AMBISI

By srnrml

5K 146 93

"Terkadang ambisi terlalu tinggi dapat menjatuhkanmu ke jurang yang paling dalam." Pasti kalian pernah atau s... More

Thalassic Crown
Angan
Percakapan-Percakapan Frustrasi
The Savage Driver
Second Chance
Lost
Pod Quest
Tendangan Maut Jihan
Giriwarsa
Me and My Petrichor

Ursa dan Hukum Newton 3

711 23 35
By srnrml

Penulis: chocolavan
Genre: Teen fiction

***

Status sudah berubah. Ursa Persivel dan Orlena Electra resmi berpacaran. Kabar itu menjadi perbincangan hangat di SMA Kertayasa. Bagaimana tidak? Ursa memang sudah famous karena kecerdasannya pada fisika dan matematika. Beberapa kali ia juga memenangkan olimpiade.

Namun sayang, hubungan mereka tak seperti pasangan pada umumnya. Tidak ada kata romantis dalam hubungan mereka. Justru, diberi julukan 'Pasangan Ambis'. Ursa yang tidak romantis dan selalu mengutamakan belajar, Orlena selalu menurut jika diajak belajar.

Sebelum Orlena menjalin hubungan dengan Ursa, Orlena selalu dituntut ini dan itu oleh mantan kekasihnya, sampai ia tidak bisa bebas melakukan hobinya. Setelah berpacaran dengan Ursa, ia merasa sangat bebas dan tentunya merasa bahagia.

Bel istirahat berbunyi, membuat para murid berlomba-lomba ke kantin. Tidak dengan Ursa yang bertengger di perpustakaan bersama laptop dan buku. Orlena menghampirinya sambil memakan keripik kentang.

"Ursa." Orlena memanggil Ursa setengah berbisik.

Ursa menoleh sebentar dan tersenyum tipis. Tampaknya, cowok berkacamata itu teramat sibuk sampai tak ingin melihat Orlena lebih lama.

Orlena duduk di kursi sebelah Ursa. Melepaskan headphone kesayangannya yang melingkar di leher ke atas meja. Lalu mencondongkan kepala agar ia tahu apa yang dikerjakan Ursa.

"Ngerjain tugas?" Orlena menyodorkan keripik kentangnya ke mulut Ursa.

Ursa membuka mulutnya, menerima makanan dari Orlena. "Bukan. Aku lagi ngecek Canopus Mayor."

Canopus Mayor adalah suatu brand yang sedang Ursa rintis. Tersedia berbagai macam stand akrilik dengan unsur aesthetic. Tentunya menjadi incaran para remaja yang menyukai hiasan aesthetic. Desainnya, Ursa buat khusus dan dibuat unik. Ada yang berbentuk hewan, idol Korea, dan masih banyak lagi.

Namun, akhir-akhir ini Ursa mengalami penurunan omset. Ursa harus mengandalkan dirinya sendiri untuk menormalkan kondisi Canopus Mayor. Karena Ursa hanya memiliki beberapa orang yang bekerja dengannya, itu pun dapat dihitung dengan jari dan semua sedang disibukkan dengan bagian pekerjaan masing-masing.

Orlena hanya mengangguk. Ia mengerti, hal itu sangat penting bagi Ursa untuk mengubah ekonomi keluarganya. Walaupun Ursa memang berprestasi dan dijamin akan mendapat beasiswa, itu tidak menutup kemungkinan dirinya ingin sukses di usia muda.

Tak lama kemudian, kedua sahabat Ursa datang. Dengan lancang, Orion mengambil headphone milik Orlena dan dipakainya begitu saja. "Na, lagu dangdut dong."

"Original sialan!" damprat Alfa. Original adalah nama pelesetan Orion dari Alfa.

Orion yang dikatai langsung menoleh. "Gak jelas lo, Minimarket!"

Penjaga perpustakaan lantas menatap horror Orion dan Alfa yang baru datang. Alfa dan Orion tersenyum kikuk, mereka langsung memelankan suara.

"Ribet, noh, cewek lo! Nanyain lo terus," bisik Alfa. Orion mencibir, ia juga pusing dengan pacar bucinnya.

"Heh! Jauhin tangan dekil lo. Kotor headphone gue nanti," peringat Orlena.

"Gue hitam manis, bukan dekil." Orion membenarkan.

"Ini perpustakaan, jangan berisik!" Ursa bersuara.

