Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

50.6K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

1.1K 170 122
By Mizuraaaa

Dimana?

Dimana gadis itu berada?

Tak ada yang bisa ia lihat kecuali warna hitam. Rasa takut menguar dari dalam hatinya, matanya tertutup untuk mengurangi setidaknya sedikit ketakutannya terhadap warna itu.

Gelap, sesak. Gadis itu kesulitan bernafas. Matanya kembali terbuka dan, ah. Ia melihat cahaya yang samar di penglihatan, entah kenapa ia merasa ada secercah harapan yang menghadirinya.

Ia mengangkat kedua tangannya, mencoba mengayuhkannya sekuat tenaga. Tenggorokan gadis itu tercekat, ia mulai cemas saat apa yang dilakukannya terlihat percuma.

Tubuhnya meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari sesuatu tak kasat mata yang menariknya semakin dalam, semakin dalam hingga cahaya itu meredup, gagal mendominasi kegelapan yang sangat ditakutinya.

Semua gerakannya sia-sia, ia tetap tak bergerak diantara sesuatu yang terasa basah itu. Saat itu ia mulai membencinya, membenci hal yang berada di sekitarnya. Apapun itu yang telah menahannya untuk pergi dari tempat ini.

Gerakannya semakin melambat, tekanan yang terasa berat seolah menghapit tubuhnya agar diam, membatu di tempat. Degup jantungnya meningkat drastis, terbawa oleh ketakutan yang menyeruak dari dalam tubuh. Rasa dingin yang teramat sangat seakan menusuk tubuh hingga tulangnya.

Cahaya yang membawa harapannya nyaris menghilang, ia melakukan usaha terakhir dengan mengangkat sebelah tangannya, mencoba meraih cahaya untuk digenggamnya oleh seorang diri. Tak apa orang menyebutnya egois, ia hanya tak ingin terlarut dalam kegelapan yang dalam.

Dan disaat rasa putus asa memasuki otaknya, ada sesuatu yang menghasilkan gelombang di sekitarnya. Sesuatu yang gelap itu semakin mendekat, menutupi cahaya yang ingin ia genggam.

Tapi gadis itu sungguh tak berprasangka buruk, ia hanya berharap kegelapan yang datang bisa mengalahkan kegelapan yang ada dan membawanya pada kehangatan bersama cahaya.

Namun, pada akhirnya, yang mengurungnya pada warna hitam abadi bukanlah kegelapan yang ada maupun kegelapan yang segera datang, akan tetapi kegelapan yang ada pada dirinya.

Pandangannya semakin kabur saat kegelapan yang datang membentuk sesuatu menyerupai tangan. Dan tak lama kemudian, tangannya merasakan kehangatan setelah tersentuh oleh sesuatu.

Seulas senyum tercetak di wajahnya. Namun, dalam waktu singkat, kehangatan dan cahaya kembali membuangnya pada kegelapan dan dinginnya kesendirian.

Dan tubuh mungilnya terus ditarik, semakin dalam dan mengurung jiwanya dalam kehampaan yang abadi.

~

Brakk

"Hahhh! Hahh... Hahhhh.. Hahhh...."

Nafasnya memburu, keringat dingin mengucur deras dari wajahnya. Sepasang mata melirik ke bawah, dilanjutkan dengan memandangi tempat di sekitarnya yang tidak terlalu asing.

Gadis itu mengusap wajahnya kasar, mengucapkan beribu kali kata terimakasih pada Tuhan karena hal yang ia lihat sebelumnya tak lain hanya mimpi semata. Ia menyisir rambutnya yang sedikit basah terkena keringat ke belakang, lalu melirik pada jam weker yang tersimpan apik pada nakas di samping tempat tidurnya.

'Eh? Pukul sebelas?'

Matanya mengerjap beberapa kali, sejenak membungkuk seraya menormalkan degup jantung yang sempat tidak karuan. Gadis itu menghirup nafas panjang, mengeluarkannya perlahan hingga perasaannya tenang.

.
.

Tap... Tap... Tap...

Wanita dewasa itu menghentikan pekerjaannya, melirik ke belakang dan mendapati anak gadis satu-satunya. Sejenak ia tersenyum, lalu menghampiri gadis yang berwajah murung itu.

Ia terlihat mengucek matanya yang sedikit gatal, lalu menatap ibunya. "Ibu, kenapa aku tidak dibangunkan? Ibu memasak semua ini sendiri? Padahal aku ingin bantu." ia terdiam memandangi meja makan yang penuh makanan.

