Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

49.7K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

1K 149 20
By Mizuraaaa

Senyuman mengembang dengan sempurna, matanya berbinar cerah mendapati nama tersebut pada layar ponselnya. Jemarinya menekan ikon berwarna hijau, lantas mendekatkan ponsel dengan telinga.

Suara di seberang sambungan telepon terdengar, menyapa dengan intonasi hangat penuh kelembutan. Gadis itu meninggalkan pekerjaannya, lalu mendudukkan diri di pinggiran tempat tidur. "Halo! Ahh, akhirnya kau menelpon juga, kupikir kau sudah melupakanku." ia terkekeh kecil mendengar decakan kesal keluar dari ponselnya.

"Mana mungkin! Kita baru berpisah satu hari, asal kau tau." jauh di Tokyo sana, seorang laki-laki memutar bola matanya malas dengan perilaku lawan bicaranya.

Gadis itu kembali tertawa dengan tangan yang menutupi mulut anggun, lantas menaikkan kedua kaki ke atas ranjang dan menyilangkannya. "Maaf, aku bercanda. Ah lalu, bagaimana harimu di Tokyo?"

Terdengar helaan nafas dengan aura penat yang ikut tersambung. "Begitulah, kehidupanku tidak setenang saat di sana."

Kepalanya mengangguk-angguk beberapa kali. Keduanya terdiam, memberi jalan masuk bagi keheningan untuk menyapa. Entah bagaimana bisa kedua sahabat ini kehabisan topik, seakan ada suatu pembatas yang menahan bibir untuk berbicara.

"Kau sedang apa di sana?"

Suara Fukube menyadarkan lamunannya, lantas kembali teringat dan menoleh pada pekerjaannya yang sempat tertunda. Giginya menggigit bibir bawah ragu, menjawab setelah jeda beberapa detik, "Tidak ada."

"Tidak ada?"

(Y/n) mengalihkan pandangannya ke bawah, mengulas senyum tipis dan berkata dengan intonasi rendah, menyiratkan kesedihannya yang terasa oleh si pendengar di balik sambungan telepon. "Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan tanpamu? Aku hanya bisa merebahkan diri sambil mengkhayal mendapat harem di isekai."

Fukube tertawa kecil menanggapinya. "Kau berlebihan, buktinya kau masih bisa bernafas!" tuduhnya dengan nada candaan, masih diiringi kikikan.

"Aku tidak akan mati karena tidak bisa bernafas, aku akan mati karena bosan, tolong ingat itu." (Y/n) merotasikan bola matanya, mengangkat dan melipat kedua kaki lalu menyimpan kepalanya pada lutut itu. Bibirnya mengerucut kesal dengan Fukube yang menanggapi kebosanannya dengan santai, seolah masalah gadis itu hanyalah masalah sepele. Tapi benar sih, Fukube tidak salah.

Fukube kembali tertawa, lalu bertanya setelah tawanya mereda. "Besok? Bagaimana dengan besok? Apa ada rencana yang akan kau lakukan?"

Gadis itu membatu untuk sesaat. Tangannya terangkat, lantas menggigiti kuku jempolnya gelisah. Sekali lagi ia mengalihkan tatapan pada tas punggung yang mulai menggembung karena diisi beberapa barang, mengira-ngira jawaban seperti apa yang harus ia beri pada Fukube.

Tidak mungkin ia memberitahukan yang sebenarnya, kan? Jangan bercanda! Fukube benar-benar posesif jika menyangkut kondisi (Y/n), bagaimana reaksinya jika tau (Y/n) memutuskan pergi ke pantai? Ah, gadis itu tau ia akan dimarahi habis habisan.

Bukan hanya dimarahi, besar kemungkinan Fukube akan menaiki kereta di jam malam hanya untuk menemuinya dan melarangnya pergi ke pantai. Fukube, pasti melakukan apapun demi tujuannya terlaksana. Dasar laki-laki merepotkan!

"(Y/n)-chan? Kenapa diam saja?"

"A-ah?" ia tersadar dengan kondisi linglung. Sejenak ia menghela nafas panjang, lalu membuka mulutnya dan mengeluarkan suara, "Tidak, aku tidak pergi kemana-mana."

"Eh? Begitu? Padahal ini musim panas, seharusnya kau menikmati liburanmu semaksimal mungkin," omel Fukube, yang ditanggapi kekehan oleh gadis yang menjadi lawan bicara.

"Tidak, aku sudah nyaman di rumah."

Jawaban (Y/n) membuat Fukube berdecak kesal, menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya ini. "Terserah kau saja."

(Y/n) kembali tertawa mendengar intonasi suara yang mengirimkan rasa amarah. Ahh, andai Fukube ada di hadapannya, pasti wajah laki-laki itu akan sangat lucu mengingat Fukube selalu kesal dengan sikapnya.

"Eh, iya juga, kau sedang apa di sana?" (Y/n) menyelipkan rambut panjangnya yang menggelitik wajah ke belakang telinga, tangannya sibuk merayap ke belakang dan meraih bantal empuk berwarna putih.

