Me vs Papi

By Wenianzari

40.2K 5.4K 1.6K

Kisah sederhana namun rumit dari mereka yang menjadi satu-satunya. Tentang Asterion Helios yang menjadi orang... More

Pulang
Satu April
Peluk Untuk Pelik
Sebuah Harap
Ketika Durenes Baper
Minggu Manis
Kenapa - Karena
Hari Bahagia
Pundak Ternyaman Kedua
Dua Pagi
Menjenguk
Jealousy
Tujuan
Kencan
Don't Leave Me
Welcome to My House
Moment Langka Rion
Dinner
His Everything
Telling a Secret
Pengakuan
Bitter - Sweet
Perasaan Membingungkan
Hallo Om Ganteng
Double Date?
Lost Control
Promise me
Terima Kasih dan Maaf
Morning Drive
Ketakutan Terbesar
Don't Mess With My Daughter
Crying Sobbing
Last Chapter; Me vs Papi
Bonus; Belum Terbiasa

Karena Papi Berhak

734 124 13
By Wenianzari

Hari terakhir libur panjang, Tea memilih untuk menghabiskan waktu dengan Gaby. Mereka keluar untuk mengunjungi Dufan, ditemani dengan salah satu Bodyguard yang sengaja Rion suruh untuk menjaga dua anak gadis tersebut. Maklum saja, salah satu dari mereka ada anak sultan yang perlu dilindungi keberadaan nya.

Usai bersenang-seneng di Dufan, dua gadis itu memilih rehat sejenak di salah satu cafe. Tentu nya, Bodyguard yang Rion suruh tetap mengintili, meskipun keberadaan nya sedikit jauh dari mereka.

Tea mengesah napas panjang seraya mengaduk-ngaduk jus strawberry yang dia pesan. Wajahnya cemberut karena tiba-tiba dia teringat kalau Papi akan segera menikah.

"Muka lo kenapa jadi asem gitu?" Tanya Gaby heran. Tentu saja, beberapa menit yang lalu Tea haha-hihi dengan nya, bahkan terlihat tanpa beban pikiran yang menempa saat menaiki beberapa wahana ekstream. Tapi sekarang wajahnya berbanding terbalik.

"Tea?"

"Papi,"

"Papi kenapa? Sakit?"

"Ih jangan dong."

"Kan gue nanya, Tete." Tea mendengus, panggilan itu, Tea benci mendengarnya, tapi Gaby suka memanggilnya kalau lagi gemas.

"Astaga..... Kenapa sih Tea?" Bukan nya menjawab, Tea malah menyembunyikan wajahnya pada kedua tangan nya sendiru yang dilipat diatas meja, lantas terisak, sampai-sampai Gaby langsung mendekat dan menepuk-nepuk punggung nya pelan.

"Ya Tuhan... Tea, Papi kenapa sih? Lo cerita coba sama gue, biar gue tau---"

"Papi mau menikah, Gaby." Ujar Tea disela-sela isak tangis nya yang semakin menjadi. Sementara itu, bukan nya merespons, Gaby malah diam mematung, dia speechless.

"Lo tahu kan, gue emang mengharapkan Papi menikah, biar gue punya Mami. Tapi---"

"Lo senang, tapi sedih diwaktu yang sama?" Tanya Gaby yang kesadaran nya sudah kembali. Pertanyaan itu kontan diangguki Tea.

Merasa tahu bagaimana perasaan itu, meskipun belum pernah merasakan nya, Gaby semakin mendekatkan dirinya seraya terus berusaha menenangkan Tea, dia bahkan merangkul tubuh Tea yang masih menyembunyikan wajahnya di meja.

"Gue ngerti kok. Soalnya selama ini lo selalu sama Papi. Lo pasti takut kalau nanti Papi berubah atau apalah itu." Tea mengangguk lagi. Air matanya semakin deras mengalir.

"Gue kalau jadi lo juga gitu, kok. Tapi udah dong jangan nangis terus, gue sedih lihat nya." Maka Tea segera mengangkat kepalanya. Wajahnya merah dan air matanya masih terus membasahi pipinya. Gaby yang meskipun suka bar-bar tapi sebenarnya dia memiliki hati yang lembut, dia langsung membawa sahabat rasa kembarannya kedalam pelukan, lantas menangis bersama-sama.

"Kenapa lo juga ikutan nangis, Gab?"

