa ngelakuin keduanya.

“Jeffrey tapi aku nggak tahu gimana cara ngelakuinnya,” cetus Rose sambil nunduk. Ekspresinya kelihatan lucu.

“Sejauh apa yang kamu tahu kalau gitu, hm?” tanya Jeffrey masih memainkan tangan kiri Rose.

“We may have a baby if we don’t do it safely.” Rose kembali berujar. Wajahnya terangkat, kembali memandang Jeffrey yang kelihatan begitu dekat dan tampan.

“Yups you’re right. That’s why we should have a protection before we go in. But Princess, may I know the last time you got your period?” Jeffrey kembali ngajuin pertanyaan.

Rose menelan ludah saat ngerasain jari Jeffrey menelusuri garis wajahnya yang simetris. “Two weeks ago.”

“Then it will be safe even if we don’t use that, Princess. But I always have it anyway so don’t worry,” tutur Jeffrey dengan suara rendah yang ngebuat jantung Rose berdebar kencang. “Rose, it’s such a waste of your beauty like you know, being young just happen once. You won’t feel the same craziness when you grow older. But still I wanna ask you, are you sure? It will be a little hurt since it’s your first time. You may shed a tears as well. But I will do it as gently as possible.”

“I’m sure,” kata Rose sembari menarik wajah Jeffrey ke arahnya. Dia ngasih kecupan singkat di bibir Jeffrey lalu nambahin, “Please don’t be too gentle. I may like it a little rough.”

“I got you, Princess.”

Jeffrey narik tangan Rose ke bawah sebelum memagut bibirnya dengan lembut. Salah satu tangannya narik mantel yang masih Rose kenakan, ngedorongnya ke samping sebelum membaringkannya dengan hati-hati. Tatapannya selalu terpatri ke arah pacarnya—seolah lagi ngamatin tiap reaksi yang gadis itu kasih karena dia nggak mau jadi satu-satunya yang menikmati aktivitas saat ini. Bahkan Jeffrey ngerasa kalau dia perlu meminta izin sebelum menarik turun gaun Rose—ngebuat dia menampilkan lekuk tubuh polosnya. Senyumnya terpatri, dia menyukai setiap ekspresi yang Rose tunjukin tiap kali jarinya menyentuh sudut tubuhnya yang indah.

Rose mendesah pelan saat lidah Jeffrey menelusuri perutnya—ninggalin ciuman yang ngebuat tubuhnya menegang hebat. Mukanya merona saat sisa kain terakhir yang nutupin tubuhnya dilepas, ngebuat tangannya refleks nutupin dada sementara kakinya ditekuk rapat. Ekspresinya kelihatan malu-malu saat ngelihat Jeffrey ngelepas bajunya dan ngambil sesuatu dari dalam laci di bawah TV.

“You don’t have to hide it from me, Rose. You are stunning,” bisik Jeffrey sambil narik tangan perempuan itu, menguncinya di atas. Dia ngebuka kancing celananya, nurunin sedikit sebelum nyobek bungkusan kecil persegi itu dengan terampil dan memasangkannya—seolah itu hal yang udah sangat lumrah dia lakuin. “Rasanya agak memalukan kalau kamu terus ngelihatin kayak gitu.”

Pandangan Rose buru-buru terangkat, memilih buat memandangi muka Jeffrey yang nggak menunjukkan rasa malu sebagaimana yang dia omongin. “Can it really fit into me? Won’t it feel hurt?”

“Do you wanna stop it here?” tanya Jeffrey, dia bahkan nahan dorongan buat menciumi Rose.

“No, do it Jeffrey. I want you.” Rose mejamin mata saat ngerasain ciuman yang lembut di lehernya—Jeffrey nggak biasanya selembut ini. “I love you Jeffrey.”

Senyum cowok itu kembali terulas. Dia ngecup bibir Rose, memilih nggak menjawab sebelum membenamkan dirinya perlahan. I love you on the first sight and seems like it lasts longer than I thought, Princess.

Malamnya nggak pernah sesibuk dan penuh gairah kayak tadi. Rose terbangun dalam pelukan Jeffrey, ngerasain sedikit rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Meskipun merasa sedikit sakit dan pegal, Rose nggak ngira kalau dirinya bakalan ngerasa sebahagia itu. Dia nggak menyangka kalau dirinya bakal menyukai tiap sentuhan dan hentakan yang Jeffrey kasih tadi malam. Meskipun setelahnya Rose ngerasa sedikit malu karena dirinya kelihatan terlalu polos dan liar. Dia terlalu antusias kendati sebelumnya sedikit ketakutan karena pengetahuannya tentang direct intercourse benar-benar terbatas.

