The Thing Between Us

By Janeloui22

51.8K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[3] Tiga Tingkat
[4] Perfectly Match
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[5] Meet You at September

2.1K 261 78
By Janeloui22

Another gaje section with meh. Leave your thought on it please meskipun ini nggak jelas pake banget. Hehehe

•Meet You at September•

Summary: A not-so-care teen, Jung Jaehyun, met Roseanne Park at the third week of September. He started to grow an interest on the girl who had the warmest smile ever.

“I’ve begun to realize that you can listen to silence and learn from it. It has a quality and a dimension all its own.”
—Chaim Potok—

Sore ini tidak hujan—pun tadi pagi. Ini membuat Jaehyun mengajukan pertanyaan, ‘Kenapa gadis ini basah kuyup?’, yang tak cukup berani ia lontarkan. Jung Jaehyun tidak mau dianggap sebagai pemuda genit yang berusaha menggaet anak SMA random seumurnya saat sedang menunggu bis di halte, tapi gadis kuncir satu tanpa poni di sampingnya benar-benar kelihatan kacau. Seragam putih tanpa blazer yang ia gunakan menewarang—menampilkan bra hitam yang sebenarnya tak ingin Jaehyun lihat. Tapi instingnya terus membawa matanya turun, mengamati gadis dengan kesadaran diri rendah itu.

Jaehyun menelan ludah. Ia menampar pipinya sendiri—mengalihkan pandangan dari gadis yang berdiri celingukan di depannya. Tangannya mengusak rambut, menimang-nimang niat yang sangat mungkin jadi keputusan paling besar dalam hidupnya. Sialan. Jaehyun ingin mengumpat. Sepanjang 17 tahun hidupnya, ia tak pernah sepeduli ini pada orang lain. Ia hanya tidak mau peduli karena itu merepotkan. Tapi, jika ia tak bertindak, gadis itu mungkin bakal menerima perlakuan yang lebih buruk dari sekadar ditatap sepasang mata jelalatan orang lewat.

“Hei,” suara Jaehyun terdengar ketus. Tapi suaranya tak sejalan dengan tindakannya. Jaehyun melepas jas hitam beludrunya, menaruhnya di atas kepala Si Gadis yang kelihatan bingung. “Bajumu basah. Itu menganggu mataku.”

Gadis itu tak menjawab, hanya mengamati Jaehyun dengan ekspresi polos. Pemuda itu kembali mengumpat dalam hati. Gadis itu sangat cantik. Wajah Jaehyun memerah—membuatnya membuang muka karena malu.

“Kau harus mengembalikan jasku,” tutur Jaehyun nyaris seperti gumaman. Ia melirik gadis itu, kemudian mengeryit karena di hanya menatapnya dan tidak mengucapkan apapun. “Kau harus mengatakan terima kasih. Aku sudah membantumu.”

Gadis itu tetap tidak bersuara. Tangannya menyentuh jas milik Jaehyun, membukanya, berniat mengembalikannya. Tapi bukan itu yang membuat Jaehyun terkejut. Gadis yang kelihatan seelok para dewi yang dilukiskan TV itu membuka mulut, tapi tidak ada kata yang terlontar, hanya sebuah ‘A’ yang tidak jelas. Jaehyun terdiam—gadis ini tunawicara. Bahkan tunarungu.

“Aku… tidak paham,” desis Jaehyun, ekspresinya kelihatan sangat bingung.

Gadis itu menggerakan jari-jemarinya, tapi Jaehyun tak paham bahasa isyarat. Ini terlalu sulit. Berkomunikasi biasa saja sudah sulit, apalagi harus berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan seorang tunarungu dan tunawicara.

“Eu eu,” tutur gadis itu sembari memegangi jas milik Jaehyun dan masih berusaha bicara dengan bahasa isyarat.

“Kau bilang apa?” kata Jaehyun agak panik. Dia menarik napas, mendorong gadis yang perlahan semakin dekat dengannya lalu berdehem, mengatakan, “KAU-BIL-ANG-A-PA? A-KU-TI-DAK-PA-HAM.”

Gadis itu diam. Ia menunjuk telinganya, lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Jarinya yang lentik juga menunjuk mulut Jaehyun, lalu mengangguk, kemudian menggeleng lagi sambil menggumamkan sesuatu yang tak Jaehyun pahami.