"Hanya istirahat sambil memakan cupcakes."

Kedua tangannya memeluk bantal yang baru saja ia ambil, wajahnya seketika tertekuk. "Eh~, irinya ..., sepertinya makan cupcakes enak juga."

"Kau mau? Aku antar pakai jet pribadi sekarung, ya?"

Candaan Fukube yang tidak selevel dengannya membuat (Y/n) berdecak, tak sedikitpun berkeinginan untuk tertawa meski di seberang sambungan telepon terdengar gelakan tawa.

"Maaf, aku bercanda. Kau buat bersama ibumu saja, mudah, kan?" Fukube memberi saran, ia mengambil satu cupcakes di hadapannya yang berhiaskan krim berwarna coklat dengan taburan meses warna-warni.

Dalam hati Fukube tertawa geli, warna coklat pada cupcakes ini mengingatkannya pada gadis yang sedang mengobrol dengannya saat ini. Keduanya sama-sama manis, Fukube selalu senang memandanginya. Bedanya, rambut gadis itu yang sama-sama coklat tidak bisa dimakan.

Ah! Apa yang Fukube pikirkan? Absurd sekali. Ia terkekeh atas kebodohannya sendiri, lantas memasukan cupcakes itu kedalam mulutnya.

"Benar juga, terimakasih saranmu!"

"Lalu, kau sudah makan?" tanya Fukube, mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Mungkin terdengar klise, tapi kegiatan seperti makan adalah kegiatan yang sangat penting.

"Belum, mungkin sebentar lagi." Gadis itu memutar-mutar surai coklat panjangnya pada jari telunjuk, tersenyum kecil merasakan kelembutannya. Ah, (Y/n) memang sangat menyukai rambutnya ini.

Fukube kembali menghela nafas, di suatu tempat tinggal yang tidak diketahui tepatnya, ia menyandarkan punggung pada kepala ranjang. "Jangan sampai lupa makan, aku disini cukup sibuk, jadi tidak bisa menelponmu terlalu sering dan mengingatkan mu."

Mulut gadis itu berdecak jengkel, kenapa Fukube tidak bisa memahami kalimatnya yang terlampau jelas? "Fukube-kun, aku mungkin akan mati karena bosan tanpamu, tapi aku tidak mungkin mati kelaparan, aku tidak akan membiarkan satu waktu makan pun terlewatkan."

Fukube tergelak, mendengar jawaban (Y/n) yang sangat tepat sebagaimana prediksinya. Air mata sedikit menggenang saat ia tertawa, lantas menghapus jejaknya dengan jari telunjuk. "Ahh, senang rasanya, ternyata kau masihlah (Y/n)-chan yang kukenal."

Alis (Y/n) menukik tajam, sejenak menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap benda pipih itu dalam beberapa detik. Posisinya kembali seperti semula, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Tunggu, jadi selama kita mengobrol kau pikir aku apa? Alien yang bertransformasi menjadi seorang gadis?"

"Perumpamaanmu sangat tidak elit, kenapa harus alien? Kan bisa seorang putri reinkarnasi yang menguasai sihir perubahan wujud." Fukube mengernyitkan alis bingung sekaligus tertawa geli mendengar jawaban (Y/n) yang terlalu tidak masuk di akal.

"Tunggu, kita ngomongin apa, sih?"

Keduanya terdiam, menciptakan keheningan dengan suasana awkward. Hingga saat salah seorang mengakui kekalahannya dengan mengeluarkan sedikit suara tawa, keduanya mulai tergelak, menertawakan sesuatu yang tidak lucu.

Memang, memang tidak lucu. Percayalah, bahkan melihat wajah satu sama lain saja keduanya akan kesulitan menahan tawa, seakan mentelepati lawan bicaranya dengan candaan yang luar biasa lucu. Padahal, tak ada yang terjadi. Hubungan keduanya memang aneh, lupakan, biarkan mereka tenggelam dalam kehangatan yang tercipta dengan cara yang tidak normal.

"Ahahah— oh? Sebentar! (Y/n)-chan, ayah memanggilku, nanti aku telpon lagi, jaa ne!"

(Y/n) menutupi mulutnya yang masih mengeluarkan tawa, lantas mengangguk meski tau Fukube tak dapat melihat gerakannya. "Baiklah, dahh!!"

.

Tap.. Tap.. Tap..

"Ibu...!"

Seruan yang mengisi seluruh penjuru rumah membuat Akita mau tak mau menolehkan kepalanya. (Y/n) dengan wajah berseri-seri menghampiri, lantas menimbulkan pertanyaan pada benak sang ibu.

"Kenapa?"

"Ayo buat cupcakes bersama!"

Seketika alis Akita mengernyit bingung, tertawa geli mendengarnya. "Kenapa tiba-tiba sekali?"

(Y/n) menghembuskan nafas lelahnya, mengacak-acak poni di depan dahinya dengan jari. "Ahh, tadi Fukube-kun menelpon, dia sedang memakan cupcakes, aku jadi menginginkannya."

