FAR

By SyifaZali

118K 18.7K 1.6K

Mungkin beginilah rasanya menjadi istri yang tak diinginkan. Menjadi pasangan yang tidak pernah didamba. Aku... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Epilog
Free Chapter 🙊
INFOO

Chapter 17

2.1K 421 30
By SyifaZali

Pertanyaan Aufar
----

Hujan sedikit reda, aku langsung menancapkan gas lebih kencang. Berlama-lama saat hujan memang tidak baik. Tapi berlama-lama dirumah itu juga tidak baik.

Setelah 15 menit, aku sampai didepan gerbang hitam rumah besar itu. "Untung mbak bawa mantel. Tapi tetep basah mbak, ya Allah. Masuk-masuk." Pak satpam itu menyambutku.

Aku memang tidak memakai helm. Kerudungku basah kuyup karena kupluk jas hujan itu berkali-kali terbang terkena angin. Kubiarkan saja kerudungku basah kuyup daripada harus bertengkar dengan angin.

"Hehe, makasih,pak. Dingin lho, masuk pak."

"Masuk kemana, mbak? Ini kan tempat saya, sebentar lagi juga pulang, gantian shift." Tolak pak satpam itu ramah. Sepertinya memang belum pernah ada yang mengajaknya masuk.

"Ayo pak. Kita minum teh bareng. Kebetulan saya gak punya temen nge teh." Alibiku. Aku tau pak satpam itu kedinginan. Bajunya hanya sampai atas siku, itu pun sebagian sudah basah terkena air hujan.

Pak satpam yang bernama pak Odap itu mengikutiku. Pak Odap memang tidak muda, namun, ia juga tidak terlalu tua. Diusianya yang masih 30 an, dia sudah harus mengabdi dirumah ini.

"Bapak tunggu disini, ya. Saya mau ganti baju dulu." Aku melepas mantelku. Lalu kujemur diluar, meskipun masih hujan, kubiarkan saja mantel itu kehujanan, toh tidak akan rusak.

Pak Odap menggosok-gosokkan tangannya.

"Bi Suni, bisa minta tolong? Tolong buatin teh hangat 3 ya." Pintaku melihat bi Suni yang sedang bermain ponsel di dapur.

"Ada tamu non?" Aku menggeleng lalu tersenyum tipis. Padahal sudah kukatakan berkali-kali untuk tidak memanggilku non. Tapi, Ya sudahlah.

"3, satu buat pak Odap, satu buat bi Suni, satu lagi buat saya. Hehe." Jawabku. Bi Suni sedikit terkejut mendengarnya.

"Minta tolong, ya bi. Karena saya harus ganti baju. Dingin,-"

"Iyaa, eh, non dari mana?? Kok bisa basah gitu?" Aku tersenyum tipis. Terdengar Suara derapan langkah seseorang turun dari tangga.

"Dari mana Lo?" Aku mendongak. Aufar dengan Hoodie hitam dan celana trainingnya sedang berdiri tepat di hadapanku.

"Saya duluan, ya bi Suni. Minta tolong cepat dibuat tehnya. Pak Odap sudah menunggu." Pintaku lalu menundukkan kepalaku. Berjalan melalui Aufar tanpa menjawab pertanyaannya.

Aku tahu seorang istri memang harus izin kepada suami ketika ingin keluar. Namun, bisakah Aufar disebut suami jika sikapnya saja tidak memanusiakanku. Aku menghela nafas lalu segera mengganti bajuku dengan Hoodie pink dan celana panjang.

Segera aku keluar kamar dan menuruni tangga. Pria berhoodie hitam itu masih belum berpindah tempat sejak tadi. Aku berjalan melewatinya.

"Lo belom jawab pertanyaan gue!" Nadanya tetap sama, berteriak. Mungkin memang dia hobi berteriak didepanku. Aku mengangguk kecil.

"Sekarang aku mau minum teh bareng pak Odap sama bi Suni. Kalau mau ikut, ayok. Kalau enggak, yaudah dikamar aja. Aku lagi gak ada mood untuk mendengarkan segala perkataanmu yang menyakiti hati." Jelasku, wajahnya nampak terkejut. Aku menundukkan wajahku lalu berjalan menuju ruang tamu.

Pria jangkung itu berjalan dibelakangku. Aku sedikit terkejut dia malah tidak membalikkan badan menuju kamar.
"Maaf, pak Odap, nunggu lama, ya?" Kalimat pertama yang aku lontarkan ketika aku sudah duduk di kursi ruang tamu.