“Tunggu,” tahan Jaehyun sebelum mengeluarkan ponsel dan menuliskan sesuatu di sana. Ia mengangkat ponselnya, menunjukkan tulisan berbunyi: Aku tidak paham. Kau paham apa yang kukatakan? Anggukan kepalamu kalau ‘ya’. Gadis itu mengangguk. Jaehyun kembali menuliskan sesuatu di ponselnya. Katanya: ‘Aku Jung Jaehyun dari SMA SH, kau siapa? Jangan beritahu namamu kalau menurutmu aku kelihatan aneh dan seperti laki-laki mesum. Tapi, apapun yang kau pikirkan, kau harus tetap mengembalikan jasku. Aku cuma punya dua. Jasnya mahal.’

Gadis itu sedikit menyipitkan mata saat membaca tulisan Jaehyun di ponselnya. Beberapa saat kemudian, sambil mengangkat tangan di depan Jaehyun, ia mengeluarkan ponsel dan mengetikan sesuatu di sana. Jarinya bergerak dengan cepat—seperti mesin. Itu membuat Jaehyun terpukau. Kata gadis itu: ‘Aku Roseanne Park dari SMA Putri D, kau tahu sekolahku?’

Jaehyun mengangguk. Mulutnya mengatakan, “RO-SE-AN-NE,” agak keras dan jelas.

Roseanne kembali mengetik di ponselnya, lalu menunjukkannya pada Jaehyun sembari menyodorkan jasnya. ‘Rose saja. Ngomong-omong, terima kasih karena sudah meminjamkan jasmu. Tapi aku tidak kedinginan. Kau bisa mengambilnya lagi.’

“Mana mungkin aku mengambilnya! Kau membutuhkannya dasar perempuan bod—” Jaehyun menelan kata terakhir dalam kalimatnya. Dengan hati-hati ia mengamati Rose, gadis itu tidak paham, syukurlah. Jaehyun kembali mengetik di ponselnya, menuliskan: ‘Kau membutuhkannya.’

‘Tidak. Bajuku akan kering.’ Rose kembali menyahut melalui ketikan di ponselnya.

Jaehyun menarik napas dalam. Ia melirik wajah Rose yang cantik dan bersinar—hidungnya yang kecil kelihatan agak merah sementara mata gelapnya tampak berkilauan seperti manik-manik. Sangat cantik. Itu membuat Jaehyun malu.

‘Bra hitam di balik seragammu kelihatan. Sangat jelas. Bajumu tidak akan kering dengan cepat. Jadi pakai saja dan cepat pulang sebelum masuk angin. Dan sebelum ada lebih banyak orang yang melihat.’

Keterangan Jaehyun membuat Rose terdiam. Tatapannya turun ke bawah, mengamati dirinya, kemudian menutupi tubuhnya dengan jas milik Jaehyun—membuat Si Pemilik semakin salah tingkah.

“Dengar, aku tidak melihatnya! Maksudku, aku melihatnya tapi tidak banyak! Aku memberitahumu karena kasihan! Jangan menuduhku seperti itu!” pekik Jaehyun sembari mundur satu langkah ke belakang. Ia menjulurkan kedua tangannya sambil menutup mata, berusaha sangat keras untuk membersihkan namanya dan membuat kesalahpahaman Rose mereda.

Tapi, Rose tidak salah paham sama sekali. Tangannya menepuk pundak Jaehyun, kepalanya sedikit dimiringkan sehingga sepasang mata indahnya bisa melihat wajah si pemuda yang gampang salah tingkah. Tawanya kedengaran jelas dan lancar. Jaehyun meliriknya, menabrak sepasang matanya yang gelap, kemudian terjerembab ke dalam pesona yang tak pernah ia sangka sebelumnya.

Tidak apa-apa Jaehyun. Aku tahu kau tidak bermaksud buruk. Rose mengatakan itu menggunakan bahasa isyarat. Ia menangkup kedua wajah Jaehyun dengan sepasang tangannya yang menebarkan aroma seperti teh yang bercampur dengan aroma tidak sedap—seperti bau pesing yang membuat Jaehyun mengeryit dalam.

“A-PA KAU DI-JA-HI-LI? HA-RUS CE-PAT PU-LANG DAN MAN-DI,” katanya.

Rose melepaskan kedua tangannya. Membaui tubuhnya, kemudian membungkuk sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Ia melakukan itu beberapa kali sampai membuat Jaehyun panik dan gelagapan.

