The Thing Between Us

By Janeloui22

50K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[6] Scattered Heart

2K 205 77
By Janeloui22

Sebenernya cerita ini pernah dipublished malem-malem dan dia punya lapak sendiri gitu. Tapi, I was a little bit afraid at that time, so I decided to take it down. Malu sih sebenernya karena ini kacau banget.

Tapi, karena udah ditulis, sayang gitu kalo disimpen. Dan kayaknya cerita di sini cenderung lebih santai ya gak sih? Mungkin karena oneshot kali ya. Dan kayaknya aku nggak terlalu malu kalo ngeunggah ini di sini. Soalnya dia nggak sendirian banget. Hehehe

Dan, agak beda sama yang sebelumnya, there will be eight chapters for total sampe tamat. Bear with it. Thank you :)

•Scattered Heart•

[1]

Summary: It is toxic. But we love the way it scatters and we love the voice we make when we are together.

“I felt like an animal, and animals don’t know sin, do they?”
—Jess S. Scott—

Langit di luar masih terang. Pintu kamar kos di pojok ditutup rapat. Kamar itu jadi satu-satunya yang ditempati di lantai tiga—ngebuat suara jenis apapun yang nggak sengaja menelusup lewat celah ventilasi di atas pintu mendapatkan pengabaian. Jeffrey Djuanda Bachtiar—empunya kamar—selalu nutup dan ngunci pintu kamar kosnya di waktu yang nggak menentu. Alasannya cuma satu: karena dia nggak mau kegiatan sama Rose Anne Bahri terganggu.

“Jeff, jangan terlalu cepet,” kata Rose susah payah, suaranya terhimpit napas yang memburu. Kedua tangannya terkunci di atas kepala, tubuh polosnya yang terbaring di bawah Jeffrey sedikit melengkung saat cowoknya nggak mendengar apa yang dia bilang. “Jeff please, it’s hurt!”

“Just a minute Rose, I’ll take it slowly,” sahut Jeffrey dengan suara serak. Satu kecupan diberikan cuma buat ngebungkam mulut Rose—Jeffrey selalu suka saat pacarnya sedikit memberontak dan memberi gigitan ringan di bibirnya. “Rose, can you spread these a little wider? I almost hit the thing there.”

Meskipun setelahnya Rose selalu ngerasa sedikit menyesal dan marah-marah, kalau lagi gini—kayak lagi dihipnotis—dia selalu nurutin semua yang dibilang Jeffrey. Cewek berambut gelap panjang itu narik Jeffrey ke pelukannya, sebelum ngelingkarin kedua kaki jenjangnya yang ngebuat senyum pacarnya terulas samar. Bahkan perempuan sepintar Rose pun sama sekali nggak bisa mikir di tengah keadaan kayak gini. Satu-satunya yang menuntun tindakannya jelas cuma keinginan buat ‘terpenuhi’ dan ‘terpuaskan’.

“Ah, I don’t think I find the spot yet,” goda Jeffrey sambil ngasih beberapa ciuman di leher Rose yang mulai menunjukan warna kemerahan—entah berapa kali tempat itu jadi sasaran keisengan Jeffrey yang suka ngegoda pacarnya.

“Jeff, you almost hit that,” lengguh Rose keras. Tubuhnya panas dan rasa geli di bawah sana ngebuat Rose merasa gila. Dia nautin kedua lengan di leher Jeffrey, narik pacarnya dan ngerengkuh dia dengan erat. Rose mengerjap waktu ngerasain hentakan kecil yang ngebuat Jeffrey terbenam makin dalam di tubuhnya. Pinggulnya bergerak kecil—lebih mirip sebuah gerakan spontan yang nggak dia rencanain. “Please Jeffrey, move, like you did before.”

“Kamu bilang jangan terlalu cepet.” Jeffrey senyum, sebelum ngerutin dahi saat pagutan Rose terasa lebih kasar. Bahkan bibirnya berdarah—Rose nggak biasanya kasar kayak gini. Mungkin keisengan Jeffrey ditanggapi terlalu serius sama si cantik pinter yang keluguannya masih tetap menempel kendati mereka sangat sering ngelakuin hal ini.

“Aku ada kelas sejam lagi. Kamu tahu itu,” tutur Rose dengan ekspresi yang ngebuat Jeffrey nggak bisa ngelakuin apapun selain menciumnya, terus ngelakuin hal yang dia minta.