"Gue sedih anjir. Lo tahu nggak sih, kadang-kadang gue suka nangis kalau mikirin lo. Meskipun lo punya segala nya, tapi lo hidup tanpa sosok Ibu dari umur sehari, lo cuma punya Papi Rion yang emang sayang banget sih, tapi kadang-kadang sibuk sama kerjaan nya, sampai lo suka kesepian dan berujung ngerusuhin gue. Terus sekarang Papi mau nikah, gue senang, tapi gue mikirin lo. Kalau nanti Ibu tiri lo jahatin lo gimana? Ya Tuhan... Gue nggak mau lo terluka Tea..." Tangisan Gaby semakin pecah, bahkan lebih dari tangisan Tea yang sebelum nya.

"Gaby... Ini tempat umum udah dong lo jangan ikutan nangis juga,"

"Bodo amat."

"Yaudah, gue nggak apa-apa kok. Gue senang, akhirnya Papi bisa mencintai lagi setelah ditinggal Mami belasan tahun."

"Hati lo terbuat dari apa sih, Te? Kok bisa sih semudah itu? Ya iya, ini emang keinginan lo sejak lama, tapi kalau gue jadi lo, anjir gue mending milih Papa jadi duda selama nya."

"Karena Papi juga berhak buat bahagiain dirinya sendiri." Gaby kontan melepaskan pelukan nya untuk menatap wajah Tea.

Iya, itu yang selalu Tea katakan sebagai mantra untuk menenangkan. Papi berhak bahagiain dirinya sendiri. Sesederhana itu, tapi bermakna besar.

Tea sadar, selama ini Papi udah banyak berjuang untuk kebahagiaan nya. Dia punya segalanya karena perjuangan dan pengorbanan Papi. Kalau Papi terus-menerus berkorban, bahagia nya kapan? Papi juga berhak hidup bahagia, dicintai dan mencintai lagi.

"Coba bilang sekali lagi,"

"Papi berhak buat bahagiain dirinya sendiri, Gab."

" Lo tahu? Gue ngerasa useless banget kalau sampai kehadiran gue di dunia cuma jadi belenggu buat dia."

Gaby  terdiam, wajah Tea terlihat tulus saat mengucapkan kalimat tersebut. Dan dia juga baru tahu kalau seorang Adrastea Helios yang hidupnya terlihat selalu enak dimata publik, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia dalam dirinya.

"Gue nggak tahu lo berpikir sejauh ini. Tea, lo masih remaja loh."

"Gue tahu. Gue mungkin emang terlihat selalu bahagia, tapi aslinya gue menyedihkan. Gue bahkan iri sama lo yang selalu diperhatikan Mama Jen. Gue juga pengen, tapi Tuhan sangat menyayangi Mami, jadi dia mengambil Mami lebih awal bahkan sebelum gue punya kenangan yang banyak sama dia."

"Gue sedih disetiap kali gue sakit, nggak ada sosok Ibu yang ngerawat gue. Gue sedih nggak pernah ngerasain masakan seorang Ibu yang katanya adalah masakan paling enak. Gue sedih karena nggak pernah dikasih kesempatan buat masak bareng sama seorang Ibu di dapur kesayangan nya. Gue sesedih itu sama hal-hal sederhana."

"Tapi, waktu Tante Noushin datang dikehidupan gue, semuanya berubah. Gue jadi bisa ngerasain sesuatu yang belum pernah gue rasakan itu. Dan gue senang. Ini pertama kalinya gue ngerasa punya Ibu setelah enam belas tahun hidup cuma punya Papi."

"Gue sebahagia itu Gab. Tapi waktu Papi ngumumin kalau Tante Noushin say yes, gue tiba-tiba sedih. Gue nggak tahu kenapa, gue bingung."

"Gue senang tapi sedih. Gue sedih tapi senang. Ternyata semembingungkan itu ketika orang tua mau menikah."

"Soalnya, kali ini lo tahu Papi nikah sama siapa. Beda hal nya dulu, waktu Papi nikah sama Mami Lala." Ya, mungkin begitu. Tea tahu Papi mau menikah dengan siapa. Dia jadi bisa menilai wanita pilihan Papi dari segi mana pun.

"Kadang Gab, gue merasa diselingkuhin sama Papi."

"Hahahahha anjir lo. Tapi gue paham sih, lo sama Papi kan sedekat itu. Terus muncul deh---bentar, Papi mau nikah sama Tante Noushin ya?!" Ah rupanya Gaby baru sadar Papi Rion mau menikah dengan siapa.