Bi Suni dan pak Odap tersenyum lalu menggeleng. "Maaf, ya. Yuk diminum tehnya." Mereka mengangguk hampir berbarengan.

"Oiya, tadi aku ke tempat yang sering bi Suni cerita itu. Ke taman ujung jalan." Ceritaku pada bi Suni. "Kenapa gak ngajak saya, non? Saya juga pengen kesana jadinya." Bi Suni mencomot satu gorengan.

Selain membuat teh, rupanya bi suni juga sudah membuat gorengan. "Gue gak dibikinin teh?" Aufar bersuara setelah hanya diam saja sedari tadi. Aku yang sedang meneguk teh hangat itu menoleh ke arahnya.

"Saya bikinin dulu-"

"Eh, gak usah, bi. Biar saya aja. Bi Suni sama pak Odap disini aja." Perintahku membuat Bi Suni mengangguk. Aufar hanya melirikku. Aku segera menuju dapur lalu membuatkan teh hangat untuknya.

Dasar manja! Padahal, membuat teh sangat mudah. Satu gelas teh hangat telah siap. Kubawa gelas berisi teh hangat itu keruang tamu.

"Itu buat Lo aja. Gue takut Lo kasih campuran air ludah Lo." Ujar Aufar setelah aku menyodorkan gelas itu. Tadinya, memang aku berencana begitu. Aku menghela nafas.

"Yaudah kamu buat sendiri." Sungutku kesal. Sabar, Maida. Sabar.

"Gua minum ini." Dia mengambil gelas milikku yang tadi sudah kuminum. "Eh, itu kan-" dia meneguknya hingga tersisa setengah gelas. Dia ini haus, atau memang pecinta teh?. Gelas diletakkan kembali di meja.

"Gue duluan." Dia melangkahkan kaki menuju tangga, lalu menaikinya. Aku menghela nafas berat, lalu melihat bi suni dan pak Odap yang sedang senyum-senyum.

"Eh, kenapa pak? Bi?" Tanyaku lalu meneguk teh hangat yang tadi aku buat.

"Lucu aja neng. Bos Aufar tu gak pernah mau makan atau minum bareng kita. Tapi cuma neng Maida lho yang bisa bikin dia duduk disini." Pak Odap tertawa. "Iya, non. Saya aja kaget tadi bos Aufar mau duduk disini." Tambah bi Suni.

Aku tertawa, "Pak Odap sama bi Suni ini berlebihan." Mereka lalu menyeruput tehnya. Aku meminta mereka bercerita perihal suka dan duka selama mereka bekerja dirumah ini.

****

Aku bangun tepat pukul setengah 3 pagi. Musim penghujan memang membuat cuaca menjadi sangat dingin. Aku menuju kamar mandi untuk berwudhu. Setelah itu kugelar sajadah merahku didekat kasur.

Aku menatap pintu kamar rahasia milik Aufar, dia pasti masih tertidur. Saat tadi setelah meminum teh bersama aku memasuki kamar, dia sudah tidak keluar dari kamar itu.

Aku segera melaksanakan sholat dua rakaatku. Kata Abi, sholat malam adalah tanda ketaqwaan seorang hamba. Karena pada sholat itulah, seorang hamba diuji, dia akan meneruskan tidurnya, atau bangun untuk melaksanakan ibadah?

Saat malam itu juga, tidak ada seorang pun yang melihat. So, kita tidak akan memiliki rasa ingin pamer saat sholat malam. Karena itulah, Abi berkata bahwa sholat ini adalah tanda dari ketaqwaan seseorang.

Aku mengambil mushaf untuk melanjutkan tadarusku. Karena besok adalah hari Jum'at, kuputuskan membaca Al-Kahfi. Aku pernah membaca sebuah hadist bahwa, barang siapa yang membaca surah Al-Kahfi pada hari atau malam Jum'at, maka Allah akan menjaganya dari Jum'at ke Jum'at yang akan datang.

Sampai di ayat 109 yang memiliki arti, Katakanlah (Muhammad), "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."

Aku selalu mentaddaburi ayat itu. Ayat itu memiliki makna yang sangat dalam. Bahwa ilmu Allah itu tidak akan pernah habis meskipun laut habis lalu ditambah air sebanyak laut tadi. Bagaimana kita bisa menyombongkan ilmu yang kita miliki, padahal, jelas-jelas tidak ada apa-apanya dibanding ilmu Allah.

