The lethe ✔️

By jeonnayya_

5.7K 584 1.8K

Seteguh dan sekuat apa keyakinan itu berpijak di antara kerasnya batu, suatu saat pasti juga akan jatuh, atau... More

Prologue
1 | Complicated problem
2 | After deliverance
3 | The monochrome
4 | Actual conflict
5 | Losing the game
6 | Life is war
7 | As a lilac
8 | That like a sitcom
9 | Hidden purpose
10 | De una vez
11 | Sweet villain
12 | The finale
13 | The Lethe
Afterlethe

Epilogue | Everythingoes

350 25 237
By jeonnayya_

Kalau mampir jangan lupa vote ya, bestie.
play—to each his own by talos.
Btw, jangan terlalu berekspetasi sm ending.
Happy reading.


Lekas sembuh membaik pulih. Barangkali itu mudah untuk teraih, maka ayalnya aku tak perlu mengais setiap potongan kenanganmu dengan sukarnya setiap waktu. Tanpa sakit, sesal dan tangis. Ketahuilah bukan aku yang tak ingin bangkit, tetapi kau sendirilah yang membuat ini semakin sulit.

Ilsan, Ryu Namjoon.





Satu tahun kemudian.

Beberapa rintik hujan masih dengan giatnya membasahi bentangan aspal yang samar-samar sudah memelankan ritmenya—tak sederas sebelumnya. Menggantikan udara yang cukup terik tadi siang menjadi lebih sejuk menyegarkan. Ryu berjalan dengan langkah kaki seperti biasanya, tidak terlalu terburu-buru. Membawa payung sambil sebelah tangan yang sudah memegang mantel hitamnya dan menyisakan turtleneck coklat dengan rapian ikat pinggang seperti biasa. Menyusuri beberapa toko yang ada pada seberang jalan. Hingga langkahnya terhenti pada sebuah hunian dengan berbagai bunga yang harumnya sudah menyapa dari balik ambang pintu.

Ryu berhenti sejenak. Memastikan sepatunya tidak terlalu basah. Sebab tadi beberapa kali menginjak genangan air karena entahlah, Ryu memang suka ceroboh soal itu. Atau mungkin memang pikiran dan atensinya sedang tidak tertata dan tertuju pada hal sekecil itu.

"Tuan mau memesan seperti biasanya?" tanya seorang gadis berpita dengan nametag bernama Lunar, yang tampaknya sangat mengenali Ryu. Itu tentu bukan hal yang aneh karena memang sudah beberapa kali ia mengunjungi toko ini dengan pesanan yang nyaris sama. Ryu hanya mengangguk lirih dan pekerja itu langsung paham lantas sesegera mungkin menyiapkannya. Hingga sebuket bunga dengan warna yang senada—lilac, yang terisi beberapa tangkai bunga peony dan mawar itu sudah berada pada genggaman Ryu.

Digenggam dan dibawa dengan sepenuh hati, berharap nanti akan menjadi hal yang disukainya hingga berkenan mendatanginya ke alam mimpi. Iya, Ryu berharap seperti itu. Setidaknya menyapa dan memberikan seutas senyum untuknya yang beberapa bulan ini sudah tak pernah ia lihat lagi.

Kembali berjalan hingga langkahnya sampai pada rerumputan hijau lebat yang sedikit lembab menutupi pinggiran larik batu marmer hitam itu. Ryu duduk berjongkok dengan menghembuskan napas kasarnya sejenak dan berakhir menaruh bunganya di samping guratan nama itu. Tangannya selalu saja gemetar saat merangkak tepat pada nisannya. Diusap-usap seraya berujar dengan gugupnya dan tersenyum. "Hee-ya, aku sudah datang lagi. "

Ryu lantas beralih ngusap satu foto yang terbingkai bersama di sana. Masih dan selalu terlihat cantik hingga kini. Memandangnya tak kalah sayu. Menunjukkan luka yang hancur dengan kepingan-kepingan yang tak lagi terwujud bentuknya. Tetapi juga tidak pudar ataupun hilang. Walaupun Ryu tidak pernah berujar. Walaupun ia tidak pernah mengungkapkan secara terang-terangan tetapi memang pada dasarnya setelah kepergiaan Yunhee, hidupnya tidak lebih baik dari sebelumnya. Sangat kacau. Bahkan Ryu tidak tahu harus memulai dan mengakhiri darimana. Ryu seperti sepenuhnya kehilangan arah. Kehilangan semesta dan dunianya yang berharga.

"Aku akan menemanimu sore ini, agar kau tidak kesepian lagi. Jadi, ayo lihat senja bersama."

