FAR

By SyifaZali

118K 18.7K 1.6K

Mungkin beginilah rasanya menjadi istri yang tak diinginkan. Menjadi pasangan yang tidak pernah didamba. Aku... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Epilog
Free Chapter πŸ™Š
INFOO

Chapter 23

2K 403 60
By SyifaZali

Mas Azzam, lagi.
----

"Makasih yaaaa!" Aku melambaikan tangan ketika anak-anak sudah bersiap pulang dengan sepeda mereka. "Dadah, kak! Assalamualaikum!" Pamit mereka hampir berbarengan. Aku melambaikan tangan tidak berhenti tersenyum menatap mereka.

Satu persatu mereka keluar dari gerbang, ada juga yang berboncengan.

"Lo suka anak-anak?" Tanya Farez setelah mereka semua menghilang. Aku mengangguk, "Suka banget. Mereka lucu." Jawabku seadanya. Aku memang menyukai anak-anak.

"Yaudah gue balik." Pamit Farez. Aku mengangguk mengiyakan. "Thank you ya! Gue balik dulu. Bye!" Farez menaiki sepeda motornya lalu menjalankannya menuju gerbang.

Aku berbalik ingin membereskan barang-barang yang tercecer diruang tamu.

"Eh?" Aku mengambil ponsel hitam yang tergeletak dimeja. "Astaghfirullah, ini hape nya Farez!" Pekikku. Aku segera menuju garasi untuk mengambil sepeda motor. Harap-harap Farez belum terlalu jauh dari rumah.

Aku menjalankan motor keluar gerbang, menyapa pak Odap yang sedang bertelponan entah dengan siapa.

"Duh, ini belok kanan, atau kiri, ya?" Aku menggaruk-garuk tengkuk. Aku membelokkan motor ke kanan, jika tidak menemukannya, aku akan berbalik ke kiri.

Dipinggir jalan itu ada sebuah mobil sedan. Pria pemilik mobil itu sedang mengecek ban mobil itu. Aku mengentikan motorku lalu berjalan kearah pria itu.

"Permisi, pak. Mau tanya—" aku membulatkan mata ketika pria itu menoleh. Pria berwajah teduh itu juga terkejut ketika melihatku.

"M-mas A-azzam?!" Pekikku melihatnya. Pria yang memakai kaus coklat dan celana jeans itu berdiri. Aku melirik kearah mobil, dia tidak bersama istrinya?

"Lho?! Kok?!"

"Mas Azzam kok disini?" Tanyaku basa-basi. Meskipun dia sempat membuatku kecewa, namun, rasanya tidak baik jika marah kepadanya sampai berbulan-bulan.

"Lho harusnya aku yang nanya, kok kamu disini?" Pria itu malah balik bertanya. Aku tertawa kecil.

"Maida tinggal dideket sini, mas." Mas Azzam nampak terkejut.

"Lho, tempat kerja mas juga Deket sini." Aku mengerutkan kening. Daerah ini sangat jauh dari rumahku, itu artinya juga jauh dari rumah mas Azzam. Mas Azzam tertawa.

"Aku tinggal dirumah Namira, makanya pindah kerja. Aku berhenti kuliah setelah menjadi ayah." Jelasnya membuatku mengangguk-angguk. Ternyata masih Banyak yang tidak kuketahui tentang pria ini. Aku tidak tahu jika ia sudah bekerja.

Aku menghela nafas, "loh, ini kenapa, mas?" Tanyaku melihat ban mobil itu kempes. Mas Azzam menghela nafas berat.

"Bocor. Kamu tau bengkel Deket sini gak?" Tanyanya membuatku menggeleng. Aku saja baru menjadi warga disini dan akupun lebih sering dirumah. "Masih jauh dari kantornya?" Tanyaku melihat wajahnya bingung.

"Lumayan, sih." Mas Azzam melirik tanganku yang masih terperban.

"Tanganmu kenapa?? Kok—"

"Ah, gak papa, mas. Cuma kegores waktu masak." Jawabku berbohong. Mengapa aku sering sekali berbohong dihadapan pria ini.

"Mas kira kenapa." Dia tertawa lalu menggaruk tengkuknya.

"Yaudah kerumah Maida dulu aja, mas. Nanti tinggal panggil tukang bengkel." Tawarku mengalihkan pembicaraan.

Tidak bisa kupungkiri bahwa pria ini juga pahlawan dihidupku, kali ini, aku ingin menjadi pahlawannya. Sebagai saudara seislamnya, bukan sebagai pengagumnya.

"Serius, Mai? Gak papa?" Aku mengangguk lalu tersenyum ramah.

