Sunshine and You

By tamaraangelica

14 13 9

[1/1] Gadis itu selalu datang sendirian tiap pagi. Tapi tidak hari ini. Β©2021 by tamaraangelica More

🌻 Sunshine and You 🌻

14 13 9
By tamaraangelica

Mentari merayap naik di ufuk timur. Gadis bersurai keemasan itu membuka pagar kayu bercat putih. Gaun kremnya mengelus lembut pucuk mahkota kami. Namanya Kanagara. Ibu Nyonya menamainya setelah kami. Ya, sekawanan kanagara; bunga matahari. Itulah aku dan teman-temanku. Oh iya, aku Esa, yang pertama mekar disini.

Kana selalu datang sendiri kesini setiap pagi. Tangan kecilnya telaten membersihkan kami dari hama dan gulma yang membuat gatal sekujur kulit kami. Apabila dilihatnya sudah terlalu banyak tangkai kecil di tubuhku, pasti ia siangi. Sesekali memetik beberapa dari kami jika ada konsumen yang memesan buket bunga matahari segar primadona florist Ibu Nyonya di kota sana.

Dia selalu bilang, "Tersenyumlah, sebentar lagi kalian akan mencerahkan hari seseorang!"

"Selamat pagi, Kana," sapaku saat ia berjongkok tepat di depanku --yah, walaupun ia tidak akan mendengarku, sih--.

Ia asyik menyiangi rumput-rumput kurang ajar di sekelilingku lalu memperbaiki pita merah bercoret spidol hitam tebal-tebal 'Esa' yang diikatkannya di tangkaiku.

"Untung aku sudah memesanmu untuk seumur hidup, jadi tidak akan ada yang boleh memisahkan kita," candanya kala itu.

Kana selalu datang sendiri kesini tiap pagi, tapi tidak hari ini.

Lihatlah laki-laki berkemeja flanel yang bersamanya itu. Harus aku akui dia tampan, kelihatannya beberapa tahun lebih tua dari Kana. Tapi bukan itu poinnya. Maksudku, sejak kapan Kana mengajak 'orang luar' kesini? Apalagi saat kunjungan wajibnya?

"Bara, lihat sini deh!" seru Kana seraya berlari ke arahku.

"Jangan lari-lari, Kana. Nanti jatuh."

Gadis itu menggaruk tengkuknya --yang aku yakin sedang tidak gatal-- kemudian memainkan ujung gaun krem kesukaannya.

Ditunjuknya aku dengan bangga, "Kenalin ini Esa. Dia bunga pertama yang aku rawat dari masih bibit, lho."

"Wah, hebatnya Kana-ku," Bara mengusap pucuk kepala Kana, "Nggak salah kalo Bibi dan Paman percayain kebun ini ke kamu."

"Bara! Rambut aku!"

Entah ini perasaanku saja atau aku memang melihat wajah Bara sedikit murung sebelum ia ikut larut dalam tawa Kana.

Aku dapat merasakannya: Bara orang baik. Buktinya Kana ternyata dekat dan nyaman sekali bersamanya --dengan begitu terbukti bahwa setangkai bunga di kebun tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pemiliknya di luar sana--.

Tapi … agaknya ada yang tidak beres.

Kalau kalian bertanya-tanya kenapa aku mulai mencurigainya, akan kuceritakan awal mulanya.

Fajar tadi Ibu Nyonya datang kemari untuk mengambil sendiri teman-teman yang beruntung hari ini. Maklum, ia tidak mempercayai pegawai untuk kebun kanagaranya. Kebun lainnya berada di kota dan dijalankan oleh pegawai. Kalau tidak salah, itu pun kebun milik bersama dengan rekan bisnisnya dari kota. Hanya itu yang kutahu. Agaknya ia sedang diburu waktu sampai-sampai tidak langsung membangunkan anak gadis semata wayangnya.

Ketika hari sepertiga berlalu, delman langganannya langsung tancap gas menuju kota. Tentunya setelah sekilas pamit kepada Kana dan Bibi Claire yang baru saja datang untuk menjaga Kana di sini.

Biasanya Kana akan langsung kesini, tapi sosok yang tiba-tiba berdiri di pintu belakang rumah sepertinya lebih menarik dari kami. Kentara sekali Bibi Claire tidak menyukai si tamu. Walaupun terlihat Bibi Claire enggan mengizinkan Bara ikut kesini, toh, akhirnya ia luluh juga.

"Bibi ini kenapa, sih. Kan, Bara cuma mau lihat-lihat. Lagian Bara itu calon pemilik kebun ini juga, tau!" Gadis tujuh belas tahun itu berujar dengan riang.

Tunggu. Calon pemilik?!

Dan itu menjadi kali pertama aku melihat Bibi Claire memandang 'rumah' kami dengan cemas.

Kembali ke waktu sekarang.

Bara mendadak diam seribu bahasa. Kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana.

