He Loves Him🌌

By rere_paau69

67.8K 8.6K 1.5K

Berisikan cerita pendek antara pasangan Yoo Jonghyuk dan Kim Dokja.🍦 Kapal kesayangan kita semua (。>‿‿<。 ) S... More

Charger
Sub Skenario yang Aneh
I Like You, Ssem!
Dia Mirip Seperti Aku
Kamu Marah?
Silence
Surat Putih 💌
Surat Putih 💌 (2)
Surat Putih 💌 (3)
Surat Putih 💌 (4)
Surat Putih 💌 (5) END
Es krim🍦
Buku 📖
Anu-anu?
Anu-anu? (2)
Catatan dialog karakter ORV
PINDAH LAPAK!

Their Promise

2.9K 364 39
By rere_paau69

"Aku sudah biasa ditinggalkan, sampai aku terbiasa dengan semua rasa sakit ini. "

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Nyaris setiap hari, tanpa terlewat sehari pun, tidak peduli cuaca sedang panas membakar atau dingin menggigit. Pria paruh baya itu selalu datang, duduk di bangku peron di barisan paling depan deretan kedua. Dengan mengenakan seragam tentara, lengkap topi, juga lencana pangkat.

Meski sudah tua, pria paruh baya itu masih nampak terlihat kuat. Jalannya tetap tegap serta sorot mata yang awas. Tidak seperti orang tua kebanyakan, yang di usia segitu jalannya sudah setengah membungkuk dan mata yang perlahan mulai rabun.

Walau wajahnya berkeriput dan sebagian rambutnya memutih, dalam sekali lihat pun, orang bisa tau bila pria paruh baya itu dulunya sangat tampan di masa mudanya.

Semua orang hanya tau bila pria paruh baya itu bernama Yoo Jonghyuk, mantan dari angkatan udara. Usianya tidak diketahui, di mana ia tinggal, siapa anggota keluarganya, masa lalu, dan yang lainnya semua misteri.

Yoo Jonghyuk selalu duduk di sana. Seperti orang yang sedang menantikan kehadiran seseorang. Ia akan datang di pukul 08.00 pagi lalu pulang ketika jam gantung di Stasiun sudah menunjukkan pukul 11.00 malam atau kadang-kadang pada tengah malam.

Matanya tak pernah bosan memandang ke arah barat, mengharapkan lokomotip segera datang.

Tiap kali kereta datang, Yoo Jonghyuk akan segera berdiri, membetulkan seragamnya yang rapih tanpa ada kerutan sedikit pun. Matanya yang hitam meneliti setiap wajah-wajah penumpang yang baru turun dari kereta. Merasa tak ada orang yang ditunggu di antara kerumunan, ia akan mendesah seolah menghilangkan rasa kecewa. Duduk dan memandang ke arah barat kembali.

Melakukan hal yang paling membosankan sekaligus menyiksa.

Menunggu.

Ketika jam makan siang, Yoo Jonghyuk akan mengeluarkan bekal yang sengaja ia bawa dari rumah. Dia jarang– malah tidak pernah– makan di kedai-kedai yang ada di Stasiun.

Yoo Jonghyuk selalu membawa menu makanan yang sama tiap harinya.

Pangsit.

Sambil menunggu kereta selanjutnya datang, Yoo Jonghyuk akan memakan pangsitnya saat lapar. Ia tidak pernah menghabiskan makan siangnya, selalu menyisihkan beberapa pangsit di dalam wadah bekal.

Pada awalnya, tidak ada yang memperhatikan pria paruh baya itu. Namun, karena Yoo Jonghyuk selalu datang, menepati tempat sama, tak pernah absen barang sehari, orang-orang perlahan mulai bertanya-tanya.

Siapa Yoo Jonghyuk? Dan, siapa orang yang sedang ditunggu olehnya?

Meski penasaran, orang-orang tidak bisa bertanya. Mereka menyadari batasan dan menghargai privasi Yoo Jonghyuk. Tidak ada yang terlalu mengenal Yoo Jonghyuk. Ditambah, Yoo Jonghyuk memiliki aura yang seakan melarang orang lain untuk mendekat.

Lalu, suatu hari Yoo Jonghyuk datang ke Stasiun dengan wajah yang merah. Napasnya berat, matanya sedikit berembun, terengah-engah seperti orang yang baru habis berlari jauh.

Orang-orang yang lewat segera tahu bila Yoo Jonghyuk sedang sakit.

Seorang pelajar yang sering memperhatikan Yoo Jonghyuk, berjalan menghampiri. Bertanya dengan nada yang sengaja dilembutkan, "Pak, apakah anda sakit?"