“Iya, maaf,” sahut Jeffrey sambil senyum.

Dia ngebawa tubuhnya turun, ngebuat kamar yang gordennya sengaja ditutup buat menghalau cahaya dari luar itu dipenuhi desah napas yang saling bertumpukan. Goresan yang Rose torehkan di punggungnya ngebuat Jeffrey semakin bersemangat—memandu pacarnya dalam gerakan naik dan turun yang ngebuat mereka sampai ke puncak yang diinginkan. Tubuh yang penuh keringat itu masih tertaut—saling memeluk dan mencium.

Selama sesaat mereka diem dalam posisi itu, sebelum Rose ngedorong pelan tubuh pacarnya, dan jalan ke kamar mandi sedikit terburu-buru. Air keran menyala, sekitar lima menit, lalu Rose keluar dengan tubuh dibungkus handuk yang nggak mendapat banyak perhatian dari Jeffrey. Cowok itu masih berbaring di atas kasur, setengah tubuhnya udah terbungkus celana, sementara bagian atas tubuhnya tetap dibiarkan terbuka buat ngilangin sisa-sisa peluh dari kegiatan barusan. Ini pemandangan yang biasa buat keduanya.

“Cepet pake bajunya Jeff, katanya mau nganterin,” kata Rose sambil ngaitin bra. Dia duduk di tepian kasur, cukup buat narik perhatian Jeffrey yang bangkit buat ngebantuin pacarnya pakai bra. “Thanks.”

“Ternyata aku bukan cuma pinter ngelepas,” kata Jeffrey santai. Dia balik lagi rebahan di atas kasur, ngelihatin Rose yang memakai semua pakaiannya terburu-buru. “Kelasnya masih sekitar 45 menitan lagi, kenapa buru-buru banget?”

“Terus menurut kamu aku harus dateng dengan leher merah dan jalan kayak penderita haemorrhoids ke kelas gitu? Aku kan udah bilang, kalau siang, jangan bikin leher terlalu merah. Untung hari ini aku pake turtleneck.” Rose ngasih protes sembari memakai sedikit make up buat nyamarin muka capeknya.

Turtleneck is a no no, susah dibuka, Rose.”

“I didn’t come here to get fucked by you, Jeff.”

“Emang ada hal lain yang kita lakuin di kosanku selain itu?” tanya Jeffrey ngebuat Rose terpaku. Dia ada benernya, Rose nggak bisa ngelak. Setelah memakai kaos hitam, cuci muka, dan ngerapihin rambut yang mulai panjang, Jeffrey nyium pipi Rose sambil bilang, “Aku ngehidupin dulu mobilnya.”

“Kenapa pakai mobil? Kenapa nggak motor aja?” Lagi-lagi sebuah protes keluar dari mulut Rose.

Satu senyum terpatri di wajah Jeffrey. Tatapannya beralih dari muka ke bagian bawah tubuh Rose. Katanya dengan suara iseng. “Didn’t you say it’s hurt? I’ll try to act as a gentleman after being a wholesome jerk who likes to tease you around.”

“Oh, makasih lho sayang.” Rose memutar matanya, udah biasa mengahadapi sifat iseng Jeffrey. “Aku udah selesai, ayo turun bareng. Ack.”

“Rose!” Jeffrey refleks ngulurin tangan, kelihatan khawatir saat Rose sedikit merunduk sambil megangin perut. “Perutnya kenapa? Sakit lagi?”

Perempuan itu ngasih anggukan pelan. Matanya terpejam pelan. “Mungkin karena udah deket waktu dapet, jadi suka sakit. Eh, gimana kalau aku telat dapet?”

“Yeay, berarti kita jadi orang tua!” Jeffrey bersorak, bikin Rose mengeryit sebal.

“Orang gila,” desisnya. “Jeff, sakit banget, kayaknya aku gak bisa ke kampus deh. Tapi hari ini jadwal presentasi.”

“Bisa ngulang nggak?”

“Apanya?”

“Presentasinya.”

“Enggak. Nanti Aku gak dapet nilai.” Rose ngejelasin sambil negakin badan. Dia bersandar sambil nautin lengannnya ke Jeffrey.