“Tidak, tidak, aduh sungguh! Tidak apa-apa!”

Didorong perasaan panik dan kasihan, Jaehyun lantas menggenggam tangan gadis itu, memakaikan jas seragamnya lalu memegangi kedua pundak Rose yang terasa kurus dan kecil di tangannya.

“Sekarang kan sudah mulai masuk musim gugur, ini sudah minggu ketiga September, kenapa kau tidak memakai jasmu? Kenapa hanya memakai kemejanya saja? Ah, aku berbicara terlalu cepat, maaf. Kau tidak harus memahami yang barusan sih. Lagipula aku cuma orang asing,” kata Jaehyun kemudian melepas tangannya dari pundak Rose. Ia kembali menuliskan untaian kata di ponselnya. Isinya: ‘Biasanya aku tidak pulang sesiang ini karena basket dan bimbel. Kau selalu naik bis di halte ini? Waktunya selalu sama? Tapi sekolahmu kan agak jauh dari sini, kau kesasar? Ya, apapun itu, kembali dengan selamat dan beristirahatlah. Besok atau lusa aku akan menunggumu pada jam-jam ini. Kalau sampai sepuluh menit aku belum datang, tolong pulang saja.’

Rose mengangguk, lantas berdiri tegap, kemudian kembali membungkuk pada Jaehyun. Tingkahnya sangat manis—Jaehyun harus mengakui itu. Mungkin, anak-anak perempuan memang selalu semanis itu, pikir Jaehyun. Bahkan senyum yang ditorehkan bibir agak pucatnya kelihatan sangat cantik. Jaehyun bisa merasakan internal nosebleeding. Tentu, itu hanya imajinasinya saja.

“Eu…,” kata Rose sembari menunjukkan ponselnya pada Jaehyun.

Pemuda itu membaca tiap baris kata yang Rose tuliskan. Matanya melirik gadis itu, kemudian kembali turun ke ponselnya, sebelum berdiri dan menggaruk tengkuk. Jaehyun hanya tidak pernah mengira kalau dirinya bakal menjadi wadah curhat gadis asing yang ditemuinya di halte.

“Kenapa teman-temanmu harus membawa ember berisi air kencing? Itu jelas-jelas perundungan, kau seharusnya melaporkan mereka. Bahkan mereka sampai merusak hearing aid punyamu. Hearing aid kan mahal,” kata Jaehyun. Ia sadar kalau Rose tak bisa mendengar suaranya, gadis itu hanya menatap dirinya dengan muka ramah yang berseri. Itu membuat Jaehyun sedih—ia sampai mendongakan wajah untuk menahan air mata yang membayangi pelupuknya. “Padahal kau cantik dan baik, kenapa mereka setega itu ya? Anak perempuan memang menakutkan.”

Suara bis di depan membuat Jaehyun terlonjak. Ia melirik Rose, kemudian menunjuk bis, matanya seolah berusaha mengatakan, ‘Kau bisa naik bis itu kalau mau pulang ke rumahmu’, sebuah cara yang entah bagaimana dipahami oleh Rose. Jaehyun mengangguk, lalu mempersilahkan gadis itu pergi dengan gestur yang sopan.

Terima kasih, Jaehyun. Rose mengatakan itu dengan jari-jarinya. Lawan bicaranya tidak paham. Ia tahu itu. Tapi ekspresi bingung yang Jaehyun tunjukan membuat hati Rose bergetar. Senyum yang gadis itu torehkan tampak lebar, ia melambaikan tangan, sebelum masuk ke dalam bis setelah merapatkan jas milik Jaehyun di tubuhnya. Sekali lagi Rose melambaikan tangan—sebelum menghilang bersama bis yang membawanya pulang.

Jaehyun termenung. Rambutnya yang selalu berantakan—selalu mengundang amarah guru—diterpa angin. Kulitnya merasakan sensasi dingin yang menusuk. Jaehyun memeluk tubuhnya. Menurutnya Rose sangat hebat karena bisa berdiri cukup lama dengan pakaian basah di musim gugur seperti ini.

“Dia bahkan tidak tahu cara pulang sendirian. Gadis malang. Seharusnya dia tidak disekolahkan di situ. Itu kan… bukan sekolah untuk para difabel.”