Yoo Jonghyuk hanya memberikan lirikan sekilas pada pelajar itu. "Aku tidak sakit," jawabnya tegas. Menegakkan punggung, seakan ingin menyakinkan pelajar itu.

Seandainya keadaan Yoo Jonghyuk tidak sekacau itu, orang lain pasti akan percaya dengan perkataannya.

"Pak, anda sepertinya sedang demam. Mari, saya akan mengantarkan anda ke Rumah Sakit," tawar pelajar itu dengan tulus.

Namun, Yoo Jonghyuk mengabaikannya, seolah pelajar baik itu hanyalah udara kosong.

Banyak orang yang membujuk Yoo Jonghyuk untuk pergi ke Rumah Sakit. Tapi, Yoo Jonghyuk dengan keras kepala menolak semua bantuan dari orang-orang yang prihatin melihat keadaanya, yang seakan bisa pingsan kapan saja.

"Aku tidak sakit, aku baik-baik saja. Keadaanku sekarang tidak ada apa-apanya dengan saat aku masih berada di medang perang. Demam begini masih bukan apa-apa," kata Yoo Jonghyuk akhirnya. Tidak tahan dengan satu-persatu kedatangan orang lain yang melihatnya dengan tatapan kasihan.

Yoo Jonghyuk benci tatapan itu. Dia akui dirinya memang sudah tua. Tenagannya tidak sama seperti saat ia masih berjaya dulu. Namun, bukan berarti dia pantas mendapatkan tatapan kasihan dari orang-orang yang sedikitnya telah melukai harga dirinya.

Setelah penolakan tegas itu, tak ada lagi yang datang untuk membujuk. Sepanjang hari Yoo Jonghyuk memaksakan diri untuk tetap sadar, hanya saja, staminanya benar-benar tidak sama seperti ia masih muda.

Ketika matahari benar-benar di atas puncak kepala dan hari itu saat musim panas. Sengatan hawa panas yang begitu menyiksa, menambah penderitaan Yoo Jonghyuk yang tengah demam.

Yoo Jonghyuk merasakan bila kepalanya yang sudah pusing sejak bangun tidur kian berputar, telinganya berdengung menyakitkan, ia terhuyung, tubuhnya limbung ke satu sisi, kemudian tak sadarkan diri.

Orang-orang yang ada di sekitaran situ segera membantu dan membawa Yoo Jonghyuk ke Rumah Sakit terdekat.

Yoo Jonghyuk tidak datang ke Stasiun selama dua minggu. Saat datang kembali, ia sudah dalam keadaan sehat sepenuhnya. Duduk lagi di bangku peron kesukaannya.

Selama Yoo Jonghyuk terbaring di rumah sakit, tak ada orang yang berani menduduki bangku peron itu. Mereka yang sudah sering melihat Yoo Jonghyuk, seolah menandai bangku peron itu sebagai hak milik pria paruh baya yang terkenal misterius.

Setelah sehat, Yoo Jonghyuk kembali ke rutinitas yang biasa ia lakukan; duduk berjam-jam lamanya di bangku peron, menatap ke arah barat, menunggu dengan sabar kedatangan lokomotif, berdiri saat kereta datang, memandangi setiap wajah orang yang baru turun, ketika tidak menemukan orang yang dicari, ia akan duduk lagi, makan pangsit saat jam makan siang, lalu menantikan lokomotif selanjutnya, bila sudah hampir tengah malam, pria paruh baya itu akan pulang, dan kembali lagi pada esok harinya.

Begitulah kegiatan yang Yoo Jonghyuk miliki setiap hari dan seterusnya.

Karena rasa penasaran yang sudah memuncak. Seorang remaja naif berjalan ke arah Yoo Jonghyuk. Walau sudah diperingati oleh teman-temannya, remaja itu tidak peduli. Sama sekali tidak mengindahkan peringatan. Dia benar-benar ingin tahu, siapa orang yang tega membiarkan Yoo Jonghyuk untuk menunggu dalam ketidakpastian.

Remaja itu berdiri di hadapan Yoo Jonghyuk, ia tau sikapnya sekarang tidak sopan, malah terkesan kurang ajar. Namun, hanya ini satu-satunya cara agar pria paruh baya itu mau memberikan sedikit perhatian.

Karena apabila dengan cara halus, remaja itu ragu Yoo Jonghyuk mau memperhatikannya, bahkan melirik saja pun mungkin tidak.

Yoo Jonghyuk hanya menatapnya melalui dari ekor mata. Tidak peduli.

"Kek, boleh aku duduk di bangku sebelahmu," kata remaja itu, meminta izin.