"Kau mau?" Ryu seperti biasanya, bermonolog sendirian sambil sedikit mengulum senyum tipisnya. Tidak peduli pengunjung lain akan mengatakannya tidak waras atau lainnya. Sekali lagi Ryu hanya ingin kembali kepada sebuah tempat yang pernah ia anggap sebagai rumah. Tatapannya lantas berpindah sejenak, mengamati sekitar nisan Yunhee yang terlihat sedikit basah dengan sisa rinai air yang mengenainya.

Lantas mengusap rintik itu perlahan dengan tangan kosongnya. Disingkirkan dengan lembut seakan tidak ingin melukai sambil kembali berkata. "Ah, ya tadi hujan. Kau suka hujan?"

"Hee-ya."

Satu kali, dua atau hingga hitungan selanjutnya. Napas Ryu semakin berat, sesak, tercekat. Bibirnya kembali bergetar menyebut nama Yunhee. Seperti mengantarkannya pada penyesalan dan rindunya yang datang secara bersamaan. Seolah mengucap nama itu adalah kesulitan tersendiri untuk Ryu saat ini. "Kau pasti sangat kesepian dan kedinginan di sana."

Hening setelahnya. Hanya deruan angin yang semakin menyapa dan memberai-berai surai Ryu. Semakin menenggelamkannya pada kesedihan yang dengan sekuat tenaga Ryu sangkal untuk dirasakan. Ingin sekali berkata tidak. Ingin sekali berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Ingin sekali berkata semua akan berlalu.Tetapi tetesan air itu jatuh begitu saja. Yang tak sadar membasahi nisan Yunhee. Ini bukan hujan, sebab langitnya sudah kembali cerah. Melainkan seorang pria yang hatinya sudah tergolak pasrah dengan dinding ketabahan yang kontruksinya kembali roboh, rusak, dan hancur. Kali ini Ryu tidak bisa lagi menahan dan bersikap tabah. Ia bahkan menangis untuk pertama kalinya.

"Maaf, karena tidak bisa mencegahmu pergi."

"Maafkan aku karena tidak bisa menyelamatkanmu."

"Hee-ya, aku harus bagaimana?"

Menyingkirkan sesuatu di pelupuk matanya yang terasa semakin basah bersamaan dengan serak yang perlahan terdengar. Ryu kembali memberanikan diri menatap bingkai foto Yunhee. "Aku tidak pernah menyangka aku akan kehilangan dirimu dengan cara seperti ini dan secepat ini. Aku telah mengingkari kalimatku sendiri, bahwa aku tidak akan pernah melibatkan cinta dalam sebuah permainan. Tetapi kini, menyebut namamu saja sudah selalu membuatku ingin menangis."

"Apa kau sangat marah denganku hingga tak mau mengunjungiku di mimpi, atau kau bahkan membenciku?"

"Aku sangat merindukanmu, jadi sekali saja. Datanglah, Hee-ya." pinta Ryu sekali lagi. Dan begitulah semua kalimat yang terucap seakan mewakilkan semua kehampaan yang Ryu rasakan. Kata rindu itu bermakna luas. Sangat luas hingga Ryu tidak bisa menjabarkannya satu persatu. Merindukan senyumnya. Tatapan sepasang amber yang selalu menenangkannya. Langkah kaki dan bayangannya. Jemari dingin yang selalu ingin Ryu genggam. Kalimat sarkas dan serampangannya, atau mungkin juga pelukan yang tidak terlalu erat tetapi selalu bisa menghangatkan bilik hati dan menyelimutinya dengan begitu baik seperti sebuah pereda seluruh rasa sakit dan kekhawatiran.

Tidak lama setelahnya, Ryu merasa punggungnya ditepuk dari belakang. Tepukannya lirih dan sedikit takut. Ia lantas menoleh segera dan menemukan seorang gadis berponi dengan pipi gembil dan surai karamelnya. Ryu terkejut dalam diam. Gadis itu, kenapa senyum dan kedua irisnya sama seperti Yunhee. Bola mata gadis itu berwarna safir, dan lengkungan kedua kurva bibir yang sangat mirip sekali. Kini menatap Ryu dengan tersenyum. Manis sekali.

"Paman," panggil si gadis kecil dengan malu-malu. Pipinya yang mengembung lucu kini tampak sedikit memerah ceri. Sedangkan Ryu menempatkan atensinya penuh. Menyimak penuturannya dengan seksama.

Tangan kecil itu lantas terulur ke depan, seperti akan memberikan sesuatu kepada Ryu. "Paman, bisakah kau membukakan ini untukku?"

Rupanya meminta bantuan sederhana. Ryu mengangguk dengan lesung yang langsung terlihat sebab ia tersenyum. Ia lantas mengambil satu bungkus jelly yang kemasannya terasa susah untuk dibuka oleh anak-anak. "Kau pasti tadi mengigit bungkusnya, ya." tebak Ryu dan gadis itu hanya mengganguk samar. Wah, dia memang luar biasa menggemaskan. Ekspresi lugunya serasa membawa kebahagiaan tersendiri untuk Ryu.