Kaos putih milik Jeffrey yang menempel di tubuhnya jelas kebesaran. Tapi lebih gampang pakai baju punya pacarnya ketimbang gaunnya yang terhempas agak jauh di pojok ruangan. Jeffrey masih memeluknya, sengaja menjauhkan Rose dari beberapa bagian karpet yang sedikit kotor karena ulah mereka. Rona muka Rose kembali memerah, dia mejamin mata dan secara nggak sengaja kembali teringat kejadian tadi malam. He was a wonderful beast.

Rose berbalik buat mengamati muka Jeffrey yang kelihatan sangat damai dalam tidurnya. Pria muda yang kelihatan sangat tampan dan lembut ini bisa nunjukin ekspresi berbeda cuma dalam sepersekian detik setelah mereka mulai bersentuhan. Tiap sentuhan dan ciuman yang Jeffrey kasih selalu ngebuat Rose pening dan melengguh pelan—bahkan sangat keras kalau misalnya cowok itu sedikit iseng dan terlalu niat dengan foreplaynya. Jeffrey bukan sekadar tahu, tapi dia memang handal. Hal itu memunculkan pertanyaan mendadak dalam benak Rose, sontak ngebuat hatinya panas dan ngilu.

How many women this guy had joined with for all these years? How many times he had praised the women he shared the night with while holding her body tightly? How many women before me had fallen for this young devil who whispered sweetly on the ears that will gradually turn red because of his beautiful words? Rose tahu kalau kepiawaian Jeffrey nggak semata-mata tumbuh karena insting—semua itu jelas tercipta karena banyaknya pengalaman dengan sejumlah perempuan yang nggak dia ketahui sama sekali.

“Kamu udah bangun,” gumam Jeffrey sambil merentangkan tangan buat memeluk Rose. Dia nyium pundaknya sekilas sebelum bangkit buat cuci muka sebelum ngambil dua gelas air mineral untuk Rose dan dirinya. “A glass of water is good to start your day.”

“Ini masih jam enam,” desis Rose sambil senyum. Sikapnya juga kelihatan lebih manja—dia mau narik perhatian Jeffrey, ngerasa sedikit lebih posesif daripada sebelumnya.

“What is it?” kekeh Jeffrey saat Rose berdiri dan ngaitin kedua lengannya ke leher dia. Bahkan Rose kembali menciumnya meskipun cuma ciuman ringan yang selalu dia sebut sebagai ciuman anak-anak.

“I just feel very happy right now,” kata Rose sembari narik Jeffrey buat nindih tubuhnya yang dibaringkan di atas sofa. Tangannya memainkan rambutnya yang sedikit gondrong dan berwarna cokelat gelap. Tawanya kedengaran pelan saat Jeffrey mencium punggung tangannya sebelum kembali meluk setelah ngebetulin posisinya supaya nggak nindih tubuhnya. “Jeffrey, ada berapa banyak mantan yang kamu punya?”

Kening Jeffrey mengeryit, ini pertanyaan klasik yang sering dia terima. Bibirnya menggoreskan senyum, dia nangkap sedikit gurat cemburu dan perasaan posesif yang entah bagaimana bisa tumbuh dalam diri Roseanne Claire yang selalu percaya diri. Hatinya meminta Jeffrey buat bersikap baik, tapi berhubung dia jarang mengikuti kata hatinya, sikap isengnya tiba-tiba mencuat keluar—ngasih jawaban jujur yang nggak terlalu Rose sukai. “Aku nggak terlalu banyak pacaran. Mantan yang aku punya juga kayaknya nggak lebih dari tujuh belas? Iya, tujuh belas. Aku nggak pinter berkomitmen, jadi biasanya aku cuma jalan keluar sama beberapa temen aja.”

“Berapa banyak?” tanya Rose dengan suara pahit.

“Em… well, aku nggak inget. They were all living in the past, Rose. It’s not that important. Aku bukan cowok yang suka selingkuh kok,” katanya sambil nelusupin tangan ke dalam kaos yang dipakai Rose, mainin puncak tubuhnya yang kembali mengeras.