Nada suaranya terdengar kesal, menggerutu tanpa sebab. Ah, tidak, bukan tanpa sebab, sudah jelas bahwa ini salah Fukube, kan? Jika ia tidak mengatakan sedang memakan cupcakes di jam segini, mana mungkin ia mau melakukannya. Ayolah, gadis pecinta kasur itu tidak akan merepotkan dirinya sendiri jika bukan berhubungan dengan makanan.

Ibu sang gadis tertawa mendengarnya, benar-benar memaklumi dengan sikap anaknya. "Ya sudah, kita buat saja, tidak lama, kan?"

"Aku akan membunuh anak itu." masih dalam keadaan kesal ia menggerutu, ia sadar ibunya mendengar, tapi ia tidak peduli, ia hanya ingin melampiaskan ketidak adaan akhlak dalam diri Fukube.

Gadis itu terperanjat pelan saat Akita menepuk pundaknya di tengah lamunan, lalu mengeluarkan suara yang membuatnya sedikit tertarik. "Tidak apa-apa, kau kan lebih ahli membuat makanan manis, Fukube-kun sangat menyukai dessert buatanmu, kan? Kirimkan saja fotonya, itu balas dendam yang setimpal."

Ibu dan anak itu saling bertukar pandangan jahil, entah terpengaruh oleh darah yang mengalir sehingga memiliki pemikiran yang sama. Lupakan, hubungan ibu dan anak itu memang aneh.

Dengan diawali seringai kecil, keduanya bergerak lincah mengambil bahan-bahan yang diperlukan dari dalam laci dapur. (Y/n) mengurus bahan yang terletak di bawah, tidak perlu membicarakan tinggi badannya, semua sudah jelas.

Semua bahan sudah tertata rapi, sengaja agar enak dipandang. Padahal, sesaat setelah itu pasti dapur akan berantakan. Entah karena kecerobohan (Y/n), atau kejahilan (Y/n) kepada ibunya. Iya, semua salah (Y/n), memang durhaka anak yang satu ini.

(Y/n) memasukkan mentega juga gula sesuai takaran kedalam wadah, ia mengaduknya hingga larut sementara ibunya mengurus susu yang harus dididihkan bersama coklat.

Gadis itu menambahkan putih telur, lalu mengocoknya sekuat tenaga hingga adonan terlihat mengembang. Ia menatap karyanya dengan bangga, melupakan nafasnya yang hampir habis karena terlalu bersemangat melakukan bagiannya.

Selanjutnya ibu dan anak itu mengerjakan hal lain, kekompakan mereka benar-benar terasa saat keduanya melakukan pekerjaan dengan sempurna. Sejauh ini (Y/n) tidak melakukan kesalahan, mungkin balas dendam menjadi salah satu pemicunya. Akita terkikik geli, sepertinya ia perlu bantuan Fukube agar anaknya bisa melakukan pekerjaannya dengan bersih.

Tak membutuhkan waktu lama hingga adonan kental itu dituangkan ke dalam cetakan. (Y/n) membulatkan matanya, tidak menyangka akan membuat sebanyak ini. Ah, ia perlu membagikannya pada tetangga jika tidak ingin berat badannya bertambah.

Oh, gadis itu lupa, dia adalah (Y/n), manusia jenis abnormal yang tidak akan gendut jika memakan makanan manis satu karung sekalipun.

Sementara (Y/n) meregangkan tubuhnya setelah kegiatan yang cukup melelahkan, diam-diam Akita yang tengah menyiapkan adonan krim untuk cupcakes mengulas senyum kecil, kebahagiaan (Y/n) seolah tersihir masuk kedalam perasaannya.

"(Y/n)-chan, bagaimana dengan ini?"

(Y/n) menoleh ke belakang, mendapati ibunya memegangi wadah berisi krim coklat yang terlihat mengkilat karena sorotan lampu ruangan. Dengan riang ia mendekat, mencolek krim itu dengan telunjuk dan mengemutnya.

"Emm, enak! Aku suka seka— eh? Ahahah!"

"Hm? Kenapa?" tanya Akita menaikkan sebelah alisnya.

Tangan gadis itu menutupi mulutnya sendiri untuk menghentikan suara tawa. "Itu, ada tepung di rambut ibu, ibu terlihat seperti ubanan dan sudah tua, ahahaha!!"

Gadis itu kembali tergelak dengan tidak ada akhlaknya, menertawai ibunya yang membuka mulut lebar terperangah mendengar ucapannya. Akita terlihat melesat dan menuju kamar mandi, (Y/n) tebak ibunya akan berkaca diri.

Dan tebakan (Y/n) benar lagi, Akita menjerit hingga terdengar dua benua. Gadis itu tak bisa menghentikan tawanya, Akita memang sesensitif itu jika menyangkut umur tua. Dasar, Akita tidak pernah ingin dipanggil tua, dipanggil ibu saja tidak mau, tapi akhirnya menyerah karena (Y/n) tetap keras kepala memanggilnya seperti itu.