Orion menoleh. "Payah lo, pacaran di perpus. Mana asik."

"Bacot, Anda!" cetus Ursa.

Di sisi lain, Alfa sudah berbincang dengan Orlena tentang drama Korea. Seluruh drama yang booming saat ini dibahas oleh mereka, sampai Ursa terusik dan tidak bisa fokus.

Ursa berdesis, menyuruh teman-temannya untuk diam. Alfa mencebikkan bibirnya. Lantas Ursa menampar Alfa dengan buku.

"Mending nonton drakor gue." Alfa beranjak sambil menyeret Orion untuk mengikutinya.

Selama berjalan keluar, mereka terus ditatap horror oleh penjaga perpustakaan.

"Bu, kerasukan burung hantu, ya? Matanya gak selow." Orion menyeletuk. Penjaga perpustakaan itu hendak marah, tetapi Alfa dan Orion sudah hilang dari pandangannya.

"Nonton drakor? Gue ikut!" Orlena berdiri lalu menyusul Alfa dan Orion. Sebelum itu, ia membisikkan sesuatu di telinga Ursa. "Aku nonton drakor dulu, ya."

Ursa belum sempat menjawab, Orlena sudah berlari keluar perpustakaan. Cowok itu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Orlena jika sudah bertemu dengan sahabatnya.

Kini tinggallah Ursa dan beberapa murid yang sedang membaca buku. Butuh ketenangan memang jika mengerjakan sesuatu. Namun, rasanya sangat sepi jika tak ada Orlena yang menemaninya. Ursa berusaha menepis rasa itu agar bisa fokus dengan pekerjaannya.

Sepuluh menit kemudian, bel masuk berbunyi. Ursa bergegas merapikan peralatan yang dibawa beserta headphone dan buku Orlena. Buku itu terbuka, membuat Ursa membaca quotes-quotes di sana.

Ada kekaguman di dalam hatinya. Selama tiga bulan ia pacaran belum pernah ia membaca buku Orlena, dan ini pertama kalinya. Mata Ursa menyipit sambil hatinya merasakan makna dari quotes-quotes tersebut. Tanpa sadar senyum kecil terukir di bibir ranumnya. Ursa menemukan sebuah ide.

***

Sepulang sekolah, Orlena memaksa Ursa untuk belajar bersama di restoran favorite-nya sambil mengisi perut. Berkali-kali Ursa menolak dengan alasan berisik dan tak bisa fokus. Namun, jika Orlena sedang sangat ingin, hal tersebut tak bisa dibantah. Ursa pun harus mengalah.

Saat ini, keduanya sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Orlena yang terlalu asik mengunyah keripik kentang, dan Ursa memesan makanan.

Tak lama pesanan mereka datang. "Ini pesanannya, Mbak, Mas."

Pelayan itu sempat mengerling jahil pada Ursa. Melihat hal itu, Orlena segera menyodorkan buku quotes-nya.

"Mbak, baca, deh." Orlena tersenyum miring.

Quotes itu Orlena selalu simpan, berjaga-jaga jika berada di situasi seperti ini. Pelayan itu tersenyum kecut, dan beranjak dari sana. Orlena tersenyum penuh kemenangan.

"Mantep juga nyindir pake quotes," gumam Orlena tersenyum bangga.

"Kamu ngomong sama siapa, Na?" Ursa menata piring, sendok, dan garpu untuk Orlena.

Orlena terkesiap, "Hm? Enggak. Lagi menghayal aja."

Tanpa berlama-lama lagi, mereka segera berdoa dan menyantap makanan.

Selesai makan, Ursa ingin menyampaikan sesuatu tentang rencananya yang akan melibatkan Orlena.

"Na."

"Apa?" Orlena memakan keripik kentangnya lagi.

Kedua tangan Ursa aktif mengeluarkan laptop dan bukunya ke tengah meja. Menyiapkan beberapa alat untuk belajar, hitung-hitung menyiapkan ujian yang sebentar lagi akan datang. Sebelum itu, alat makan sudah dibersihkan oleh pelayan restoran.

Ursa membenarkan letak kacamata dan menatap Orlena serius. "Kamu mau kerja sama, gak?"

Ursa perlu menghadirkan sesuatu yang baru dan unik untuk Canopus Mayor.

"Kerja sama?" Kedua alis Orlena bertaut. Mulutnya tak henti-hentinya bergerak.