"Yaudah, Ayo." Aku memutar balikkan motor. Mas Azzam mengambil beberapa barang didalam mobil lalu menaiki motor yang kukendarai. Alasan aku tidak ingin menjadi penumpang, adalah karena nanti malah menjadi seperti dua sejoli yang berpasangan.

Sekitar 3 menit aku sampai didepan gerbang rumah itu. Pak Odap membukanya ketika aku mengklaksonnya beberapa kali. "Siapa neng? Abangnya neng?" Aku mengangguk tersenyum.

"Iya, pak." Jawabku agar pak Odap tidak melanjutkan pertanyaannya. Tidak mungkin juga aku menjawab, 'mantan kekasih.'

Aku memarkirkan motorku tepat didepan teras rumah itu.

"Rumahmu besar amat. Gak capek kalo bersihin?" Mas Azzam terkekeh.

"Bukan rumah Maida, mas. Rumah suami." Kataku lalu membuka pintu itu, "Ayo masuk, mas!" Aku mempersilahkannya. Mas Azzam menurutinya lalu duduk disofa itu. Papan tulis yang tadi kugunakan masih berada disitu.

"Eh, maaf, mas. Berantakan." Aku terkekeh lalu memindahkan papan tulis sedang itu.

"Kok ada papan tulis? Ngajar?" Tanya mas Azzam membuatku mengangguk. Aku segera memindahnya, lalu setelah itu mengambilkan minum untuk mas Azzam.

"Diminum dulu, mas. Udah hubungin tukang bengkelnya?" Tanyaku sekaligus menawarinya untuk minum. Mas Azzam mengangguk.

"Nanti mobilnya suruh dibawa kesini aja." Saranku lalu duduk disofa yang berada di sampingnya. Mas Azzam mengangguk.

"Iya. Eh, ngajar siapa, da? Anak TPA?" Aku tertawa. Mas Azzam tidak berubah, selalu tertarik dengan hal yang berhubungan dengan pendidikan.

"Anak-anak panti dideket sini, mas. Kasihan mereka gak sekolah." Jawabku seadanya. Mas Azzam mengangguk-angguk.

"Ngomong-ngomong Namira juga calon guru. Dia dulu kuliah di jurusan pendidikan sekolah dasar." Ceritanya sambil meminum sirup dingin yang kuhidangkan.

"Oiya? Wah!"

"Dia juga lagi gak ada kerjaan. Gimana kalau ikut ngajar disini juga?" Tanya mas Azzam. Aku membulatkan mata. Benar bahwa ketika kita ingin melakukan suatu kebaikan, Allah akan selalu memberi bantuan yang tidak terduga.

"Boleh bangett mas. Apalagi Maida juga gak terlalu paham tentang pendidikan sekolah dasar." Aku tertawa. "Mau nomornya Namira gak? Aku kirim ya?" Mas Azzam mengambil ponselnya lalu mengirimkan nomor mbak Namira kepadaku.

"Makasih, mas. Segera Maida hubungin, ya." Aku memainkan ponselku menyimpan kontak mbak Namira yang tadinya bernama kontak 'Istriku' menjadi 'Mbak Namiranya mas Azzam'.

Tin tin

Klakson mobil terdengar. "Udah selesai, mas bengkelnya?" Mas Azzam mengerutkan kening. "Belum, tadi katanya baru sampai. Gak mungkin secepat ini. " Aku mendongakkan kepala melihat keluar.

Pria yang memasuki pintu itu Aufar. Aku melirik arlojiku. Ini masih jam sebelas siang, kenapa dia sudah pulang?

"Lo ngapain—"

"Mobilnya bocor, mas." Potongku cepat agar Aufar tidak marah-marah kepada mas Azzam. Tidak enak juga jika mas Azzam harus dimarahi, padahal dia tamu. Dan tamu harus diperlakukan seperti raja.

"Lo, aish! Ikut gue!" Aufar berjalan cepat lalu menarik tanganku menuju dapur. Dia menghela nafas berat. Mengacak rambutnya.

"Apa-apaan sih Lo?"

"Apa-apaan gimana?" Aku mengerutkan kening.

"Cowok itu?"

"Mas Azzam?"

"Iya!" Jawabnya sedikit membentak. "Iya, ban mobilnya bocor didaerah sini. Ya, aku ajak kesini. Gak enak juga kalau aku biarin." Aufar mengusap wajahnya gusar.

"Lo tau gak sih. Cowok itu baperan."

"Terus?" Aku mengerutkan kening.