Akita terkekeh pelan, setelah (Y/n) duduk di kursi ia pun melakukan hal yang sama. "Tidak apa-apa, ibu tidak ingin mengganggumu di hari-hari awal liburan."

Tatapannya tak beralih barang sedikitpun dari sang ibu yang mulai memakan makanan bagiannya, ekspresi datarnya tak bisa dipertahankan lagi, ia mengulas senyum tipis saat melihat ibunya terlihat begitu bahagia.

"Ibu ini selalu begitu, padahal tak ada yang spesial dari sebuah liburan." (Y/n) mengangkat tangannya, menutupi mulut yang mengeluarkan kekehan kecil.

Akita mengangkat bahu tak acuh, menunda untuk menjawab perkataan anaknya karena mulutnya penuh oleh makanan. "Habisnya ibu mendengarmu menangis semalaman, ibu jadi tidak tega membangunkanmu, sekarang saja matamu terlihat sembab," jawabnya, menunjuk ke arah mata (Y/n).

"Eh, benarkah?" (Y/n) meraba wajahnya, merasakan perubahan kecil pada matanya yang sedikit bengkak. Tatapannya terarah ke bawah, senyumannya luntur untuk sementara. "Yah, bagaimana lagi, aku tidak terbiasa ditinggal Fukube-kun selama itu."

Memutar bola matanya malas, Akita mengangkat tangannya yang menggenggam sendok, mengarahkannya pada (Y/n). "Hei dengar, ibu tidak membangunkanmu pagi-pagi bukan untuk melihat wajah cemberut itu! Santai saja! Senang senang saja! Tenanglah, ibu kenal baik dengan Fukube-kun, dia tidak akan selingkuh!"

Mata (Y/n) mendelik tajam, tidak percaya akan apa yang ibunya katakan. "A-apa?! I-ibu ngomong apa sih?" terlihat semburat merah tipis di pipinya, nyaris tidak terlihat.

Tentu gadis itu malu, bagaimana bisa ibunya mengatakan hal semacam itu? Terkadang (Y/n) pun terheran-heran, entah kenapa gaya bicara ia dan ibunya itu terdengar seperti teman baik, bukan hubungan semacam ibu dan anak.

Namun, hal itu lah yang membuat dirinya dan Akita semakin dekat. Gadis itu merasa pembicaraan keduanya lebih hangat dan membuatnya nyaman. Untuknya yang memang tidak memiliki banyak teman, ibunya adalah teman terbaik yang ia miliki sepanjang masa.

"Haha, ibu bercanda," kekeh Akita. "Tapi ibu serius soal (Y/n)-chan harus tenang saja, Fukube-kun hanya pergi ke Tokyo. Lagipula kan ada ibu, ibu akan terus menghibur dan membuat (Y/n)-chan selalu bahagia!" Akita mengatakan hal itu dengan ceria, hingga (Y/n) tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum senang.

"Jadi, (Y/n)-chan ingin ibu melakukan apa agar bisa kembali ceria? Membuatkanmu makanan manis? Membuat cake bersama? Atau jalan-jalan?" tanya Akita antusias, secara beruntun hingga membuat (Y/n) sedikit kewalahan.

Gadis itu menggeleng, tersenyum manis hingga matanya nyaris tertutup. "Aku tidak menginginkannya, ibu. Asal bersama ibu, melakukan apapun pasti menyenangkan."

Akita tersenyum lembut, menunjuk makanan bagian (Y/n) dengan sendoknya. "Kalau begitu, cepat makan, bersenang-senang juga butuh tenaga, loh," ujarnya seraya memasukkan sesuap nasi pada mulutnya.

Terkekeh sebentar, lantas (Y/n) mengangguk dengan perasaan yang lebih baik daripada semalam. Iya, harusnya dia bersyukur masih memiliki Akita di sampingnya, Fukube tidak lebih baik sedikitpun dari Akita.

'Ibu sangat menyayangiku, ya?' batinnya bertanya-tanya, tersenyum tipis.

Ia tak bisa berhenti untuk memperhatikan ibunya. Apa yang gadis itu rasakan, rasanya Akita memberikan seluruh kasih sayangnya kepadanya. (Y/n) sungguh bahagia bisa memiliki ibu seperti Akita.

