The Thing Between Us

By Janeloui22

51.7K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[8-2] Fail Play

1.6K 228 25
By Janeloui22

Aloha, what's up ma luvs? Wish you're doing great ya☺️☺️☺️

Let's welcoming the weekend with a gaje story that I don't even know why I keep writing this. Tapi mayan lah ya buat baca kalo lagi gabut. Ehe... selamat membaca~

•Fail Play•

“We have to recognise that there cannot be relationships unless there is commitment, unless there is loyalty, unless there is love, patience, persistence.”
—Cornel West—

“What the heck was going on last night?!”

Rose mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia baru selesai ngecek barangkali nemuin yang aneh di badannya. Semuanya tetap sama. Bajunya masih terpakai utuh dan dia nggak ngerasain apapun di bagian bawah tubuhnya. Artinya tadi malam nggak terjadi apapun.

Tapi hal itu nggak serta merta ngebuat dia tenang. Jadi setelah beberapa detik ngumpulin keberanian, dia mutusin buat menghubungi Grace dan nanyain adiknya. Sayangnya, orang yang dia cari nggak tidur di apartemen Grace—udah bisa ditebak karena sepanjang Rose main dia sama sekali nggak pernah mendapati adiknya ada di sana—karena Jeffrey punya apartemen sendiri. Grace cuma bilang, ‘Aku kasih snapchatnya ya. Coba hubungi aja. Seingetku Kamis tuh Jeffrey ada kelas pagi,’ yang ditanggapi kekeh pelan sama Rose.

Meskipun lagi dirundung rasa panik, Rose tetap pergi ke kampus dengan gaya kayak biasa: cantik, rapih, dan elegan. Dia mutusin buat pakai Uber karena kepalanya masih sedikit pening. Matanya tertuju ke handphone yang nampilin pesan dari Jeffrey. Rose nggak bisa nelpon cowok itu karena jantungnya berdebar kayak genderang perang. Jelas dia nggak bisa ngomong sama cowok itu dalam keadaan yang memungkinkan mulutnya gelagapan. Terlalu memalukan.

“Perpustakaan, perpustakaan. Duh, di lorong sebelah mana sih, perpustakaan tuh kan luas!” Rose ngomong sama dirinya sendiri. Pelan, nggak keras apalagi sampai teriak-teriak.

Langkahnya terhenti di lorong D lantai empat. Dia nggak tahu kenapa dirinya sembunyi saat ngelihat Jeffrey lagi ‘melakukan sesuatu’ sama perempuan yang nggak dia kenal. Rose sedikit merunduk, terus nyipitin mata buat ngelihat dua orang dewasa yang sedang bertukar ciuman di perpustakaan yang masih sepi. Dan satu hal yang bisa Rose simpulkan dari pengamatannya: Jeffrey is a great kisser.

Rose kembali nutup mata, terus saat kembali ngebuka, dia agak kaget karena orang yang diamati udah nggak ada di tempat. Kepalanya melongok, matanya berpendar, terus saat balik badan dia langsung memekik ketika ngelihat Jeffrey berdiri tepat di belakangnya.

“Ssst… nggak usah teriak,” bisik Jeffrey sambil ngebungkam mulut Rose pelan dan bentar. Dia mengamati penampilan perempuan itu, cuma buat ketawa dan ngasih gelengan kepala. “What’s with all those stuffs? You wear scarf on your head and black glasses like Princess where are you planning to go? Picnic?”

Rose nurunin kaca mata hitamnya—buat nyembunyiin rasa malu yang terpancar jelas melalui matanya. “Kalau orang lain tahu kita ketemuan kayak gini, bakal repot buat ngejelasin.”

“Aku tahu cara supaya kita nggak usah repot ngejelasin,” cetus Jeffrey sambil menjentikkan jari.

“Apa?” Rose ngedeket ke arah Jeffrey, bermaksud mendengar ide yang mau pemuda itu tuturkan.

“Kita pacaran,” bisik Jeffrey dengan suara rendah yang bikin muka Rose memerah.