Ceklek

Pintu itu terbuka. Pria berbaju putih itu keluar lalu menuju kamar mandi. Entah dia tidak melihatku, atau hanya berpura-pura. Aku melanjutkan bacaan untuk menyelesaikan surah Al-Kahfi.

Pria itu ternyata mencuci wajahnya. Setelah itu dia duduk di atas kasur. Aku hanya meliriknya sekilas lalu menutup mushafku. Ku ucapkan doa penutup setelah membaca Al-Qur'an.

"Lo selalu ngelakuin ini tiap malem?" Aku menoleh, matanya menatap lurus kedepan, tatapannya kosong. Aku tetap duduk diatas sajadah dengan mukena putihku.

"InsyaAllah." Jawabku singkat.

"Apa nama gue ada di salah satu do'a Lo?" Pertanyaan macam apa yang dia utarakan. Aku terdiam.

"Iya, ada." Jawabku akhirnya. Dia mengangguk-angguk.

"Lo yakin Tuhan Lo bakal ngabulin?" Aku menatap Aufar, lalu mengerutkan kening. Mengapa sangat sulit memahaminya.

"Bukankah sebelum kita berdoa, kita harus yakin dulu. Gimana Allah mau mengabulkan, kalau kita sendiri gak yakin?" Pria itu tersenyum tipis.

"Gimana Lo bisa yakin sama sesuatu yang tidak terlihat?" Sebenarnya, aku dan dia itu sama-sama bertuhan pada Tuhan yang sama atau tidak, sih? Mengapa pertanyaannya sungguh menyeleweng.

"Karena ada rasa iman. Rasa percaya. Aku percaya Allah itu ada, walaupun aku sendiri tidak pernah melihatnya. Selama Allah mendengarku, Aku tidak akan berhenti berharap." Aku menghela nafas berat.

"Udah nanya-nanya nya? Aku mau tidur lagi sebelum shubuh." Kataku lalu mengambil bantal yang ada di sampingnya. Dia menatapku dengan alis bertaut.

"Lo mau tidur mana?" Aku menunjuk sajadah. Tidur diatas sajadah adalah tidur ternyaman yang pernah aku rasakan. Pria itu mengangguk lalu merebahkan dirinya diatas kasur itu.

Aku sungguh tidak tahu bagaimana memahami Aufar. Gerak-geriknya sungguh misterius, pertanyaan-pertanyaan nya pun selalu mengejutkan. Masa lalunya juga ia pendam rapat-rapat.

Aku meletakkan bantal diatas sajadah. Lalu merebahkan badanku. Sambil kulafalkan istighfar, aku memejamkan mataku.

***

Adzan shubuh berkumandang, aku membuka mataku perlahan. Aku membelalakkan mata melihat Aufar tidur dihadapanku, memakai sajadah hijau milikku dengan bantal yang dia letakkan disebelah bantalku.

Dia masih memejamkan matanya. Aku sangat bingung dengan keadaan ini. Apa dia memiliki kepribadian ganda? Tiba-tiba dia mengajakku bicara dengan nada biasa, namun, dia sering sekali mencaci-makiku.

Aku menghela nafas lalu melepas mukenaku, menggantinya dengan kerudung selop. Aku masih belum berani membuka kerudungku didepannya. Rasanya aneh saja.

Aku segera menuju kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu, aku megambil selimut lalu memakaikannya di tubuh Aufar. Aku sangat ingn membangunkannya, namun, aku tidak memiliki nyali sebesar itu.

Setelah mengganti jilbabku dengan mukena, Aku segera membawa sajadah itu ke mushola.

"Eh, bi Suni. Mau sholat shubuh berjamaah?" Tanyaku melihat bi Suni yang baru selesai berwudhu. Bi Suni menatapku lama.

"Mau, non. Ya Allah, udah lama banget mushola ini sepi." Matanya berkaca-kaca.

"Makanya kita ramaikan. Ayo, sholat. Bi Suni jdi imam?" Tawarku lalu memakai mukena putihku. Bi Suni menggeleng, "Ilmu saya masih dikit, non. Non aja deh." Tolak Bi Suni.

Aku mengangguk, "Sholat Sunnah dulu ya, bi." Anakku yang membuatnya mengangguk. Setelah kami sholat Sunnah akupun lalu mengimami sholat shubuh. Ini adalah hari pertamaku melakukan sholat shubuh berdua dengan seseorang. Namun seseorang itu bukan Aufar.