Akita ingin selalu terlihat muda, caranya mendidik anak pun unik, menjadikan anaknya sebagai sahabatnya, sehingga anaknya tidak akan merasakan pengkhianatan dari sahabat pertamanya. Tentu itu baik bagi pertumbuhan (Y/n), tapi perilaku Akita yang sungguh terobsesi dengan usia muda kurang baik untuknya.

"(Y/n)-chan, kenapa tidak bilang? Ibu terlihat jelek, tau!" Akita menggerutu, tentu layaknya anak muda, berpura-pura marah dan menjauhi (Y/n).

(Y/n) menutup mulutnya dengan tangan yang terkepal, menahan tawa. "Pfft, aku kan sudah bilang tadi."

"Telat!"

.
.

"Whoaa!! Cantik sekalii!"

Akita dan (Y/n) menatap bangga pada karya di hadapannya, beberapa cupcakes cantik dengan krim coklat dan taburan warna warni. Terlihat kilauan di mata gadis itu, sangat tidak sabar untuk mencicipi makanan manis itu.

Ah! Ada yang ia lupakan. Tangannya segera meraih saku celana, lalu mengeluarkan benda pipih seukuran genggaman tangan. Gadis itu mengangkat layar ponselnya yang sudah menyala, tersenyum lebar. "Ibu! Ayo kita foto!" ajaknya riang.

Akita mengernyitkan alis kecil. "Harus dengan ibu juga? Kau kan bisa foto cupcakesnya saja lalu kirim pada Fukube-kun."

Helaan nafas keluar, (Y/n) memutar manik matanya malas melihat ibunya yang begitu tidak peka. Sejenak ia menekan beberapa tombol di ponselnya, memasuki aplikasi kamera dan kembali pada Akita. "Ibu, kalau cupcakesnya saja, nanti Fukube-kun kira aku mengambilnya dari internet, ayo kita foto! Lagipula kita kan jarang berfoto bersama!"

Gadis itu merengek dengan nada memohon pada ibunya, ditambah menyatukan kedua telapak tangan di depan dada menyempurnakan aktingnya yang membuat Akita luluh. Wanita dewasa itu terkekeh kecil, lalu mengangguk dan mendekat pada anaknya.

(Y/n) menjerit bahagia, lantas mengambil satu buah cupcakes untuk difoto bersamanya. Gadis itu berada di depan, cupcakes coklatnya disimpan di samping pipi gembul miliknya. Sementara Akita, ia berdiri di samping (Y/n) agak belakang, memegang dua cupcakes yang menutupi kedua pipinya.

Satu kenangan di tangkap oleh kamera ponsel, terlihat dua orang yang terlihat tidak jauh beda dalam hal umur, padahal hubungan mereka adalah ibu dan anak. (Y/n) kembali memposisikan kameranya, mencoba mengambil gambar kedua.

Akita menyimpan satu cupcakesnya, sementara yang satu ia gigit untuk pose berikutnya. (Y/n) sendiri tidak benar benar menggigitnya, ia hanya membuka mulut dengan cupcakes di depannya, seakan satu detik setelah foto diambil maka cupcakes itu sudah tergigit.

1... 2... 3...

"Aahhh!"

(Y/n) hampir menjatuhkan ponselnya jika bukan berkat keberuntungan refleknya. Gadis itu mematung di tempat, wajahnya kotor oleh krim coklat yang menempel di mana-mana.

Sementara Akita, ia sudah tergelak seraya berlari menjauh, mencoba menghindar dari amukan (Y/n). "Itu untuk balas dendam yang tadi! Hahaha!!"

Gadis itu tak mempu berkata-kata, sesaat sebelum foto ditangkap, Akita mendorong cupcakes yang berada di depan wajah (Y/n) ke belakang, sehingga cupcakes itu menubruk wajah (Y/n) hingga berantakan.

(Y/n) yakin, kamera tadi pasti menangkap ekspresinya yang tengah terkejut. Tidak mungkin ia menunjukkan aibnya seperti itu pada Fukube, bisa-bisa dijadikan bahan olokan untuk tiga tahun penuh.

"Ibuuu!!!"

.
.

"Ibu, lihat! Yang ini bagus!"

Setelah pertengkaran kecil tadi, keduanya berbaikan dan kembali mengambil foto lain. Berbagai gaya dan ekspresi tertangkap oleh kamera ponsel itu, menyimpan kenangan di dalamnya untuk waktu yang lama.

"Wah, benar! Disini ibu terlihat lebih muda, kirim yang ini saja!"

Sang anak mendelik kesal, tapi akhirnya menurut juga. Sejenak ia mengangguk-anggukan kepala seraya menggigiti jempolnya. "Iya sih, di sini juga aku terlihat cantik," ujarnya kepedean.

"Baiklah! Akan aku kirim yang ini pada Fukube-kun!" gadis itu berseru dengan riang, tidak sabar menunggu reaksi Fukube. Ah, mungkin laki-laki itu akan lari maraton dari Tokyo hanya untuk mencoba cupcakes buatannya. Ugh, lupakan, (Y/n) berlebihan.

