Jendela Joshua (End)

By meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 06 - Ingin Membantu

157 37 9
By meynadd

     Selama Joshua dan Hendra menetap di rumah keluarga itu, beberapa hal di antaranya menjadi bahan renungan dan bermanuver bebas di benak. Sempat pula mengaitkan sebuah kesialan-keberuntungan pada rentetan kejadian yang dialami dan merasa bahwa Tuhan telah memberikan mereka jalan dan petunjuk, meskipun Joshua terkadang abai dalam segala macam situasi.

     Dia bertanya-tanya dan membayangkan bagaimana kedua orang tuanya tinggal dan menetap di Jogja berbulan-bulan sebelum mereka berpindah ke Busan. Tentu Joshua tak diberi tahu.

     Baru kali ini dia mengetahui hal tersebut dari Budi yang menceritakan segalanya. Dulu Joshua mengira Evans adalah seorang imigran Indonesia yang bekerja di Korea. Kemudian akhirnya menikah dengan Seo Mi, lalu mengubah kewarganegaraan atau memiliki kewarganegaraan ganda, ternyata bukan.

     Joshua bahkan tak menyangka sang Ibu pernah menginjakkan kaki di negeri asing, padahal selama ini mereka hanya membincangkan seputar apa yang terjadi di Busan dan sedikit membicarakan seputar Jogja dengan Evans dan pekerjaannya.

     Tampak siluet ayam sedang mengumandang kokokan dari atas kandang beratap seng, bertengger gagah dengan latar belakang langit biru donker agak kegelapan

     Di saat orang-orang masih terlelap, Joshua dan Hendra lebih dulu terbangun kemudian mengemasi barang-barang dengan maksud hengkang dari menetap selama empat hari.

     "Mau saya antar kalian ke tempat kalian kerja? Jaraknya juga lumayan jauh dari sini," tawar Budi yang telah mendapat persetujuan oleh Mbok Susi, ketika dua pemuda itu sudah berada di ambang pintu rumah.

     "Nggak usah repot-repot Pak, kami bisa pergi pakai angkutan umum. Terima kasih untuk semuanya Pak ... Nek ...," jawab Joshua disertai anggukan Hendra.

     Budi dan Mbok Susi mendekat ke arah mereka, mengucapkan salam perpisahan sebelum mereka beranjak pergi.

     "Hati-hati saja di jalan. Kalau ada sesuatu beri tahu pada saya ya?" Budi menepuk pundak Joshua sambil tersenyum.

     Lantas Joshua dan Hendra menyalami bergantian penghuni rumah itu, mengangkat telapak tangan kemudian menempel ke kening masing-masing. Sebuah kebiasaan lokal yang telah dipelajari Joshua terhadap ayahnya sewaktu dia duduk di sekolah dasar.

     Budiman dan Mbok Susi membalas lambaian tangan Joshua dan Hendra dari kejauhan kemudian akhirnya dua presensi itu menghilang dari pandangan.

     Gang sempit yang dilalui terasa begitu sunyi sekaligus gelap, ditambah minimnya penerangan di sudut jalanan. Walaupun kala itu menunjukkan pukul lima subuh, tapi penampakan seperti pada malam hari.

     Hendra bergidik ngeri diteror lolongan anjing-anjing ketika melintasi sekitar kompleks perumahan. Joshua berdecak sebal akan diri Hendra yang mudah sekali terpengaruh pada mitos kemunculan hantu di saat anjing melolong yang didengarnya dari mulut ke mulut.

     Semilir hawa dingin menerpa tubuh kurus keduanya, sehingga membuat Hendra menggosok-gosok bagian lengan yang disilangkan ke dadanya tapi untuk seukuran Joshua tidak terlalu dingin.

     "Hen, kira-kira jam segini ada angkutan lewat?" Joshua memecah keheningan sesaat, dia langsung menoleh ke belakang lantas mengernyitkan dahi. Baru menyadari bahwa Hendra menghentikan langkahnya.

     "Hen? Hendra?"

     Pemuda berkulit cokelat itu mematung, wajahnya berubah pucat pasi, tubuh yang bergemetaran. Pandangan tertuju pada segerombolan siluet di ujung gang tanpa melirik sedikitpun ke arah Joshua.

     "Josh, kita ambil jalan lain ya?" Suara Hendra bergetar berusaha untuk tidak terlihat panik. Pada kenyataan bahwa dia langsung mengambil ancang-ancang untuk berbalik arah.

     "Ha?"

     "Josh! Buruan!!"

     Pemuda berkulit putih pucat itu masih bingung, hingga sebuah suara berhasil membuatnya menoleh ke depan. Dia tersentak bukan main.

     "Woi! Mau kemana?! Kesini kalian!"

     Joshua lantas menyusuli Hendra yang sudah lebih dulu terengah-engah, menghindar dari jangkauan para preman yang dipenuhi rasa kekecaman mendalam.

     Gejolak hati terpacu-pacu diikuti langkah-langkah kaki yang menggebu-gebu. Rasanya seperti dikejar oleh segerombolan anjing yang menyalak dengan keras. Hembusan napas mulai naik-turun, berusaha mengontrol tubuh agar tidak limbung di tengah jalan.

       Di depan, Hendra yang memimpin jalan, mengarahkan mereka berdua ke suatu tempat. Kali ini Joshua tak punya akal lagi untuk menolak instruksi Hendra, yang sebelumnya berujung pada kecerobohan. Ransel dan sebuah kardus saja menyulitkannya untuk bergerak dengan bebas, sementara Hendra yang memeluk gundukan plastik besar itu tidak menyulitkannya sama sekali, seolah isi dalamnya berupa hidrogen yang sangat meringankan pergerakannya.