“Gila!” sentak Rose tertahan. Matanya kembali mengamati keadaan di sekitar—ngerasa kalau perpustakaan bukan tempat yang cukup aman buat ngobrol sama Jeffrey. Oleh karena itu, dia narik cowok itu keluar, langkahnya cepat dan buru-buru.

“Kita mau ke mana?” tanya Jeffrey sengaja melambaikan langkahnya supaya Rose bisa menggenggam tangannya lebih lama.

Langkah Rose terhenti cuma buat nanya, “Mobil kamu diparkir di mana?”

“Kenapa? Mau ngelakuin yang kayak semalem lagi?” goda Jeffrey sambil masang senyum yang cerah. Dia narik tangannya yang masih digenggam sama Rose ke atas, melepasnya sebentar, terus ditautin dengan rapat. Jelas itu cuma satu dari tumpukan cara buat ngegoda perempuan itu. “Ikut sini.”

Rose melayangkan sejumlah protes yang nggak ditanggapi sama Jeffrey. Dia baru ngelepasin tangan cewek bawel itu setelah mereka tiba di parkiran. Dengan sikap lembutnya Jeffrey ngebukain pintu buat Rose—tetap senyum setelah dia ngucapin terima kasih meski agak ketus.

“Kamu tahu kan apa yang mau aku omongin?” tanya Rose tanpa basa-basi. Dia bahkan ngebuka kaca mata hitamnya.

“Apa?” Jeffrey pura-pura nggak paham.

“Demi Tuhan Jeffrey kamu nyebelin banget!” sentak Rose frustasi.

Senyum Jeffrey kembali muncul. Dia ngelihatin Rose dengan tatapan terpukau, jelas aja ngebuat orang yang dilihatin merona karena malu. “Aku nggak memulai semua itu. Kamu yang nyosor, aku cuma ngikutin.”

“Nyo… nyosor? Aku?” Rose nunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat waktu ngelihat Jeffrey ngangguk tanpa ragu. “Jangan ngarang! Aku nggak inget apa-apa!”

“Sayang banget,” lengguh Jeffrey penuh penyesalan yang dibuat-buat, “padahal itu ciuman pertama kamu, kan? Dan yang dicium itu adik temen kamu sendiri. Kamu bahkan ninggalin ini di leher dan bibirku.”

Ada sejumlah tanda merah sedikit gelap di lehernya dan bibirnya sedikit luka. Jelas Rose bukan tipe yang bisa main lembut. Dan Jeffrey nggak keberatan.

“Ha…ha… ha… ya kali aku ngelakuin itu. Aku bahkan nggak tahu gimana caranya… Ya Tuhan…” Kalimat Rose menggantung. Ekspresinya berubah kaku sewaktu ingatan tadi malam kembali secara perlahan ngebentuk rangkaian cerita yang ngebuat mukanya panas. Rose ngelirik Jeffrey, cowok itu senyum, seolah udah tahu kalau dirinya pasti mengingat kejadian tadi malam.

“Kamu inget kan?” tanya Jeffrey sambil nopang dagu dan ngelihatin Rose.

“Ta… tapi itu karena aku lagi pusing!” sanggah Rose buru-buru. Dia lagi nyari alasan supaya Jeffrey berhenti mikirin dan nggak ngungkit hal itu lagi. Tatapannya kembali diarahin ke cowok paling berisik yang pernah hadir di hidupnya—Jeffrey nggak kelihatan kayak orang yang bakal bilang ‘iya’ kalau Rose memintanya buat ngelupain ciuman tadi malam. Meski begitu, Rose tetap bilang, “Itu kecelakaan. Maafin aku. Tapi kamu nggak akan keberatan sama hal itu kan? Kamu sering ngelakuinnya sama banyak perempuan. Please Jeffrey, maaf, maaf, maaf, aku nggak sengaja!”

Jeffrey sedikit nelengin kepala buat mengamati muka Rose. Perempuan itu merapatkan kedua tangan di depan muka, memohon maaf dengan cara yang manis dan bikin senyum Jeffrey auto tertarik keluar. Lucu banget.