Tea mengangguk. "Oasuuu... Lo nggak bilang dari tadi sih!"

"Ya lo pake segala nangis. Drama banget sih."

"Heh gue nangis karena lo ya!"

"Hahahaha iya deh iya. Makasih ya, Gaby kuuu." Tea kontan memeluk Gaby dengan erat.

"Tapi gue sedih deh, Te. Lo sedekat itu sama Papi, terus kehadiran Tante Noushin bakalan ngejauhin lo sama Papi nggak sih?"

"I don't know. Nggak ada yang tahu kedepan nya gimana kan. Tapi Tante Noushin baik banget, perhatian juga. Mamiable banget pokoknya."

"Semoga lo bahagia selalu ya, Te. Gue sayang lo pake banget kalau lo nggak tahu."

"Lo juga, semoga lo selalu bahagia. Makasih Gaby. Makasih udah lahir ke dunia, makasih udah nemenin gue waktu gue kesepian, makasih udah selalu ada. Love you more! Mwahhh!!!"

***

Tanggal pernikahan Rion dan Noushin belum diputuskan. Tapi Melanie sangat bersemangat sampai-sampai menyuruh anak dan calon menantu nya untuk fitting baju dibutik Jeni. Bahkan wanita baya itu sampai kembali lagi ke Jakarta untuk menyiapkan pernikahan kedua anak semata wayang nya.

Jen's Boutique.

Noushin meneguk ludah begitu matanya membaca papan nama yang terlihat mewah itu. Dia yakin kalau di dalam nya ada puluhan gaun yang harganya lebih mahal dari pada biaya hidup nya selama setahun.

Tentu saja, siapa yang tidak tahu Jenie Lakeswara. Dia designer ternama sekaligus istri Evander Lakeswara yang merupakan sutradara dari film-film yang laris dipasaran.

"Yuk sayang, masuk." Ajak Melanie seraya menggandeng tangan calon menantunya. Meskipun ragu-ragu, akhirnya Noushin masuk.

"Mama Melll... Ya ampunnn..." Jeni langsung menyapa dengan hangat begitu melihat kedatangan Melanie, Rion dan Noushin. Tapi dia hanya memeluk Melanie karena merasa kangen meskipun beberapa lalu mereka bertemu.

"Aduh anak Mama,"

"Ma, Rion anak tunggal dan nggak mau punya adek kayak dia." Jeni merengut, seraya langsung menggeplak bisep Rion.

"Aduh Jen, kebiasaan banget sih."

"Ya lo, dari masih bujang sampai jadi bapak-bapak beranak satu kelakuan nya masih nyebelin." Rion cuma menjulurkan lidahnya dengan muka menyebalkan.

"Tuh kan, minta digeplak lagi."

"Udah-udah. Kalau kalian terus ribut, Mama nggak jadi-jadi nih milihin gaun pengantin buat calon menantu Mama." Melanie menengahi yang kontan membuat Jenie terheran-heran. Calon menantu kata nya. Jenie pun segera melirik Noushin yang sejak tadi hanya diam. Lalu bergantian melirik Rion yang wajahnya langsung malu-malu. Demi Tuhan, ini kali pertama nya Jennie melihat wajah Rion yang seperti itu. Dia juga merasa de javu. Ini seperti belasan tahun lalu saat Rion dan Lavenia datang ke butik nya---yang saat itu masih dibilang masih belum laku, tempatnya juga kecil sekali. Tapi sahabatnya, Lavenia Kemala, dia sepercaya itu menyuruh Jennie untuk membuatkan nya gaun pengantin untuk pernikahan nya dengan sang kekasih.

"Calon menantu? Ma, Rion---"

"Iya, gue mau kawin, Jen. Iya kan sayang?" Ujar Rion sambil merangkul Noushin sampai-sampai Jenie menganga lebar.

"What the---"

"Mingkem. Kasian bayi lo nanti masuk angin."

"Heh! Ini gue shock berat!"

"Yaudah iya, tapi jangan sampai patah hati Jen."

"Patah hati endas mu! Gue cuma cinta sama Evan ya!"

"Rion, udah dong jangan mancing-mancing amarah nya Ibu hamil. Udah yuk sayang, duduk. Rion, temenin Noushin pilih gaun."

"Oke Ma. Yuk sayang," ajak Rion pada Noushin.