     Mereka berbelok dengan cepat ke sebuah gang sempit lainnya, jauh lebih sempit menyesuaikan ukuran para pejalan kaki atau sepeda motor yang lalu lalang.

     Tubuh-tubuh mereka menyandar ke tembok lalu sesekali mencuat kepala, mengintai apakah "anjing-anjing" itu masih mengikuti atau tidak?

     Suara riuhan langkah-langkah kaki perlahan mendekat ke arah kanan mereka berdiri. Terlonjak, memaksakan mereka untuk berjongkok dan menunduk, kalau-kalau edaran mata para preman berhasil menemukan keberadaan mereka sekarang.

     Joshua dan Hendra sudah bisa meregangkan tubuh setelah para preman yang nampak frustrasi hingga berbalik ke basecamp.

     "Keparat! Bisa-bisanya dia terus-terusan mengincarku. Padahal aku pernah bilang padanya akan melunasi utang itu cepat atau lambat!"

     Hendra berhasil meluapkan kemuakannya dalam satu tarikan napas. Walaupun bukan urusan Joshua sama sekali, dia tak sampai hati melihat temannya berurusan dengan utang-piutang, apalagi Hendra yang berkeinginan untuk pulang ke kampung halaman, di Pontianak.

     Jatah penghasilan saja dua puluh lima ribu per bulan untuk setiap karyawan, terlebih Marzuki tak terima negosiasi dalam bentuk apapun hanya karena mereka mendongkrak agar gaji dinaikkan olehnya.

     Joshua justru memikirkan alasan di balik hutang tersebut dan berapa nominalnya? Namun kecil kemungkinan Hendra memberi tahu hal tersebut.

     "Aku bisa membantu untuk itu. Setidaknya setengah dari gajiku nanti akan ku—"

     "Nggak. Nggak usah! Aku bisa mengurusnya sendiri," ringis Hendra.

***

***

     Semburat jingga mulai terlihat dari ufuk timur. Hingga sinar naik ke langit, menyilaukan beberapa pasang mata. Pengendara roda dua dan roda empat mulai menguasai jalan raya, terutama angkutan-angkutan umum yang berserakan dimana-mana.

     Mereka menaiki salah satu angkot. Berwarna kuning, berbentuk layaknya minibus. Namun, berukuran kecil dan pendek. Tempat duduk yang tersedia hanya memuat tiga ruang, para penumpang harus rela bersempit-sempitan jika ada beberapa penumpang baru menaikinya.

     Kedua pemuda itu lantas masuk menunduk kemudian duduk menyamping dengan kepala yang hampir menyentuh bagian atas angkot. Unik, menurut Joshua. Tak pernah dia temukan modelan angkutan ini di tempat asalnya.

     "Kemarin kamu ada bilang kalau Pak Budi membincangkan soal rumah ayahmu, kan? Jadi, kamu masih ingin mencari beliau?" tanya Hendra tiba-tiba yang sukses membuat Joshua seketika kalut.

     "Entahlah, harus mencari kemana emangnya? Alamat rumah saja nggak tahu!" ketus Joshua. Lalu mendapati tatapan-tatapan kurang mengenakkan oleh sesama penumpang. Lantas dia membuang muka ke arah jendela angkot seraya berujar.

     "Untuk apa kamu berusaha membantu kalau bantuan aku saja kamu tolak mentah-mentah?" Dia merendahkan intonasi dengan sinis sehingga Hendra yang berada di samping berdecak, menggeser tubuh sedikit ke kanan.

     Sepanjang perjalanan, angkot berhenti bergiliran. Menurunkan beberapa penumpang sesuai rute yang dituju masing-masing. Hanya tinggal menyisakan dua pemuda yang tak kuasa menahan kantuk lebih lama lagi, saking bosan memandangi jalan, tapi tak kunjung sampai ke rute tujuan mereka.

     Angkot segera melewati  perempatan tugu Jogja, kemudian melesat lurus ke arah selatan. Goyangan-goyangan pada angkot yang ditimbulkan tak membuat mereka terganggu apalagi ketika angkot melaju dan hampir mendorong tubuh ketika terlelap.

     Tak berselang lama, angkot memberhentikan mereka tepat di depan kedai. Terlihat beberapa orang di sana tengah membawa barang bawaan sambil menunggu-nunggu agar pintu besi terbuka. Sang supir menyahut Joshua dan Hendra yang terbangun di kursi belakang tak lupa menagih ongkos.

     "Hendra ...."

     Joshua mencoba mendamaikan suasana di antara mereka sebelum melangkah menuju kedai. Dia menghela nafas dalam.

     "Maaf atas kelancanganku tadi. Aku cuma mau ada korelasinya."

     Hendra terdiam cukup lama, memikirkan sesuatu.

     "Gimana kalau kita kerja sama, Josh? Maaf, aku bukannya nolak bantuanmu, tapi aku nggak mau membebankanmu dengan urusanku. Kita sama-sama menyelesaikan utang itu, baru kita sama-sama mencari ayahmu? Sepakat nggak?"

     Hendra mengulurkan tangan, menunggu Joshua yang menimang-nimang usulan tersebut.

     "Sepakat," timpal Joshua bulat lalu menyambut erat uluran tangan Hendra dengan mantap.



Hlm 06 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 763 31
[Rom-Com] Cerita klasik, picisan, dan cheesy tentang Chanyeol dan Wendy. Jane merupakan mahasiswi yang hobi ngegas sana-sini dan prinsipnya adalah se...
511 140 9
Kenangan bermakna akan selalu terkenang dalam sejarah. Menjadi pengikat keteguhan bagi insan-insan berikutnya. Lantas, bagaimana sejarah ini kembali...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

232K 2.2K 18
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
17M 816K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...