“I kissed her to confirm something,” cetus Jeffrey mengundang respon berupa tatapan bingung dari Rose. “It didn’t feel the same as your kiss. I didn’t feel excited nor nervous when I did that with other girls. Guess I really fall in love with you, Princess. But you... ha… I can’t believe you don’t even want take any responsibility for stealing my heart and kissed me roughly last night.”

“Kenapa harus diungkit terus sih!” pekik Rose sambil nutup mulut Jeffrey pakai kedua tangannya. Dia terkesiap sewaktu Jeffrey narik tangannya terus majuin mukanya sampai deket banget dan bikin jantung Rose seolah berhenti berdetak. Sepasang matanya yang gelap dan auranya yang menawan ngebuat Rose yakin kalau Jeffrey bukan manusia. Dia iblis yang ganteng dan menyadari semua pesonanya.

“Jadi pacarku Roseanne,” kata Jeffrey dengan suara rendah. Dia mengukir senyum, sementara pandangan tetap bercokol di atas mata Rose yang bergetar. “Aku bakal lupain kejadian semalam, asal kamu jadi pacar aku.”

“Enggak bisa!” tolak Rose sambil ngedorong Jeffrey menjauh darinya. Dia narik napas panjang, kembali ngatur detak jantungnya yang nggak beraturan.

“Kalau gitu aku bakal bilang ke Grace kalau temennya ngelecehin adik semata wayangnya. Meskipun nggak bisa dibilang pelecehan karena aku juga suka, tapi aku bakal tetep bilang ke semua orang kalau kamu nyium aku bahkan ninggalin ini dan ini. Ha… apa yang bakal orang-orang pikirin, Princess?” Jeffrey menyeringai tipis, dia cuma mau ngegoda Rose dan nggak mengharapkan reaksi berlebihan darinya. Tapi, respon yang dikasih perempuan itu ngebuat Jeffrey hampir ngelempar sumpah serapah saking kagetnya. Ini di luar ekspektasi.

“I—iya oke, aku mau jadi pacar kamu tapi jangan bilang itu ke Grace. Ugh tapi kita nggak boleh ngelakuin hal yang aneh-aneh, okay?” kata Rose dengan ekspresi penuh permohonan.

Jeffrey ngelihatin perempuan itu, mengamatinya dengan saksama. “Hal yang aneh-aneh itu kayak gimana? Kalau maksud kamu ciuman dan sex, aku nggak bisa jamin. Lagian itu bukan hal yang aneh. Kamu bakalan butuh itu.”

“Enggak, aku nggak akan butuh itu.” Rose ngasih jawaban dengan tegas dan tanpa keraguan sedikitpun. “We are dating but no kissing or… sex. And we have to keep it as a secret from everyone.”

“How about hug?” tanta Jeffrey sambil ngerentangin tangannya.

Rose mikir sejenak sebelum ngasih anggukan pelan. Lagian itu cuma pelukan. “Okay. We can hug.”

“Then can I have my hug?”

Rose terdiam. Meskipun agak ragu, dia tetap mendekatkan diri dan memeluk Jeffrey—cuma sebentar dan langsung keluar setelah pamitan dengan singkat. Dia nggak percaya sama keputusannya. Hubungan dan ciuman pertamanya justru dilakuin sama adik sahabatnya. Itu ngebuat Rose ngerasa bersalah. Kenapa kalau mabuk gue ceroboh banget sih. Sekarang yang bisa lakuin cuma menyesal dan berdoa, berharap Jeffrey emang bisa memenuhi permintaannya.

Meskipun sulit dipercaya, tapi hubungan Rose dan Jeffrey berlangsung cukup baik selama satu bulan ini. Jeffrey masih ngejaga janjinya, ngebuat Rose ngerasa sedikit bersalah karena udah mengekang cowok itu dengan ikatan yang kosong dan hampa. Didorong sama perasaan itu, alhasil Rose bilang ke Jeffrey kalau dia bebas jalan sama perempuan manapun yang dia mau. Tapi, pada prakteknya, Rose semakin nggak menyukai usul itu dan sekarang dia cuma ngepalin tangan sambil ngegerutu saat ngelihat pacarnya yang duduk di meja seberang bareng squadnya lagi ngobrol akrab banget sama cewek yang kelihatan sangat cantik dan punya badan bagus. Rose nunduk, menelan umpatan yang hampir keluar dari ujung mulutnya.