"Pak---"

"Mas dong, jangan Pak. Kan mau nikah." Bisik Rion menyela ucapan Noushin. Wanita itu hanya geleng-geleng kepala sambil menunduk malu.

"Yaudah, panggil apa aja. Asal jangan Pak. Yuk, kamu harus cobain gaun-gaun Jennie. Tukang marah sih, tapi design nya jangan diragukan."

Dan kemudian sepasang manusia itu berjalan menyusuri lemari besar tempat gaun-gaun buatan Jennie disimpan.

Noushin terus dibuat terpukau saat mengelilingi gaun-gaun tersebut. Dia bahkan tidak menyangka kalau akan dibawa ke tempat sebagus ini. Iya, hidup Noushij setelah ditinggal kedua orang tuanya terlalu berat sampai kadang dia ingin menyerah. Tapi dia tidak melakukan nya hingga sekarang dia bisa berada ditempat ini untuk memilih gaun pengantin. Gaun yang sangat didambakan oleh setiap wanita untuk dipakai sekali dalam seumur hidup.

"Mbak, tolong dandani calon istri saya dengan gaun terbaru yang Jennie buat." Titah Rion kepada salah satu pegawai Jennie yang sejak tadi menemani mereka.

"Baik, Pak. Mari ikut saya, Bu."

"Pak Rion---"

"Saya juga mau cobain tuxedo." Sepasang calon mempelai itu bergegas ke ruangan masing-masing untuk mencoba gaun dan tuxedo.

Beberapa menit berlalu, Rion selesai dan keluar dari kamar pas lantas menunggu calon mempelai wanita nya di sofa, yang berada tepat didepan kamar pas wanita.

Tak lama kemudian, gorden terbuka, menampilkan Noushin yang sudah mengenakkan gaun pengantin berwarna putih dengan model a-line. Saat itu juga Rion langsung dibuat terpukau. Noushin terlihat semakin cantik dengan gaun itu sampai-sampai Rion tidak tahu harus mendeskripsikan nya bagaimana. Perasaan duda satu anak itu jadi tidak menentu dibuatnya. Detak jantung nya bahkan meningkat, dan senyuman nya tidak mau lenyap. Rion benar-benar terpesona.

"Ya Tuhannnn menantu Mama, cantik sekali...." Melanie yang baru saja tiba disana langsung heboh. Dia segera mengeluarkan ponselnya untuk kemudian memotret Noushin.

Sementara itu, Jennie yang berada disamping Rion langsung menyenggol lengan pria itu untuk menggoda nya.

"Akhirnya ya status duda ngenes lo akan berakhir juga." Rion hanya diam.

"Terus... Lo bakal kawin, Yon! Gila! Lo nggak perlu main solo lagi kalau pengen Yon hahahahha." Rion masih diam, meskipun sebenarnya dia ingin sekali menggeplak mulut Jennie.

"Eh tapi... Mempelai wanita nya terlalu muda nggak sih kalau buat lo?" Baiklah, kesabaran Rion sudah habis. Dia kontan mendelik pada Jennie sambil berdecak.

"Gue belum tua-tua banget ya, Jen."

"Tapi lo udah kepala tiga dan beranak satu tuh, sedangkan dia masih gadis, masih muda lagi. Gue kalau jadi dia--- buahahahahhaahha muka lo asem banget."

"Puas lo?"

"Oh ya jelas. Udah ah, gue mau gabung sama mereka. Kelamaan sama lo gue jadi enek." Rion mengesah. Nggak tahu punya dendam atau apa, tapi Jennie memang semenyebalkan itu kalau dengan nya. Tapi Rion tidak benci, karena Jennie sudah banyak membantu nya sewaktu Tea masih kecil. Dan tidak bisa dipungkiri, Jennie sudah seperti Ibu sendiri untuk anak gadisnya. Bahkan dulu, Jennie sering dikira punya dua suami karena keberadaan Rion yang selalu ada didekatnya.

"Rion, sayang, sini dong. Coba kamu berdiri disamping calon istri kamu. Biar Mama foto."

"Jennie aja, Ma yang foto. Jel, tolong ambilin kamera Ibu ya, di laci." Suruh Jennie pada Angel salah satu pegawai nya.

Tak lama kemudian Angel kembali sambil membawa kamera. Sementara itu, Rion sudah berjalan mendekat menuju ke samping Noushin.