"Bungkusnya terlalu licin untuk kubuka, jadi aku mengigitnya." ucap gadis yang Ryu rasa umurnya baru empat tahunan. Tampak dia masih sangat polos dengan hal-hal sederhana seperti ini. Selanjutnya Ryu memberikan bungkus itu, dan gadis itu menerimanya dengan wajah berbinar-binar dan sepasang mata rusa yang berdenyar-denyar tak kalah antusias di dalam sana.

"Kau sendirian?" tanya Ryu sebab ia tak melihat orang lain yang mendampiri gadis itu. Sang gadis menggeleng, dengan pipi yang masih penuh mengunyah beberapa jelly. "Aku bersama bibiku. Tapi tadi sedang kembali ke parkiran, mengambil sesuatu."

Ryu mengangguk. Entah sebuah bisikan apa tiba-tiba saja Ryu mengusap surai gadis itu. "Mau paman temani menunggu bibimu? Anak kecil tidak boleh sendirian, ya. Nanti bisa hilang."

"Kalau boleh tahu, namamu siapa?"

Gadis itu kembali menerbitkan senyumnya singkat sambil menatap Ryu. "Heeya. Namaku Bae Heeya."

Terkadang seorang anak kecil memiliki insting tentang menebak suatu kepribadian seseorang yang bahkan baru saja ia temui. Ia bisa merasa seseorang itu baik atau tidaknya. Tetapi kepada Ryu, Heeya merasa sangat nyaman. Seperti sedari tadi, rapalan pujian itu masih saja menggema pada sebelah sisi hati, seperti kenapa paman di depannya ini terlewat tampan dan keren. Atau bahkan kenapa senyumnya setulus itu.

Sedangkan Ryu terkejut setengah mati. Gulungan salivanya serasa tertanggal semua tidak jadi berlabuh ke lambung saat gadis itu berujar namanya. Menghela napasnya kembali guna menormalkan keterkejutan seraya menyematkan senyumnya sejenak, berpikir jangan sampai membuat gadis kecil di depannya ini menunggu. "Yeoksi. Itu nama yang bagus, Heeya-ssi."

Baru saja menghirup kelegaan, Ryu agaknya dibuat terkejut kembali. Heeya datang memeluknya dengan tiba-tiba. Gadis itu langsung menghampirinya tanpa ragu. Dan Ryu sangat bingung saat itu. "Heeya kenapa, apa ada hal yang membuatmu takut?"

Gadis itu menggeleng dan semakin memeluk Ryu sebisanya. "Paman sedang sedih, ya?"

"Itu tadi menatapku seperti mau menangis. Apa wajahku menakutkan?"

Kini giliran Ryu yang membeku. Tidak menyangka saja Heeya mempunyai kepekaan yang tidak bisa ditebak dengan begitu mudah. "Kata siapa menakutkan, wajahmu itu cantik sekali, Heeya."

"Wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Kau lihat dia, bukankah senyumnya mirip denganmu?" Ryu menunjuk nisan Yunhee, dan Heeya langsung terkejut. Ia seperti tidak asing dengan sosok itu. Dahinya berkerut dan kembali menunjukkan wajah lugunya dengan air mata yang sudah berderai di kedua pipi.

"Paman, kenapa bibi ada di sini?"
.

.

.

"Hyung?"

Suara Taehyung kembali menyadarkan Ryu dari lamunannya. Tidak tahu kenapa sekarang seringkali Ryu selalu terlarut dalam kebiasaan melamun hingga bermenit-menit. Benar-benar menyedihkan sekali. Bahkan pria Han yang sebelumnya ingin bersikap biasa saja, mendadak menaruh banyak kekhawatiran pada sosoknya.

"Kembali saja ke Ilsan, Hyung. Di Seoul kau tidak memiliki siapapun. Setidaknya di sana kau memiliki teman yang bisa kau ajak bicara kapan saja." Taehyung memberikan saran terbaiknya. Kebetulan pria Han juga singgah sore ini menemui Yunhee, lalu bertemu Ryu. Atau memang sengaja menemui dan punya tujuan. Tidak ada yang tahu apa maksud pria Han mengunjungi Ryu semendadak ini.

Ryu tertawa mendengar itu. Teman, ya? Bahkan Ryu selalu saja merasa gila setiap kali teringat tentang sandiwara dan rencana konyol itu. Perlu diketahui bahwa setelah Yunhee pergi, berarti itu juga menandakan jika kesepakatan antara Ryu dan Seokjin tidak lagi sah. Ryu bisa memutuskannya kapan saja sebab kini orang yang ia lindungi dan menjadi titik kelemahannya sudah tidak ada lagi. Dalam artian lain, Yunhee pula-lah yang membebaskannya dari rencananya menjadi walikota dan bayang-bayang Ilsan Elite.