“Pasti bisa kok. Anggota kelompok lain juga pasti ada yang nggak hadir. Dosennya baik nggak? Izin aja. Bilang kalau perut kamu sakit. Dia pasti paham. Kayak bukan manusia aja.” Jeffrey ngomong sambil ngelus punggung Rose. “Ke dokter aja yuk?”

Air muka Rose berubah pucat. Tatapannya terhunus ke arah pacarnya, kelihatan kalap. “Dokter? Dokter apa?”

“Dokter kandungan,” jawab Jeffrey santai.

“Gila!” sentak Rose tajam.

“Orang itu pergi ke dokter kandungan bukan karena hamil aja. Bisa juga buat konsultasi tentang masalah kesehatan. We do this a lot, Rose. Isn’t it fine if we check just to make sure that—

“No!” pekik Rose, tubuhnya gemetar. Dia mulai nangis—ngebiarin Jeffrey meluk dia dengan erat. “Kalau kita ke dokter kandungan, orang tua aku bisa tahu. Rasanya kayak dipasang CCTV, mereka selalu tahu apa yang aku lakuin. Bahkan aku masih takjub sama fakta kalau kita bisa ngejaga hubungan ini sampai dua tahun. Jangan Jeff, aku gapapa. Cuma sakit biasa aja. Aku masih bisa nahan.”

“Kenapa kamu nggak mau nikah sama aku?”

Pertanyaan Jeffrey terlalu tiba-tiba. Itu ngebuat Rose bergeming. Tangisnya terhenti, berbarengan sama ekspresi mukanya yang berubah sedih. Mukanya terangkat, mengamati Jeffrey dengan mata berkaca-kaca. “Sekarang bukan saat yang tepat buat ngomongin ini. Kita udah pernah ngomongin ini dan kamu udah tahu alasan aku.”

“Kamu lebih milih hubungan kayak gini?” tanya Jeffrey sekali lagi.

Ada jeda yang tercipta. Rose masih ngelihatin muka Jeffrey yang mulai berubah serius. Tangannya narik tengkuk pacarnya, ngasih kecupan singkat di bibirnya. “I do really love you, Jeff. I don’t care about the sin people talk about as long as I’m with you. I need you. And I won’t we part away because of my parents silly decision. It’s okay. You can do anything to me. Because you’re my everything. I don’t want anything but you.”

“Is it really okay even if I’m being a toxic boyfriend who only knows how to fuck you?”

“We don’t fuck as many as my friends do. Don’t say that Jeffrey, I know you are better than you think you are. You are a good man.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Rose kedengaran halus dan menenangkan. Jeffrey membenamkan muka di ceruk lehernya, merasakan kehangatan yang perlahan kembali. Tangannya terangkat buat ngebuka cepol rambut Rose, kembali menggerainya.

“Kamu masih sayang sama aku bahkan ketika aku ngelakuin itu lagi ke kamu?” tanya Jeffrey, tangannya nelusup buat ngebuka kaitan bra Rose.

“Jeff, give me a break.” Rose memohon dengan suara bergetar.

“This is the only thing I’m good at. Beside, didn’t you say you love me? Then show that love to me, Rose.”

Ada sarkas dalam suara Jeffrey yang kedengaran rendah. Rambut Rose kembali berantakan. Tangan Jeffrey menarik turun resleting celana kulot cream yang Rose pakai. Protes yang lebih mirip sebuah permohonan terlontar dari mulut Rose, cukup untuk ngebuat Jeffrey berhenti dan ngelepas pelukannya. Cowok itu narik sesuatu dari dalam lacinya, ngeluarin minyak kayu putih yang tinggal seperempatnya.

“Aku beresin kasurnya dulu. Kamu duduk aja dulu di sofa. Nih olesin sendiri,” kata Jeffrey sembari nyodorin kayu putih itu ke Rose. “Nanti tidur aja di sini. Ada sprei baru kok.”

“Sprei yang itu aku cuci nanti ya?”

“Nggak usah. Kamu lagi sakit. Dan bakal lebih baik kalau kamu nggak ke sini dulu. Istirahat di kosan kamu aja. Kalau ke sini, kamu nggak akan bisa istirahat,” cetus Jeffrey, suaranya diliputi kepedulian yang terselubung di sudut hatinya. Dia ngasih senyum, sebelum membelai pipi Rose yang pucat. “Maaf, karena kamu harus jatuh cinta sama cowok brengsek.”