Tentu ibu ibu lain di dunia ini juga akan melimpahkan seluruh kasih sayang terhadap anaknya, tetapi bagi (Y/n), Akita itu tidak dapat tergantikan maupun terkalahkan, dia adalah ibu terhebat yang pernah ada.

"Ibu?"

"Iya? Kenapa?" Akita menatap (Y/n), mengalihkan perhatiannya sejenak dari makanan hangat yang berada di hadapannya.

(Y/n) sejenak terdiam, menarik nafas panjang lewat hidungnya lalu membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, "Aku ...!"

'Sangat menyayangimu, ibu.'

Gadis itu melebarkan matanya, entah kenapa perkataannya terputus dan hanya dapat dilanjutkan dalam batinnya. (Y/n) mengulas senyum kecil, menggeleng pelan. "Ah, tidak, tidak jadi."

Akita mengernyitkan alisnya bingung, namun akhirnya mengangkat bahu tak peduli dan melanjutkan sarapannya yang agak telat.

(Y/n) menundukkan kepala lemas, bertanya-tanya dalam hatinya. 'Kenapa... sulit sekali, ya ...?'

.
.

"Ibu? Ibu mau kemana?" (Y/n) datang dengan kaos oversizenya, menggunakan celana levis pendek sebagai bawahan.

Akita menoleh sejenak, mengangkat tangannya yang menggenggam dompet juga selembar kertas. "Ibu mau belanja, pesanan dessert ibu makin banyak!" ujarnya riang.

Mata gadis itu berbinar, menghampiri ibunya dengan cepat. "Wah! Bagus dong, bu!" Ia mengambil alih selembar kertas dan melihat daftar belanjaan yang lumayan banyak, tersenyum senang.

Akita mengangguk antusias, lantas kembali mengambil daftar belanjaan itu dari anaknya. Namun, (Y/n) malah menarik tangannya, menghindar agar Akita tidak dapat meraih kertas itu. "Ibu, ibu! Bagaimana kalau aku saja yang belanja? Aku juga bosan di rumah."

Ibu satu anak itu tersenyum lembut melihat (Y/n) yang kembali ceria. Akita mengangguk pelan, mengusap surai panjang itu. Ia biasanya mengacak rambut (Y/n), tetapi ini pengecualian, anaknya tampak begitu cantik dengan surai coklat diikat tinggi, satu kepangan kecil ikut terikat oleh karet rambut.

"Baiklah, jika itu membuatmu senang, kenapa tidak?" Akita mengangkat bahunya ringan. "Ibu kasih uang lebih, ya, biar (Y/n)-chan bisa beli makanan yang membuat moodmu naik."

"Asikkkk!!"

.
.

"Eh? Oreki-san?"

Gadis itu menghentikan langkahnya, memiringkan kepala bingung melihat Oreki berjalan ke arah yang sama. Laki-laki itupun menoleh, melebarkan matanya kaget mendapati teman satu sekolahnya.

"Shimizu-san, mau ke mana?" lantas ia berbalik, kedua tangannya berada dalam saku celana.

Mengikuti gerakkan ibunya, (Y/n) mengangkat selembar kertas yang sedang ia baca sebelumnya. "Mau ke supermarket, Oreki-san sendiri?"

Oreki melangkah maju, mengintip kertas yang (Y/n) genggam. Sejenak ia mengangguk-angguk pelan, lalu memundurkan tubuhnya kembali. "Ke supermarket juga, mau pergi bersama? Sepertinya belanjaanmu cukup banyak."

Gadis itu terdiam, mengernyitkan alisnya, tapi setelahnya mengangguk juga. "Boleh, aku pun sedikit bingung karena belanjaannya cukup banyak, aku tidak yakin bisa membawanya sendiri." (Y/n) menggaruk kepala belakangnya malu, tapi dalam hati bersorak riang bisa memanfaatkan situasi agar dirinya tidak kesusahan.

Oreki mulai melenggang pergi, sementara gadis itu mengikuti di sampingnya. (Y/n) memiringkan kepala di hadapan Oreki dengan alis terangkat sebelah. "Oreki-san, bukankah baru kemarin kau ke supermarket?"

Laki-laki itu tersenyum, sedikit terkekeh walau benar-benar pelan. Ia mengangkat tangannya dan menjauhkan kepala (Y/n) yang menghalangi jalannya seraya mengacak surai gadis itu pelan. "Hanya membeli susu, aku lupa mengecek, ternyata stok makananku sudah habis, jadi harus beli kebutuhan bulanan."