"Ya Tuhan... Cocok sekali." Ucap Melanie. Jennie juga juga tersenyum senang melihatnya. Meskipun tadi sedikit usil, tapi sebenarnya Jennie senang sekali, karena akhirnya hari ini tiba juga. Dia sudah menanti lama sampai-sampai dulu suka menjodohkan Rion dengan teman-teman nya. Tapi hasilnya nihil hingga Jennie menyerah.

"Deketan lagi." Titah Jennie yang diturutu Rion.

"Tangan nya jangan nganggur dong. Pegang pundaknya coba, Yon. Eh pinggang deh, biar mesra. Oke good, senyum. Ganti-ganti, peluk dari belakang. Yes good. Oke next pose, lebih deketan wajahnya, dahi sama hidung nempel ya, bibirnya nyosor juga boleh sih, iyashhhh good, bagus, hmm... Pasangan serasi, lebih dekat lagi, Ya... Pura-pura mau ciuman, it's good, great, tahan ya. Gue minta Evan buat gedein nih, alright, nggak apa-apa Yon kalau emang pengen nyosor, tempelin aja--- Oh my God! Great job Asterion Helios woohoo...." Jennie heboh dan berlagak seperti photographer profesional, terlebih ketika Rion benar-benar menempelkan bibirnya pada bibir Noushin. Sialan, Jennie gemas sampai lupa dengan janin yang ada di rahim nya.

Tidak hanya Jennie, semua orang yang menyaksikan pun ikut gemas dibuatnya. Rion benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melahap bibir Noushin karena Jennie yang terus-menerus meminta nya.

Berbeda dengan yang menyaksikan, Noushin justru langsung menunduk malu begitu tersadar Rion benar-benar mencium nya dihadapan banyak orang. Dia refleks menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Rion yang membuat orang-orang disana berteriak senang.

"Pak Rion, malu."

"Anggap aja latihan buat di altar nanti." Jawab Rion sambil terkekeh.

"Ih Pak Rion..."

"Hahaha, iya-iya maaf. Udah dong sembunyi nya. Saya mau lihat pengantin saya dari dekat." Perlahan namun pasti, Rion mengangkat wajah Noushin hingga akhirnya kedua mata mereka bersirobok.

"Saya nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, saya beruntung memiliki kamu." Ujar Rion dengan mata yang terus menatap Noushin. Rion tidak tahu kebaikan apa yang telah dia perbuat sampai-sampai Tuhan mendatangkan Noushin dalam hidupnya untuk melengkapi ruang yang sempat hilang di dalam hati Rion.

"Saya juga beruntung memiliki Pak Rion." Keduanya sama-sama tenggelam dalam tatapan cukup lama, membuat manusia-manusia yang sejak tadi menonton langsung terbawa perasaan nya melayang tinggi ke angkasa, terlebih ketika Rion membawa Noushin kedalam pelukan nya yang hangat, lantas membubuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepalanya.

"I love you, today, tomorrow and forever."

"I love you too."

***

Matahari sudah tenggelam, bergantian dengan rembulan yang menyapa. Baik Tea maupun Rion dan juga Melanie, mereka semua sudah ada di rumah, dengan Noushin yang juga hadir diantara manusia bermarga Helios itu. Mereka sedang berkumpul di ruang keluarga, tapi tidak dengan Melanie, karena wanita itu sedang teleponan dengan suami nya yang ada di Bogor. Tea sedang sibuk dengan ponselnya yang terus-menerus berbunyi, itu dari grup kelas yang heboh karena besok mulai masuk sekolah. Sementara itu, Rion sedang fokus mengecek saham nya di iPad yang dia pegang. Dan Noushin, wanita itu baru saja datang ke ruang keluarga sambil membawa pizza yang tadi dia buat sendiri.

"Tadaaa... Siapa yang mau nih?" Kontan saja perhatian Tea dan Rion langsung teralihkan. Mereka segera menyingkirkan gadget masing-masing lantas mendekat pada pizza buatan Noushin.

"Wah.... Pizzaaaa..." Ucap Tea dengan mata berbinar dan semangat empat lima, hingga membuat Noushin terkekeh.

"Tante--- hng... Mami, buat sendiri?"

"Iya, cobain deh." Tea hendak mencopot pizza kalau saja tangan Rion tidak mencekal pergerakan nya.

"Ih Papiiii... Rese banget sih."

"Cuci tangan dulu." Tea mendengus tapi dia tetap melakukan perintah Papi nya.