Seraya memperhatikan anaknya yang bermain dengan ponsel, Akita meminum air putih dari gelasnya, ia memang tak terlalu suka memakan banyak-banyak makanan manis. "(Y/n)-chan, tidak di upload ke sosial media?"

"Hah? Aku tidak punya sosial media."

Jawaban (Y/n) membuat ibu satu anak itu terdiam, dengan hati yang bertanya-tanya. Sungguh? Gadis ini anaknya? Bagaimana bisa ia secupu itu? Tidak menggunakan sosial media di zaman sekarang? Emak-emak saja update status dua menit sekali.

Namun, pada akhirnya Akita hanya mengeluarkan nafas lelahnya, menopang dagu dengan telapak tangan seraya memandangi anaknya. "Yah, ibu sudah kira sih, kalau iya kau pasti sudah terkenal dan rumah kita dikerubungi oleh para fans."

(Y/n) berdecak malas mendengar ucapan ibunya, lantas menoleh dengan tatapan jenuh pada Akita. "Lagipula ngapain sih, bu? Mengumbar keseharian di sosial media apa gunanya? Yang ada malah mengundang penjahat."

"Ya kan bisa aja kamu dapat endorse shampoo gitu, atau skincare apa, kan lumayan untuk memperbaiki keuangan kita." Akita menaik turunkan alisnya, mencoba membujuk anaknya supaya menghasilkan uang dengan memanfaatkan parasnya yang memang sudah cantik sejak di dalam kandungan.

"Ck, pakai shampoo nya aja engga, direkomendasikan, penipuan publik banget." (Y/n) merotasikan bola matanya, lalu kembali pada kegiatannya dengan ponsel.

Akita hanya menghela nafas pasrah mendengarnya, tidak habis pikir dengan pemikiran anaknya itu. Akita beranjak dari kursi yang sebelumnya ia duduki, dan pergi dari tempat itu. Sayangnya, wanita dewasa itu tidak memperhatikan pijakannya sehingga ia terpeleset dan kehilangan keseimbangan, lalu,

"Eehhh!!"

Duakkk

"Adahh!! Ibu!"

Akita menarik tangannya segera, menatap (Y/n) takut-takut karena perbuatannya. Akita terlalu kaget dan mencari apapun yang bisa dijadikan tumpuannya, dan secara tidak sengaja tangan Akita mendorong kepala (Y/n) sehingga ponselnya jatuh dan dahinya membentur meja.

"E-eh, maaf, ibu tidak sengaja." Akita mendekat perlahan, sementara anaknya sudah dikuasai oleh api amarah.

"Aaaa! Ibu! Foto-foto tadi ke hapus kan jadinya!!" rengek (Y/n), mengacak-acak rambut frustasi melihat isi ponselnya yang tidak sengaja terhapus karena tertekan oleh dahi.

"Loh, kok bisa? Lagian mau di apain?"

"Ini loh, bu, aku mau pindahin ke album khusus yang isinya foto kita berdua, tapi kepencet sama dahi. Aaaa! Gimana dong! Ini sisa satu, kita kan jarang sekali berfoto bersama!!"

Mendengar keluh kesah anaknya yang berlebihan membuat Akita memutar bola matanya. Ia pikir ada apa, ternyata hanya tidak sengaja menghapus foto. Lagipula masih ada satu, kan, katanya?

"Udah lah, kita kan bisa foto lagi nanti, segitu ngefansnya kah kamu sama ibu?" ujar Akita santai, melenggang pergi menjauhi anaknya yang semakin membara.

"Ahh ibu mahhh!!!!"

.
.

Gadis itu sedang asik bermain ponsel seraya bersenandung ringan, berbalas pesan dengan Fukube yang sesekali membuatnya tertawa atau kesal. Memang begitu nyatanya, Fukube sangat ahli mempermainkan suasana hati (Y/n).

"(Y/n)-chan."

(Y/n) yang baru saja menggigit cupcakesnya mengalihkan pandangannya dari ponsel, mendapati ibunya menarik kursi dan duduk di hadapannya. Terpisah oleh sebuah meja, gadis itu masih bertanya-tanya kenapa ibunya tidak melanjutkan apa yang ingin ia bicarakan. "Apa, bu?"

"Tadi ibu lihat di sosial media gitu, ibu jadi kepikiran, (Y/n)-chan nanti mau kuliah di mana?"

Gerakan (Y/n) yang tengah mengunyah terhenti seketika, menatap ibunya bingung. "Kenapa tiba-tiba?"

"Ibu hanya ingin tau." Akita tersenyum, ikut memakan makanan manis buatannya tadi.

(Y/n) menyandarkan tubuhnya pada kursi, melanjutkan kunyahan tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah sang ibu hingga makanan itu tertelan habis. "Aku tidak akan kuliah, bu."

Akita yang tengah santai langsung mematung setelah mendengar jawaban anaknya, melirik dengan tatapan heran. "Kenapa?"