Yoo Jonghyuk tidak memberikan tanggapan– istilah tepatnya mengabaikan.

Remaja naif itu tidak marah, ia dengan arogan duduk di samping Yoo Jonghyuk. Walaupun Yoo Jonghyuk belum memberikannya izin.

Yah, lagi pula bangku peron itu milik umum.

"Kek, perkenalkan namaku Biyoo. Aku dari sekolah xxx, umurku tahun ini tiga belas tahun. Aku baru saja pulang sekolah. Dan kalau tidak keberatan, boleh aku bertanya siapa nama Kakek?" celoteh remaja itu yang bernama Biyoo.

Teman-temannya yang berdiri tidak jauh dari Biyoo hanya bisa melihat. Mereka berharap, supaya Biyoo tidak ditendang oleh Yoo Jonghyuk, karena kesal dengan kecerewetan yang dimiliki Biyoo.

Meski masih belum ada tanggapan, Biyoo terus berbicara, "Kata orang, nama Kakek itu Yoo Jonghyuk, bernarkah? Kalau boleh tau, kenapa Kakek selalu datang ke Stasiun? Apakah Kakek ingin menjemput seseorang? Tapi, kenapa selalu datang tiap hari? Apakah orang yang ditunggu Kakek tidak memberi tahu dulu kapan dia mau datang?" Biyoo mengguncang tangan Yoo Jonghyuk pelan. "Sebenarnya, siapa yang Kakek tunggu? Apa itu salah satu anggota keluarga Kakek?"

Menghadapi rentetan pertanyaan yang dilayangkan oleh Biyoo, akhirnya Yoo Jonghyuk bersedia menoleh. Ia menatap Biyoo tepat di mata bulat remaja naif itu yang memancarkan sorot penasaran.

Pandangan khas seorang remaja yang belum tersentuh oleh kotornya dunia.

Ditatap balik oleh sepasang kelereng hitam Yoo Jonghyuk yang seolah menariknya ke dalam lubang hitam, Biyoo agak gugup. Remaja itu mengerjabkan mata beberapa kali.

Pria paruh baya dan seorang remaja naif saling berpandangan untuk beberapa saat, terperangkap dalam pikirannya masing-masing. Hingga Yoo Jonghyuk memutuskan untuk mengalihkan pandangan.

Biyoo mengerucutkan bibirnya, mengira Yoo Jonghyuk lagi-lagi mengabaikan. Ia merajuk, melipat tangan di depan dada, tidak mau berbicara dengan Yoo Jonghyuk yang sikapnya seperti sebongkah batu.

Namun, siapa sangka? Yoo Jonghyuk akhirnya menjawab, "Aku menunggu seseorang."

Mata Biyoo terbelalak tidak percaya. Baru saja, Yoo Jonghyuk berbicara.

Yoo Jonghyuk sadar dengan ekspresi skeptis Biyoo, tapi ia tidak berhenti, tetap melanjutkan, "seseorang yang mungkin tidak akan pernah datang."

"Kenapa?" Biyoo tanpa sadar mengajukan pertanyaan, lagi.

Yoo Jonghyuk menghela napas, menoleh pada Biyoo. Ekspresi sedih menyapu wajah Yoo Jonghyuk. Air muka pria paruh baya itu menyentil bagian terdalam hati Biyoo.

"Karena aku tidak menepati janji," kata Yoo Jonghyuk yang tak lebihnya dari bisikan lirih.

Dan pada saat itu, Biyoo menyadari satu hal.

Yoo Jonghyuk yang dikenal sebagai pria tua misterius, selalu memasang ekspresi poker, datar seolah manusia tanpa memiliki emosi, rupanya sesungguhnya dia itu cukup kesepian.

Biyoo memang hanyalah seorang remaja naif yang belum memahami banyak hal di dunia. Namun ia tahu, mata hitam itu. Mata sepekat malam tanpa bintang itu, menyimpan sejuta kesedihan dan kerinduan yang tak dapat diutarakan.

*****

Semenjak hari itu, Biyoo dan Yoo Jonghyuk perlahan mulai dekat. Biyoo akan menemani Yoo Jonghyuk di Stasiun sepulang dari sekolah dan ia akan pulang pada saat matahari terbenam.

Biyoo dengan segala kecerewetannya akan menceritakan banyak hal. Dan Yoo Jonghyuk hanya menjadi pendengar yang terkadang akan membalas dengan ceritanya juga.

Dari kebersamaan yang mereka lalui beberapa waktu ini. Biyoo mengetahui alasan kenapa Yoo Jonghyuk selalu datang ke Stasiun setiap hari.