Dan alasan lain yang mendasari Ryu kembali menginjak kota metropolitan Seoul, karena ia terlalu muak dengan segalanya. Setelah dua puluh delapan tahun ia hidup, kenapa kini ia baru mendapati fakta yang tak pernah terduga bahwa ia memiliki ayah seorang pembunuh. Kim Minjae benar-benar ayahnya. Bahkan ketika sang ibu bertutur menjelaskan dengan isakan tangis yang semakin mengiris ulu, Ryu hanya bisa termenung dengan jiwa yang berkelana entah kemana. Yang terasa hanyalah paru-parunya yang semakin menyempit, penuh dan perih sebab dalam kondisi itu, Ryu seakan tidak punya minat lagi untuk meraup banyak udara di sekitarnya.

Tidak mendapati sahutan apapun, membuat Taehyung kembali menoleh. Air mukanya tampak sangat tidak terartikan. Seperti ingin berujar sesuatu tetapi di tahan.

"Kalau begitu aku mengundangmu dalam klub permainan poloku. Ayo bertanding polo seperti biasanya."

Sahutan Taehyung agaknya dianggap sebagai kalimat pengusiran hingga Ryu bangkit dari duduknya begitu saja. "Aku sedang sibuk akhir-akhir ini. Kasus yang kutangani sangat banyak."

"Apa kau juga seperti ini ketika kehilangan Ara dulu?" Untuk pertama kalinya Ryu membuka diri dengan keluar dari topik pembahasan awal, dan Taehyung memahami itu. Ternyata Ryu memang berniat menyibukkan diri guna melupakan. Pertanyaan Ryu membuat pemilik bariton itu terdiam beberapa saat sebelum pada akhirnya berucap. "Kacau sekali. Bahkan mendengar namanya saja sudah berhasil mencabik-cabik hatiku setiap saatnya. Membuatku semakin merindukannya."

"Sekarang kau tahu bukan kenapa aku sangat gila kerja, Hyung?"

"Tetapi kau tidak perlu khawatir. Kau tidak seharusnya tenggelam terlalu dalam. Karena mungkin, semesta yang kau jaga, masih berada dan menunggu pada tempat yang nyaris sama."

.

.

.

Lapangan pacuan kuda sudah mulai berlalang remang sedikit senyap perlahan. Taehyung baru saja selesai bermain polo dengan para rekan Kejaksaan ataupun anak teman ayahnya yang berada pada satu klub. Pakaiannya pun sudah berubah, dengan selingan jas mewah seperti biasa dan tatanan yang tampak lebih rapi dari sebelumnya. Sudah di tata sedemikian rupa pula dengan tampilan dahi paripurna beserta legam surai klimisnya. Tampan, harum, dan berkarisma tentunya.

Mengadakan pesta klub setelah bermain bukanlah hal yang baru untuknya. Apalagi ini juga bisa dibilang sebagai hari yang cukup berarti—walaupun tidak semuanya Taehyung nikmati atau mungkin akui. Dan kali ini, ia adalah Tuan Pestanya sebab ada hal yang ingin ia rayakan.

Pesta itu di adakan di luar ruangan, dengan hiasan lampu-lampu neon yang sudah tergantung sedemikian rupa. Lokasinya juga terbilang tidak jauh dari tempat latihannya. Setelah berbincang dengan kepala staf acara, Taehyung di kejutkan dengan presensi pria Kwon yang mendatanginya tiba-tiba dengan rokok yang sudah ada pada genggaman. "Vincent!" panggilnya antusias seraya mendekat dengan membawa satu kardus kecil berisi wine mahal sebagai bingkisan.

Mendengar itu Taehyung hanya menarik bola matanya malas. Sebenarnya ia juga tidak sedang dalam kondisi yang baik dengan anggota The Seven Elite. Entahlah sejak malam dimana Yunhee kecelakaan, semua mendadak memutus koneksi satu sama lain. Tidak ada lagi pertemuan, pesta ataupun pembahasan seputar proyek pembangunan Golden City. Bahkan sang kakak, Han Yunki pun mendadak menghilang seperti terbawa oleh badai. Canda badai, memang sosoknya seperti itu.

Jimin menepuk bahu Taehyung sejenak, sebelum pada akhirnya berucap. "Selamat Jaksa Han, kenapa tidak bilang jika kau sedang merayakan kenaikan pangkatmu?"

Sementara pria Han masih terdiam. Seperti membatin, Jimin kenapa, sih. Tumben sekali menanyakannya begitu. Apalagi kehadirannya secara tiba-tiba masih sukses mengejutkan Taehyung. "Kurasa itu tidak terlalu penting, Jim. Keadaan Seven Elite juga sedang kurang baik, jadi kupikir tidak perlu dulu memberitahu kenaikan pangkatku."