"Kana, aku mau bicara penting sama kamu."

"Ya, udah. Kenapa? Bilang aja, " sahutnya santai.

"Aku serius, Na," Bara menghembuskan napas dalam, "Kita kan udah tumbuh bersama dari kecil, sekolah di tempat yang sama, bahkan menghabiskan banyak waktu bersama di desa ini."

"Terus?"

"Aku mau kita pindah ke kota bersama."

"Seperti penduduk desa lainnya? Bagaimana dengan kebun ini, Bar?"

"Kita bisa adakan yang baru bersama nanti. Aku yakin ayahku tidak akan keberatan kalau kau, bibi, dan ibumu tinggal di salah satu rumah kami disana."

Kana menyibukkan diri dengan memetik daun-daun yang kering.

"Aku baik-baik saja disini, Bar. Kalaupun memang kau menetap di kota untuk mengejar pendidikanmu, tidak masalah. Kau tinggal ingat untuk mengunjungi atau menelponku, kan? Lalu kenapa?"

"Karena … l- lebih baik begitu, Na. Aku tidak tau apakah bisa sering-sering kesini lagi dan aku pasti akan sering merindukanmu. Gimana? Kau mau, kan, kekasihku?" Goda Bara.

Kana tidak pernah cerita.

Dan lagi, aku memang tidak tahu apapun tentangnya seperti ia tahu tentangku. Bukankah itu sungguh tidak adil?

"Aku … "

Bara tepat di belakang Kana saat gadis itu berbalik menuju pintu pagar kebun.

" … tidak bisa, Bara. Mana mungkin, kan?"

—🌻🌻🌻—

Sampai dua hari berikutnya, Kana tidak datang. Mungkin ia masih kelewat kesal akibat ajakan Bara?

Hari ketiga, Kana datang bersama dua-tiga orang yang tidak aku kenali. Di depan pagar putih yang tidak terkunci itu, Ibu Nyonya, Bibi Claire, Bara, dan Paman Brad --kepala desa sekaligus bapaknya Bara-- juga ikut berkumpul. Gadis kesayanganku histeris memohon pada seorang pria berkumis untuk pergi. Tapi pria itu malah membentaknya.

"Seluruh petak tanah di desa ini sudah kami beli. Kenapa kami yang harus pergi, hah?!"

"Kami tidak tau apa-apa, Tuan. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Aku mohon, tidak apa kalaupun aku harus menyicilnya. Soalnya hanya ini yang tersisa dari mendiang suamiku," lirih Ibu Nyonya.

"Orang-orang desa seperti kalian memang tidak bisa diajak kerja sama. Kau pikir kami ini siapa? Kami ini rentenir! KAMI. TIDAK. PEDULI. DENGAN. OMONG. KOSONG. KAU CAMKAN ITU BAIK-BAIK!" gertak si berkumis sembari mendorong Ibu Nyonya sebelum menyilangkan tangan angkuh.

Bibi Claire membantu Ibu Nyonya berdiri, "Bajingan kau, Brad. Bukankah sudah kami bilang kami tidak berniat pergi seperti yang lain?"

"Ini hanya soal waktu, Claire. Sudah bagus kuberi kesempatan supaya Bara bisa mengajak kalian dengan cara baik-baik. Pastinya semua akan selesai dengan lebih mudah dan cepat."

"Tapi Bara tidak pernah bilang soal menjual tanah, Paman. Kami pun tidak pernah diberitahu alasan semua penduduk desa minggat. Bukankah itu menipu?" Kana angkat bicara.

"Kuakui itu benar, Nak. Kalau saja kau tidak keras kepala dan lebih mudah berkompromi, aku yakin sekarang tanah terakhir ini sudah terjual juga dan aku sudah mendapat sisa penjualannya. Semuanya damai."

"Ayah! Ini bukan salah Kana! Salahmu sendiri membeli tanah investasi abal-abal itu. Aku membujuknya karena kau bilang mau mengijinkannya tinggal di rumah peninggalan kakek di kota. Tidak seharusnya dia mengalami ini, begitu juga penduduk lainnya."

"Diam, Bara. Lancang kau membuka aib orang yang membesarkanmu susah payah selama dua puluh tiga tahun! Kau kira mudah?"

Si lintah darat berdehem kasar.

"Aku beri kalian sedikit waktu untuk berkemas dan meninggalkan tempat ini."

Kepala desa dan anaknya hanya bergeming. Kana mendekati kekasihnya.

"Kenapa kau nggak jujur saja, Bar? Kau tau apa yang kau lakukan ini salah, kan? Menjual seisi desa demi kepentingan kalian sendiri? Hina sekali." Kana memukul lemah dada bidang Bara.

"Soalnya … kalaupun aku bilang … kau pasti akan marah padaku, kan?"

"Tentu saja! Kau sendiri tau betapa berharganya tan–"

"AKU TAU! Karena itulah … "

"Bara …."

