"Aduhh, capek banget."
Rea mendudukkan dirinya di kursi belajar yang ada di kamarnya setelah menaruh tas nya di atas meja. Kepalanya ia dongakkan di senderan kursi, merileks-kan tubuhnya di sana sebentar sebelum mandi.
"Oh iya," Rea menegakkan tubuhnya dan meraih tasnya, membuka resleting bagian paling depan untuk mencari keberadaan handphone-nya yang biasanya ia taruh di sana.
Keningnya berkerut samar ketika merasakan tangannya menyentuh benda yang asing. Buru-buru ia mengeluarkan handphone-nya dan menaruhnya di atas meja sebelum mengintip isi tas bagian itu lagi untuk mengecek apa yang tadi ia pegang.
Kerutan di keningnya semakin jelas saat matanya melihat sebuah kunci besi perak kecil di sana, tangannya mengambil kunci itu, mengeluarkannya dan beralih memegang kunci tersebut ke depan wajahnya.
Rea memperhatikan kunci tersebut dengan seksama. Itu kunci yang diberikan Nathan padanya setelah ia memutuskan cowok itu di hari kedua ia menjadi Rea. Pertanyaan yang kembali menghantui kepalanya, kunci apakah ini?
Jika itu kunci pintu jelas bukan. Dilihat dari ukuran kuncinya, pasti itu kunci untuk gembok yang kurang lebih berukuran 2 setengah sentimeter.
Ctingg
Suara notifikasi yang berasal dari handphone-nya mengalihkan perhatiannya. Ia melirik ke arah handphone-nya dan menemukan notifikasi dari aplikasi whats app yang menunjukkan dirinya mendapatkan pesan dari kontak bernama 'Nathan'.
Setelah memutuskan Nathan, malamnya Rea langsung menghapus seluruh foto dan riwayat chat dengan cowok itu, kemudian mengganti nama kontaknya menjadi lebih wajar. Ia selalu merinding membaca nama kontak cowok itu sebelumnya.
Terlihat bahwa Nathan tak hanya mengirimnya satu dua pesan. Karena penasaran ada apa gerangan Nathan menghubunginya lagi, Rea segera menaruh kunci perak itu ke dalam tasnya lagi, kemudian meraih handphone, membuka kuncinya, dan menekan notifikasi whats app setelah menggeser ke bawah layarnya.
Ia kira, Nathan yang tidak peduli tentang Rea benar-benar akan bertingkah seolah tak saling kenal setelah putus. Tapi, apa ini?
re
ayo ketemu
ada yg mau gue omongin
gausah sok cuekin gue
gue tau lo cuma pura"
nanti malem
di kafe biasanya
Rea mengerutkan keningnya tidak suka setelah membaca pesan-pesan dari Nathan. Bisa-bisanya cowok itu mengajaknya bertemu, padahal Rea yakin ketika mereka putus itu bisa dikatakan dengan cara tidak baik.
Lalu apalagi? Cowok itu menganggapnya pura-pura?
Pura-pura apanya? Ia benar-benar tidak peduli dengannya, jadi ya wajar kalau tidak menghiraukan cowok itu.
Rea heran, kenapa Agam dan Nathan ini sama-sama punya tingkat kepercayadirian yang di luar batas wajar manusia pada umumnya. Apa karena mereka tokoh dalam novel?
Bukannya meskipun mereka tokoh dalam novel, mereka tetap manusia? Apalagi ini di dunia novel, di dunia mereka sendiri.
Jari-jari Rea bergerak mengetik balasan untuk Nathan.
tunggu aja
sampe tengah malem
lo mau dateng tengah malem?
buset
ganteng ganteng dongo
gue tau gue ganteng
lo kangen gue kan?
jangan telat
"Dih ngatur," Rea mendelik menatap handphone-nya. "Gue tuh gak mau dateng. Dasar dongo!"
g
gk mau
gue tunggu
di kafe biasa
jam 8
re
rea
kok lo read aja si
"Ya terserah gue dong. Hape hape gue!" Rea lagi-lagi mendelik ke arah handphone-nya sebelum memilih keluar dari aplikasi berlogo warna hijau itu tanpa membalas pesan terakhir dari Nathan.
Rea memilih menaruh handphone-nya di atas meja dan berdiri. Tatapannya beralih ke arah pintu kaca yang ia tahu sebagai pintu menuju balkon. Ia melangkah mendekat ke arah pintu tersebut dan membukanya, memilih menikmati pemandangan dari balkon kamarnya sebelum benar-benar pergi mandi.
Rea melipat tangannya di atas pembatas balkon dengan tubuh sedikit membungkuk. Tatapannya menelurusi jalanan di depan gerbang rumahnya yang nampak beberapa mobil lewat dengan kecepatan rendah.
Wajah Rea yang awalnya santai menegang tiba-tiba ketika matanya menangkap penampakan salah satu mobil mewah berwarna hitam tengah melewati gerbang rumahnya.
Pikirannya tiba-tiba kembali pada kejadian saat ia mengalami kecelakaan pulang sekolah. Ia masih ingat rasa kebas di seluruh tubuhnya setelah badannya tertarik tasnya yang tersangkut pada spion mobil itu, terhantam badan mobil dan terpental saat mobil itu mengerem secara mendadak.
Bulu kuduknya meremang saat membayangkan bagaimana tubuhnya berakhir dengan darah mengalir di pinggir jalan, dengingan di telinganya, dan matanya yang menangkap bayangan kakaknya mendekat secara tidak jelas karena buram.
Apakah Ara telah mati?