"Kau jangan begitu, lagi pula mereka semua sudah seperti keluarga." Jimin sepertinya sedang menyangkal atau mungkin menepis kalimat Taehyung. Sementara pria Han hanya tersenyum miring, sebelum akhirnya juga menyalakan rokoknya. "Kau benar, keluarga. Keluarga yang asing."

"Kau bisa nikmati pestanya dulu, aku perlu menyambut tamuku yang lain."

Dan setelah kalimat terakhir itu, Jimin pun menyimpulkan jika Taehyung tengah menjaga jarak dengannya. Tidak tahu sebab apa atas sikap pria Han, pada akhirnya itu hanyalah meninggalkan tautan kedua alis ke atas dengan kerutan kening. Kesalahan apa yang ia perbuat, atau kini ada hal yang mungkin sedang Taehyung sembunyikan darinya. Pada dasarnya pria Kwon tahu betul bagaimana kepribadian Taehyung dan cara berbicaranya. Tetapi kini, kenapa yang terakhir terasa berbeda. Kenapa seolah ada kebencian yang diam-diam terselip di antara ucapan kata.

Semakin larut, semakin banyak pula yang datang. Begitu juga ketidaksangkaan tiba-tiba saja para anggota Seven Elite lainnya sudah mendudukkan diri dengan beberapa gelas sampanye yang sudah kosong dan kursi yang mulai terisi. Menyaksikan dirinya berdiri mengucapkan beberapa kata sambutan yang cukup sebagai penghangat suasana malam ini.

Taehyung baru saja ingin menghampiri para anggota seperti halnya Seokjin, Hoseok, Jimin dan Jungkook tetapi langkahnya seketika memaku di tempat saat menyadari tapakan kaki seseorang yang perlahan mendekat ke arahnya. Walaupun jaraknya masih jauh, Taehyung agaknya sudah menaruh atensinya kelewat dulu. Masih sangat mengenali pribadi dengan sepasang anting dan kalung emerald yang menghiasi geraian surai karamelnya.

Memaku, tidak percaya, seperti mimpi. Begitulah wajah tanpa ekspresi itu tahu-tahu sudah tersemat begitu saja. Yunhee datang ke pestanya. Iya, Bae Yunhee. Kalian tidak salah membaca kali ini. Bukan hanya itu saja yang membuatnya terkejut, tetapi bagaimana sepasang jemari yang terbalut oleh sapu tangan itu membawa senapan yang ia taruh pada belakang kepala. Berjalan tanpa ada rasa takut yang singgah.

Firasatnya sudah tidak baik sejak Jimin mengunjunginya. Harusnya Taehyung memberitahukan yang lainnya, tetapi langkahnya terlanjur berat. Terbengkalai akan niat awalnya, ia malah seakan menunggu langkah kaki Yunhee mendekat kepadanya. Entah mau memastikan lebih dalam ataupun menyambut.

"Yunhee-ssi?" panggil Taehyung dengan sedikit keraguan. Takut salah melihat sebab penampilan Yunhee sedikit berbeda. Ada beberapa bercak darah yang sudah mengering di sekitaran area leher dan bahu putihnya.

Wanita dengan parfume vanilla yang semakin menyeruak dengan tidak sopan itu hanya tersenyum, masih menenteng dan membawa senjata laras panjangnya di belakang tengkuk. "Apakah aku terlambat, Taehyung-ssi?"

Pria Han menggeleng, dengan sedikit tersenyum malu. Tidak mau berdusta, Yunhee masih sama cantiknya bahkan setelah satu tahun berlalu. "Tidak, kau belum terlambat nona."

Yunhee nyatanya tidak berhenti ketika tubuhnya sudah berada pada garis yang sama dengan Taehyung, walaupun tidak bisa disangkal juga jikalau proporsinya tampak berbeda. Ia masih melanjutkan jangkahannya. Sepertinya Yunhee memang sengaja ingin menemui anggota Seven Elite, dan pria Han mengetahui niat itu. Maka tarikan tangan yang beberapa detik lebih cepat untuk mencegah, berhasil membuat kepala Yunhee beralih ke belakang dan menanyakan tujuannya.

"Jangan cegah aku, Tae."

Pria Han menggeleng, rahang tegasnya semakin lancip dan kaku. "Tidak Yunhee-ssi, ini bukan tujuanku menyelamatkanmu. Jangan lakukan hal bodoh apapun."

Yunhee menarik sudut bibirnya. Mengusap pipi Taehyung sekilas dengan tatapan mata yang masih tersalur lekat seraya berujar. "Mari kita lihat, siapa yang akan melakukan hal bodoh di sini."

"Mereka atau aku?"