"Hm. Kerja sama membesarkan Canopus Mayor. Kamu mau, kan?"

Orlena hampir tersedak. Kenapa mendadak seperti ini? "A-aku ...."

"Kamu ragu, Na?"

Bola mata Orlena tak tenang. Ia takut bertindak, walau sebenarnya ia mempunyai mimpi sukses di usia muda. "A-aku takut, Ur."

"Takut kenapa? Bukannya kamu juga mau sukses di usia muda?"

"Iya. Tapi ... aku takut usaha kamu gagal karena aku yang belum berpengalaman." Ketakutan mulai menggerogoti hati Orlena.

Ursa menatap Orlena lekat. "Na, kamu gak akan tahu ke depannya seperti apa. Sebelum kamu mencoba."

"Tapi, kalau nanti Canopus Mayor gulung tikar gimana, Ur?" Orlena sudah overthinking.

"Jangan overthinking. Itu bisa jadi boomerang buat diri kamu sendiri. Kamu akan terus takut untuk memulai."

Orlena bimbang.

Ursa mencondongkan tubuhnya. "Seperti hukum Newton 3. Dalam mewujudkan mimpi perlu namanya aksi. Setelah aksi sudah dilakukan, maka akan timbul reaksi. Reaksi ini yang akan menentukan kita berhasil atau enggak. Jika belum berhasil artinya perlu memulai aksi lagi. Sampai menemukan reaksi yang sempurna."

Orlena masih mencerna ucapan Ursa.

"Dan jangan lupain W. Sudah beraksi, maka perlu juga yang namanya usaha," tambah Ursa.

"Ternyata begini? Einstein ngerayu cewek?" celetuk Orion. Entah sejak kapan dirinya dan Alfa berdiri di dekat meja sepasang kekasih itu. Einstein adalah panggilan khusus dari Orion dan Alfa. Menurutnya, Ursa kelewat pintar, makanya julukan itu tercetus.

Orlena menghela napas, fokusnya berpindah pada dua laki-laki berotak sengklek. "Kalian ngapain ke sini? Silahturahmi?"

"Biasa, Na. Si Alfamart lagi ngikutin crush-nya yang lagi nge-date. Eh, kebetulan ngeliat pasangan ambis di sini, jadinya gue seret Alfa buat ikutin gue, deh," balas Orion.

Orlena hanya mengangguk menanggapi. Ia pindah tempat duduk di samping Ursa, karena Ursa yang memintanya.

Orion yang melihat headphone menganggur, lantas memakainya seperti dilakukannya di perpustakaan sekolah tadi. "Na, lagu dangdut dong." Orion menyusul Alfa duduk.

"Dangdut mulu lo. Calon bapak-bapak!" cibir Alfa.

"Daripada lo sukanya drakor!" Orion tak mau kalah.

"Biarin, nanti kalo udah tua, kan, dipanggilnya oppa, lebih aesthetic."

"Berisik! Minggat aja sana!" usir Ursa.

"Tega banget, sih, Einstein. Kita udah lama, lho, gak bertigaan gini." Orion memasang tampang sedih.

"Drama banget lo." Alfa malah yang merasa kesal. Temannya yang satu itu terlalu berlebihan menurutnya.

"Lo kenapa sensi banget sama gue?!" Orion tak terima dijuteki oleh Alfa.

"Mohon maaf, sensi merek masker."

Orlena yang geram lantas mengeluarkan jurus andalannya, yakni menyindir lewat quotes. Tangannya menari di halaman bukunya.

Orlena menyodorkan quotes itu. Orion yang membacanya sudah mencibikkan bibir.

"Mulung aja, yuk. Tidak diterima kita di sini." Orion menarik paksa Alfa untuk bangkit.

"Na, besok nobar drakor." Sempat-sempatnya Alfa mengajak Orlena saat cowok itu ditarik keluar restorant. Sedangkan Orlena merubah mimik wajahnya menjadi berseri, dan mengangkat ibu jari di udara.

Orlena kembali pada aktivitasnya bersama Ursa yakni menonton video yang menayangkan materi pembelajaran. Ursa menatap serius layar laptop sambil merekam semua pembelajaran itu di memory-nya. Selang beberapa detik, fokusnya buyar kala sebuah kepala bersandar di dada bidangnya. Ursa tersenyum tipis mendapati Orlena yang serius mencatat sambil bersandar.