Ia kembali mengarahkan pandangan ke samping kiri, memandang jejak samar bis yang berlalu beberapa saat lalu. Sorenya terasa sendu. Tapi di lain sisi, entah bagaimana, hatinya merasakan sensasi hangat yang menggulung. Jaehyun mengulas senyum tipis, lalu berjalan ke depan saat bis yang biasa ia gunakan untuk pulang tiba pada waktu yang sudah ditetapkan.

Satu minggu berlalu, Jaehyun tidak bertemu Rose di tempat yang sudah mereka janjikan. Itu membuatnya agak pesimis. Mungkin sore ini pun Rose tidak akan ada di halte dekat sekolahnya. Jaehyun sedikit memberenggut. Sisi lain dirinya merindukan sosok gadis paling cantik meskipun agak bau pesing. Ia ingin menceritakan pertemuannya dengan Rose pada seseorang, siapapun, asal bukan teman-temannya. Menceritakan persoalan semacam itu pada mereka hanya akan membuat Jaehyun diperolok.

Lengguhan napasnya terdengar keras. Jaehyun menggiring bola di lapang basket seenaknya—tanpa gairah dan tidak memiliki ritme. Tak biasanya permainan Jaehyun sekacau ini. Kawan-kawannya mengajukan protes, tapi Jaehyun hanya akan mengiyakan dan tetap tidak menunjukkan perubahan. Pikirannya sedang mengembara dan tertambat pada sesosok gadis yang ditemuinya kurang dari satu jam dan bercakap-cakap dengannya melalui ponsel. Jaehyun berhenti berlari, terdiam selama beberapa saat.

“TIDAK MUNGKIN!” raungnya keras.
Kawan-kawannya serempak melihat ke arahnya. Point Guard paling bersemangat dan hebat yang mereka tahu kelihatan agak gila. Maksudnya, Jaehyun memang selalu kelihatan agak gila dan berisik, tapi kali ini dia menunjukan varietas kegilaan lain.

Kim Mingyu, center di timnya, melempar bola tepat mengenai bokong Jaehyun sebelum berteriak,
“Hei Kapten! Jangan kacaukan ritme permainannya! Kau sudah gila ya?!”

“Larimu bahkan lebih pelan daripada siput! Aku tidak bisa membuat skor! Kau membuat tugasku sebagai small forward kacau!” timpal Bambam, anggota paling pendek di timnya.

“Ada yang menganggu pikiranmu, Kapten?” tanya Cha Eunwoo, pemain yang paling sering tebar pesona dan menggoda penonton perempuan.

“Pikirannya memang selalu terganggu,” Bambam kembali menimpali.

Jaehyun meliriknya, membuat Bambam buru-buru membuang muka sambil bersiul. “Tidak ada. Hanya sedikit pusing karena—”

“Ada perempuan cantik yang mencari Kapten Jung!” pekik seorang anak laki-laki lain memotong kalimat Jaehyun. Kim Jungwoo berlari pontang-panting, kemudian menarik Jaehyun ke luar dari arena pertandingan.

“Kim Jungwoo! Permainannya masih berlangsung!” semprot Mingyu keras. Kerjaannya memang marah-marah.

“INI KAN CUMA LATIHAN!” Jungwoo membalas dari seberang arena. “Ikuti aku semuanya! Kapten Jung mau melepas status lajangnya!”

“Hei! Apa yang sedang kau katakan, bodoh?!” kata Jaehyun tak terima. Ia bingung, tidak paham dengan situasi yang terjadi saat ini.

Bambam jadi yang kedua mengikuti. Dia berlari secepat kilat. Katanya pada beberapa orang yang masih berdiri di arena basket, “Ini momen bersejarah! Eunwoo, sebaiknya siapkan kamera karena Kapten akan menerima pengakuan dari seorang gadis!”

“Apa yang spesial? Jaehyun selalu ditembak tiap minggu oleh gadis di sekolah kita,” kata Eunwoo malas. Ini bukan hal baru bagi anak-anak di tim basket.

Jungwoo kembali melongokan diri di balik pintu. Katanya, “Ini siswi dari sekolah lain. Sekolah putri. Aku akan membawa Kapten Jung dulu. Sebaiknya ikut kalau tidak mau menyesal!”

“Kim Jungwoo sialan!” raung Jaehyun memenuhi koridor sekolahnya. Ia menutup wajah, masih berlari saat ditatap oleh puluhan pasang mata siswa-siswi di sepanjang jalan yang ia lewati.

