Another Pain [END] ✔

goresanlaraf द्वारा

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... अधिक

I •Hati yang terbalut luka•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

II •Yang tak pernah teranggap•

10.9K 540 5
goresanlaraf द्वारा

Kepada semesta yang tak pernah berpihak kepadaku, kepada luka yang terus membelengguku dan kepada takdir yang terus mempermainkanku. Aku akan terus melaju mengarungi dunia, meski banyak luka yang kuterima.”

—Regi Sabiru

Kala itu di tahun 2010 -

     "Papa! Papa! Aku juga ulang tahun, kan, hari ini? Kenapa cuma Reyga yang di kasih kado spesial? Aku juga mau kado dari Papa!" Regi.

     Anak 5 tahun itu bertanya dengan terus menarik-narik ujung baju lelaki muda yang sempat di panggilnya 'Papa' itu. Ia heran mengapa hanya saudara kembar tapi tak identiknya saja yang mendapatkan kado spesial dari sang Ayah.

     Ia? Jangankan kado, ia hanya mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari beberapa orang yang bekerja di rumahnya. Sedih? Tentu.

     Adli, lelaki berkisaran 27 tahun itu tampak menghela napas berat dengan manik mata yang menatap Regi seperti seseorang yang menaruh rasa tak suka.

     Lalu beralih menatap anak lelaki yang sempat ia gendong dan menurunkannya perlahan.

     Baru Adli mensejajarkan tubuhnya dan berkata, "Reyga main sama Kakak dulu, ya? Nanti kita lanjut lagi ceritanya, oke?"

     Anak lelaki itu nampak mengedipkan mata lucu. "Tapi Rey boleh main sama Regi, kan, Pah?"

     "Sstt... Sudah, sudah, Rey sana dulu ya sama Kakak... Ayah mau bicara sama saudaramu." tukasnya dengan penuturan yang terdengar begitu lembut.

     "Eum, oke... Daah, Papa!"

     Adli tersenyum manis saat melihat tingkah laku Reyga yang begitu menggemaskan menurutnya. Jangan tanyakan lagi sebagaimana besar rasa sayang Adli terhadap Reyga-begitu besar.

     Mungkin tak akan mampu jika hanya di lontarkan melalui kata-kata.

     Dan juga fisik Reyga yang menjadi salah satu alasan mengapa Adli begitu ketat terhadap anak itu.

     Larut dalam lamunan, ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah anaknya yang lain, yaitu Regi yang masih berdiri diam tak jauh dari ia berdiri.

     Dan seketika raut penuh kelembutan dan senyuman yang begitu nyaman di pandang itu seketika musnah.

     Di gantikan dengan raut tajam dan terlihat begitu menusuk hingga mungkin mampu membuat Regi takut untuk melihatnya.

     Ada apa dengan Ayahnya?

     Tanpa aba-aba ataupun menjawab pertanyaan yang tadi Regi lontarkan, Adli malah meraih dan menarik pergelangan anak itu menjauh dari pekarangan rumah.

     Bahkan cara meenariknya pun dengan langkah tergesa-gesa.

     Hingga sampailah mereka di sebuah ruangan tepatnya di lantai 2 di samping gudang. Adli membuka paksa pintu dan seketika mendorong tubuh Regi masuk lebih dalam ruangan itu.

     Regi merasakan sakit di punggungnya karena membentur kuat dinding ruangan, matanya pun bahkan sudah mulai berkaca-kaca.

     "Dengar, ya, Regi... Papa ngak mau kamu deket-deket Reyga! Dan Papa juga ngak mau liat kamu terus merengek sama Papa! Ngak ada kado buat kamu! Dan jangan keluar ruangan sebelum Papa suruh keluar, paham?!"

     Napas Adli menggebu-gebu dan hal itu membuat Regi tak urung menitihkan air matanya.

     "Ngak ada gunanya nangis! Diam di sini dan jangan aneh-aneh... Atau Papa akan kurung kamu seminggu di sini!"

     Setelahnya Regi menatap kepergian sang Ayah dengan linangan air mata, lalu telinganya mendengar bunyi pintu tertutup begitu keras. Regi duduk dan memeluk tubuhnya sendiri.

     Lagi-lagi ia di perlakukan beda dengan sang Ayah. Dan hal itu kembali sukses membuat air mata Regi berlinang semakin deras.

     "Mama, Regi takut."

     Regi membuka kedua matanya saat masa lalu itu kembali mengelabuhi jalan pikirannya. Masa lalu pahit yang sama sekali tak ada manisnya bagi Regi.