Pandangan Ursa kembali pada layar laptop. Lalu mereka berlanjut mengerjakan beberapa soal. Tampaknya, Orlena semakin ambisius mendapat nilai ujian yang tinggi, tetapi itu semua berkat Ursa.

Kalian tahu, kan? Pergaulan sekitar akan memberikan dampak pada diri sendiri. Itulah yang sedang dirasakan Orlena.

***

Akhirnya, Orlena menyetujui keinginan Ursa atau lebih tepatnya ajakan kerja sama. Sedikit ada rasa takut akan gagal tetapi Ursa berhasil meyakinkannya. Hari ini, mereka lanjut membahas Canopus Mayor.

"Jadi, nanti quotes-quotes kamu akan ditempel di stand akrilik. Aku minta sama kamu, buat quotes-quotes yang relate sama kehidupan remaja sekarang." Ursa menjelaskan.

"Terus nanti proses pembuatan dan penjualan gimana?"

"Itu aku yang urus."

Orlena mengangguk mengerti, lalu tersenyum kecil. "Semoga bakal berhasil ya, Ur."

Ursa hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya, ia sedikit khawatir dengan usaha yang ia rintis untuk kedua kalinya. Ya, sebelum Canopus Mayor, ada usaha lain yang Ursa ciptakan. Namun, usaha pertamanya itu sudah gulung tikar.

Dulu, Ursa merasa terlalu tergesa-gesa dalam merencanakan usahanya. Sekarang, ia harus lebih mematangkan Canopus Mayor agar tak rugi seperti masa lalunya. Rasa khawatir dan takut akan terus ada di dalam hati Ursa. Namun, ia harus pandai mengolah emosinya. Jika Ursa biarkan rasa khawatir menghantuinya, bagaimana ia bisa menenangkan Orlena?

Ursa tersentak kala Orlena memegang tangannya. Semula Orlena duduk berhadapan dengan Ursa, berpindah menjadi di samping lelaki itu. "Kenapa?"

Orlena menatap Ursa khawatir, karena sejak tadi lelaki itu tak membalas ucapannya.

Ursa menggeleng. Tangannya terangkat, menyentuh pucuk kepala Orlena.

Orlena menghela napas. Wajahnya ia dekatkan pada Ursa, lalu berucap, "Nonton, yuk. Kita udah jarang banget nonton bioskop. Mumpung lagi di mal, kan, sekalian refreshing otak juga."

"Yaudah, ayo." Ursa merapikan barang-barangnya dan membayar makanan. Berlanjut menonton film di bioskop yang berada di lantai lima gedung ini.

***

Satu minggu kemudian. Orlena sudah siap menyerahkan quotes-quotes yang ditulisnya kepada Ursa. Tentunya untuk dikomersialkan.

"Hai." Orlena menghampiri Ursa yang menunggu di depan kelasnya.

Ursa menoleh, ia menutup bukunya dan memandang Orlena. Lalu mengacak rambut Orlena ringan.

"Udah resenya!" kesal Orlena. Ia mengeluarkan headphone-nya, hendak memutar lagu OST dari salah satu drama Korea, berjudul Everytime yang dinyanyikan oleh Kim Jong-dae dan Punch.

Setelahnya, Orlena mengeluarkan buku kecil. Quotes-quotes sudah tertulis lengkap di sana. Ursa menerimanya dan membacanya sekilas.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran sekolah. Sialnya, mereka bertemu dengan dua pengacau. Siapa lagi kalau bukan Alfa dan Orion.

"Kebetulan kita ketemu di sini. Kebetulan juga Alfa mau traktir kita," ujar Orion langsung mendapat jitakan dari Alfa.

"Lo berdua sengaja nungguin kita, kan?" ujar Ursa. Orion menyengir kuda.

"Lo mau kemana, Tein?" Alfa melihat gerak-gerik Ursa.

"Pulang, lah, Panjul!" Orion menjitak kepala Alfa sebagai pembalasan. Lantas Alfa menatapnya tajam.

"Belajar," balas Ursa seraya memakai helm.

"Kalau ngambis ajak-ajak dong! Biar otaknya nular!" ujar Orion.

"Pintarnya yang nular bego! Bukan otak! Sekolah lama-lama jadi tolol, ya, lo?" ujar Alfa tak santai, membuat Ursa dan Orlena tertawa ringan.

"Hayuk atuh kalau mau ikut," ajak Orlena.