Dia tak pernah memaksa pria paruh baya itu untuk bercerita, oke! Yoo Jonghyuk sendiri yang berinisiatif.

Memang dari yang di ceritakan oleh Yoo Jonghyuk, Biyoo tidak tau secara spesifik, tapi dari garis besar, Yoo Jonghyuk sebenarnya tengah menunggu kedatangan kekasihnya.

Kekasihnya dari sejak jaman ia masih remaja!

Yoo Jonghyuk bercerita, bila dia dan kekasihnya kenal saat di sekolah ketentaraan dulu. Pertama kali mereka berjumpa ketika seusia Biyoo. Kekasih Yoo Jonghyuk itu orang yang sangat menarik; wajahnya seperti orang yang polos namun sebenarnya sangat licik. Kadang menyebalkan dan sering membuat orang lain kesal. Tapi, sesungguhnya sangat baik, terutama pada orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Dia ... benar-benar menarik. Dia sering mengejekku setiap kali ada kesempatan, dan kami akan saling lempar ejekan yang berakhir menjadi perkelahian." Yoo Jonghyuk menerawang jauh. Terkekeh.

"Kekasih Kakek pasti orang yang sangat tangguh," kata Biyoo, berusaha menggambarkan dalam benaknya, kekasih Yoo Jonghyuk yang sedang bertarung. Biyoo membayangkannya sembari memakan cemilan pangsit yang diberikan oleh Yoo Jonghyuk.

Asal kalian tau, pangsit buatan Yoo Jonghyuk sangat enak~

Yoo Jonghyuk mengangguk sependapat. "Iya, dia orang yang sangat tangguh. Aku tidak akan bisa dibandingkan dengan dia dalam hal itu."

"Tidak-tidak. Kakek juga kuat, kok." Biyoo menyanggah halus. "Aku yakin kalau Kakek memukul seseorang, orang itu pasti akan terpental sampai ke ujung dunia," canda Biyoo. Menusuk-nusuk tangan Yoo Jonghyuk yang masih memiliki otot-otot kuat.

Biyoo yakin, bila Yoo Jonghyuk melawan penjahat. Yoo Jonghyuk pasti akan keluar sebagai pemenangnya. Pikir Biyoo yang masih polos.

Yoo Jonghyuk menggelengkan kepala. "Kau tidak akan mengerti." Suara Yoo Jonghyuk hanya bisikan. Mata kelamnya menerawang kosong pada manusia yang berseliweran di depannya.

Kening Biyoo berkerut, ia memiringkan kepala ke satu sisi, nampak seperti sedang mengingat sesuatu. "Waktu itu, Kakek pernah bilang padaku, kalau kekasih Kakek tidak akan pernah datang. Lalu, kenapa Kakek masih menunggu di sini?"

Senyum Yoo Jonghyuk terkuat, mengukir senyum sedih. "Karena aku masih berharap..." Yoo Jonghyuk mengelus puncak kepala Biyoo dengan gerakan pelan. "Aku berharap, suatu hari dia akan datang. Menepati janji yang pernah kami buat," kenang Yoo Jonghyuk.

"Saat itu, negara kita sedang berperang. Aku dan dia ditugaskan dalam tim yang berbeda. Kami berpisah di tempat ini, dan sebelum dia pergi, kami membuat janji. Apabila perang telah usai, dan kami masih hidup. Kami akan bertemu lagi di sini. Di tempat ini. Dan selama perang, kami sama sekali tidak dapat menghubungi satu sama lain. Perang pun usai saat beberapa tahun kemudian. Aku yang melakukan banyak kontribusi selama perang pun naik pangkat, dan secara kebetulan sekali bertepatan dengan hari kedatangannya. Hanya saja ... waktu itu aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Dan saat aku datang, dia telah pergi." Yoo Jonghyuk menunduk, memandangi Biyoo dengan sorot mata yang tak terbaca.

"Kemana dia pergi?"

Yoo Jonghyuk tertawa pelan. Bukan tawa menyenangkan yang enak didengar. "Aku tidak tau. Setelah kejadian itu, kami tak pernah bertemu lagi."

Biyoo tak menjawab. Pikirannya yang masih polos, tak bisa membayangkan betapa tersiksanya Yoo Jonghyuk dalam penantian yang tak berkesudahan seperti ini.

Yoo Jonghyuk menunggu dan terus menunggu kehadiran seseorang yang tak kan pernah kembali.

Perasaan murni dari masa belia mesti hancur begitu saja hanya karena sebuah kesalahan yang tidak disengaja.