     Kehidupan yang selalu di inginkan oleh teman-temannya itu nyatanya malah berbanding terbalik dengannya.

     Terkadang ia sering bertanya pada dirinya sendiri, apa yang salah dengan dirinya hingga ia di perlakukan tak sama dengan saudara-saudaranya yang lain.

     Dengan balutan seragam putih abu-abu, Regi menatap sosok yang kini masih enggan untuk membuka mata. Sosok yang selalu di bangga-banggakan Ayahnya.

     Sosok yang selalu di nomor satukan keluarganya, sosok yang selalu di agung-agungkan kerabat-kerabatnya.

     Kasih sayang, cinta semua di dapatkannya. Regi? Bahkan rasanya di cintai aja ia lupa. Haha, bukankah seharusnya ia membenci sosok itu? Sosok yang sudah merenggut semua hak yang seharusnya ia dapatkan juga.

     Tapi Regi tetaplah Regi, ia sama sekali tak bisa membenci sosok itu.

     "Lo ngak ada niatan bangun? Banyak yang peduli sama lo, yang khawatir sama lo, sayang sama lo, cinta sama lo... Kenapa masih betah tidur? Bangun bego."

     Regi tersenyum kecut, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Bunyi monitor pendeteksi jantung pun masih terdengar nyaring sama seperti hari-hari lalu.

     Regi menghela napas berat, ia sudah seperti orang gila yang berbicara sendiri.

     Hingga sebuah suara mengganggu alat pendengarannya.

     "Ngapain lo? Mau nyelakin dia?" ya, Regi mendengarnya dengan jelas, itu Alan lelaki yang sama hal persis dengan Ayahnya—membenci kehadirannya di keluarga ini.

     Regi mengulum senyumnya, masih enggan berbalik.

     "Sorry, hati nurani gua masih jalan. Sebencinya gua sama lo semua, ngak bikin jalan pikiran gua jadi dangkal. Gini, gini gua juga manusia," jawabnya dengan lugas. Lalu, badannya lekas berbalik dan kini pandangan mereka bertemu.

     "—Tetep jadi anak yang di banggain Bokap, jangan melangkah terlalu jauh... sekali lo salah melangkah, saat itulah lo akan kehilangan arah dan berakhir terbuang layaknya sampah," lanjutnya di sertai seringai tipis. Dan diam-diam Alan mengepalkan kedua tangannya.

     "Jaga baik-baik reputasi lo, Abang gua tercinta," balasnya lagi sebelum benar-benar berlalu pergi.

     Alan, lelaki yang menjabat sebagai anak tertua dan panutan keluarga. Ia selalu kalah jika beradu argumen dengan Regi. Sudah lama hubungan Alan dan Regi tak berjalan dengan baik.

     Saat Alan menatap kedua bola mata coklat itu, ada kebencian mendalam yang tertoreh. Ia begitu menyayangi Reyga, tapi tidak untuk Regi.

•••

     Kedua mata Regi memanas saat pandangannya tak sengaja mengarah pada meja makan besar. Di sana keluarganya nampak begitu bahagia menyantap sarapan pagi sembari di selimuti gelak tawa kebahagiaan.

     Di anak tangga Regi tersenyum kecut, sudah lama ia tak berada di sana duduk dan melakukan hal apa yang kini sedang dilihatnya.

     Semenjak saat itu, Regi sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya kehangatan sebuah keluarga. Tapi, Regi tak pernah memusingkan itu sekarang. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini.

     Sudah menjadi kebiasaan Regi tak menghabiskan waktunya sekedar sarapan pagi dengan keluarga. Ia lebih memilih makan di luar: di warung pinggir jalan ataupun di kantin bersama teman-temannya.

     Hal itu jauh lebih membahagiakan dari pada duduk satu meja dengan kelaurganya.

     "Anak macam apa kamu? Main nyelonong gitu aja... Ngak lihat ada orangtua di sini?!"

     Baru saja berjalan beberapa langkah, lelaki dengan kemeja putih di balut jas abu-abu dengan rambut tersisir rapi menghentikan langkahnya.

     Di sana Regi terpaksa membalikkan badan. Dan lagi-lagi kedua matanya bertemu dengan sosok-sosok orang yang mungkin sudah tak ingin ia lihat lagi.

     "Oh, Regi kira ngak ada orang."

     "REGI!"

     "Udahlah, Pah... Ngak usah capek-capek ngeluarin tenaga. Toh, dia ngak pernah punya sopan santun."