Senyap. Cuma ada suara sprei yang ditarik dan dipasangkan dengan gerakan cepat. Jeffrey keluar dari kamar kosnya, ngasih waktu dan ruang buat Rose, mempersilahkan pacarnya istirahat. Tanpa gangguan dan tindakan usil darinya.

Gurauan terlempar dibarengi asap rokok di belakangnya. Jeffrey duduk sambil mengamati handphone, fokusnya terarah sepenuhnya ke layar. Beberapa teman memanggil namanya, cuma buat diabaikan atau tenggelam dalam tawa yang saling bersahutan.

“Tumben di sini bos, nggak ngedekem di kamar bareng cewek lo?” gurau salah satu temennya yang punya rambut gondrong. Wajahnya ganteng—dan dia sadar—ngebuat Jonathan Alinski terkenal di kalangan cewek. Waktu semester satu, saat anak Fakultas Teknik Geologi rutin lari keliling kampus tiap sore, tampilan Jonathan yang mencolok dengan kulit putih dan rambut gondrongnya sukses ngebuat mahasiswi tongkrongan bangku biru atau kantin FIKOM histeris. Berhubung Jonathan suka gonta-ganti pacar, hal itu jadi keuntungan yang nggak henti-hentinya dia syukuri. Entah bersyukur buat hal satu ini tergolong ke dalam kategori yang mana.

Jeffrey mendelik, ngasih senyum tipis ke Jonathan dan empat orang teman lain yang seluruhnya kuliah di kampus yang berbeda sama dia. Mereka berlima anak Unpad—sama kayak Rose—sementara Jeffrey masih tercatat sebagai anak ITB yang kuliahnya di Ganesha tapi memutuskan buat ngambil kosan di Jatinangor. Padahal dia asli Bandung dan rumahnya ada di Dipati Ukur. Alasan yang ngebuat Ieffrey ngebet ngekos itu karena dia mau ngabisin lebih banyak waktu sama Rose; terus dia juga nggak mau diganggu kalau lagi enak-enaknya. Lagipula, dia udah cukup dewasa buat nentuin apa yang dia butuh dan nggak butuhin.

“Rose lagi sakit,” jadi jawaban yang Jeffrey kasih setelah nerima sebungkus bubur dan beberapa makanan lain yang dia beli.

“Sakit apa?” temannya yang punya muka paling kecil dan ekspresi manis nimbrung. Aiden Ibrahim yang dijuluki soft boy FIKOM punya fitur muka yang sedikit mirip sama Jeffrey, menyebabkan lahirnya konspirasi serampangan yang bilang kalau mereka sebenernya saudaraan.

Tentu saja hal itu ditanggapi dengan santai oleh keduanya karena Jeffrey dan Ibra sama-sama tahu kalau orang tua mereka beda dan silsilah mereka juga beda: Jeffrey itu anak Bandung asli; sementara Ibra berasal dari keluarga Palangkaraya yang menetap di Bandung. Selain itu, sebagai sesama alumni SMA 8 Bandung, Jeffrey dan Ibra udah temenan lebih lama daripada sama anak-anak lainnya. Malah yang ngajak Jeffrey buay join circle itu juga Ibra karena dia nggak tega kalau temennya dibiarin kesepian di tanah rantau alias Jatinangor yang jauh dari kampus Ganesha.

“Eh, cewek lo juga pernah ngeluh sakit perut kan?” tanya Jeffrey berasa diingetin. Kebetulan pacar barunya Ibra juga pernah mengeluhkan hal yang sama.

Ibra kelihatan mikir—kayak lagi mengingat sesuatu sebelum menjentikkan jari. Muka gantengnya yang punya garis lebih halus dari Jeffrey kelihatan menggoreskan senyum yang diterangi cahaya lampu. “Kita udah putus. Kemarin.”

“Ya apapun itu,” sahut Jeffrey nggak peduli. “Dia bilang nggak masalahnya apa? Apa karena usus buntu? Lokasi sakitnya agak mirip kayak Rose deh.”