Helaan nafas keluar, (Y/n) membetulkan posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Kedua tangannya di simpan di atas meja, sementara ponselnya ia singkirkan terlebih dahulu. Sepertinya obrolan kali ini akan sedikit serius, merepotkan.

"Ibu, mana mungkin aku kuliah? Kuliah itu mahal, lebih baik aku membantu ibu bekerja."

Akita menggebrak meja pelan, sedikitnya membuat (Y/n) tersentak, tidak menyangka ibunya akan melakukan hal itu. Wanita dewasa itu membuang tatapannya yang terlihat kesal. "Ibu tidak setuju."

"Eh? Maksud ibu?" (Y/n) mengernyitkan alisnya tidak mengerti.

"Kau harus kuliah, (Y/n)-chan, ibu tidak mau impianmu terhalang hanya karena masalah uang." Ibunya itu mengetuk-ngetuk meja menggunakan telunjuknya, seolah menekankan apa yang baru saja ia ucapkan.

(Y/n) menatap ibunya tidak habis pikir, ia mengangkat tangan ke udara. "Ibu, sungguh? Aku tidak perlu kuliah, aku tidak ingin menyusahkan ibu lebih lama lagi, aku ingin segera mendapatkan pekerjaan."

"Ibu tidak merasa disusahkan, tuh." Akita melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa kau harus mempersulit itu? Kau pikir ibu sudah tua hingga tidak sanggup membiayai mu?"

"Bukan begitu, bu." (Y/n) menggelengkan kepalanya pusing, memijat sedikit dahinya. "Kuliah itu kan tidak wajib, aku tetap bisa mendapat pekerjaan walaupun lulusan SMA, justru ibu yang mempersulit sesuatu."

"Memangnya kau tidak memiliki impian yang ingin kau capai? Menjadi guru? Dokter? Pramugari? Atau apapun itu?"

"Tidak." jawab (Y/n) santai, dengan kilat. "Asalkan mendapat uang kenapa harus mencari yang susah? Intinya aku ingin membantu ibu, kuliah membutuhkan uang yang tidak sedikit, bu."

Akita menghembuskan nafas lelahnya, memijat pelipis pelan seraya menutup matanya yang sedikit kelelahan. "(Y/n)-chan, ibu mendengar obrolanmu dengan Fukube-kun saat itu, sebenarnya kau ingin kuliah, kan?"

Mendengar pernyataan Akita membuat (Y/n) bungkam. Ia membuang tatapannya, mengatur nafasnya yang sedikit terengah-engah karena berbicara banyak.

"Ibu mohon, ibu hanya punya (Y/n)-chan sebagai keluarga ibu, ibu ingin anak ibu sukses dan menggapai mimpinya. Mana mungkin ibu menghancurkan kehidupan (Y/n)-chan hanya karena masalah uang? Ibu masih sanggup menghidupi (Y/n)-chan."

(Y/n) menopang kepalanya menggunakan telapak tangan, bertumpu pada meja yang ada di hadapannya. Kenapa obrolan semacam ini harus ada, sih? Gadis itu mengerti apa yang ibunya katakan, tapi gadis itu juga tak mau menjadi beban lebih lama lagi.

"(Y/n)-chan mau, ya, kuliah? Selama ini ibu punya tabungan buat kuliah (Y/n)-chan, (Y/n)-chan bisa pakai itu, lagipula kalau kuliah bisa sambil kerja juga, kan?"

Omongan ibunya memang masuk akal, dan (Y/n) tentu mengakui itu. Hanya saja ia sedang ingin bersikeras. Mungkin ibunya tidak masalah, tapi dirinya yang bermasalah. Sejak kecil ibunya sudah cukup kuat menjadi single parent, haruskah (Y/n) menyusahkannya lagi dengan biaya kuliah yang begitu mahal?

Ah, sudahlah, pikirnya. (Y/n) jawab saja seadanya, bagaimanapun caranya agar pembicaraan ini berakhir, masalah ia akan kuliah atau tidak, akan ia pikirkan lagi nanti. "Baiklah."

.
.
.
.

"Oreki-san!"

Laki-laki itu menoleh, gadis yang memanggil namanya seraya melambaikan tangan mulai berlari kecil untuk mendekat. Saat jarak mulai menipis si gadis membungkukkan badannya, dengan bertumpu pada lutut ia mengambil nafas yang terengah-engah.

"Kau baik-baik saja?" tanya Oreki, sedikit khawatir melihatnya seperti itu.

"Iya, aku baik." (Y/n) bangkit, terlihat beberapa bulir keringat membasahi wajahnya. "Maaf aku terlambat, aku tidur terlalu malam jadi kesiangan." netranya menatap Oreki dengan tatapan menyesal.

Seulas senyum diberikan, sejenak mengalihkan tatapan pada pergelangan tangan yang memakai jam. "Tidak apa-apa. Padahal baru sepuluh menit dari waktu perjanjian, kau tidak harus berlarian seperti itu."