     Panas? Jelas. Itu suara Alan, lelaki itu baru saja melewatinya sebelum mendudukkan dirinya ikut bergabung dengan mereka.

     "Udah bacotnya? Pengang telinga gua denger omongan ngak bermutu lo," balas Regi santai.

     "JAGA UCAPAN KAMU SAMA KAKAK KAMU REGI!"

     Lagi dan lagi ia yang kena imbasnya. Haha, tenang itu sudah menjadi santapan Regi. Tak mau ambil pusing, berlarut dalam pertikaian kecil yang akan berakhir ia terlambat ke sekolah dan kena sanksi lagi.

     Regi memilih pergi meninggalkan ruangan itu. Ia terlalu muak dengan semuanya.

     "REGI! ANAK KURANG AJAR KAMU!"

     "Udah, Pah, ngapain, sih marah-marah? Masih pagi juga."

     Itu Aubrey anak bungsu mereka, Anak perempuan sendiri yang selalu bisa melukuhkan hati Adli.

     "Bener, tuh, lanjut makan aja, Pah... Ngak usah di ambil pusing."

     Adli akhirnya mampu menampilkan senyuman tipisnya. "Kalian benar. Yaudah, lanjut makan nanti kalian telat."

•••

     "Anjing! Maksud Lo apa?!"

     Tubuhnya terhuyung kebelakang dan punggungnya membentur kap motor saat tiba-tiba ada sebuah bogeman keras menerjangnya dan berujung sudut bibirnya yang sedikit berdarah.

     Regi menyeka sudut bibirnya, ia menatap nya nyalang seorang lelaki yang juga memaki seragam persis sepertinya. Ia tak tahu dan tak paham apa maksud lelaki itu.

     "Gara-gara lo Adek gua nangis, anjing!"

     Dahi Regi berkerut, alisnya saling bertautan. "Lah, emang gua apain Adek lo? Grepe-grepe juga kagak, njing," balasnya dengan raut yang terlihat begitu santai.

     Lelaki itu kembali maju kedepan dan hendak memukul lagi wajahnya, tapi akhirnya Regi bisa menghindar.

     "Anjing lo! Ngak Sampek dua puluh empat jam Lo putusin dia! Lo kira Adek gua apaan?!" jawabnya yang tahu-tahu sudah mencengkeram kerah seragam Regi.

     Aula sekolah masih sangat sepi, jadi aman mungkin untuk Regi membalas pukulan lelaki itu. Tapi, jika di pikir-pikir kembali terllau berbahaya karena ini masih area sekolah.

     Baru saja kemarin ia mendapatkan sanksi karena membolos, kali ini tidak lagi. Bisa-bisa ia di keluarkan dari sekolah.

     Regi melepas cengkeraman erat lelaki di hadapannya dengan kasar lalu menata bajunya yang sedikit berantakan.

     "Ya, salah gua apa? Dia yang maksa gua buat jadi pacarnya? Lo ngak tau gimana Adek Lo mohon-mohon ke gua? Ya gua trima, lah... Dan wajar gua putusin, orang gua ngak cinta."

     Mood Regi sudah terlanjur buruk, pergi adalah pilihan terbaik. Karena ia tak mau emosinya meluap hanya karena lelaki itu.

     Sekali lagi Regi menyeka sudut bibirnya, dan kembali menatap lelaki di belakangnya dan berkata, "Urusan kita selese. Jangan nyari masalah sama gua kalau lo gak mau berakhir di rumah sakit." ungkapnya sebelum benar-benar pergi.

•••


     "Lo emang parah, pantesan Abangnya ngamuk orang lo mainin Adeknya." cerca salah satu lelaki yang tak jauh tampannya darinya.

     "Lo emang gak punya hati, anying!" tukas lelaki lainnya.

     "Tobat Gi, tobat... ngak takut lo kena karmanya, ntar?" satu lagi kembali berbicara.

     Selesai mengobati sudut bibirnya yang sedikit robek, Regi rasanya ingin mengumpat habis-habisan. Karena lelaki tadi wajahnya jadi tak mulus lagi.

     Dan juga, ada sedikit memar ke biruan di pipi kanannya. Sialnya teman-temannya malah ikut menceramahinya.

     Di lemparnya jaket Hoodie yang di kenakannya tadi ke atas meja, tangannya mengeluarkan sebuah benda kecil warna-warni lalu memainkannya. Benda yang di sukainya sedari ia kecil. Rubik, mungkin itu adalah bagian dari kebahagiaan Regi.