(Y/n) membuka mulutnya lebar, merasa kesal dan prihatin terhadap tataan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Gadis itu melirik Oreki tajam, mengepalkan tangannya dan meninju lengan Oreki. "Jawab ya jawab aja, gak usah acak-acak rambut orang juga!"

Tawaan geli keluar dari mulutnya, (Y/n) hanya bisa termangu menatap Oreki yang melepaskan ekspresinya seperti itu. Begitu... mempesona....

Blushhh

'Buset, damagenya ga ngotak!!!' (Y/n) menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, menggeleng cepat untuk mengenyahkan segala pikiran konyol dalam benaknya.

"Maaf, aku tidak seng— eh? Shimizu-san, kau baik-baik saja?"

"Iya, aku baik." (Y/n) menahan kepala Oreki yang menjulur untuk melihat wajahnya menggunakan tangan, menyingkirkannya.

Gadis itu mengatur pernafasannya, menjadi lebih tenang setelah beberapa saat. "Maaf, aku tidak sengaja. Biasanya kan rambutmu di uraikan, jadi aku suka saat mengacak-acaknya." Oreki menjawab, kembali tertawa seraya menutupi mulutnya dengan tangan yang terkepal.

Manik matanya berotasi malas, terlanjur kesal dengan perilaku Oreki yang tidak seperti biasanya. Kemana sikap dinginnya itu? Padahal cuek adalah daya tarik tersendiri dari laki-laki itu.

"Shimizu-san, bagaimana dengan tawaranku saat kemarin?"

(Y/n) sempat menghentikan semua pikirannya saat pertanyaan itu tiba. Ia mengalihkan tatapannya, terlihat lelah tercampur oleh rasa sedih. "Entahlah. Aku tidak mengerti, seharusnya kau sudah tau apa jawabanku, kan?"

Oreki hanya memperhatikan (Y/n) dari samping, tatapannya pun beralih pada arah sebaliknya. "Kenapa? Aku kan bukan pembaca pikiran, aku harus mendengar jawabannya langsung darimu."

Tangannya terkepal erat, merasa sedikit kesal dengan perilaku Oreki. Kemarin ia sudah menunda untuk menjawab ajakan Oreki, seharusnya laki-laki itu mengerti, kenapa sikapnya jadi keras kepala seperti ini?

"Oreki-san, kau sudah mendengar cerita dari ibuku, kan? Seharusnya kau mengerti keadaanku."

Langkah (Y/n) terhenti, ia menoleh ke belakang saat Oreki menghentikan langkah lebih dulu darinya. Kepala laki-laki itu tertunduk dengan kedua tangan yang terbalut saku celana. "Begini, aku hanya berfikir, kenapa kau tidak mau melawan ketakutanmu?"

Alis gadis itu mengernyit tidak mengerti. "Maaf?"

Oreki melangkahkan kakinya mendekat, keduanya berdiri berhadapan dengan kepala (Y/n) yang sedikit menengadah karena selisih tinggi badan. "Shimizu-san, maaf jika aku ikut campur terhadap masalahmu, tapi, aku hanya tidak ingin kau terbelenggu oleh hal yang sudah lalu."

Gadis itu terdiam, mengalihkan pandangannya pada kedua kaki yang lebih menarik perhatiannya.

"Aku mengerti ini sulit, tapi apakah kau menerima ketakutanmu begitu saja? Tidaklah kau ingin melawannya?"

Tubuhnya tetap bergeming di tempat, tak bergerak sedikitpun meski hanya membuka mulut untuk memberi jawaban. Oreki yang melihat perilaku (Y/n) seakan tidak ingin menjawab, menggaruk kepala belakangnya gugup.

"Begini, Shimizu-san."

"Dulu aku memiliki teman. Ah, tidak, kenalan. Dia menyukai air, sangat menyukainya, air adalah sumber kebahagiaannya."

"Oreki-san, aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan dengan menceritakan hal itu padaku." (Y/n) menjawab dingin, tentu membuat Oreki agak bingung sekaligus khawatir. Apakah sesensitif itu (Y/n) terhadap topik ini?

Oreki menepuk pundak kanan (Y/n). "Aku hanya berfikir, kenapa satu hal yang sama, bisa menciptakan kesan yang berbeda pada kalian?" tanya Oreki, memberi jeda perkataannya.