(Y/n) hanya membalas dengan kekehan kikuk seraya mengusap tengkuknya malu. Seharusnya gadis itu menurut pada ibunya untuk segera tidur, tapi ia terlalu asik berbalas pesan dengan Fukube hingga tengah malam, entah apa topik pembicaraan mereka.

"Jadi kita harus apa? Chitanda-san mana?"

Gadis itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencoba menemukan temannya yang akan ikut liburan kali ini. Ah, pantaskah disebut teman? (Y/n) sedang berbaik hati sehingga ingin menambah teman.

Satu saja, lagipula (Y/n) pasti membutuhkan bantuan teman sesama perempuan. Setidaknya Chitanda cukup baik, cukup, yah, mungkin begitu.

"Entahlah, dia yang menyuruh kita menunggu di tempat ini, tapi dia belum datang." Oreki mengikuti gerakan (Y/n), mencari satu anggota lagi yang belum datang juga.

(Y/n) mengeluarkan helaan nafas yang begitu panjang, tanpa disadari. Ia menaruh kedua tangannya pada pinggang, menatap jalanan yang dilalui beberapa kendaraan dengan malas.

"Ada apa?"

Pertanyaan Oreki membuatnya menoleh, tersenyum kecil sebentar sebelum menjawab, "Tidak, aku hanya merasa ini cukup merepotkan. Ibu pernah bilang bahwa rumahku sebelum pindah ke kota ini dekat dengan pantai, jika aku masih di sana mungkin tidak akan repot-repot membawa perlengkapan untuk menginap."

Gadis itu tertawa kecil atas ucapannya, lagipula kenapa ia mengatakan hal itu? Malah bagus rumahnya jauh dari pantai, jika dekat mungkin bisa-bisa ia pingsan setiap hari.

Ah, tapi sejak ia memiliki ketakutan terhadap air pun ia tak pernah sekali saja pergi ke pantai, kira-kira apa yang akan terjadi? Memikirkannya membuat (Y/n) ragu, apa ia harus berangkat ke sana sekarang?

"Eh? Begitu? Rumahku juga dulu dekat dengan pantai."

Kepalanya menoleh cepat dengan bibir yang terbuka membentuk huruf O. "Benarkah? Dulu Oreki-san tidak tinggal di sini? Kota ini kan tidak dekat dengan pantai."

Kepala Oreki menggeleng pelan. "Tidak, kan sudah ku bilang itu rumah nenek dan kakekku, sedangkan rumah orang tua ku ada di suatu tempat."

(Y/n) mengangguk-angguk sebagai tanggapan, kedua jarinya; telunjuk dan jempol menggenggam dagu seakan mengerti oleh jawaban Oreki. Sedetik kemudian ia tertawa tanpa sebab, yang mana menimbulkan pertanyaan di benak Oreki.

"Apa mungkin pantai yang dekat dengan rumah kita adalah pantai yang sama, ya? Jangan-jangan dulu rumah kita berdekatan, ahahaha!"

Melihat (Y/n) yang tertawa oleh candaan buatannya sendiri membuat Oreki terdiam. Tidak ada alasan apapun selain karena Oreki tau apa yang sebenarnya terjadi.

Senyuman kecil terulas, laki-laki itu mengalihkan tatapannya pada langit biru yang tergambar dengan indahnya ditemani beberapa kawanan awan. "Yah, mungkin saja."

Tak lama setelah percakapan berakhir, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan mereka. Tidak, (Y/n) tidak sekalipun mengira itu mobil penculik, dia sudah bukan anak-anak, tolong.

Dari pintu depan keluar seorang gadis bersurai hitam panjang, gadis yang sejak tadi di tunggu-tunggu kehadirannya. Ia menghampiri dengan semangat, sedikit melompat-lompat tak bisa menyembunyikan kesenangannya. "Halo, aku datang!"

(Y/n) memang tidak mengira itu mobil penjahat, tapi tetap saja ia bingung, ini tidak ada di perjanjian. Menoleh ke samping, nampaknya Oreki merasakan hal yang sama dengannya.

"Chitanda-san, kau membawa mobil?"

Pertanyaan (Y/n) ditanggapi dengan anggukan semangat. "Iya! Kebetulan kakakku juga tidak ke mana-mana liburan kali ini, jadi dia ingin ikut, tidak apa, kan? Lagipula dia laki-laki, jadi bisa menemani Oreki agar tidak terlalu canggung!"

Chitanda langsung memberi penjelasan secara lengkap. (Y/n) sebenarnya tidak keberatan, sih, lagipula perkataan Chitanda memang benar, rasanya canggung apabila Oreki laki-laki sendirian.

Tapi saat melirik ke samping, (Y/n) mengernyitkan alis saat melihat ekspresi wajah Oreki, terlihat tidak suka. Apa Oreki sebegitu tidak sukanya bergaul dengan banyak orang?

Yah, memang (Y/n) pun sama seperti itu. Hanya saja, ini hanya kakak Chitanda, kan? Mereka hanya akan saling mengenal selama liburan ini lalu kembali lupa setelah berpisah untuk pulang, tidak akan ada hubungan apapun lagi kedepannya.