"Tolong ijinkan aku membuat pestamu lebih meriah, Taehyung-ssi."

Dan dengan begitu, genggaman tangan Taehyung sudah dilepas dengan paksa bersamaan dengan langkah kaki Yunhee yang menjauh. Memang pada dasarnya pria Han sudah tak mampu lagi mengulur banyak waktu. Tetapi, kenapa harus saat di pestanya. Ini kelewat gila tapi ia jelas tak memiliki kendali apapun. Maka ketika suara senapan itu sudah menyapa kedua rungu dengan begitu mencekam, bersamaan teriakan para tamu yang seakan menjadi soundtrack tambahan yang cukup untuk membuat suasana menjadi lebih dramatis. Taehyung hanya menghela napas kasarnya dengan perasaan tercampur aduk.

Lampu-lampu yang sebelumnya terpasang rapi dengan dikaitkan pada pohon-pohon perlahan tak lagi mengenali wujudnya. Sudah hancur berantakan. Semua mendadak kacau. Bahkan dapat di lihat bahwa Hoseok cukup kesusahan untuk meneguk salivanya sendiri. Semua mendadak kelewat terkejut dengan kehadiran Yunhee.

"Yunhee-ssi?"

"Nuna, kau masih hidup?"

Kalimat itu langsung terlontar begitu saja saat Jimin dan Jungkook menatap dirinya. Sedangkan Seokjin hanya menatap wanita Bae dengan tidak percaya. Sekilas Yunhee menaruh dan menegakkan senapannya di atas tanah sebelum pada akhirnya melepas sarung tangannya. Berdiri tepat di meja anggota Seven Elite. "Bukankah bintang utama tidak boleh mati dengan cepat?"

"Kejutan macam apa ini?" tanya Seokjin masih duduk di mejanya dengan tenang. Pria Jang lantas tersenyum menatap Yunhee dengan seringai meremehkan. "Kau kira kami takut?"

"Tidak, aku berharap kau senang sebab musuhmu baru saja kembali, Seokjin-ssi."

Seokjin hanya menanggapi itu dengan tautan alis. Masih memainkan gelasnya dengan tenang lagi dan lagi, padahal jelas ancaman sudah berada di depannya. "Biasa saja, sih. Kalau kau kembali itu tandanya semua akan jadi merepotkan. Aku harus membuang banyak uangku untuk menyingkirkanmu."

Yunhee mendekat, tidak peduli dengan bisikan-bisikan tamu Taehyung yang membicarakan dirinya. Mengambil segelas sampanye sebelum di teguk habis. Jelas Jungkook sangat menikmati pemandangan itu. Diam-diam ia masih terpesona dengan Yunhee walau dalam keadaan genting seperti ini. Memang gila. "Kenapa kau sangat berbesar kepala, bahkan ketika menggunakan uang milik orang lain?"

"Bukannya uangmu tidak akan habis bahkan sampai sepuluh turunan sebab telah mengakuisi saham dan perusahaanku. Kau bahkan menggunakan lima belas juta dolarku tanpa berdosanya."

"Bukankah kematianku sangat menguntungkan dirimu dan Minjae sialan itu?"

Yunhee lantas duduk pada sebelah Seokjin, mengajaknya berbicara kembali. Jimin, Jungkook dan Hoseok bahkan hanya mematung tak percaya. Diam. Entah karena takut atau memang mungkin sengaja membiarkan. "Kau jangan berlagak seperti penguasa dan Tuhan, Tuan Jang. Kau berpikir seolah semua keinginan dan rencanamu dapat terwujud kapan saja."

"Kau berpikir aku adalah kelemahan, Ryu. Jadi kau bisa memanfaatkanku dengan begitu saja. Mengancamnya, mempermainkannya, membuatnya menuruti perintahmu. Padahal yang berhak melakukan itu adalah aku, karena aku pemilik mutlak skenario ini."

"Aku sudah tahu sejak awal, Seokjin-ssi. Tentang permainanmu, fakta bahwa Minjae adalah ayah Ryu. Aku sudah mengetahuinya sejak dulu. Dan segala ancamanmu, itu tidak berarti apa-apa untukku. Bukankah asik, berpura-pura bodoh padahal sudah tahu lebih dulu?"

"Coba sini katakan siapa yang merasa dipermainkan sekarang, kau atau aku?"

Setelahnya ia mengambil senapannya kembali. Membersihkan lumuran darah yang masih berada pada pucuk senapannya, seolah dengan jelas diperlihatkan untuk Seokjin. "Kalian mungkin Villainnya, tapi aku mafianya."

Yunhee tiba-tiba saja tersenyum kembali saat mengetahui kehadiran Taehyung dengan surai yang sudah disibak-sibak acak, sebab terlalu kacau. "Taehyung-ssi?"