     "Gua gak pernah maksa seseorang, dia yang maksa duluan. Berhubung gua kasian, ya, gua trima aja. Lo ngak pernah tau kalau tuh cewek minta gua jadi pacarnya buat mamerin ke temennya."

     "Ck, ck, ck... Lagian, nih, gua heran sama lo. Selama ini lo ngak nemuin cewek yang pas. Kita bingung, tipe gimana cewek lo, hah?"

     Jari-jari Regi berhenti memainkan rubik yang sedari tadi ia pegang. Warnanya belum sepenuhnya sama, tapi perkataan itu mampu memberhentikan aktifitasnya.

     "Sejak kejadian itu gua ngak punya mood lagi buat nyari cewek."

     Dan tiba-tiba saja suasana yang tadinya sedikit bangkit, kini seketika luruh begitu saja. Semua diam, dan mereka bertiga tahu kemana arah pembicaraan Regi.

     Lelaki berambut sedikit kecoklatan itu nampak tak suka. Buktinya, raut wajahnya berubah masa.

     "Cuma gara-gara itu lo nutup hati lo buat semua cewek dan berakhir mainin mereka?"

     "Gua punya alasan, Bim."

     "Apa alesan Lo? Karna Reyga? Iya kan? Dia salah satu alasan terbesar Lo?"

     Lelaki yang di panggil 'Bim' itu menyapu rambutnya kebelakang dan semakin jengah dengan pembicaraan mereka kali ini. Sedangkan yang lain, hanya diam tak berani berkutip.

     Regi tersenyum tipis saat memorinya kembali mengingat kejadian itu. "Gua masih inget gimana bahagianya dia bisa punya, Abel."

     "Sampai kapan lo mau ngalah sama dia?! Ngalah sama keluarga Lo?! Ngalah sama keadaan?! Sampai kapan?! Lo lupa kalau lo udah diinjek-injek, Gi! Kenapa lo masih diem aja?!" amuknya.

     "Karena dia orang kedua yang gua sayang setelah nyokap, Bim."

     Brak! Duk!

     Mereka terkejut saat lelaki itu tiba-tiba menendang bangku kelas dan berakhir jatuh ke lantai.

     "Pembicaraan selese, percuma gua debat sama lo... Ngak bakal ada endingnya."

      Dan berakhir dengan lelaki itu yang memilih untuk pergi meninggalkan kelas.

     "Haha, dia marah lagi sama gua."

     Dirinya tertawa-menertawai dirinya sendiri. Dan Bima benar, selama ini ia selalu diam dan mengalah. Padahal semua hal yang ia inginkan sudah direnggut oleh Reyga.

     "Ck, lo tau, kan, kalau Bima paling sensitif sama pembicaraan lo tadi... Apalagi tentang Reyga."

     "Udah tenang Gi, sepupu lo itu marahnya ngak bakal lama. Ntar juga balik."

     Hanya sebuah anggukan dan senyuman yang kini ia tampilkan. Berpikir kembali, tak ada yang lebih indah dari ketiga sahabatnya, mungkin bisa di katakan teman sehidup sematinya.

     Bima, Danu dan Ciko-Mereka begitu berharga bagi Regi melebihi keluarganya sendiri, terkecuali Reyga.

     Lelaki itu juga sosok yang begitu berperan penting. Tapi terkadang, sang ego lebih dulu menguasainya, hingga sulit untuk berkata jika lelaki itu begitu berharga.

Kun (WayV) as Bima lakeswara

Lucas (WayV) as Priadanu Gazali

Winwin (WayV) as Haruciko Fernanda

Jangan lupa untuk follow goresanlaraf
Tiktok : goresanlaraf

BERSAMBUNG

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

SEVEN RACERS (SEVENTEN GS) Hana द्वारा

किशोर उपन्यास

905 58 10
Menceritakan tentang 7 orang laki-laki penguasa kampus yang bertemu dengan 7 orang gadis istimewa yang merubah hidup mereka menjadi lebih baik.7 oran...
Eccedentesiast zondergeld द्वारा

किशोर उपन्यास

373K 29.2K 77
[COMPLETED] [Udah lengkap lagi, feel free to read!!] Biar kuceritakan padamu tentangnya; sang bintang yang hampir padam, terpicu pada bom waktu yang...
4.4K 186 39
cerita pendek tentang enam anak asgardo cuma untuk seru seruan aja ya, but vote sama komen tetap harus jalan hehe
6.1K 657 63
Ambisius Pantang menyerah Pintar memanfaatkan kesempatan Bersahaja Baik hati Ceria "Gua mungkin kurang, tapi gua sadar kalo hidup perlu perjuangan, d...