Mereka setuju. Belajar bersama dilakukan di rumah Ursa. Bulan depan mereka sudah melaksanakan ujian. Berlanjut memilih Universitas yang diinginkan.

***

Ujian sudah terlewat. Ursa berhasil mendapat beasiswa di Amerika, tepatnya di Havard University, ia akan mengambil jurusan Teknik Informatika. Sedangkan Orlena memilih jurusan Sastra Indonesia dan lolos SBMPTN di Universitas Gajah Mada.

Tentang Canopus Mayor, brand itu berhasil membuat para remaja keracunan dengan produk yang dihasilkan. Ursa dan Orlena berhasil menyukseskan usaha mereka. Kekhawatiran Ursa dan Orlena akhirnya pupus.

Ursa sangat bersyukur kepada Tuhan. Karena Tuhan mempertemukannya dengan Orlena, gadis unik yang selalu mendukung langkahnya. Ursa juga merasakan masa putih abu-abu yang menyenangkan karena kehadiran Orion dan Alfa.

Hari ini, Orlena tampak murung. Ia harus mengantarkan Ursa ke bandara untuk melanjutkan study-nya. Orlena menatap dirinya di pantulan cermin. Di satu sisi, ia begitu bangga dengan dirinya karena berhasil lolos ke Universitas Gajah Mada. Namun, di sisi lain, ia juga bersedih karena harus berpisah dengan Ursa. Laki-laki dewasa yang mampu membimbingnya sampai Orlena berhasil.

Suara klakson mobil terdengar, menandakan Ursa sudah tiba di rumahnya. Orlena mengambil kotak hadiah kecil dan berjalan keluar.

Di depan pagar rumahnya terlihat Ursa keluar dari mobil. Orlena berlari dan menabrak lelaki itu. Dipeluknya sangat erat hingga tak rela melepas.

Ursa tersenyum sambil mengelus surai hitam Orlena. Ia sangat menyayangi gadis itu.

"Woi! Belum juga sampe bandara," teriak Alfa dari dalam mobil.

Kepala Orlena terangkat. Ursa melihat gadis itu sudah hampir menangis.

"Udah, yuk?" Ursa mengajak Orlena masuk ke dalam mobil.

Sesampainya di bandara, Ursa berpamitan lebih dulu dengan keluarganya. Setelah itu, ia menghampiri sahabat-sahabatnya dan kekasihnya.

Orion sudah menangis dengan satu pack tisu di tangan. Alfa menggelengkan kepala melihat itu. Sungguh, Orion manusia paling berlebihan di muka bumi.

"Tein, kuliah di sini aja! Gak asik lo, nanti gak ada yang gue recokin lagi," ujar Orion sambil mengelap air matanya.

"Ada Alfa." Ursa menunjuk Alfa dengan dagunya.

"OGAH! Gak usah alay lo, Bajuri!" damprat Alfa pada Orion.

"Kok lo gak sedih, sih? Malah ngatain gue?" lirih Orion.

"Sedih, sih, sedih, tapi gak kayak lo juga."

Ursa berpaling, tidak ada habisnya menyaksikan dua sahabatnya berdebat. Cowok itu berdiri di depan Orlena.

Seketika hati Ursa sesak melihat Orlena yang berusaha tegar. Ursa merentangkan tangannya, menyambut Orlena ke dekapannya.

Benteng yang Orlena ciptakan kini runtuh begitu saja. Ia tak sanggup menahan kesedihannya lagi, tangisnya pecah. Hatinya seperti disayat dengan sangat pelan, menyebabkan dadanya sakit seperti disiksa. Ia tidak pernah berpikir bahwa Ursa akan meninggalkannya.

"Nangis sepuas kamu, Na, sebelum aku pergi," gumam Ursa. Walaupun di hubungannya tidak romantis, tapi cinta mereka begitu kuat. Jika dilambangkan akan seperti magnet kutub utara dengan kutub selatan.

"Kenapa pergi? ... Kita, kan, udah punya Canopus Mayor, Ur. Kita udah sukses, jangan pergi, ya?" lirih Orlena. Matanya memerah menatap mata Ursa yang berair.

"Gak bisa, Na. Kita gak akan tahu kapan Canopus Mayor bakal berhenti dan itu pasti bakal terjadi." Ursa memberi jeda. Ia menarik napas, "Menempuh Pendidikan itu penting, Sayang. Kita jangan bergantung dengan satu cita-cita aja. Maka dari itu diciptakan kalimat 'bercita-citalah setinggi langit'."