"Pak Rion juga cuci tangan,"

"Iya, ini saya mau cuci tangan." Lantas Rion bangkit untuk kemudian menyusul Tea.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Tea dan  Rion kembali dengan tangan yang sudah higienis. Mereka langsung mengambil potongan pizza yang Noushin buat dan memakan nya dengan lahap.

"Wow... Ini enak banget. Rasanya mirip sama yang dijual paling mahal." Komentar Tea dengan mulut penuh.

"Oh iya?" Tea hanya mengangguk karena mulutnya terlalu penuh untuk berbicara. Lain lagi dengan Rion yang tidak berkomentar apapun tapi sudah mengambil potongan yang kedua sampai anak gadisnya dibuat geleng-geleng kepala.

"Papi lapar apa doyan?"

"Dua-duanya." Jawab Rion simple. Maklum saja, dia melewatkan makan siang karena terlalu bersemangat fitting baju.

"Yaudah, habisin ya."

"Okay, Mami! Siap!" Lantas Tea mengambil potongan kedua.

"Mami nggak makan?"

"Nggak, Tan---hng...Mami mau makan buah aja."

"Ah... Diet nih pasti. Takut gaun nya nggak muat ya?" Tea menggoda yang kemudian disahuti Noushin dengan kekehan.

"Nggak Tea,"

"Ah iya, tadi gimana fitting bajunya?"

"Menyenangkan." Rion menjawab, meskipun bibirnya benar-benar penuh.

"Udah mendingan Papi diam aja, fokus makan. Nggak usah nyahut."

"Loh yang fitting baju kan Papi juga. Ya nggak apa-apa dong kalau ikut jawab."

"Iya tapi muncrat kemana-mana, virus tuh."

"Kalau virus dari Papi, bentuknya goodlooking loh, jadi nggak apa-apa, aman." Tea sekali lagi geleng-geleng kepala lantas melirik pada Noushin yang kini duduk disamping Papi nya.

"Harus terbiasa ya Mami, Papi suka gitu orang nya. Nggak jelas." Noushin langsung terkikik geli, agaknya dia sudah mulai terbiasa dengan pertengkaran kecil dua orang itu. Sementara itu, Rion tetap diam sambil menikmati potongan pizza yang keempat.

"Papi jangan rakus. Sisain buat Oma," kata Tea.

"Oma nggak mau katanya. Kalian habisin aja."

"Oh... Mami udah nawarin Oma. Yaudah, Papi habisin. Aku udah kenyang soalnya."

"Sejak kapan kamu bisa kenyang? Biasanya juga semua makanan yang terhidang langsung habis nggak tersisa." Tea langsung cemberut.

"Diet, Papi. Nanti aku juga pake gaun soalnya."

"Hahahahahaha pantesan."

"Jadi yang diet Mami atau kamu nih?"

"Ah tau ah, nyebelin." Tea pura-pura ngambek yang kemudian dibalas kekehen Papi dan Mami nya. Sebenarnya Tea bahagia. Ini kali pertamanya rumah terasa hidup. Biasanya selalu sepi, para penghuni nya sibuk dengan urusan masing-masing. Meskipun komunikasi dia dengan Papi nya terbilang bagus, tapi kumpul diruang kekuarga seperti ini sangat jarang dilakukan. Dalam sebulan, bisa dihitung hanya beberapa kali saja.

"Ah iya, Nou, tadi Jennie udah kirim foto-foto kita."

"Oh iya? Mau lihat dong Pak."

"Boleh, itu ambil aja hp saya. Password nya 220404."

"Itu kan tanggal lahir aku, kok dipake buat password sih, Pi?" Tea heran.

"Biar nggak lupa sama ulang tahun kamu." Bohong Rion, padahal yang sebenarnya karena hari itu hari yang sangat bersejarah. Hari dimana kehidupan nya berubah total. Jadi, harus benar-benar diingat.

Tea hanya manggut-manggut. Sementara itu Noushin mulai membuka ponsel milik Rion. Menjelajahi galeri nya yang sebagian besar isinya foto-foto Tea.

Noushin membuka album whatsapp images, dan disana barulah ada fotonya dengan Rion yang sedang fitting baju.

"Banyaj juga ya, Pak."

"Iya. Coba sini dekatan. Saya juga mau lihat."

"Pak Rion belum lihat?"

"Belum. Tadi keburu lihat perkembangan saham." Lantas Noushin pun mendekatkan diri pada Rion dan mulai melihat foto dari yang paling atas lalu terus menggesernya untuk melihat semua hasil jepretan Jennie.