“Kenapa?” tanya Jennie sambil nyikut Rose.

“Gapapa,” jawabnya sambil ngangkat muka dan kembali nunduk karena nggak mau ngelihat pemandangan di depannya.

Lisa yang duduk di depan Rose nengok ke belakang, ngelihat Jeffrey lagi ketawa-ketiwi terus buru-buru ngebuang muka karena malu waktu Jonathan senyum dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue kira Jeffrey pacaran sama lo karena pernah beberapa kali lihat kalian jalan di belakang kampus,” kata Lisa spontan bikin Rose tersedak, “tapi kayaknya enggak soalnya dia akrab sama semua perempuan. Playboy ras baru, stay single supaya bisa ngasih kesan kalau dirinya milik semua orang.”

“Sebagai kakak gue malu punya adik kayak gitu,” timpal Grace sambil narik napas dalam. “Kenapa ya adik gue bisa tumbuh jadi cowok nggak bener kayak gitu?”

Mendengar Jeffrey terus-terusan dipojokan ternyata ngebuat insting Rose buat mempertahankan pacarnya bangkit. Dia berdiri, mukul meja, terus duduk lagi sambil bilang, “Sebenarnya Jeffrey itu baik. Ya dia cuma… cuma terlalu pinter bersosialisasi aja. Dia baik juga sama aku. Baik banget malahan.”

“Anda kesurupan?” tanya Grace nggak percaya sama yang udah didengar telinganya. Biasanya kalau udah ngebahas adiknya, Rose cuma diem dan nggak ngasih komentar apapun. Tapi sekarang dia seolah sedang ngebela cowok yang selalu mengganggu hari-hari tenangnya.

Dengan kikuk Rose ngejawab, “Hahaha… ya kali ah. Tapi Jeffrey emang baik kok.”

“Baik ke semua wanita maksudnya?” sela Jennie sambil nunjuk ke arah Jeffrey dengan dagunya. “They are about to kiss.”

Ngelihat jarak antara cewek nggak dikenal dengan pacarnya semakin dekat, Rose refleks berdiri dan nyamperin meja para cowok. Tindakan itu spontan bikin semua orang yang ada di kafe itu kaget—bahkan ketiga sahabatnya sampai berdiri dan berniat mengejar Rose. Tangan Jennie hampir ngeraih Rose, tapi perempuan itu jalan cepet banget, dan secara nggak terduga dia langsung narik perempuan yang terlalu deket sama Jeffrey. Tatapannya sinis dan posesif.

“Don’t touch him,” cetus Rose sambil mendudukan dirinya di atas pangkuan Jeffrey. Tangannya melingkar di leher pacarnya—ngebuat semua orang tak terkecuali Jeffrey ikut terkejut sama sikapnya yang nggak terduga. “He is mine.”

Nggak sampai sedetik setelah ngomong gitu, Rose langsung natap Jeffrey dan nangkup wajahnya, lalu mencium bibirnya tanpa ragu.

Seolah tahu sampai mana ‘kemampuan’ Rose dan tanggung semua orang tahu, Jeffrey memutuskan buat nyelipin tangan kanannya di tengkuk gadis itu sementara tangan kirinya megang pinggang ramping Rose. Dia memiringkan muka terus ngebuka bibir Rose dengan bibirnya. Lidahnya terselip di antara bibir Rose yang penuh—menyentuh lidah pacarnya yang nggak ngasih resistensi apapun. Alih-alih resistensi, Rose dengan jelas nunjukin kalau dia menikmati kegiatan mereka kali ini meskipun harus jadi bahan tontonan dan sorak-sorai pengunjung kafe yang rame.

“WOW! GUYS GO GET YOUR ROOM!” pekik Bambam yang duduk di depan saat ngelihat ciuman yang tadinya manis dan mengejutkan berubah jadi pagutan yang semakin intens.

Rose ngelepas pagutannya, terus menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa. Tatapannya terarah ke Jeffrey yang memandangnya penuh kelembutan. Tangannya masih nyentuh muka pacarnya, nggak berniat dia tarik karena Jeffrey menangkupkan tangan di atasnya.