"Argh!"
Brakk
Rea mundur secara tiba-tiba dengan kedua tangan menekan telinganya rapat-rapat hingga punggungnya menabrak jendela kaca kamarnya. Telinganya tiba-tiba berdenging hebat, sebelas dua belas dengan dengingan yang ia rasakan saat kecelakaan waktu itu.
Nafas Rea memburu karena panik dengingan itu tak kunjung hilang, bahkan makin kencang sampai-sampai membuatnya tidak bisa mendengar suara-suara di sekitarnya Ia merasa seperti hampir tuli.
Tubuhnya melorot ke bawah, membuatnya duduk dengan kedua lutut tertekuk di depan. Matanya mulai berair tidak kuasa menahan sakit di telinganya akibat dengingan itu.
Air matanya menetes. Bebarengan dengan dengingan di telinganya perlahan mereda hingga benar-benar hilang. Tangisannya semakin kencang karena lega saat telinganya bisa menangkap suara kendaraan yang lewat di jalananan sana.
Ia kira, ia akan tuli.
Ia kira, ia mendapat karma karena menyebut orang lain tuli tak hanya sekali.
Atau itu tadi memang karmanya karena menyebut orang lain tuli?
Ia harus merubah kebiasaannya menyebut orang lain tuli.
Ia takut terkena karma seperti ini lagi dan menjadi benar-benar tuli.
••••
Rea makan malam bersama Mama dan Papanya di ruang makan dalam keadaan hening. Entah kenapa, ia masih merasa canggung bila harus berhadapan dengan kedua orang tua Rea.
Setiap makan malam bersama, Rea selalu langsung kembali ke kamarnya begitu selesai. Tidak pernah berbicara apapun jika tidak ditanya duluan, seperti sekarang.
"Uang jajanmu masih?" Rea mendongak menatap Mamanya yang juga menatap ke arahnya setelah menyuapkan makanan ke mulutnya. Rea mengangguk.
"Masih kok, Ma," jawab Rea seadanya, lalu kembali menyendokkan makanannya.
"Oh ya, Rea. Kata Mamamu, kamu akhir-akhir ini suka baca novel. Mau Papa beliin novel? Atau ada novel yang mau kamu beli?" Agung menatap anak tirinya dengan tersenyum. Rea menatap balik, tersenyum juga meski tipis.
"Kalo Rea beli sendiri aja, gimana Pa?" balas Rea sedikit tidak enak, takut jika jawabannya menyinggung hati Ayah Tiri Rea.
"Boleh, nanti Papa transfer uangnya ke rekening kamu," Agung menjawab dengan senyuman lebih lebar, kemudian melanjutkan makannya. Widya yang melihat suaminya senang ikutan tersenyum. Lega ketika anaknya tidak menolak lagi tawaran dari suaminya seperti biasa.
Rea mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban.
"Oh iya, sekolah kamu gimana?" Agung kembali bertanya sambil melirik Rea. Gadis itu mendongak, menoleh menatap Agung yang duduk di sisi meja lain selayaknya kepala keluarga. Rea menaikkan kedua alisnya, tersenyum dengan sebagian bibir dikulum.
"Lancar kok, Pa. Papa gimana pekerjaannya?" Rea menjawab sambil melemparkan pertanyaan basa-basi balik sebagai bentuk sopan santun.
"Lancar kok. Kakek kamu juga puas sama perkembangannya," Rea mengangguk pelan meski sedikit bingung dengan jawaban yang terasa ganjil untuknya.
Agung dan Widya saling melempar senyum. Agung senang karena Rea nampaknya sudah mulai membuka diri untuknya. Selama ini, Agung selalu mendapatkan jawaban singkat bernada ketus ketika mengajak bicara anak tirinya itu. Jadi ia sangat senang dan bersyukur mendapatkan jawaban bernada lembut dari Rea.
Widya juga lega mendapati anaknya yang tak lagi dingin pada mereka berdua. Biasanya, Rea akan menolak mentah-mentah tawaran Agung dan menjawab pertanyaan Agung dengan kalimat 'Urus saja urusan Anda sendiri,' yang tentunya membuat Agung seringkali murung setelahnya.
Ia selalu meminta suaminya itu untuk bersabar menghadapi Rea. Dan selalu berdoa agar anaknya itu menerima kehadiran Agung sebagai Ayah Tirinya. Ia juga selalu membayangkan harmonisnya keluarga mereka jika saja Rea mampu membuka hatinya sedikit untuk menerima Agung. Ia tidak menyangka, jika doanya terkabul dan waktu yang ia bayangkan benar terjadi saat ini.
Berbeda dengan sepasang suami istri itu, Rea diam menikmati makanannya tapi pikirannya terus memutar jawaban yang keluar dari mulut Papanya.
Memangnya apa hubungan lancar tidaknya perusahaan dengan kakek Rea?
Ia merutuki penulis novel ini karena benar-benar hanya memberikan secuil informasi mengenai Rea.
Tapi, apa yang ia harapkan? Lagi-lagi kenyataan bahwa Rea hanya tokoh figuran di dalam novel ini menyadarkannya untuk mencari informasi mengenai kehidupan Rea lebih jauh sendiri jika memang mau.
To be continue...
•••••
makasih buat vote dan komen kalian. lusi terhibur bgt bacanya🤣
bisa-bisanya ada yg minta crazy up😭
tapi gapapa, ntar klo part selanjutnya selesai di ketik malam ini, lusi bakal double up. klo belom selesai ya enggak🤣
see u next chap❤