School: Re-Search [Terbit]

By Haruka_Hikaru

88.5K 12.3K 1.1K

[Open PO sampai 20 Agustus 2022] Sekolah. Apa yang kalian pikirkan tentang kata itu? Tumpukan tugas? Nilai di... More

Pengumuman Open PO🥳
00 - Last Person
01 - SMA Chase
02 - Kumpulan Remaja Berbakat
03 - Perpustakaan
04 - Class of Chase
05 - Z-Class
06 - Sakitnya Nadira
07 - X-Class
08 - Zahrawi yang Lain
09 - UAS Dadakan
10 - Ingatan Sang Hafidz
11 - Hacker's World
12 - Rahasia Hasna
13 - Keinginan Tulus dari Hati
14 - Bioskop
15 - Wawancara Singkat Ketua Kelas
16 - Debat Berakhir Gulat
17 - Sidang
18 - Prinsip Sang Berandal
19 - Misi yang Membuat Pening
20 - Pahlawan bagi Nadira
22 - Mata Elang dan Gerakan Kilat
23 - Harmoni Sang Musisi
24 - Ujian Pemeringkatan
25 - Empat Penguasa
26 - Tim A, Chaseiro pilihan
27 - Strategi (part 1)
28 - Memasak?!
29 - Kelakuan Dua Bocah
30 - Strategi (part 2)
31 - Para Pejuang Ujian
32 - Pulau Kalas Amine
33 - Awal Mula Permainan
34 - Regu dan Rencana
35 - Tim A vs Tim E (part 1)
36 - Tim A vs Tim E (part 2)
37 - Tim Q
38 - Aksi Shadow Killer dan Hypno Light
39 - Definisi Huruf K
40 - Monster
41 - Ketulusan Hati
42 - Labirin Maut
43 - Jailbreak
44 - Fakta dalam Pertemuan
45 - Kejutan
46 - Epilog
Bonus 01 - Acara Reuni
Bonus 02 - Ulang Tahun Si Bocil
Pengumuman

21 - Persiapan Misi

1.1K 188 16
By Haruka_Hikaru

"Senyuman, hal paling ampuh yang dipakai banyak orang untuk menutupi duka mendalam. Tangis, alat pertahanan diri agar tidak terpikirkan untuk mati. Akan tetapi, ada kalanya kau butuh amarah, penengah di antara keduanya agar kau tetap diakui dunia."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Thariq

Ke rumah nanti malam, jelasin detailnya. - Nadira

Jun tidak bisa berhenti tersenyum sejak pagi, tepatnya saat Thariq menyampaikan pesan dari Nadira. Entah keberuntungan apa yang dia dapat, sehingga gadis seperti Nadira mau membantunya kali ini.

Di sekolah, ketiganya—Jun, Thariq, dan Nadira—sama sekali tidak membahas hal ini, sehingga kesempatan Jun untuk merinci kegiatan hanyalah malam ini. Oleh karena itu, pemuda berbalut jaket kulit hitam ini membelah jalanan secepat yang dia mampu, agar banyak waktu untuk menyusun rencana.

Tok ... tok ... tok ....

"Jun? Masuk bro," sapa Thariq—sosok yang membuka pintu.

"Thanks," jawab Jun apa adanya.

"Gue kira lo datengnya agak maleman," kata Thariq setengah meledek.

"Biar gak malem-malem. Kasihan adek lo, besok dia ngisi di S-Class II kan?"

Tanpa canggung Jun langsung masuk, menyamankan diri duduk di ruang tamu. Tak lama, Thariq kembali turun, mengajak Jun ke kamar Nadira atas permintaan si pemilik kamar.

"Jun? Ibra? Masuk," kata Nadira membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

Jun agak canggung untuk masuk karena ini kali pertama baginya masuk kamar seorang gadis. Kamar Nadira—di mata pemuda itu—tidaklah serapi yang ada di bayangannya. Meski begitu, kamar ini juga tidak bisa dibilang kotor.