"Bukankah kau sangat suka kasus baru?" tanya Yunhee seraya memberikan satu amplop coklat besar dari balik tasnya. "Bisakah kau menangani yang satu ini?"

Taehyung membuka amplop itu di tempat, wajahnya langsung pucat pasi saat ia membaca bacaan pertama tentang kasus kecelakaan Yunhee satu tahun yang lalu. Bersamaan dengan beberapa polaroid salinan cctv yang mana ada Jungkook, Jimin dan Yunki di sana.

"Aku butuh permainan lain, jadi bisakah kau menyelesaikannya?"

Permintaan gila itu sukses membuat nyali Seokjin mengecil dengan tiba-tiba. Karena ia tahu, adik tirinya ada di situ dan jelas yang menembak peluru malam itu adalah Jungkook. Maka dengan kerendahan hati, ia tiba-tiba saja sudah berlutut di hadapan Yunhee. "Jangan lakukan ini, Yunhee-ssi."

"Kenapa tidak?"

"Karena Jungkook ada di sana," terang Seokjin dengan kepala menunduk. Yunhee seketika tersenyum tipis, sebelah kakinya lantas di arahkan ke atas dan berakhir menumpu salah satu bahu pria Jang. "Karena ada Jungkook di sana, atau karena kau sedang melindungi atasanmu?"

"Jungkook atasanmu bukan?"

"Yak, nuna. Kenapa kau melakukan hal ini? Apa tujuanmu sebenarnya?"  Jungkook sudah menyela lebih dulu tak lagi mengijinkan Seokjin menjawabnya. Semua orang terkejut, termasuk Jimin yang tampak seperti keong kosong sebab tidak tahu menahu perkara Jungkook adalah atasan Seokjin, padahal jelas pria Jang adalah kakak tirinya.

"Tentu saja kembali ke pembahasan awal, balas dendam."  

Ia memainkan kuku jarinya tanpa melihat Jungkook yang masih menatapnya. "Sebenarnya sedari awal aku hanya ingin terfokus pada, Ryu. Tapi dengan tidak tahu malunya kalian malah mengambil peluang dengan memanfaatkanku untuk mengancam Ryu. Jadi ya sudah, kutangani saja semua."

"Kau harusnya punya dendam dengan Minjae, bukan dengan Hyung. Lalu kenapa kau mempermainkannya?"

"Sebab aku ingin membuat kesan yang lain, Jungkookie. Tidak menarik jika aku langsung membalas dengan Minjae. Aku perlu mempermainkan putranya dulu, menyiksa batinnya sebelum pada akhirnya melenyapkannya. Dia dulu membunuh orang tuanya tanpa ragu, menyiksa mental anaknya juga. Lalu kenapa aku tidak melakukan hal yang sebaliknya?"

"Terkadang memang kita perlu bersikap adil, Jung."

Yunhee menatap semuanya. Jimin, Jungkook, Hoseok atau mungkin juga Seokjin yang masih bersimpuh di hadapannya. "Karena tujuan utamaku sudah selesai, maka aku ingin perundingan. Taehyung tidak perlu mengatasi kasus ini apabila kalian merahasiakan kemunculanku kembali. Ryu tidak boleh tahu bahwa aku masih hidup." 

Setelahnya Yunhee berbalik, berniat meninggalkan tempat itu segera. Tidak peduli dengan tatapan keheranan atau mungkin juga takut. Tetapi kembali lagi tangan Taehyung menyelanya tanpa permisi. Menghentikan langkahnya sekali lagi. "Yunhee-ssi, tunggu."

"Bukankah kau teramat kejam jika tak menemui Ryu sekali lagi. Dia sangat tersiksa dengan kematianmu."

Diam. Untuk pertama kalinya ia menatap Taehyung tanpa emosi. Pria Han tahu, keinginan itu pasti ada walaupun sangat kecil kemungkinannya. Tetapi memang pada dasarnya tidak ada yang bisa menduga pemikiran seorang Bae Yunhee. "Bukankah kau mencintainya?"

Ada sesuatu yang tiba-tiba mengimpit dada Yunhee dengan begitu sesak. Ia tahu ini sangat menyiksa. Ia tahu Ryu sangat kesusahan dengan kembali menyusun kepingan-kepingan kehidupannya sekali lagi. Tetapi pada dasarnya ketika mereka bertemu dan menyatukan cinta, keduanya akan saling melemahkan.

Yunhee sudah pernah berkata bahwa sampai kapanpun ia tidak pernah merasa pantas untuk Ryu. Mereka berbeda. Yunhee tidak bisa hidup di bawah dominasi, sebab ia selalu ingin mendominasi. Maka memungut keputusan dengan menjaga dan mengagumi dari balik ribuan jarak adalah jalan terbaik. Ryu adalah orang yang teramat baik, dan ia pantas untuk memiliki kehidupan yang lebih baik pula. Dan tentu bukan dengan dirinya, sebab hidupnya sudah penuh dengan lumuran dosa, hati yang sudah tidak dapat lagi dipaksa untuk bertahan karena telah dihunjam oleh banyak kesakitan dan siksa batin. Dan sampai kapanpun, yang sudah cacat tidak bisa lagi diperuntukkan untuk menjadi sempurna.