"Karena itulah, Kana. Ikutlah denganku. Ini permohonan maafku. Aku sendiri … tidak punya pilihan lain," Laki-laki berkemeja flanel itu menggenggam kepalan tangan Kana erat-erat.

"Bara bodoh."

Bibi Claire memincing sinis pada si kepala desa, "Keterlaluan. Kau lihat apa yang sudah kau perbuat, Brad! Tega sekali kau. Lalu … "

"Aku telah kehilangan semuanya, Claire. Mau tidak mau harus ada yang kukorbankan. Habisnya, aku sudah terlanjur berhutang pada mereka!" sahutnya frustasi.

"Tapi … seisi desa? Dengan begitu, kau sebut dirimu pemimpin? Enyahlah, Brad."

"Ikuti saja kata Bara, Claire. Dengan semua uang ini aku masih bisa menyewakan rumah kecil untuk kalian."

Ibu Nyonya terkekeh miris, "Kau bohong padanya, Brad. Kau bilang masih punya tempat tinggal di kota. Kenyataannya?"

"CUKUP! Kesabaranku sudah habis melihat drama kalian. Buang-buang waktu saja. Nyonya, kau masih menginginkannya karena hanya ini yang kau punya, kan?"

Seorang sekongkol si rentenir mendengus mencemooh, "Baiklah. Kurasa aku harus mempercepat proses ini. Bukankah begitu, Brad?"

Mereka masuk ke tengah 'rumah' kami. Jemari si teman sibuk berkutat dengan alat mini berisi cairan entah apa yang barusan ia keluarkan dari saku jaket.

"Sekarang kita lihat apa kalian masih mau melihatnya lagi."

Kelanjutannya cukup tragis. Di bawah sinar mentari yang keemasan, kami meronta. Secepat sambaran kilat cahaya silau itu menidurkan satu per satu anggota keluarga kami.

Tidak sampai lima meter lagi. Mungkin tinggal tiga meter?

"Padahal Kana sudah janji pada ayah dan Esa, Kana tidak akan meninggalkan kebun ini. Ayo, bunda ikut! Kana harus minta maaf langsung pada ayah!" raungnya kekanakan pada Ibu Nyonya seraya berupaya menerobos masuk.

Yang diajak bicara menatap kosong, dipapah menjauh oleh Bibi Claire.

"Udah, Na. Kita pergi, ya?"

"Pergi? Nggak! Kemana? Ini kan rumahku, Bar," rengek putri semata wayang Ibu Nyonya saat semua manusia disana menariknya menjauh dari area kebun.

"Kita pikirin itu nanti."

Dasar, apa anak itu sudah hilang akal?

Label merah yang dikalungkan Kana padaku lepas begitu saja di momen pita-pita merah menyala itu mulai memelukku.

Lalu aku, Esa, …

mulai menari bersamanya.

"Terima kasih, Kanagara. Sudah. Jangan menangis lagi, ok?"

Aku bahagia, kok. Habisnya, ini menakjubkan. Tubuhku terasa begitu …

… ringan?

Mataku tidak lagi menemukan Kana. Apa ia masih disana, ya?

"Pokoknya, Kana benci Bara!"

"Kuberi kesempatan terakhir. Kemasi barang-barang kalian dari sini atau rumah ini pun akan berakhir sama!"

"E- Esa!"

Ah, itu dia. Bukan hanya Kana tapi mereka semua masih disana. 

Kutebak sekarang Bara sedang mendekap surai keemasan Kana sembari terus menuntunnya menjauh, melarang sang kekasih melanjutkan niatan impulsifnya.

"Bara jahat!"

Meski semakin samar, aku masih sempat mendengar suara bariton --yang baru mulai kudengar belakangan ini-- menyahut menenangkan. Entah apa yang dikatakannya, aku tidak begitu menyimak lagi.

Hangat.

Hangat sekali, malah.

Namanya Kana. Gadis itu selalu datang kesini tiap cahaya mentari menyapa kami.

Kana selalu datang kesini sendiri dan seharusnya begitu saja terus.

Kana selalu datang sendiri kesini tiap pagi t-…

… t- tapi tidak ha–

--
Haihai~
Author (dengan segudang ide yang tidak kunjung ditulis) kembali dengan sebuah cerpen sederhana bergenre drama ini. Mungkin biasa saja tapi hopefully you guys enjoy it. Boleh tinggalkan pendapat dan bintangnya bila berkenan.

Cek juga karya-karyaku yang lain, ya!

Makasih sudah membaca dan pesankan aku sebuket kanagara, dong :)

- Palembang, 25 Juni 2021

Continue Reading

You'll Also Like

801K 23.1K 62
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
317K 9.4K 64
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
9.8M 882K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
383K 1.4K 3
Warning! 21+ Fantasi belaka Bocil minggir! Ga suka? Skip!