Satu bulir air mata lolos. Orlena masih ingin mempertahankan hubungan mereka. "Yaudah, kalo gitu aku yang ikut kamu."

"Gak bisa," ujar Ursa cepat. Dadanya seperti dihantam batu besar kala Orlena begitu kuat tak ingin berpisah.

"Kenapa? .... Kamu mau kita berakhir?" Tatapan begitu sendu Orlena lempar pada Ursa.

Ursa menggeleng. "Memilih jejak pendidikan itu gak bisa kamu ikutin orang, demi bersama dia. Minat, bakat orang itu beda-beda, Na."

"Butuh pertimbangan buat semuanya," tambah Ursa.

Kepala Orlena tertunduk, bahunya bergetar. Sekarang ia tak bisa mempertahankan Ursa lagi.

Ursa sangat sesak melihat Orlena. Kedua tangan kokoh hinggap di pundak Orlena. "Orlena Electra, cinta itu bukan penghambat meraih mimpi. Kalo jodoh bakal balik lagi kok."

Orlena meremas dress yang dipakai, rasanya ingin menangis lagi.

"Jagain anak kita, Canopus Mayor."

Air mata Orlena seperti air terjun. "Ur, rasanya sakit banget. Walaupun aku tahu hubungan kita gak abadi. Sesak banget rasanya, sampai mau jebol hati aku."

"Jangan jebol, nanti cintanya tercampur enzim pepsin, enzim lipase, enzim renin, HCI, dan gastrin." Ibu jari Ursa menghapus air mata Orlena.

"Selain fisika dan matematika, kamu peminat biologi juga, ya?" Orlena terkekeh. Ursa juga ikut terkekeh. Namun, hati mereka sama-sama lebur tak terbentuk.

Ursa menghembuskan napas panjang, menetralkan rasa sesaknya. Beralih menangkup wajah Orlena. "Kita berpisah bukan untuk berakhir. Tapi untuk mengejar apa yang harus dikejar."

Perlahan Orlena memahami Ursa. Ia tak boleh egois.

Ursa beralih mengambil paper bag di sebelahnya. Memberikannya pada Orlena. Cewek itu menerimanya, lalu membukanya. Headphone berwarna biru dan satu buku PUEBI.

"Ada tulisan di sana jangan lupa dibaca." Ursa menyentuh pucuk kepala Orlena.

"Jika kamu takut melangkah. Ingatlah Hukum Newton 3 dari aku."

Orlena juga memberikan hadiah kecil untuk Ursa. Sebuah stand akrilik yang diukir sebuah quotes dan gambar jam, terdapat nama brand Canopus Mayor di sana.

"Kamu itu jam, selalu aku cari setiap hari."

"Thanks." Ursa mengangkat kotak itu. "Aku pergi, ya."

Orlena mengangguk, ia memaksakan tersenyum walaupun sesak masih mendominasi.

Ursa perlahan menyeret kopernya. Sebelum ia benar-benar hilang, ia berucap sesuatu, "Jagain ratu gue!"

Hati Orlena sesak. Ia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Sementara itu, Alfa dan Orion mengangkat ibu jarinya.

Kepergian Ursa memang membuat hati Orlena terkikis. Namun, selama ia menjalin hubungan dengan Ursa, Orlena belajar banyak dari lelaki dewasa itu.

Bahwa mimpi harus diwujudkan. Jangan takut melangkah. Jika gagal, perlu membuat aksi lagi untuk mendapatkan reaksi yang lebih baik.

TAMAT

Terima kasih sudah membaca cerita Ursa & Hukum Newton 3 <33

Continue Reading

You'll Also Like

7.4K 446 47
Tentang dia yang slalu ku CINTAI, Tentang dia yang tak pernah KU MILIKI, Tentang dia yang hanya sebatas ILUSI, Tentang dia yang menjadi ANUGRAH terin...
860K 24.3K 63
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
ASA By Shan♡

Teen Fiction

2.8K 728 28
"Tentang kita yang berbeda dalam memandang ASA." Seperti kelopak bunga khas tirai bambu yang teramat indah, begitulah paras Auryn Peony. Gadis ketua...
489 81 11
[Kumpulan Cerpen] "Petrikor dan aroma masa lalu kembali menyapa, mengembalikan memori tentang kita yang tak pernah menjadi apa-apa." ©Deadofwrite_04 ...