Rose berusaha nahan desahannya—meskipun tubuhnya malah ngasih respon yang kelewat jelas. Dia ngajuin pertanyaan lain, “Terus Mrs. Clark?”

“She was kind,” kata Jeffrey sambil narik tangannya keluar, memilih buat duduk dan bersandar ke sofa. Dia berusaha nahan diri karena pikirnya Rose masih kelelahan dan badannya mungkin aja sakit. “Aku nggak pernah pacaran sama dia. Dan aku juga nggak pernah ngelakuin apa-apa sama dia. I’m not a sex god, Rose. I’m not doing it with merely anybody. Meskipun kalau dibandingin sama kamu, tentu aja aku lebih kelihatan kayak kucing yang suka bergaul sembarangan. Tapi aku nggak akan dengan sengaja ngegoda apalagi ngerebut tunangan orang. Mrs. Clark used to be obsessed with an eighteen years old guy that tried to respect her as a woman when her fiance abused her. But then this boy has to bear all the rumours just because he likes to hang out with others a bit too much. I wasn’t born playboy. Buat yeah, as the time passed by, I turned to be like this. I’ve slept with lot of girls before you. My love, you can be jealous, but they are all just my past. Part of life that shaped me. What happened in Vegas stays in Vegas. I’m all yours now.

Mata Rose bergetar, dia nunduk sambil duduk dengan kedua kaki dilipat. Senyumnya nggak bisa disembunyiin—ngerasa senang dengan kalimat terakhir yang Jeffrey ucapin. Tanpa pertimbangan lebih lanjut, dia memilih buat duduk di atas pangkuan Jeffrey, sengaja menekan tubuhnya ke milik cowok itu, ngebuat lengguhan halus lolos dari sepasang bibir yang dia cium dengan keras. “I have one day off and so do you. My love, you can lock me all day and put yours on me. Please do whatever you want. I know you kept restraining yourself so  you wouldn’t lose any control last night. I want this body. I want this heart too. Please give them to me, Jeffrey.”

“Weren’t you scared Grace would suddenly show up and see us fuck each other like last night, Princess?” Jeffrey sedikit nyingkap ujung kaos Rose—sebelum perempuan itu ngelepas dengan sendirinya, lagi-lagi ngebuat jantungnya berdebar cuma karena tubuh polosnya.

“We lock the door after all,” bisik Rose, senyumnya terulas saat ngedorong turun celana Jeffrey, meminta dia buat ngelepasnya.

“Seems like the Princess becomes so determined to wake the neighbours up with her scream,”  ucap Jeffrey sambil nelusurin perut Rose dengan jarinya sebelum berhenti di satu titik yang ngebuat Rose kembali merona. “Say Princess, do you want me to do it with my fingers or my tongue. You can only choose one and I won’t ask more question to you.”

“What do you mean, Jeffrey?” Rose sedikit menggeliat saat ngerasain sentuhan panas di bawah sana. Ini gila—mungkin dia baru sadar tapi terlibat hubungan sama Jeffrey nggak mungkin ngebuatnya tetap jadi gadis polos yang sama.

“This,” bisik Jeffrey sambil nyentuh Rose dengan ujung jarinya sebelum nunjuk lidahnya yang sedikit terjulur, “or this.”

“Can’t we go straight like last night?” tanya Rose serak.

Untuk sepersekian detik Rose yakin kalau seandainya iblis itu tersenyum, senyumnya mungkin bakal menyerupai milik Jeffrey. Tapi dia nggak takut sama iblis di depannya. Rose menyukai Jeffrey yang selalu menggiring keluar semua kegilaan yang mengendap di dalam dirinya.

“I wanna please you, Rose.” Ucapan Jeffrey terdengar serius sekaligus penuh godaan—seolah lidahnya merupakan milik Lucifer yang mengoyak kesadarannya.

“Is that okay with you if I ask you to use… your tongue?” Rose sedikit ragu, rasanya aneh dan dia nggak pernah suka ide buat melakukan hubungan seksual dengan sesuatu yang lain kayak jari apalagi lidah. Tapi Jeffrey menawarkan keduanya, dan dia memilih salah satunya.

Tubuh Rose seketika berkedut bahkan menggeliat saat ngerasain sensasi panas di bawah sana. Tangannya mengacak rambut Jeffrey—antara mau minta dia buat berhenti atau sebaliknya. Ini gila. Tapi dia menyukainya. Mungkin terlalu menyukainya sampai-sampai dia membiarkan dua bulan selanjutnya yang dia habiskan dengan Jeffrey cuma dipenuhi sama kegiatan seksual yang melelahkan.