Kamar ini lebih cenderung ... berantakan. Banyak lembaran kertas dengan tulisan yang Jun ketahui merupakan huruf dalam Bahasa Arab di kasur. Selain itu, ada juga berbagai buku—kalau dia tidak salah tebak—yang tergeletak tidak beraturan di meja.

"Maaf berantakan, gue baru selesai ngaji," kata gadis itu sungkan.

Tangannya bergerak mengumpulkan lembaran-lembaran berserakan di kasur, merapikan lalu menyimpan tumpukan kertas itu di map folder di rak.

"Lo habis ngaji apa? Ini kitab serak buku sampai keluar semua. Berantakan banget," tanya Thariq yang ikut membantu.

Oh, ternyata namanya kitab, batin Jun kikuk.

"Fiqh, nahwu, sharaf, kimia, matematika, sama muraja'ah hafalan. Bra, tolong beresin sisanya ya, tumpuk aja di meja. Gue mau ambil camilan dulu," jawab Nadira sambil melangkah keluar.

Tak lama gadis itu kembali dengan nampan penuh camilan. "Thanks ya, Bra. Jadi, Jun?"

Mulailah mengalir perincian strategi yang sudah Jun rancang di rumahnya tadi.

"Oke. Sebenarnya gue butuh bantuan lo buat ngelewatin tempat pendataan aja sih, tapi lo gak bisa keluar dari depan tanpa gue."

"Berarti gue nungguin lo misi?" tanya Nadira.

Jun menggeleng singkat. "Gak. Itu bakal makan waktu lama, gue nungguin pesta kelar soalnya."

"Lah? Terus?"

"Ya itu fungsinya lo, Riq. Kata Aze, ada toilet cewek yang tempatnya persis di sebelah tangga darurat. Jadi lo parkir di basement. Nanti Nadira kabur lewat tangga darurat ke sana pake alibi ke toilet. Setelahnya kalian balik duluan aja, serahin sisanya ke gue."

"Lo yakin gak apa?"

"Elah Is, si Jun kan emang biasa kerja sendiri."

"Sebentar, kenapa gak lo aja yang masuk dari tangga darurat?" heran Nadira.

"Keamanan tuh hotel agak aneh menurut gue. Semua pintu daruratnya gak bisa dibuka dari luar, jadi akses masuknya ya cuma pintu utama."

"Oke, lanjut."

"Garis besarnya itu doang sih, sisanya lihat sikon di lapangan. Buat peralatan nanti gue minta bantuan Halza sama Aze, soalnya pihak klien gak kasih apapun selain cuan."

=/•🗝️• \=

Sabtu sore, dua hari sebelum misi.

Saat ini sepuluh remaja itu tengah berkumpul di rumah Thariq—kamar Nadira tepatnya. Meski berkumpul, mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing, menyisakan hening berkepanjangan.

Sebelum menilik satu persatu kegiatan mereka, mari kita mundur beberapa waktu sebelumnya—mencari tahu alasan berkumpulnya mereka.

Sepulang sekolah ....

"Halza, Aze, boleh ngomong sebentar?" Tanya Jun lirih.

Trio IT itu menepi di sudut kelas, memulai diskusi serius.

"Gue butuh bantuan buat misi Hari Senin."

Decakan malas terdengar dari bibir Halza. "Ck, kebiasaan lo, Kak. Untung gue kosong. Butuh alat apa?" kesal gadis itu.

"Alat buat nyelinap di besi, pistol kejut, sama alat pengintai. Oh, satu lagi, buatin senjata sederhana."

"Senjata sederhana gimana? Jelasin rincinya, Kak!"

"Gue juga gak begitu tahu. Ini bukan buat gue soalnya, tapi buat Nadira," kata Jun sepelan mungkin.

"HAH?! YANG BENER LO, KAK?!"