“Thank you,” bisik Jeffrey di depan telinga Rose.

“Thank you for what?” desis Rose pelan. Itu emang cuma dimaksudkan buat didengar sama Jeffrey aja.

“Buat ngakuin aku sebagai pacar kamu,” tutur Jeffrey, berniat mencium pacarnya lagi sebelum dihentikan Grace yang narik bajunya dari belakang.

Grace menanggapi lirikan sinis adiknya dengan senyum santai. Katanya ke semua orang, “Since my brother and my beautiful bestfriend start to date each other officially, I’m gonna hold a party on my place tomorrow! I’ll send the invitation to you later. See you tomorrow!”

“Grace! You don’t have to!” pekik Rose tertahan.

Senyum Grace mengembang. Dia mengamati Rose yang masih duduk nyaman di atas pangkuan adiknya. “Santai Rosie, kayak ke orang lain aja. I’m happy for you both!

Meleset jauh dari prediksi Rose, Grace justru kelihatan sangat senang dengan hubungannya sama Jeffrey. Ternyata bener kata Jeffrey, kakaknya itu nggak mungkin menentang hubungan mereka. Grace adalah satu-satunya orang yang mengenal Jeffrey dan Rose dengan baik. Dan perempuan itu selalu bisa ngasih penilaian yang bijak meskipun berulang kali bakal ngejelekin adiknya. Grace ngejelekin Jeffrey karena dia kakaknya dan dia tahu sangat banyak hal yang nggak orang ketahui tentang sang adik.

“Maafin aku Jeffrey,” bisik Rose sambil nunduk. “Aku mungkin udah ngebuat kamu malu.”

“Siapa yang bakal malu kalau punya pacar kayak kamu, Princess? Tenang, sayang, aku laki-laki paling bahagia saat ini. Akhirnya kita mengakhiri backstreet yang menyiksa dan kamu bahkan nyium aku duluan. Itu keren, kan?” Jeffrey ngebelai pipi Rose, terus ngecup bibirnya sekali lagi sebelum nambahin, “Aku nggak ada kelas lagi setelah ini. Kamu juga nggak ada kan? Mau jalan buat beli baju baru?”

Rose ngangguk, terus nunduk buat nyembunyiin senyum yang menelusup di luar kendalinya. Tangannya meremas pundak Jeffrey, terus meluk pemuda itu buat nyembunyiin rasa malu yang datang sambil tersenyum mengejeknya. Suara riuh orang-orang berusaha dia abaikan. Diam-diam Rose berharap kalau hubungannya dengan Jeffrey bisa berlangsung tanpa gangguan. Bahkan dia mau hubungan mereka berlangsung selamanya. Mungkin itu pikiran polos yang sangat naif. Rose tahu itu. Tapi dia bakal tetap berharap, karena dirinya menyukai Jeffrey lebih dari yang dia pikirkan.

Jeffrey nggak berhenti ngasih pujian ke Rose yang duduk di sampingnya dengan gaun hitam pendek di atas lutut. Mobilnya berhenti, dia selalu turun duluan dan ngebukain pintu buat Rose. Meskipun beberapa kali Rose bakal bilang kalau perlakuan spesial kayak gitu nggak perlu—padahal aslinya dia suka diperlakukan kayaj gitu.

“Aku nggak kelihatan terlalu formal kan?” tanya Rose sambil ngeraih tangan Jeffrey.

Pacarnya menggeleng terus ngasih jawaban, “Enggak terlalu, tapi ya masih agak formal sih. Tapi kamu cantik, jadi siapa yang peduli?”

“Tapi nanti bikin malu,” tutur Rose.

Nope. Mana mungkin,” sanggah Jeffrey hampir ngacak rambut Rose yang udah ditata rapih. Dia nyengir, nunjukin dertam giginya yang putih dan rapih. “Kamu cantik banget, aku suka. Rambut hitamnya juga keren. Perjuangan di salon selama berjam-jam sejak tadi pagi terbayarkan lah ya.”