Langkah mereka terhenti di dekat Pos Satpam. Jungwoo mendorong Jaehyun, hampir menabrak gadis dengan seragam merah maroon di depannya. Mata Jaehyun membulat saat menangkap sosok Rose sedang tersenyum dengan kehangatan yang selalu ia ingat. Suasananya mendadak canggung. Jaehyun melirik Jungwoo, kemudian pada semua anak yang mengintip lewat jendela sekolah.

“Kacau,” desis Jaehyun sambil menggaruk tengkuk. Ia menggigit bibir, lalu mengulurkan tangan ke bawah, meraih tangan Rose dan membawanya keluar dari area sekolah.

“ASTAGA KAPTEN JUNG MAU MENGAJAKNYA PACARAN!” Jungwoo memang sangat pandai menebar kebohongan. Tingkahnya yang heboh agak membuat Jaehyun kesal. Tapi kali ini ia akan membiarkannya. Jungwoo bisa diberi pelajaran nanti.

“JUNG JAEHYUN AKHIRNYA PUNYA KEBERANIAN UNTUK MEMEGANG TANGAN PEREMPUAN!” jelas Bambam merupakan partner terbaik Jungwoo dalam menebar desas-desus di sekolah.

“Jaehyun benar-benar punya pacar!” bahkan Eunwoo pun sama saja.

“Aku juga ingin menggenggam tangan Mina!” Mingyu hanya membuat keadaan semakin tidak kondusif.

Jaehyun? Apa aku mengganggumu? Rose bertanya menggunakan bahasa isyarat.

“Aku tidak paham apa yang kau katakan, tapi aku baik-baik saja. Kau bisa mendengarku?” tanya Jaehyun masih melangkah sedikit di depan Rose. Ia melirik gadis itu, melihatnya menunjuk telinga yang dipasang hearing aid. “Warna putih terlihat cocok denganmu.”

Pujian Jaehyun membuat Rose tersenyum. “Ah Ja,” katanya sembari menarik tangan Jaehyun agar menghentikan langkahnya. Ia menyodorkan kantong kertas berukuran sedang, meminta Jaehyun untuk membawanya. Rose mengeluarkan ponsel, lalu menunjukkannya pada Jaehyun. ‘Maaf baru mengembalikan hari ini. Kemarin aku sempat sakit. Tapi aku baik-baik saja sekarang. Aku sudah mencuci dan menyemprotkan pewangi di jasmu. Terima kasih Jaehyun!’

“Kau bahkan sudah menyiapkan apa yang mau dikatakan! Kau benar-benar penuh persiapan!” kata Jaehyun tak percaya. Ia melirik tangannya yang masih menggenggam Rose, melepaskannya dengan cepat dan canggung. “Maaf, aku tidak bermaksud buruk.”

Rose menggelengkan kepala. Senyumnya selalu terpatri di wajah cantiknya yang halus. Ia kembali menyodorkan jas di dalam kantong kertas pada Jaehyun. Pemuda itu kelihatan sangat kikuk.

“Terima kasih. Kupikir kau lupa. Tadinya aku mau menuntutmu,” canda Jaehyun dengan tampang serius. Ia tersenyum, menampakkan deretan giginya yang rapih, sementara Rose menunjukkan ekspresi terkejut yang kelam. “Tidak, aku cuma bercanda. Tapi aku memang mengira kau lupa. Tiap hari aku melewatkan sesi sore hanya untuk ke halte dan menunggumu. Padahal kompetensinya bulan depan. Itu kompetensi terakhirku di SMA. Setelah itu aku harus fokus untuk ujian masuk ke universitas. Kau sudah punya universitas tujuan?”

Pertanyaan Jaehyun dijawab anggukan. Rose kembali menulis di ponselnya, lalu menunjukkannya pada Jaehyun. ‘Sudah! Aku suka matematika! Mungkin aku bakal memilih statistika. Tapi aku juga akan coba apply ke Julliard. Guru musikku menyarankan begitu.’

“New York ya,” desis Jaehyun pelan.

Kenapa Jaehyun? Kau sedang ada masalah? Kenapa kelihatan murung? Rose kelihatan sedih saat mengatakan itu.

“Hahaha… mungkin aku harus belajar bahasa isyarat,” kata Jaehyun sambil menggaruk tengkuk. “Ah aku juga bisa sedikit. Begini, ‘Halo, kau sehat?’, selain itu aku tidak bisa.”