Yunhee kembali setelah terdiam beberapa saat. Setelahnya menatap Taehyung dengan mata yang sudah berair. "Bahkan ketika aku mencintainya, tetap saja ia bukan milikku, Tae. Karena pada dasarnya aku tidak berhak untuk itu." Namun pada dasarnya, alasan Yunhee tak ingin lagi menemui Ryu adalah bukan masalah membenci, tetapi perihal ia tak ingin membuat Ryu menyesal. Hanya itu. Ia hanya tidak ingin bertemu dengan tatapan Ryu yang mendamba dan memintanya tak ingin pergi.

Melangkahkan kaki dengan teramat sulit. Menguatkan hatinya sekali lagi. Merenung pada setiap tapakan kaki. Kembali dibawa pada kepingan lalu. Tentang bagaimana ia jatuh cinta pada anak musuhnya sendiri, terjebak dalam dilema yang melemahkan antara menjaga dan pergi. Diawali dengan sandiwara dan mengakhiri dengan senggalan luka lara. Pada dasarnya dendam akan selalu berakhir menyedihkan. Tidak ada kebahagiaan setelahnya. Dan lalai, pada dasarnya manusia tidak dapat selalu terus konsisten dengan ucapan dan niatnya. Bahkan seorang penjahat pun juga memiliki kelalaiannya, termasuk jatuh cinta dengan musuhnya. Begitu pula dengan Bae Yunhee—sang Villain yang dilindungi oleh musuhnya atau mungkin juga dikagumi dan dicintai tanpa tahu bahwa ia selalu membawa bahaya.

Teruntuk engkau yang pernah menggenggam tanganku.
Melepas hawa dingin pada sekujur tubuh dengan pelukan hangat. Kalimat menenangkan dan jua segala bentuk afeksi yang selalu ingin kudapatkan. Teruntuk Tuan Ryu, si pemilik kesabaran selapang larikan ombak laut berserta samudra dan hati sedamai harum sejuk embun di pagi hari. Tatap mata seindah binaran bulan dan senyum manis dengan lesung pipit yang selalu menyerta. Terimakasih banyak sudah berkenan menjadi rumah untuk satu insan rapuh ini. Kalau kau tanya apakah senyummu masih menjadi canduku dan rambutmu adalah favoritku, maka aku tidak dapat menampik dengan kalimat apapun sebab itu selalu benar adanya. Semua tentangmu indah. Terlalu indah, hingga aku tak bisa memilikinya.

Amsterdam, Bae Yunhee.

The lethe.


fin.






Setelah banyak keraguan karena aku ketik ending pas lagi writter block. Finally lethe bisa selesai. Maaf ya, kalau endingnya gasesuai ekspetasi kalian. Mari sudahi teori-teori memusingkan dan perbadutan ini. Gak jadi sad ending, kan? Aku sudah mencoba untuk membuat ending yang realistis dan adil untuk semua pihak.

Terimakasih untuk segala macam apresiasi dan dukungannya selama ini. Rlly mean a lot to me. Kalian bener-bener support system aku sampai akhir cerita ini, dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Aa sini pengen peluk satu-satu.

Bahagia selalu ya, kalian. Jangan lupa jaga kesehatan. Sampai jumpa di cerita lainnya. Lemme send u a bunch of love with varian taste. Ily, borahaek!🥰💜🌻🧚🏻‍♀️✨💖

Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 283 7
21+ Fantasi + adult + romantis. Delia wanita yang sudah menikah selama 3 tahun depan Sean seorang pengusaha muda dan sukses pernikahan yang pikir aka...
5.2K 830 10
[Fushiguro family] Tanggal 22 Desember di Jepang dikenal sebagai Hari Toji, yaitu hari dengan jam siang terpendek dalam setahun. Pada tanggal 22 Dese...
5.5K 746 22
[𝐍𝐂𝐓 𝐃𝐑𝐄𝐀𝐌 𝐗 𝐓𝐇𝐄 𝐁𝐎𝐘𝐙 𝐗 𝐏𝐑𝐎𝐃𝐔𝐂𝐄] Acropolis, sebuah teater megah yang mengusung nuansa abad 18 menjadi saksi bisu bagaimana po...
33.1K 3.4K 14
"Park Jimin hanya milikku! Siapa kau, jalang yang berani-beraninya menyentuh wajah menawannya!" Aku melihat gadis di hadapanku tengah bergetar ketak...