Rose ngangguk sambil senyum. Tangannya terkepal dan disimpen tepat di bawah dagu, matanya yang berbinar seolah ngasih tahu betapa senangnya dia sama pujian yang Jeffrey lempar. Ternyata pacaran secara terbuka menyenangkan juga. Rose nggak harus terus-terusan nyembunyiin senyum dan antusiasme kayak sebelumnya.

“Should we go in?” Jeffrey diri di atas salah satu lututnya sambil ngejulurin tangan. Terus senyum sewaktu Rose tertawa saat ngerain tangannya. “Jadi peluk dan cium nggak usah izin lagi?”

Muka Rose sedikit memerah. Dia ngelirik pacarnya sambil bilang, “Ya kayaknya nggak harus.”

“Then I go in,” tutur Jeffrey sangat cepat sebelum ngecup bibir Rose. Itu kecupan yang singkat. Senyumnya terukir, dia narik Rose ke pelukannya saat ada orang lain yang memasuki lift. Itu Aiden dan Jonathan yang langsung ngecie-ciein dua orang di samping mereka.

“Never come to Grace’s party before,” cetus Aiden keluar lift duluan. Mereka berempat jalan barengan ke unit apartemen Grace—lebih tepatnya jalan sedikit di belakang Jeffrey karena dibandingkan dua temannya dia jelas yang paling tahu di mana letak tepat apartemen kakaknya.

“Sama sih,” timpal Jeffrey. Dia ninggalin tatapan aneh temen-temennya, “Emang sejak kapan Grace ngajakin gue ke party yang diadain di apartemennya? Dia kan kalau di depan umum judes banget sama gue tuh.”

“Oh iya sih,” sahut Jonathan sambil cengengesan. “Ngomong-omong, temen kamu yang rambutnya item pendek kayak Ratu Mesir itu ikut juga kan?”

Rose ketawa saat denger Jonathan nanyain Lisa tanpa nyebut namanya sama sekali. “Jelas ikut dong.”

“Yes!” Jonathan tersenyum lebar, dia nggak sabar mau buru-buru ketemu Lisa yang belakangan udah makin akrab sama dirinya.

Saat masuk ke dalam apartemen Grace, banyak orang yang udah pada hadir langsung ngasih sorakan saat bintang tamu utama alias Jeffrey dan Rose datang sambil gandengan tangan. Lisa dan Bambam jadi yang paling riuh—mereka nggak ubahnya saudara kembar yang baru ketemu gede saking kompaknya. Sebagai orang yang menikmati perhatian, Jeffrey cuma ngasih tawa sambil nerima high five dari beberapa orang yang nggak semuanya dia kenal.

Berbanding terbalik sama Jeffrey, Rose kurang suka dijadiin pusat perhatian dan menerima senyum-sapa sok akrab dari orang-orang. Dia terbiasa, tapi kurang suka karena tahu kalau mereka cuma penjilat yang pura-pura. Kepribadiannya dan Jeffrey emang bertolak belakang, tapi anehnya, cowok itu tetap bisa memahaminya dengan baik. Buktinya Jeffrey langsung narik Rose agak jauh dari spotlight dan ngajak dia dansa sedikit terlalu pojok meskipun perempuan itu tahu kalau salah satu tujuan utamanya itu supaya dia bisa ngasih ciuman tanpa ribet mikirin orang-orang.

“Don’t you like party?” tanya Jeffrey agak keras supaya nggak kesalip sama musik.

“No, I do,” jawab Rose kayak malu-malu, “usually I attend a formal party with my daddy though.”

“Pesta formal yang dihadirin sama para pebisnis gitu ya? Dulu aku pernah beberapa kali ikut sama papah sebelum dia cerai sama mamah,” terang Jeffrey sontak ngebuat Rose membelalak karena terkejut. Jeffrey yang ngelihat ekspresi itu cuma ketawa. Sebelum ngejelasin, dia minum satu gelas bir sebelum dengan santainya bilang, “Bir nggak akan bikin aku mabuk kok. Dan aku cuma minum segelas. Ah, iya, kamu nggak tahu kalau orang tuaku cerai?”