"Maksudku, kenapa air yang membuatnya bahagia malah membuatmu menderita?"

"Oreki-san hentikan." (Y/n) berbalik membelakangi Oreki, memijit dahinya yang sedikit pusing dengan segala perkataan Oreki. "Jelas kita orang yang berbeda, kenapa kau harus mempersulit hal itu?"

"Shimizu-san, jika dia bisa bahagia karena air, kenapa kau tidak? Kenapa hal itu harus menyusahkan kehidupanmu?"

"Shimizu-san, jika kau tidak melawannya, kau tidak akan bisa terlepas darinya."

"Aku tau kau kuat, kau bisa melawannya! Memangnya kau ingin terus menerus kalah oleh sesuatu yang bahkan tidak memiliki otak?!"

"Aku tau! Aku sangat-sangat tau!" (Y/n) membalas kilat dengan bentakan. Gadis itu memegangi kepalanya, merasakan denyutan yang menyakitinya. "Aku lebih tau dari siapapun, tapi kau tidak mengerti, aku tidak sanggup, aku terlalu takut."

"Aku juga ingin lepas dari semua ini, aku sudah muak! Tapi aku tidak tau bagaimana caranya, aku bingung, aku takut." (Y/n) menutup matanya erat, menggeleng cepat untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang berdatangan.

Oreki menghembuskan nafas pelan, ia berjalan dan berdiri tepat di depan gadis itu. Kedua tangannya menepuk kedua bahu (Y/n), tubuhnya membungkuk untuk mensejajarkan wajah keduanya. "Aku mengerti, kau tidak perlu memaksakannya. Tapi cobalah sedikit demi sedikit, aku yakin kau bisa melakukannya. Aku akan membantumu, sungguh."

"Sungguh?" kepala (Y/n) yang sudah terangkat memberi tatapan penuh harap, netranya dibanjiri air mata yang belum sempat meluncurkan diri. "Tapi bagaimana?" gadis itu kembali bertanya setelah mendapat anggukan dari Oreki.

Tubuh laki-laki itu menegak, mengulas senyum tipis pada wajahnya. "Kau tidak perlu berenang di pantai, cukup perhatikan saja sampai hatimu bisa merasa tenang, ya?"

"Masih banyak yang bisa dilakukan selain berenang, kan?" Oreki memiringkan kepalanya meyakinkan. "Kita bisa bermain pasir, bersantai, atau membeli makanan yang banyak dijual di sana."

"Makanan? Baiklah, aku ikut."

Oreki speechless. Ia tertawa kecil menanggapinya, memaklumi sifat (Y/n). Ah, apa dia memang telat mengetahui tentang hal ini? Bahwa gadis itu benar-benar suka makan.

"Sudahlah, ayo kita pergi, kita berhenti terlalu lama, pasti ibu menunggu." (Y/n) bergumam seorang diri seraya menatap jam tangan yang melilit di pergelangannya.

Keduanya saling bertukar pandang, lalu mengangguk secara serempak. Mereka berbalik untuk pergi ke tujuan yang sama, supermarket, sayangnya mereka harus kembali terhenti disaat,

"Dorrr!"

Baik (Y/n) maupun Oreki terperanjat, keduanya menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis dengan senyum jahilnya.

"Chitanda-san?"

Alih-alih menjawab panggilan (Y/n), Chitanda malah kelewat antusias bertanya pada keduanya. "Hei hei! Bagaimana kalian bisa bersama seperti ini??"

"Kebetulan kami sama-sama mau ke supermarket, jadi bareng saja," jawab (Y/n) seperlunya, diiringi dengan senyum tipis. "Chitanda-san sendiri?"

Chitanda mengangguk-angguk mendengar penjelasan (Y/n), lalu kembali mengangkat kepalanya setelah mendapat pertanyaan. "Aku sedang jalan-jalan saja. Oh! Sebelum aku menyapa kalian, aku juga melihat kalian berbincang serius, ada apa?"

Oreki dan (Y/n) saling bertatapan, seolah berkomunikasi lewat telepati. Chitanda hanya memperhatikan, menatap keduanya secara bergantian dengan ekspresi bingung.

"Itu, kami berencana akan pergi ke pantai." pada akhirnya, (Y/n) memberi jawaban.

"Ahh! Begitukah?! Boleh aku ikut?! Boleh ya? Boleh ya?? Pamanku punya penginapan di sekitar pantai xx, mungkin kita bisa meminta diskon, hehe."