"Ini bagus." Kata Rion sambil menunjuk layar ponselnya.

"Tapi muka saya datar, Pak."

"Cantik kok."

"Nggak. Ini bagus nih, senyum semua."

"Senyum saya kelihatan kaku."

"Iya sih, kelihatan terpaksa."

"Hm, padahal saya senang. Cuma agak gugup aja."

"Masa?"

"Iya, kamu sih tadi nggak pegang dada saya."

"Apa hubungan nya?"

"Kalau pegang kan bisa tahu secepat apa detak jantung saya." Noushin terkekeh mendengarnya. Lalu dia menggeser lagi layar ponsel Rion hingga tiba difoto saat mereka berciuman.

"Nah ini. Ini paling bagus." Kata Rion lantas mengambil paksa ponselnya yang ada ditangan Noushin. Tidak peduli dengan tangan nya yang penuh minyak.

"Pak, mau diapain?"

"Saya posting di instagram." Kontan saja Noushin langsung mendelik.

"Pak Rion, jangan ih! Malu..."

"Bercanda sayang." Mendengar kata sayang yang terucap dari bibir Rion, kontan membuat Tea langsung menoleh pada dua manusia yang sedang memadu kasih itu, sebelum kemudian geleng-geleng kepala. Agaknya Papi mulai punya dunia sendiri dengan calon Mami sambung nya. Hingga Tea sengaja berdeham untuk memberi kode kehadiran nya. Tapi sayang nya dua orang itu terlalu sibuk untuk peka terhadap kode Tea, hingga kemudian cewek itu mendengus. Agak kesal karena dia merasa terabaikan.

"Saya jadiin wallpaper gimana?"

"Nggak Pak, kalau nanti karyawan-kartawan Pak Rion tahu gimana?"

"Loh ya nggak apa-apa dong. Bagus itu, biar nggak ada yang genitin kamu di kantor. Lagian sebentar lagi kita menikah, cepat atau lambat berita itu pasti terdengar sama publik." Jelas Rion seraya membelai rambut Noushin. Tanpa dia sadari, anak gadisnya memerhatikan itu sebelum kemudian berdeham lagi, lebih keras dari sebelum nya.

"Khe...khem... Aduh tenggorokan aku gatal deh, Pi." Kali ini kode Tea berhasil di notice Rion. Pria itu menoleh pada putrinya, meskipun tangan kanan nya masih membelai rambut Noushin.

"Gatal kenapa? Waktu di Dufan kamu kebanyakan minum es kali." Tea kontan cemberut. Bukan itu yang Tea ingin kan dari Papi nya.

"Nggak, aku minum ea sekali doang."

"Atau mungkin karena pizza ya, sayang?" Noushin menyahut yang lantas dijawab Tea dengab gelengan kepala.

"Yaudah, minum obat sana. Atau minta Bi Martem buatin yang hangat-hangat,"

"Biar Mami aja yang buatin---"

"Nggak usah. Aku mau tidur aja."

"Loh ya jangan dibiarin aja dong. Nanti makin parah gimana?"

"Aku ngantuk. Besok juga harus bangun pagi-pagi."

"Oh iya, besok kamu sekolah kan ya. Papi hampir lupa loh."

"Hm."

"Yaudah, goodnight little girl."

"I'm teenager!"

"Iya-iya teenage. Besok kita berangkat bareng ya,"

"Aku mau dijemput pacar."

"Kamu punya pacar?"

"Punya. Sepuluh." Jawab Tea asal sambik berlalu. Dia bahkan tidak mengucapkan selamat malam pada Papi nya atau pun calon Mami nya karena rasa kesal yang mendominasi.

"Kayak nya Tea cemburu deh, Pak." Ujar Noushin saat punggung Tea sudah tidak terlihat lagi.

"Masa sih? Nggak deh. Dia emang lagi sensi aja. Tanggal periode nya udah dekat soalnya."

"Pak Rion hafalin tanggal periode Tea?"

"Iya lah. Harus. Saya orang tua tunggal, dan anak saya seorang gadis. Jadi harus se detail itu. Lagian juga nggak saya perhatiin pun, Tea kelihatan banget kalau lagi menstruasi. Bawaan nya kesel mulu, ngamuk terus, nggak pernah senang pokoknya."

"Wow. Keren. Jarang-jarang loh seorang Ayah yang seperhatian itu sama putrinya."

"Bahkan terbilang langka." Rion membanggakan dirinya sendiri.