Tuesday, December 17th
“Kayaknya hari ini lagi capek banget,” cetus Lisa sambil nyentuh kening Rose. Temennya nggak langsung ninggalin kelas setelah kelas selesai.

“Aku ngelakuin itu sama Jeffrey di mobil sebelum kelas tadi. Itu gila,” tutur Rose masih nempelin muka di atas meja.

Lisa hampir tersedak dan memuntahkan minumannya. Rose jadi semakin eksplisit saat nyeritain tentang kehidupan seksualnya sama Jeffrey. “Dia bener-bener nggak bisa ngasih istirahat ke kamu apa? Terus kenapa kamu nggak nolak dan bilang capek aja?”

“Dia selalu nanya. Bahkan tadi juga dia nanya, like we had did that last night. Tapi tadi itu terjadi bukan karena dia yang mulai. Aku yang mulai. Bahkan aku ada di atasnya. Ya ampun, Roseanne Claire bener-bener udah gila, udah gila, udah gila! Bisa-bisanya ngelakuin itu di kampus cuma karena kesel sama cewek nggak dikenal yang bilang kalau dia juga pernah tidur sama Jeffrey. Itu kan masa lalu! Astaga! Udah nggak waras!” Rose ngacak rambutnya. Dia kelihatan cukup frustasi dan malu.

“Do you seriously in love with him?” tanya Lisa nggak percaya. Dia bahkan sampai ngegebrak meja.

Rose muter matanya pelan. “Seriously Lisa, of course I do! I really love him! Do I look like someone who would sleep with a guy I’m not in love with?”

“But Jeffrey is a good kisser,” sanggah Lisa polos.

“He is,” Rose malah senyum sebelum nepuk pipinya pelan, “but that’s not the reason! Actually, actually, he is kind enough. Like you know, he is a gentleman.”

“Iya, iya, terus masalahnya apa? Jeffrey kelihatannya emang baik dan tulus kok. Lagipula menurut Kak Grace adiknya itu bukan tipe yang suka mainin perasaan perempuan. Udah terbukti kan selama tiga bulan pacaran sama kamu, nggak pernah tuh Jeffrey keluyuran sama cewek lain kayak dulu. Ya dia udah cukup sibuk sama pacarnya sih, kayak nggak ada waktu juga. Hehehe… tapi serius deh, kamu nggak perlu takut sama hal kayak gitu. Have a faith on him, he loves you.” Lisa berusaha nenangin Rose dengan ngasih tahu kebenaran yang dia tahu.

“Tapi dia nggak pernah ngeunggah foto bareng aku di akunnya. Cuma ngeunggah foto punggung sama tangan aja,” tutur Rose agak sedih.

“Dia ngeunggah foto kalian waktu lagi berendam di jacuzzi—netizen knows what you guys did afterwards,” tukas Lisa sambil nyikut tangan Rose. “Menurutku, Jeffrey nggak ngeunggah muka kamu tuh karena dia posesif, dia nggak mau ada cowok lain yang naksir kamu. Meskipun udah banyak sih. Mungkin dia nggak mau nambah saingan aja. He likes you, he loves you, he adores you. Jadi kamu harus percaya diri karena kamu itu sangat berharga buat Jeffrey.”

“Kadang aku cuma takut kalau alasan utama dia stay itu karena aku ngasih apa yang dia mau. Kamu tahu lah maksudnya. Tapi kalau dia bosen, aku harus gimana? Kayaknya aku belum bisa mengatasi patah hati dan putus deh. Apalagi dari dia,” ucap Rose sambil ngehembusin napas berat. Lagi-lagi dia ngejatuhin mukanya di atas meja, memilih buat tenggelam dalam ketakutannya. “Aku nggak mau dia pergi. I think I really really really love him.

“Wow, glad my feeling doesn’t ship alone,” cetus Jeffrey tiba-tiba, otomatis ngebuat Rose mendongak dan memandanginya yang diri di samping dengan ekspresi kaget. Jeffrey narik kursi di depan Rose, menghadap ke arah pacarnya, sebelum ngasih senyum sebagai bentuk sapaan buat Lisa.

“Oh, Kak Jennie minta ditemenin belanja,” kata Lisa sambil ngecek handphone. Jennie menghubungi di waktu yang tepat. “Pergi duluan ya! Good bye love birds!