Lagi-lagi, Oreki dan (Y/n) bertatapan. Laki-laki itu menunjuk Chitanda menggunakan manik matanya, sementara (Y/n) hanya mengangkat bahu sekaligus kedua tangannya.

"Boleh! Aku senang jika yang ikut semakin banyak," jawab (Y/n) senang, ia pun bingung sendiri apabila memang pergi ke pantai hanya berdua dengan Oreki, apa Oreki gila? Ugh..

Chitanda menjerit bahagia seraya melompat-lompat kecil. Gadis itu segera menggenggam tangan (Y/n), menatap dengan binar di kedua matanya. "Jadi, kapan kita pergi?"

"E-eh..." (Y/n) terlihat gugup, satu tetes keringat membasahi wajahnya melihat perilaku Chitanda yang terlalu over. Gadis itu mengangkat jempolnya, menunjuk ke suatu arah. "Aku harus segera ke supermarket, bagaimana jika kita obrolkan sambil berjalan?"

Gadis bermanik ungu itu mengangguk cepat. Ketiganya mulai berjalan beriringan, sibuk mengobrol tentang rencana mereka. Sementara Oreki sendiri, ia sudah menghela nafas yang kesekian kalinya, merasa terasingkan.

"Ah, Oreki-san aku lupa. Masa kita berdua perempuan, kau laki-laki sendirian?" tanya (Y/n), menjulurkan kepalanya ke depan karena Chitanda berada di tengah, ia yang memaksa.

Oreki menggaruk kepalanya pelan seraya menatap langit, mencoba mengingat-ingat. "Aku memiliki beberapa kenalan di sana, jadi mungkin bisa mengajaknya." ia menatap (Y/n) lalu tersenyum tipis.

"Wah, apa di pantai lain pun Oreki memiliki banyak kenalan?" Chitanda ikut nimbrung, menjulurkan kepala sama halnya seperti (Y/n) sehingga wajah (Y/n) tertutupi.

(Y/n) menegakkan badannya dengan perasaan kesal, terkadang Chitanda ini lumayan menyebalkan juga, seharusnya ia menjauh sedikit demi sedikit. Sudahlah, ternyata keputusannya untuk tidak memiliki teman memang tepat, (Y/n) mudah membenci orang.

"Yah, bisa dibilang begitu," jawab Oreki malas seraya mengalihkan tatapannya.

"Hebat sekali, Oreki-san suka jalan-jalan, ya?" tanya (Y/n) kemudian, jari-jarinya bertautan di belakang badan.

Mendengar pertanyaan (Y/n), Oreki kembali menoleh. Ia menatap gadis itu sejenak, lalu tersenyum lembut, tak mempedulikan (Y/n) yang sudah menimbulkan semburat merah tipis. "Shimizu-san, asal kau tau. Aku ini ...."

(Y/n) menutupi pipinya yang agak merona, menatap Oreki dengan pandangan bertanya sekaligus alis yang terangkat tinggi, mencoba menyembunyikan degup jantungnya yang semakin cepat.

"... Sangat menyukai pantai."

.
.

"Tadaima ...!"

"Okaerinasai~" Akita menghampiri (Y/n) yang tengah melepas sendal yang dipakai, mengambil alih belanjaan pada tangannya. "Kenapa lama sekali? Ibu menelponmu ternyata kau tidak membawa ponsel."

"Ehehe, maaf ibu, ponselku habis baterai." gadis itu menggaruk kepala belakangnya kikuk. "Lalu tadi aku bertemu dengan teman di jalan, dia juga yang membantuku membawa semua belanjaan ini."

Akita mengangguk-angguk sebagai tanggapan seraya bergumam, "Ahh, begitu ..., ya sudah, terimakasih sudah membantu ibu, ya." ia menoleh pada anaknya, mendapat anggukan dengan seulas senyum di bibir.

wanita itu melenggang pergi dengan tas belanjaan di kedua tangannya, berniat menyimpan pada tempatnya. (Y/n) mengekor dari belakang, mengikuti langkah ibunya yang menuju dapur.

Sementara Akita membereskan bahan-bahan makanan, (Y/n) mengambil gelas lalu mengisinya dengan air. Tindakannya untuk meminum air terhenti saat tiba-tiba ia termenung memandangi air yang bergelombang akibat gerakan yang ia buat.