“Grace nggak pernah cerita tentang hal itu,” ucap Rose sedih.

“Oh, typically Grace, dia nggak akan ngomongin hal itu ke siapapun,” sahut Jeffrey sambil ketawa seolah itu hal biasa. “Orang tua kami cerai sekitar sebelas tahun lalu. Waktu itu umurku delapan dan Grace sepuluh. Dia ikut sama papah dan aku ikut sama mamah. Tapi aku sama dia akur kok, sama papah juga. Biasanya kita ketemu tiap tiga hari sekali karena sama-sama tinggal di New York.”

“You okay, babe?” tanya Rose, untuk pertama kalinya manggil Jeffrey dengan panggilan ‘sayang’.

Jeffrey ngasih anggukan sambil senyum. “I’m fine, seriously. Satu-satunya yang berakhir itu hubungan mamah sama papah, kalau sama anak-anaknya enggak. Beruntung mereka bukan tipe orang tua toxic yang ngelarang ini dan itu. So yeah, that’s why me and Grace still have a pretty tight knit even though we live in different house and papa is married to another woman as well—but my step mother is kind. Dan Grace punya lebih banyak allowance dari papah ketimbang aku, makanya apartemen Grace gede.”

“Aku nggak tahu apartemen kamu,” desis Rose pelan bahkan sambil nunduk. Dia nggak memaksudkan itu buat dapat ajakan main dari Jeffrey, emang murni respon polos yang Rose cetuskan. Meskipun setelahnya dia sadar kalau bagi Jeffrey itu nggak terdengar demikian.

“Wanna come over?” bisik Jeffrey, senyumnya selalu terlukis dan kelihatan mengandung sangat banyak arti yang ngebuat darah Rose berdesir hebat.

Dengan refleks Rose ngangguk. Tangannya narik tengkuk Jeffrey pelan—seolah udah terprogram kalau di detik ini dia bakal ngelakuin hal itu. Rose ngecup bibir Jeffrey singkat, terus natap matanya yang menggoreskan terlalu banyak misteri. “Boleh?”

“Boleh. Cuma tempatku nggak sebagus apartemen ini. Oh, let’s just stay here for three to four songs, Grace put lot of effort on this party.

“Eh, maksudnya nggak sekarang juga gapapa.” Rose buru-buru ngeralat karena maksudnya emang bukan malam ini.

“Kayaknya aku terlalu berharap,” tutur Jeffrey sambil ketawa dan kembali meminum bir yang disuguhkan di meja samping. Dia emang nggak akan mabuk cuma karena dua gelas bir dalam gelas ukuran sedang. Lagipula dia nggak bisa mabuk karena harus nyetir dan nganterin Rose dengan selamat.

“Emang boleh kalau aku ke sana malam ini?” tanya Rose agak ragu.

Jeffrey sedikit memiringkan muka buat ngamatin muka Rose dengan tatapannya yang tajam. Bisiknya dengan suara yang kedengaran seksi di telinga Rose, “Sure. I’ll show you heaven, if you want to.”

Seolah paham sama maksud di balik kata-kata itu, Rose menggigit bibir, terus memejamkan mata sewaktu ngerasain sentuhan di sepanjang lekuk punggungnya. Katanya hampir kayak berbisik, “Can we go now, then?”

To Be Continued

Jeffrey masih mau berkomitmen dan dia sebenernya bukan tipe suka selingkuh. Ehe

Maaf gaje. Emang gaje. Duh dasar diriku gaje banget. But anyway, thank you guys a lot for coming. I love you and see you soon~

❣💜💕💘💚💙💗❤💝🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

162K 18.4K 45
#taekook #boyslove #mpreg
YES, DADDY! By

Fanfiction

294K 1.7K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
203K 17.1K 61
Awalnya Algi kira semua orang berlebihan, tapi pas udah hadapan langsung sama orangnya kena juga jebakan Betmen nyaa huhhh!! ⚠️ -Fiksi yaaa -BXB ...
172K 9.3K 48
Noa baru saja di pecat dari perusahaannya, karena kesulitan mencari pekerjaan ia terpaksa menerima pekerjaan merawat pria dewasa yang tengah berjuang...