"Ada apa Za?! Oy, lo berdua ngapain adek gue?!"

Hancur sudah niatan Jun untuk tidak melibatkan teman-teman perempuannya. Pemuda itu terpaksa menjelaskan secara rinci, membuat semua gadis di kelasnya—kecuali Nadira—memberi hadiah tatapan tajam dengan percuma.

Kembali ke kamar Nadira.

Oke, mari kita teruskan pengamatan yang terputus tadi.

Kita mulai dengan mengabsen kegiatan mereka satu persatu. Agar mudah, ayo mulai dari sisi kanan pintu.

Ada Alvand dan Revan di sofa sedang bermain game online. Di dekat mereka, tepatnya di karpet depan rak kitab, ada Jun dan Aze yang sibuk dengan laptop di hadapan. Sesekali mereka tampak berdebat kecil, tak lama setelahnya mereka kembali serius menatap layar persegi panjang itu.

Lanjut. Di meja belajar Nadira, ada trio mungil—Violla, Halza, dan Freya. Mereka sedang membuat peralatan untuk Jun sambil sesekali mengobrol atau bercanda. Di kasur sendiri, Hasna sedang berbincang—menginterogasi mungkin—dengan si pemilik kamar. Nadira ditanyai berbagai hal, membuat gadis itu kewalahan.

"Nad, lo kok mau bantu Jun? Lo beneran yakin? Gue gak berniat remehin lo, tap—"

"Bisa diem dulu? Biar gue jelasin rincinya."

Hasna menggaruk tengkuknya kikuk. Beberapa detik setelahnya, gadis itu mengangguk, membiarkan temannya menjelaskan.

"Jun butuh bantuan untuk melewati pemeriksaan di depan. Kata Aze, lo sama sekali gak bisa bantu, jadi gue pikir gak ada salahnya gue iyain. Apalagi Jun sudah bela-belain ijin ke Abah. Dia juga sudah bantu gue nolong Umah, jadi gue ngerasa hutang ke dia."

Belum sempat Hasna berkomentar, trio mungil itu sudah menarik atensi semuanya karena pekikan mereka.

"Aaa ...! Kak Violla! Kenapa tempelin soldernya ke jempol gue?!"

"Gue gak niat nempelin, lengan gue disenggol Freya."

"Aku bahkan tidak ada di sebelah Kakak. Aku di sini membuat rangka luarnya."

"Lo—"

"Beg—"

"Lebih baik kalian beristirahat dulu. Hasna, bisa kau pindah ke sofa? Biar mereka bertiga bisa beristirahat di kasur," potong Nadira cepat saat melihat ketiga temannya hendak bertengkar.

"Tap—"

"Berikan blue print-nya, aku yang akan menyelesaikan ini," potong Nadira untuk kedua kalinya.

"Nad, lo emang bisa? Kalau gak bisa biar gue yang kerjain habis ngurus CCTV ged—"

"Tak apa, Aze. Aku sudah biasa melakukan ini."

Tiga kali. Sebuah rekor seorang Nadira memotong ucapan orang, tiga kali berturut-turut pula. Meski Nadira sudah berkata jika dia sudah terbiasa melakukan hal ini, tetap saja mereka menatap Nadira ragu.

"Kasih aja. Lo pada belum pernah lihat aksi Aisyah, kan? Nih bocah itu punya kejeniusan super tinggi, itu juga yang narik Aisyah ke X-Class."

Semua menoleh ke arah pintu, melihat Thariq yang baru kembali setelah dipanggil kakaknya barusan. Pemuda itu masuk membawa sebuah gaun silver yang sangat indah—gaun untuk dipakai Nadira nanti.

"Ye, kalau jenius doang mah, sekelas juga sama Riq!" bantah Revan.