"Tentu saja tidak masalah!" jawaban (Y/n) mendapat delikan heran dari Oreki, kenapa gadis itu begitu mudah menerima seseorang untuk masuk ke dalam liburannya?

"Kakak! Sini! Kau tidak mau kenalan dengan teman-temanku dulu?!" Chitanda berteriak, sedikitnya membuat (Y/n) terkejut. (Y/n) tidak mengira Chitanda bisa mengeluarkan suara dengan nada tinggi seperti itu, soalnya tampilan luarnya imut-imut gimana, gitu, biasanya suaranya kecil-kecil yang begituan.

Sesaat setelah itu, sebuah siluet laki-laki tinggi datang menghampiri. (Y/n) menyipitkan matanya, matahari di belakang sana membuat pandangannya silau. Gadis itu mengucek matanya sedikit, hingga penglihatannya menjernih, dan manik matanya pun melebar sempurna.

(Y/n) mendapati laki-laki itu dalam kondisi yang sama sepertinya, terkejut akan kehadiran seseorang yang tidak pernah di kira-kira. Dirinya mematung di tempat, kedua tangannya terkepal erat dengan perasaan yang kalang kabut.

Ia dapat melihat laki-laki itu membuka mulutnya, siap mengeluarkan suara yang mampu membuat telinganya sakit. Namun, sebelum itu terjadi (Y/n) membungkukkan tubuhnya, tak peduli jika menimbulkan pertanyaan pada benak teman-temannya.

"Shimizu (Y/n), desu."

Oreki dan Chitanda saling bertatapan, sementara laki-laki yang menjadi objek utama melangkah mundur. Mulutnya kembali terbuka untuk memberi balasan, tapi sebelum sepatah katapun keluar, (Y/n) menegakkan tubuhnya kembali.

Tanpa melirik pada sang laki-laki, (Y/n) menatap Chitanda dan memiringkan kepalanya. "Bisa kita pergi sekarang, Chitanda-san?"

Chitanda yang bingung hanya bisa menatap keduanya—(Y/n) dan kakak laki-lakinya bergantian, sesaat kemudian ia terkekeh canggung seraya mengangguk. "A-ah, baiklah, kita bisa perkenalan nanti."

(Y/n) tersenyum, berterimakasih atas Chitanda yang peka akan situasi saat ini. Keempatnya memasuki mobil hitam milik Chitanda, Oreki duduk di depan dengan kakak Chitanda, sementara kedua perempuan duduk di bagian belakang.

Gadis pemilik surai coklat menyandarkan kepalanya pada kaca mobil, menunduk untuk memperhatikan kedua tangannya yang saling bertautan gelisah.

Chitanda bertatapan dengan Oreki, seolah mendapat sinyal untuk menanyakan keadaannya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan kota Takayama untuk berlibur sementara. Suasana dalam mobil begitu kental oleh kecanggungan, tak ada satu patah kata pun yang mengisi pendengaran.

Chitanda mendekat, memiringkan kepalanya untuk menatap wajah (Y/n) yang sedikit pucat. "(Y/n)-chan, kau tau? Seperti Oreki, aku juga menyukai pantai, bagaimana denganmu? Bagaimana perasaanmu sekarang?" ia mencoba menghidupkan suasana dengan suaranya yang ceria, tapi tak ditanggapi sebagaimana yang diinginkannya.

(Y/n) tak sedikitpun melirik Chitanda, ia membungkuk dan menopang dahinya menggunakan kedua tangan, membuat surainya jatuh hingga menutupi wajah. "Entahlah ..."

"Aku sedikit tidak nyaman."

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Note: untuk tempat author gak cari riset, ya. Author sedikit kesulitan saat lihat google Maps, apalagi geografis negara Jepang yang asing banget di mata author.

Anggap aja di kota Takayama, yang ditinggali (Y/n) and the geng, tidak memiliki pantai, sehingga jika ingin ke pantai harus pergi ke kota tetangga.

Ini mempengaruhi alur cerita, mohon maaf karena author kekurangan riset, terimakasih.

Continue Reading

You'll Also Like

251K 37.3K 73
Haruhi, perempuan yang mulai menyukai sepak bola karena kagum dengan permainan seseorang. Namun ia tidak diperbolehkan ikut bertanding di klub sekola...
35.6K 4.4K 45
Rival? Direbutin sama 4 orang secara diam diam, hmm menarik, berawal dari suka dengan diam diam kepadanya, saat menyukainya tiba tiba satu persatu ri...
59.9K 7.3K 34
[Completed] ❝𝐃𝐢𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐜𝐚𝐡𝐚𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤 𝐤𝐚𝐦𝐢❞ Cahaya kecil yang muncul di tengah-tengah gelapnya geng yang bernama To...
74.5K 10.3K 37
AU VERSION‼️ Kesedot masuk kedalam buku novel misterius?! Yang bener aja anjir!! Udah mana jadi tokoh yang sering di bully lagi, ngga bisa!! Ini buka...