“Bye Lisa!” sahut Jeffrey sambil dadah-dadah lucu ke arah Lisa. Dia langsung pindah ke samping Rose, ngelihatin muka pacarnya dengan tatapan intens. “Kamu nangis?”

Rose buru-buru ngusap pipinya, dia nangis tanpa sesadarnya. “Pasti karena kelilipan,” katanya sambil ketawa pelan. Fokusnya dengan cepat tertuju ke Jeffrey, memandangi orang yang paling sering dia temui selama tiga bulan terakhir. “Katanya sore ini ada latihan football, kenapa malah ke sini?”

Skip. Aku kangen kamu,” jawabnya enteng. “Ada yang ganggu kamu?”

“Ganggu? Hahaha… enggak, kayak ada aja yang berani gangguin aku,” katanya sambil ngebuang pandangan ke arah lain.

“Kamu bohong,” kata Jeffrey sambil nelengin kepala. Dia ngeraih tangan Rose, ngecup punggung tangannya dua kali. “Kamu selalu gelagapan dan ngebuang muka tiap kali nyembunyiin sesuatu. I know you so well, Rose.

“Enggak kok. Cuma lagi banyak pikiran aja. Tugas dan hal lainnya.” Rose nutup kalimatnya sama sebaris senyum. Seolah ngasih tahu Jeffrey kalau dia nggak mau ngebahas hal itu lagi. Dan untungnya Jeffrey paham kode yang dikasih Rose.

Suasana kelas sepi, cuma ada mereka berdua sekarang. Tapi sepi ataupun ramai, satu-satunya yang selalu Jeffrey perhatikan itu cuma Rose. Dia bahkan jadi suka memamerkan pacarnya yang cantik dan perhatian. Rose mungkin nggak menyadari itu, tapi Jeffrey selalu jadi pengagum utamanya. “Natal tahun ini kamu belum punya rencana sama siapapun, kan? Papih kamu juga nggak bisa menghabiskan natal bareng kamu kan? Mau pergi ke New York sama aku? Kamu bisa ngobrol sama mamah. She’s lovely woman—a bit talky but still lovely. She looks a bit like Grace so I guess you will like her too. Grace juga ada di New York kok. Barangkali kamu mau ada temen.”

Ajakan dari Jeffrey nggak serta merta ditanggapi sama Rose. Dia mematung selama beberapa saat, dan baru ngerjapin mata saat Jeffrey ngecup bibirnya singkat. “New York? Ketemu mamah kamu? Itu ajakan serius kan?”

“Gak inget pernah ngebohongin kamu tuh,” sahut Jeffrey sambil mengedikkan bahu.

“Ketemu mamah kamu ya…” Rose kayak bergumam sama dirinya sendiri. Dia nunduk, terus nunjukin sebaris senyum lebar sambil meluk Jeffrey agak terlalu heboh. “Yes of course! I’d be really happy to meet her! Are you being serious? Are you being serious? You gotta take me to your home and meet your mom? Of course I want. Oh wait, when will go? I should get your mom some gifts! Oh God, Jeffrey, let’s go shopping!”

“Yeah, let’s go shopping!” Jeffrey selalu hyping Rose yang kelihatan lucu kayak chipmunk. “Tapi sebelum pergi,” katanya sambil narik Rose buat berdiri dan mendekat ke arahnya, “Bisa aku ngomong sesuatu dulu ke kamu?”

Senyum Rose sedikit memudar. Katanya sambil duduk di atas pangkuan Jeffrey. “Apa?”

“You don’t have to force yourself, my love. I will always love you no matter what the situations are. Either we sleep together or not, I will always love Roseanne Claire with all my heart. So you don’t have to force yourself just to please me. I wanna see you treat yourself as good as before you date me. I love you and you don’t have to think about some unnecessary things that won’t happen at all. I’m a man with words. Don’t worry, I will never break your heart. And let’s give yourself a break while you’re at my mom’s home. You need to take a rest after all.” Jeffrey ngelus puncak kepala Rose. Perempuan itu berkaca-kaca dan itu malah ngebuat dia ketawa karena ekspresinya yang lucu. Sambil meluk Rose, dia nambahin, “Malem ini nggak ada rencana apapun, kan? Mau aku masakin steak salmon? Aku nemu resep baru dari Grace.”