"Aisyah itu agak beda. Keahliannya gak fokus di satu bidang, gak kayak kita. Aisyah bisa robotika, matematika, agama, bahasa, sama beladiri jarak jauh. Is, buruan kelarin itu, terus coba ini. Kak Fatim cuma punya gaun ini doang," kata pemuda itu panjang lebar.

Nadira tidak mendengarkan ocehan Thariq. Dirinya sudah khusu' bergulat bersama tumpukan kabel dan peralatannya. Bermodalkan blue print kasar dari Halza, gadis itu berhasil menyelesaikan satu alat. Diputarnya kursi itu menghadap teman-temannya, berniat melakukan uji coba.

"Jun, coba gih," katanya melempar persegi hitam polos yang baru saja jadi itu–pistol kejut dan pemotong besi elektrik.

"Bagus Nad. Dua-duanya berfungsi. Thanks."

"Gi*a! Lo gak pernah bilang kalau bisa robotika, Kak!" pekik Halza girang.

"Gue gak seahli itu, cuma bisa dasar aja. Bunda dulu yang ajari ini waktu gue masih TK."

Perempatan muncul di dahi kawan-kawannya. Mereka memandang kakak beradik itu dengan tatapan penasaran.

"Abah nikah tiga kali. Pertama, Bunda, ibu kandung gue. Sayang, Bunda wafat pas gue masih kelas 3 SD. Kedua, Abah nikah sama putrinya kyainya Abah. Nda lama, cuma setahun terus beliau wafat karena sakit kanker. Terakhir, ya Umah gue sekarang ini."

"Maaf, kita gak ta—"

"Santai aja, gue gak apa. Toh, ilmu dari beliau-beliau sempat gue pelajari. Tapi, ya gitu. Gue jadi gak punya spesifikasi kayak lo pada. Bunda ngajari gue IT sama robotika, istri kedua Abah ngajari kesenian, Umah ngajari akademik dan olahraga, Abah sendiri ngajari agama."

Semua melongo heran. Bagaimana bisa otak gadis itu sanggup mempelajari semuanya sekaligus?! Apalagi hal-hal yang dipelajari itu tidak berkaitan satu sama lain. Benar-benar monster!

"Oke, balik ke topik awal. Nad, lo bisanya pakai senjata apa? Gue gak doain lo di serang, tapi kita juga tetep kudu persiapan," kata Jun mengembalikan topik yang oleng tadi.

"Hm ... pisau? Atau jarum juga boleh. Pokok barang buat dilempar," kata gadis itu.

"Lah? Lo kan, pakai kacamata, Kak."

"Emang sih, tapi gue gak bisa pakai senjata lain, ribet."

"Gue buatin yang simpel deh. Soalnya kondisi besok Senin kan gak bisa diprediksi. Apa gak sebaiknya pakai senjata jarak de—KYAAA!!!"

Tak!

Semuanya menegang di tempat. Lemparan akurat Nadira barusan membungkam penuh mereka. Bayangkan saja, Nadira melemparkan pensilnya tanpa aba-aba, membuat ujung grafit runcingnya tepat mengenai kepala seekor cicak.

"Gue cuma bisa itu, gak bisa beladiri atau main senjata aneh-aneh. Lo ... gak keberatan kan, Jun?"

1504 kata
01 Juli 2021

____________________________________________________________________________

Continue Reading

You'll Also Like

232K 3.5K 187
[PRIVATE] Kumpulan lirik-lirik lagu korea. *BACA JUGA ... K-POP SONGS LYRICS PAGE 2 Saranghaeeee
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

867K 46K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
27.1K 3.8K 40
Kurage [Name]. Gadis pendiam yang tengah jatuh hati pada salah satu teman sekelasnya semenjak SMP. Dia bahkan rela masuk ke SMA yang sama dengan pria...
4.3K 864 26
Raya pikir ia hanya manusia tidak berguna yang hanya hidup untuk memenuhi populasi manusia, tapi apa ini? Sejak kapan manusia mempunyai kekuatan dilu...