Tatapannya tak teralihkan, bibirnya tak mengucap sepatah katapun meski beribu pertanyaan memasuki benaknya. (Y/n) menyimpan gelas itu di meja sedikit keras, hingga menimbulkan suara yang membuat Akita sedikit terkejut. "Ibu, aku sudah memutuskan."

"Eh? Apa?" Akita berbalik kaget, memiringkan kepala bingung.

Tatapan gadis itu terarah ke bawah, terlihat lesu. "Aku, aku akan berlibur ke pantai."

Mata Akita melebar dengan sempurna. Dengan cepat ia menghampiri (Y/n), menggenggam kedua pundaknya. "(Y/n)-chan apa yang kau pikirkan?! Sudah jelas ibu tidak akan mengizinkanmu!"

"Ibu, kumohon dengar dulu."

"Jika terjadi sesuatu padamu lagi bagaimana?!" Akita mengguncang tubuh (Y/n) kencang. "Ibu tidak ingin kau kenapa-kenapa." nada ucapan Akita semakin merendah, seolah memohon pada anaknya untuk tidak pergi.

(Y/n) melepas pegangan Akita terhadap pundaknya dengan perlahan, ia menatap Akita dengan tatapan penuh harap. "Ibu, aku mengerti kau khawatir, tapi aku tidak bisa begini terus."

Tatapannya beralih ke bawah, (Y/n) menggigit bibir bawahnya kuat saat tak sanggup melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya, jauh di dalam lubuk hatinya ia masih ragu, ragu akan keputusannya saat ini.

Apakah ini yang terbaik? Bagaimana jika ia gagal dan malah terluka, (Y/n) tidak ingin membuat Akita khawatir. Tapi jika ini tidak segera di lakukan, kekhawatiran Akita terhadapnya tidak akan pernah habis.

"Aku mohon, bu. Hanya aku yang merasakan ini, aku tidak ingin terkurung oleh kesendirian lebih lama lagi. Aku tidak bisa terus mengalah pada rasa takut yang tidak ada habisnya."

"Ibu, aku lelah, aku ingin mengakhirinya, aku ingin hidup normal tanpa rasa takut yang menghantuiku sepanjang waktu."

Pegangan tangan (Y/n) terhadap tangan Akita semakin erat, mencoba melampiaskan rasa ragu dan kegugupannya

Akita memiringkan kepalanya, mencoba menatap wajah (Y/n) yang tertunduk lemas. Ia tersenyum kecil, mengusap rambut anaknya pelan dan mengecup puncak kepala (Y/n). "Baiklah, jika itu yang terbaik bagimu."

Akita membawa tubuh (Y/n) ke dalam pelukannya, memeluknya erat dan menyalurkan rasa kasih sayang yang amat luar biasa. Tangannya kembali bergerak untuk mengusap punggung anak gadisnya itu.

"Ibu tidak berhak melarangmu, apalagi jika menyangkut kesehatan mentalmu, ibu akan mendukung (Y/n)-chan agar bisa terbebas dari ketakutan (Y/n)-chan, ya?" wanita itu melepas pelukannya, menangkupkan wajah (Y/n) dengan kedua telapak tangannya lalu tersenyum lembut.

(Y/n) membalas dengan senyuman manis, begitu senang karena Akita adalah ibu yang benar-benar mengerti akan dirinya. Akita kembali pada tempatnya, sementara gadis itu masih terdiam.

"Bersama siapa kau berangkat?" tanya Akita.

"Teman-temanku."

Akita mengangguk-angguk kecil, tersenyum tipis mengetahui (Y/n) sudah mengakui memiliki teman. "Apa ada yang ibu kenal?"

Gadis itu melihat ke sekitar, mendapati kursi dan menggesernya agar bisa duduk. "Oreki-san."

"Oreki? Dia yang waktu itu datang ke sini, kan?" Akita menoleh ke belakang, (Y/n) mengangguk sebagai tanggapan.

"Yah, kalau begitu ibu sedikit tenang, Oreki sepertinya anak yang baik, ibu bisa percaya padanya." wanita dewasa itu tersenyum senang, lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Tangannya menahan kepala agar tidak terjatuh, (Y/n) hanya diam seraya memperhatikan Akita yang merapikan belanjaannya tadi pada tempatnya. Sebenarnya ia ingin membantu, tapi malas, mohon dimaklumi.