Bagus sekali. Rose mengacungkan dua jempol untuk Jaehyun. Cara mereka bercakap-cakap sangat terbatas. Tapi untuk beberapa alasan, keduanya merasa sangat dekat, seperti sahabat yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun.

“Ngomong-omong, apa teman-teman di sekolah tidak mengganggumu lagi?”

Pertanyaan itu sengaja tidak dijawab. Senyum di wajah Rose memudar. Dia menunduk dalam.

“Ah, mereka masih mengganggumu ya,” tutur Jaehyun pelan.

Tatapan Jaehyun kembali terangkat. Hatinya berdesir saat rambut hitam Rose yang tak diikat diterbangkan angin. Ia ingin menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga, seperti dalam drama. Tapi kalau ia melakukannya, tindakannya dapat dikategorikan kurang sopan dan itu akan membuat Rose tidak nyaman.

“Rose?” panggil Jaehyun tanpa kegugupan sedikitpun.

“Eung?” Rose menjawabnya, kembali menorehkan senyum.

“Apa aku boleh jadi temanmu? Aku tahu, mungkin, ini baru kemungkinan ya, mungkin kau butuh teman pria… atau apapun lah. Kau juga sepertinya pintar matematika. Selain matematika, aku pandai dalam segala hal. Kita bisa belajar bersama. Tapi… tapi kau bisa menolak tawaranku jika itu memberatkan atau membuatmu tak nyaman!” tawar Jaehyun agak kepayahan saat merangkai kata. Ia merasa sangat gugup. Agak takut Rose terganggu karena tawaran mendadaknya.

Tapi ketakutan Jaehyun tidak terjadi. Rose meraih kedua tangannya—ternyata dia tidak membenci kontak fisik—kemudian mengangguk. Sepasang matanya berbinar dan senyumnya tertarik semakin lebar. Ia berusaha mengatakan sesuatu, Jaehyun tak memahaminya, tapi pemuda itu tetap tertawa karena menurutnya Rose kelihatan manis.

“Jadi mulai hari ini kita teman?”

Rose mengangguk, masih tersenyum.

“Baik. Kalau begitu, mau kuantar pulang? Mamahku memberi izin untuk membawa motor hari ini. Bambam—temanku—bisa meminjamkan helmnya padamu. Anak itu selalu menyimpan helm di sekolah. Tunggu ya, oh atau tidak, ikuti aku. Abaikan saja anak-anak dungu yang menyorakimu.” Jaehyun mengulurkan tangan, menggenggam tangan perempuan pertama selain ibunya dengan perasaan suka cita yang terasa seperti kembang api.

“Je…yun… su… a…”

“Hah?” Jaehyun tak menangkap ucapan Rose. Ia merasa tak enak karena tak memahami apa yang dikatakan gadis itu. “Aku benar-benar harus menguasai bahasa isyarat secepatnya.”

“Ter… ma… sih…”

Genggaman Rose semakin erat. Jaehyun tidak memprotes. Dia menyukai kehangatan dan perasaan nyaman yang gadis itu berikan. Andai Jaehyun memahami apa yang Rose katakan, mungkin dia akan tersenyum sepanjang malam memikirkan betapa spesial dirinya di mata gadis itu. Tapi, Rose memilih untuk tak memperjelasnya. Dia sangat senang dengan tawaran pertemanan yang Jaehyun berikan. Untuk selanjutnya, mereka hanya perlu menjalani semuanya dan saling memahami. Rose tersenyum—mengamati Jaehyun yang memperlambat langkah untuknya.

Jaehyun, aku suka. Terima kasih.
Roseanne Park, at the last week of September.

Fin—

Iya ini gaje banget maaf. Ku hanya mau ngisi kegabutan dan berbagi hal random yang datang gitu aja sama kalian. Hehehe

Btw, I just wanna spoil a little, ada cerita genre dark-romance di folderku. Kayaknya kalian bakal suka. Chapternya nggak sebanyak itu. Mungkin bakal aku publish kalau udah rambung setengahnya. Hehehehe

Makasih udah mampir. See you~
💙💘💜❣💚❤💗🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

YES, DADDY! By

Fanfiction

307K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
302K 26.6K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
563K 57.3K 28
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
47.8K 6.5K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...