Meski hanya dikerjakan dua rakaat saja, namun sholat sunah tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar. Sebab sholat tersebut lebih baik dari dunia dan seisinya. Seperti yang disebutkan dalam Hadist Riwayat Muslim, “Dua raka'at fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.”

Aku menyalimi tangan Bi Suni setelah selesai mengimaminya. Setelah berdzikir selama setengah jam, akupun melepas mukenaku mengganti dengan kerudung selop. Bi Suni juga melepas mukenanya, namun, bi Suni memang tidak menggunakan jilbab.

"Bi Suni gak kangen sama keluarga?" Tanyaku hati-hati. Wanita paruh baya seperti bi Suni tidak mungkin masih single. Meskipun, ia tidak pernah bercerita apapun kepadaku.

Wanita itu tersenyum, "kalau saya pulang, biaya sekolah anak saya gimana?" Dia malah bertanya balik. Selama aku tinggal dirumah ini, bi Suni selalu menginap dirumah ini.

"Anak bi Suni umur berapa?" Tanyaku lagi. Memang tidak baik bertanya tentang privat life begini, namun, ini adalah satu-satunya cara untuk dekat dengan orang-orang yang berada dirumah ini.

Selama tinggal disini, aku merasa sendirian karena tidak ada yang bisa diajak untuk mengobrol.

"Saya punya anak 2. Yang satu kuliah sambil kerja. Satunya lagi Masih kelas 2 SMP." Aku mengangguk-angguk. "Suami?" Aku bertanya dengan sangat hati-hati.

"Suami saya meninggal 5 tahun lalu karena sebuah kecelakaan bus." Aku menatap matanya. Ada segurat kesedihan yang ia tampakkan.

"Innalilahi, maaf ya bi." Bi Suni tersenyum lalu menggeleng. "Tidak apa-apa, non. Jarang-jarang ada majikan yang mau ngajak ngobrol pembantunya." Aku tertawa.

"Oh iya, sebentar lagi bukannya libur semesteran ya?" Aku mengingat-ingat tanggal. Bi Suni mengangguk, lalu raut wajahnya berubah sedih.

"Saya suka sedih kalau liburan semester. Saya gak pernah bisa ngajak dia jalan-jalan. Rumah saya jaraknya sangat jauh, harus menggunakan kereta jika mau pulang." Aku tersenyum lalu memegang bahu bi Suni.

"Bi Suni pulang aja. Nanti kerjaan rumah saya yang ngurus. Dan gak akan ada potongan gaji." Aku tersenyum menatap bi Suni. Matanya langsung berbinar-binar.

"Serius, non?"

"Dua rius." Aku mengacungkan kedua jariku untuk menandakan bahwa aku serius mengatakannya.

"Ya Allah, makasih banyak ya, non. MasyaAllah. Bos Aufar memang gak salah milih non Maida. Saya terharu, non." Bi Suni berkaca-kaca lalu memegang tanganku.

"Kalau bi Suni terus yang ngerjain semua pekerjaan rumah, gelar istri untuk saya seakan tidak berguna. Jadi, saya yang harus melayani bos Aufar." Ujarku. Bi Suni mengangguk semangat.

"Yaudah, Bi Suni kalau lelah jangan dipaksa kerja, ya." Peringatku membuat Bi Suni mengangguk. Aku berjalan meninggalkan bi Suni yang masih melipat mukenanya.

"Eh?" Langkahku terhenti melihat Aufar sedang duduk di tangga sendirian. Wajahnya seperti memikirkan sesuatu yang berat. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, namun, aku sungguh ingin bisa mengerti perasaannya.

"Gak dingin?" Tanyaku ketika jarakku dengannya sudah dekat. Pria itu belum menoleh ke arahku. Aku menghela nafas lalu melangkah berniat menaiki tangga.

"Ternyata kesepian lebih menyakitkan daripada kedinginan." Aku menoleh kearahnya yang sama sekali belum meruba posisinya. Dia masih menunduk. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana. Aufar sungguh manusia yang sulit ditebak.

***

ALHAMDULILLAH BISA UP HARI INI!

SEMOGA SUKAAAA! AAMIIN AAMIIN..

Btw, Aufar kenapa, sih? Gemes. Wkwk

Makasih buat yang udah bacaaaa! Sehat-sehat kalian!

Jazakillah Khoir 🥰

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 279K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
565K 43.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
319K 19K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...