Akita sudah selesai dengan pekerjaannya dalam beberapa menit kemudian. Wanita dewasa itu menghampiri anaknya, lalu duduk di hadapan, terpisah oleh meja panjang yang biasa dipakai untuk makan. "Kapan kau berangkat?"

"Umm, mungkin besok?"

"Wahh, mendadak sekali, ya?" Akita menengadahkan kepalanya, mencoba membuat skenario pendek dalam pikirannya.

Anggukan diberikan oleh (Y/n). Sejenak gadis itu termenung dengan tatapan kosong, bahkan gelas berisi airnya tidak berkurang sedikitpun. Pikirannya benar-benar penuh oleh kemungkinan-kemungkinan aneh.

Sesaat kemudian ia bangkit dari kursi, menatap Akita. "Ibu, aku ke kamar, ya? Aku mau istirahat."

.
.

Tubuh itu terkulai lemas pada kasur empuknya. Posisi tengkurap dengan kepala tersembunyi dibalik kedua tangan yang terlipat. Gadis itu menghembuskan nafas lelah, mengeluh tertahan.

Ia membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit ruangan dalam diam. Ia tak melakukan gerakan apapun selain dadanya yang naik turun oleh nafas yang masih dihirupnya.

Berbagai pikiran masuk dan membuat kepalanya sakit, ia memijatnya pelan dan tak henti-hentinya menghela nafas.

Ia mendudukkan dirinya di atas kasur sementara kakinya terjulur ke bawah. Sejenak gadis itu mengusap wajahnya dan menatap lemari dengan pandangan malas. "Apa siapkan barang-barangnya sekarang saja, ya? Bosan sekali."

(Y/n) bangkit dari tempat tidur dan menghampiri lemari pakaiannya. Lemari dua pintu itu dibuka, sejenak termenung seraya memegangi dagu sendiri. "Aku tidak punya baju," gumamnya memandangi pakaian yang bertumpuk saking banyaknya.

Kakinya melenggang pergi, mengambil sebuah tas punggung untuk membawa perlengkapannya. Yah, dia hanya berlibur satu atau dua hari, kan? Bukan pindah rumah, jadi bawa seperlunya saja.

Tas punggung itu disimpan di atas tempat tidur, (Y/n) kembali terdiam menatap pekerjaannya yang baru dimulai. "Ke pantai bawa apa saja, ya? Aku kan tidak pernah ke pantai."

Tatapan gadis itu menyapu ruangan yang menjadi tempatnya istirahat, ia terpaku pada benda persegi panjang yang tersimpan di atas nakas. "Ah, benar, aku searching saja."

(Y/n) bergegas meraih ponselnya, mulai bermain-main dengan benda elektronik itu dengan tatapan yang benar-benar fokus.

Ia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti setelah melihat deretan kata dari salah satu situs yang memberi tau perlengkapan yang perlu dibawa saat pergi ke pantai.

(Y/n) bergerak ke sana kemari memutari kamarnya, mencari barang-barang yang diperlukan. Tanpa sadar, ia menyiapkannya dengan seulas senyum tercetak pada bibir, ia tidak tau bahwa dirinya bersemangat untuk hal ini.

Saat tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas, gerakannya terhenti akibat alunan nada familiar yang memasuki pendengarannya.

Aiyayay I'm your little butterfly~

Tangan gadis itu beralih meraih ponsel, sedikit kesal karena ada yang menelponnya saat sibuk-sibuknya begini. Ia menatap benda itu sejenak dan melebarkan mata saat melihat nama 'Sultan Bego' pada layar ponselnya.

"Fukube-kun?"

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

18.9K 2.9K 10
|ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ| Di sini, di kota Paris yang indah nan cantik sepertimu, ku ceritakan kembali kisahmu dan kisahku, maukah kau mendengarkannya? Setidakn...
46.3K 5.7K 40
[COMPLETE] Aku bersumpah akan mengutuk Kepala Sekolah itu. Setelah mengirimku dinas ke tempat antah berantah, berani sekali ia menyetujui kepindahan...
36.4K 5.5K 16
"Bukankah membuka aplikasi tanpa melihat cerita buatanku itu sungguh hal yang membosankan? Kemarilah, buat sebuah imajinasi fana bersamaku." [Semua P...
19.4K 3.6K 9
[ Short Story ] Menurut (Y/n), Jay itu laki-laki paling unik yang pernah ia temui. . . . •> Characters belong to Park Taejoon. •> This story and OC i...