Rose ngangguk—tangannya melingkar di tengkuk Jeffrey sementara mukanya tertunduk. “I love you, Jeffrey! Thank you for giving me so much love and care.”

Saat mereka berbagi pelukan, dia semakin yakin kalau hati dan tubuhnya bergerak beriringan. Hubungan ini nggak berjalan sebagaimana yang dia pikirkan. Sebelumnya Jeffrey sempat yakin kalau kisah kali ini nggak akan berjalan mulus dan ketertarikannya cuma bersifat sementara karena secara fisik Rose memenuhi kriterianya. Hubungan sebelumnya nggak pernah berhasil karena dia juga nggak pernah melibatkan hati dalam kisah cinta klasik yang dipenuhi gairah dan drama. Tapi dengan Rose, dia benar-benar dihadapkan sama skenario yang berbeda.

Meskipun sama-sama manis dan cantik kayak barisan para mantan yang dia nggak ingat pasti jumlahnya, tapi ada beberapa hal dalam diri Rose yang ngebuat Jeffrey merasa lengkap dan dicintai. Rose nggak terobsesi sama dirinya; dia sepenuhnya mencintai dan menyayangi Jeffrey meskipun perasaan itu kadang ngebuatnya sedikit paranoid. Bisa dipahami, punya pacar dengan track record kayak Jeffrey emang selalu bikin was-was karena dia selalu dikelilingi sama perempuan dari beragam kalangan. Muka ganteng dan kepribadian yang terbuka ngebuat dirinya sangat mudah narik perhatian orang-orang meskipun dia nggak bermaksud demikian. Tapi, satu hal yang Rose nggak tahu, Jeffrey benar-benar serius sama hubungan kali ini. Bukan sekadar omong di mulut tapi benar-benar udah diniatkan dari dalam hati.

Jeffrey jatuh cinta sama Rose. Bukan cuma karena rupanya yang cantik dan menawan, tapi karena faktor lain seperti komitmen dan kenyamanan. Rose bukan perempuan obsesif, tapi punya sedikit sifat posesif yang Jeffrey sukai. Kekaguman dan cintanya terasa tulus dan normal; Rose mencintai Jeffrey, bukan mendewakannya. Dan pemuda itu menyukainya. Sebelumnya dia ngerasa kalau cinta itu konyol dan mustahil, tapi waktu ketemu Rose, Jeffrey ngerasa yakin kalau perempuan itu adalah cinta yang ditakdirkan Tuhan untuk dirinya. Mereka merasa cocok—merasa cukup dan saling melengkapi. Oleh karena itu Jeffrey bertekad untuk ngebuat ikatannya dengan Rose jadi semakin kuat—nggak akan melepas apalagi memutuskannya.

Meskipun kedengaran agak konyol dan sulit dipahami, tapi Jeffrey yakin kalau Tuhan emang udah menciptakan setiap pasangan yang bakal dihubungkan sama takdir yang saling mengikat. Tangannya memegangi tali jodoh yang sebelumnya selalu terjuntai, selalu kendor karena belum dipertemukan sama pemegang ujung satunya. Lalu saat dia ketemu Rose, tali imajiner itu seolah ditarik, membentang lurus ke depan dan ngebuat jantung Jeffrey berdebar saat melihat Rose memegangi ujung tali di seberangnya. Hatinya merekah, melantunkan ribuan lagu penuh suka cita karena Tuhan menjadikan Rose sebagai cinta sejatinya. Itu kedengaran berlebihan; tapi sejak awal, Jeffrey emang pria hiperbola yang sedikit terlalu mempercayai takdir. Hatinya tertambat—memutuskan buat berlabuh dan menjadikan Roseanne Claire sebagai rumah terakhirnya. Jeffrey merengkuh kekasihnya, sekali lagi mengukir senyum karena cinta buat Rose bukan semata-mata permainan yang digagalkan takdir.

Bisiknya dengan suara lembut, “Thank you for making my days complete. I love you, Rose.”

Fin

I think I need more sweet and pure relationships for these two—probably more inspirational too. Oh, belakangan ku lagi suka nontonin figure skating nih. Bisa tebak cerita selanjutnya yang mungkin muncul kayak gimana? Hehehe... tapi gak janji kapan waktu tepatnya, itu spoiler aja dikit. Hmmm

Then till I see you again~

❣💕💚💘💙💗💜❤🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

86.8K 8.6K 36
FIKSI
130K 13.5K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
154K 11.7K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
47.7K 6.5K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...