“Oh, itu sih artinya lo jangan dulu bobo bareng Rose. Soalnya Raline pernah bilang karena gue sama dia terlalu ‘rajin’ makanya bagian perut sekitar situ sakit. Untung waktu itu Raline pergi diperiksa sama kakaknya yang punya track record sama kayak dia. By the way gue putus sama Raline karena kita udah sama-sama bosen aja. Kayaknya itu terhitung putus yang baik-baik deh.” Ibra malah curhat. Mana sambil senyam-senyum pula. Seolah kandasnya hubungan dia sama Raline bener-bener bukan masalah besar karena pacar selalu bisa dicari.

“Ah, jadi masalahnya itu,” gumam Jeffrey sambil ngusap tengkuknya bentar.

“Kalian kenapa sih pada semangat banget? Jomblo kayak gue jadi iri. Lagi ujan gini nggak ada yang bisa ngangetin.” Si pendek Bayu Pamungkas nimbrung sambil masang muka sok sedih yang bikin Jeffrey mau nampol.

“Yah, sayang kondom dong,” kini giliran Bagas Aksara yang ngomong dengan muka yang bikin dongkol. Padahal Bagas cuma senyum.

“Mana Rose beli paketan lagi,” desis Jeffrey diikuti senyum yang bikin temen-temennya ketawa. Jeffrey diri di meja pojok tempat mereka berlima biasa makan sedikit lebih lama, sebelum ngecek jam di handphone dan buru-buru pamitan. “Rose udah nelpon. Gue balik dulu ya.”

Ibra melambaikan tangan—kayak yang ngusir. “Inget buat puasa dulu. Kasihan nanti cewek lo makin sakit.”

“Iya.” Jeffrey nyahut sebelum melenggang pergi tanpa basa-basi lebih lama. Dia ngehidupin mesin motor, lalu ngambil jalan muter buat balik ke kosannya di daerah Sayang.

Sesampainya di kamar kos, Jeffrey menyipitkan mata karena ngelihat Rose ngerapihin baju dan rambutnya dengan muka panik. Bajunya kusut karena sejak siang tadi sampai malem dia cuma tiduran sambil dikompresin perutnya. Tatapan Mereka beradu, mata Rose merah, cukup untuk ngasih tahu Jeffrey kalau perempuan itu lagi nahan tangis yang dilandasi sama rasa takut.

“Rose? Sayang?” Jeffrey narik Rose ke dalam pelukannya, berusaha ngasih ketenangan ke pacarnya yang gampang panikan. “Kenapa?”

“Mamah lagi di jalan mau ke kosan. Gak tau kenapa dia tiba-tiba mau ketemu kayak gitu. Mamah sama aku bahkan nggak ngobrol sejak tiga hari yang lalu. Terus tiba-tiba dapet kabar kalau dia udah nyampe Purwakarta—dianter sama ajudannya Papah. Aku harus pulang dulu ke kosan. Bentar, parfum, parfum aku.”

Rose mulai kalang kabut. Orang yang paling dia takuti lagi di jalan dan bukan nggak mungkin mamahnya bakal tahu tentang hubungannya sama Jeffrey. Itu ngebuat Rose takut. Karena saat orang tuanya tahu tentang status hubungan mereka, maka kisah cintanya sama Jeffrey bakalan berakhir. Dan nggak akan pernah bisa kembali dimulai.

“Rose, tenang, hubungan kita tetep aman-aman aja,” kata Jeffrey sedikit menurunkan tingkat kepanikan Rose.

“Kenapa kamu bisa seyakin itu?” tanya Rose, dia emang orang yang selalu skeptis.

“Kalau kita ketahuan, dia nggak akan ngabarin kamu, tapi langsung datang ke sini. Atau papah kamu bakal nyuruh ajudannya buat nyeret aku. Sejauh ini masih aman. Kita masih punya waktu buat nge-figure out semuanya bareng-bareng.”

Air mata jatuh gitu aja, membasahi pipi Rose yang putih dan pucat. “Jangan ngomong gitu. Kita bakal baik-baik aja. Tapi kalau hal terburuknya terjadi—dan kalau sampai papah ngelakuin itu sama kamu—bakal lebih baik kalau aku putus hubungan dari orang tua toxic kayak mereka.”

“Perutnya masih sakit?” Jeffrey berusaha nyetir obrolan ke arah lain.