"Iya."

"Makanya, kamu harus bersyukur punya calon suami kayak saya."

"Tentu. Saya bersyukur setiap hari."

"Good girl." Rion mengacak-ngacak rambut Noushin gemas.

"Ih Pak Rion..."

"Hm? Kenapa sayang?" Tanya Rion seraya menempelkan dahi dan hidungnya pada milik Noushin. Sekarang ponsel yang ada ditangan Noushin sudah tidak menggoda lagi untuk Rion.

"Nggak," Noushin menjawan dengan malu-malu.

"Kamu tidur disini kan?"

"Hng..."

"Tidur disini ya? Sama saya." Bisik Rion yang kemudian disusul dengan kecupan singkat pada bibir ranum Noushin.

"Okay?"

"Okay, but just sleephhhmmh--" ucapan Noushin terpangkas saat Rion kembali menyatukan bibirnya. Bahkan kali ini pria itu melumatnya pelan, penuh kelembutan dan memabukkan hingga Noushin hanya pasrah, saat pria itu membawa tubuhnya keatas pangkuan. Mereka terus bercumbu, menyampaikan hasrat satu sama lain sampai kemudian Rion bangkit, menggendong Noushin tanpa melepaskan tautan bibir mereka dan bergegas menuju ke kamar.

Sesampainya disana, dia mendudukkan dirinya diranjang besar miliknya, membuat Noushin kontan berada dipangkuan nya lagi. Sejenak, Rion melepaskan lumatan nya, dia membelai bibir Noushin dengan Ibu jarinya, gerakan nya pelan seolah-olah sedang menggoda.

"Since yesterday, those lips are my nicotine." Suara Rion terdengar parau, matanya juga terlihat sayu.

"Noushin,"

"Hm?"

"Saya nggak yakin kalau malam ini saya hanya akan mencium bibir kamu."

"Yeah, I feel that,"

"What?" Bukan nya menjawab, Noushin malah melirik bagian bawah tubuh Rion yang mengeras.

"Shit."

"But no, don't do that. You have Adrastea, please remember her." Maka langsung saja Rion menenggelamkan wajahnya pada leher Noushin ketika Tea tiba-tiba hadir di kepalanya.

"Astaga. Saya hampir lupa janji saya sama Tea." Noushin pun menepuk-nepuk punggung Rion dengan pelan, "it's okay, lupa itu kan manusiawi."

Rion mengangkat kepala nya, "terima kasih sudah mengingatkan saya."

"Hm. Sekarang, saya boleh turun?" Rion mengangguk mantap hinga kemudian Noushin turun dari pangkuan nya.

"Maaf ya, saya hampir kelepasan lagi." Noushin mengangguk.

"Yaudah, kamu tidur aja. Saya ke kamar mandi sebentar." Noushin mengangguk lagi. Tentu saja dia bingung harus menjawab apa, meskipun dia tahu di kamar mandi Rion akan melakukan apa.

Setelah memastikan Rion benar-benar masuk kedalam kamar mandi, Noushin langsung tumbang diatas ranjang besar Rion seraya memegangi dadanya yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Astaga... Pak Rion."









Catatan Wen

Helloooo long time no see ya haha, makasih yg masih nungguin cerita ini. Semoga kalian sehat-sehat ya disana, jangan kemana-mana kalau nggak punya kegiatan yang penting. Tetap terapkan prokes ya, biar corona cepat pergi.

Btw sorry ya klo ada typo, semoga sukaaaaa.... jangan lupa vote dan komennnnn.

Oke deh see you again, xoxo.







Home, 31 Juli 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

225K 12K 45
Akhtar sang Ketos tegas, disiplin, sopan, dan benci dengan yang namanya berandal, tak takut dengan apapun bahkan berandal sekolahnya sekalipun yang m...
376K 25.8K 48
"Novel siyaland" "Novel gak jelas" "Antagonis juga berhak bahagia" "kalau gue yang jadi antagonisnya,gue rubah alur ini besar besaran" Up tiap satu m...
112K 8.5K 107
[Bl Terjemahan] ________________________________________ "Itu kanker. Dengan tingkat metastasis seperti ini... pada dasarnya tidak ada perawatan yang...
143K 12.8K 21
B R O T H E R S H I P A R E A (BUKAN BL) |Sedikit berantakan tapi nanti akan diperbaiki setelah ceritanya tamat| Seputar kisah si imut Bam yang bert...