"Lo itu terlalu baik. Sifat Lo yang terlalu baik ini bisa bikin cowok-cowok Baper. Termasuk Azzam!" Aku tertawa mendengar kalimatnya.

"Gue gak lagi ngelawak, ya!" Aku mengangguk masih menahan tawaku.

"Berarti kamu baper sama aku?" Aku menatap wajahnya yang tiba-tiba berubah.

"Percaya diri banget Lo. Gue bilang cowok-cowok—"

"Kamu kan cowok, mas Arga!" Potongku cepat. Aku tertawa melihatnya seperti itu. Aku tidak tahu jika laki-laki juga bisa merasakan salah tingkah.

"Serah Lo aja deh. Yang jelas gue nggak baper. Gue cuma mau kasih tau aja, jangan terlalu baik sama tu cowok!" Dia membalikkan badannya lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Aku tertawa melihat tingkahnya.

***

30 menit yang lalu:

POV Alfarez :

"Sialan hape gue ketinggalan!" Gue menyadari saat motor gue udah terparkir di kantor Aufar. Gak ada apa-apa juga, sih di hape gue. Jadi gue juga gak masalah. Gue yakin Maida juga gak bakal berani ngotak-ngatik hape gue.

Gue memasuki kantor itu. Cewek-cewek mulai memperhatikan gue. "Gak usah dilihatin. Gue emang ganteng." Gue melambaikan tangan. Sejujurnya gue risih setiap melewat lantai-lantai kantor yang banyak berisi ceweknya.

Mereka jelalatan.

Gue menuju lantai ruangan Aufar. "Mbak!" Gue menyapa mbak sekertaris yang menjadi sekertaris Aufar itu. Setelah itu gue masuk ruangan pria tengil itu.

"Woi!" Pria yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya itu mendongak. "Akhirnya Lo Dateng juga!" Gue bertos ria setelah sampai tepat dihadapannya.

"Lihat berkas-berkasnya." Aku mengambil sebagian berkas itu. "Harusnya Lo yang ada disini, bego!" Pria itu tertawa, sepertinya dia sudah merelakan warisan saham itu setelah putus dengan Nanda.

"Gue gak tertarik beginian, jujur." Gue berkata jujur. Gue memang gak pernah tertarik untuk berbisnis. Aufar hanya tertawa. "Serah Lo deh." Dia kembali mengerjakan berkas yang ada dihadapannya.

Gue gak paham sama sekali dengan yang ia kerjakan. Dia Berhenti meletakkan penanya lalu berjalan mendekat kearah gue.

"Ana Uhibbukafillah." Gue melotot mendengarnya. Mana jarak gue dan dia Deket banget. Jangan bilang dia suka sesama jenis.

"NAJIS Lo!" Gue berdiri menjauh darinya.

"Apaan sih? Gue mau tanya. Ana Uhibbukafillah artinya apaan?!" Dia duduk di sofa itu. Gue menghela nafas.

"Gue kira Lo gay."

"Sialan Lo. Emang artinya apaan?" Tanyanya. Tumben sekali dia menanyakan sesuatu yang berbau kearab-araban. Biasanya ogah-ogahan.

"Aku cinta kamu." Aufar melotot. "What?!"

"Apaan sih. Lebay Lo. Kenapa sih?!" Wajahnya malah memerah. Gue semakin takut melihatnya. "Napa sih Lo? Merinding gue!" Celetukku membuatnya menepuk-nepuk tangannya dibahu gue.

"Kalo ada yang bilang 'ana Uhibbukafillah' ke Lo gimana?"  Dia bertanya sambil menatap gue.

"Kalo yang bilang cewek ya gue seneng. Kalo yang bilang elo,bukannya seneng, jijik gue!" Aufar tertawa mendengar jawaban gue.

"Eh, ngomong-ngomong hape gue ketinggalan dirumah lo—"

"Gue ambilin! Sekalian gue juga mau ambil sesuatu dirumah." Tumben banget ni bocah mau sebelum gue paksa dan gue janjiin imbalan.

"Lo jagain ruangan gue bentar!" Gue menghela nafas. Tetep aja gue harus berkorban. Pria itu segera memakai jas hitamnya lalu keluar dari ruangannya.

****

Alhamdulillah bisa Update hari ini ❤️

Yuhuuuy. Semoga sukaaa!! Aamiin aamiin aamiin!!

Malam Minggunya dirumah aja, karena lagi PPKM, dan lebih baik dirumah si, mengurangi mudhorot. Hehe.

Stay safe and healthy buat kalian!

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

320K 19.1K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
1.1M 45.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
290K 27K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
499K 53.9K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...