“Udah mendingan. Tapi jalanku kelihatan aneh nggak?” tanya Rose kedengaran agak konyol meskipun Jeffrey tetap dengan sepenuh hati merhatiin cara jalannya sebelum ngasih gelengan—terus ngangguk. “Ih, jadi gimana?”

“Enggak aneh. Cuma mau becandain kamu aja.”

“Jeff, you can kiss me right now if you want. We won’t see each other tomorrow.”

“I can hold myself quite well, ma’am.” Jeffrey ngasih jawaban yang nggak terduga. Dia cuma ngecup punggung tangan Rose, terus narik dia keluar dari kamarnya dengan lembut. “Kita naik mobil aja. Biar duduknya lebih nyaman.”

“Macet nggak?” tanya Rose, parno kayak biasa.

“Enggak sayang, enggak. Jalannya lancar—kayak hubungan kita.”

Senyum yang Jeffrey kasih di ujung ngebuat hati Rose ngilu. Hubungan mereka cuma nggak mendapat restu dari pihak orang tuanya aja. Sementara orang tua Jeffrey udah tahu tentangnya, udah ngasih restu dan melimpahkan banyak perhatian yang bahkan nggak bisa Rose dapat dari kedua orang tuanya. Orang tua Jeffrey merupakan dua orang paling santai dan terbuka—meskipun tentu aja dia dan Jeffrey memutuskan buat nggak menyertakan kehidupan seksual mereka di dalam narasi yang disetor ke orang tuanya.

Nggak ada obrolan sepanjang jalan menuju kosan Rose. Cuma ada suara mesin dan musik yang melantun dari playlist milik Jeffrey. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lalu saat mobil berhenti sedikit lebih jauh dari tujuan, Jeffrey ngelirik ke arah Rose, nahan tangannya yang lagi ngebuka seat bealt.

“I’ll take it back,” katanya dengan suara tipis.

“What?” Rose merespon kebingungan.

“About holding myself, I’ll take it back.”

Selesai mengatakan itu, Jeffrey ngebungkam mulut Rose dengan ciuman—memagut bibirnya pelan. Sontak Rose memejamkan mata, tangannya terangkat buat nyentuh pipi pacarnya yang terasa halus karena habis cukuran. Desah pelan keluar dari mulut Rose saat tangan Jeffrey nyentuh dadanya—sedikit menekan sebelum menangkupnya.

“Jeff,” Rose sedikit ngedorong badan Jeffrey. Mata mereka bertemu, saling memandang sebelum rengkuhan di tubuhnya terlepas setelah sebuah kecupan singkat di keningnya. “I’ll call you as soon as I have a chance. I promise.”

“I love you, Rose.”

Jeffrey bukan orang yang terbiasa ngungkapin cinta. Sehingga satu ungkapan yang dikatakan dengan suara lembut dan tenang itu cukup untuk ngebuat senyum Rose tertarik keluar.

“I love you more.”

Mereka saling bertukar senyum, mengubur kekhawatiran dan ketakutan yang berkecamuk di dalam dada. Jeffrey mengamati kepergian Rose dengan senyum yang segera memudar begitu sosoknya hilang dari pandangan. Pandangannya kelihatan sendu. Hatinya mencelos. Mungkin karena dia tahu, kalau orang yang nganter mamahnya Rose itu bukan ajudan papahnya, tapi calon suami yang udah mereka siapkan buat anaknya—buat perempuan yang sangat Jeffrey cintai.

To Be Continued

Jadi inget waktu posting status di WhatsApp pake mata Horus dengan caption: To Live Like Horus; One But Strong, terus dimarahin mamah meskipun setelahnya dia kasih jempol karena gambar sama captionnya bagus. LoL

I do realize it may feel like a trash, but sometimes we like to make trashy stuffs too and it's fine. I think about too much stuff lately. But I still wanna in touch with you. Sound silly but I like the time I spent with you all. Just wanna say thank you for staying with me. Be safe everyone~

Other Cast:
–Mark Tuan as Ryan Aryandi Bagaskara
–Cha Eunwoo as Aiden Ibrahim
–Lalisa Manoban as Raline Aryanti
–Jeon Jungkook as Jonathan Alinski
–Bambam as Bayu Pamungkas
–Kim Mingyu as Bagas Aksara

Thank you! I love you! Much! 🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

80.2K 5.6K 25
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK 1YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...
316K 23.9K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
51.7K 6.6K 42
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
198K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...