Kekasih Yoo Jonghyuk tidak pernah datang, entah memang sudah terlanjur kecewa atau karena alasan lain.

Tapi, otak Biyoo yang cerdas memikirkan satu kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada kekasih Yoo Jonghyuk.

Saat itu masa perang, dan kekasih Yoo Jonghyuk kembali ketika negara baru saja berdamai dalam peperangan, yang belum tentu semua pihak musuh– atau pihak kita sendiri– dapat menerima perdamaian begitu saja. Perdamaian yang terjadi karena telah mengorbankan banyak nyawa.

Apabila ada salah satu dari orang yang tak terima perdamaian ingin membalas dendam .... mungkin, kekasih Yoo Jonghyuk—

Biyoo menggelengkan kepala kuat-kuat, itu hanya dugaan yang tak berdasar. Biyoo merasa ia terlalu banyak berpikir.

"Kek, aku berjanji. Aku akan menemani Kakek, sampai kekasih kakek datang." Biyoo mempraktekan janji pramuka yang ia pelajari minggu lalu.

"Kurasa kau tak perlu menjanjikan apa pun padaku." Yoo Jonghyuk menyentil dahi Biyoo pelan. "Satu hal yang harus kau tau, jangan pernah menjanjikan sesuatu jika kamu tidak bisa menepatinya."

"Aku bisa menepatinya," tegas Biyoo. Menyentuh keningnya yang terkena sentil.

Yoo Jonghyuk tidak mengubris perkataan Biyoo. "Terserah saja. Intinya, jangan menjanjinkan sesuatu pada orang lain. Karena bila kau tidak bisa menepatinya, bukan hanya mereka saja yang terluka, tapi kita juga."

"Lihat saja. Aku bisa kok menemani Kakek sampai kapan pun."

"Yah, mari kita lihat." Yoo Jonghyuk mengusak rambut Biyoo.

Sebenarnya Biyoo masih belum paham dan tak kan pernah paham.

Kenapa Yoo Jonghyuk masih setia menunggu kekasihnya datang? Meski tau kemungkinannya kembali sangat kecil. Dan juga, bukankah menunggu itu sangat melelahkan? Malah menyebalkan.

Biyoo sering mengalaminya, ketika ia menunggu air panas untuk memasak mie atau saat mie itu sendiri matang. Rasanya jengkel. Yah, walau hanya sebentar, karena setelah itu Biyoo akan merasa kenyang.

Tapi, bagaimana dengan Yoo Jonghyuk?

Ini berbeda dengan memasak mie. Menunggunya bukan barang sejam, sehari, atau seminggu.

Penantian Yoo Jonghyuk tidak tau sampai kapan.

Pernah Biyoo bertanya di suatu hari, mengapa Yoo Jonghyuk masih setia menunggu kekasihnya pulang, walau berujung pada kekecawaan yang menyakitkan.

Dan Yoo Jonghyuk menjawab.

"Walau memang menunggu itu membosankan, terasa menyakitkan, selama masih ada harapan. Aku akan tetap menunggu."

"Tapi Kek, bukannya lebih baik mencari yang lain saja. Daripada harus menunggu seseorang yang tidak pasti."

Yoo Jonghyuk hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Biyoo. "Ketika kamu mencintai seseorang, kamu akan tau rasanya. Dan saat itulah kau akan mengerti maksudku."

Seketika Biyoo yang masih seorang remaja kehilangan kata-kata. Tidak tau mesti berkata apa.

Selain karena kesetiaan Yoo Jonghyuk pada kekasihnya. Yoo Jonghyuk menunggu kekasihnya itu pun disebabkan karena penyesalan tentang hari itu.

Tentang hari di mana kekasihnya kembali namun Yoo Jonghyuk tidak menjemputnya pulang.

***

Hari demi hari. Lalu berubah menjadi minggu, bulan, tahun. Orang yang dinanti oleh Yoo Jonghyuk tidak pernah kunjung kelihatan. Namun Yoo Jonghyuk tetap teguh menunggu, kembali lagi ke Stasiun dan duduk di bangku peron favoritnya.

Rambutnya yang tadinya hanya putih sebagian, lama-kelamaan nyaris menutupi seluruh kepalanya. Lipatan-lipatan layu bertambah. Tapi, walaupun begitu, pesona Yoo Jonghyuk yang berwibawa tak sedikit pun meluntur, tidak peduli akan waktu.

Biyoo yang setiap hari menemani Yoo Jonghyuk juga perlahan tumbuh. Dia menjadi seorang gadis yang cantik. Tapi, semakin banyak waktu berlalu, ia menjadi sibuk. Tidak memiliki waktu untuk duduk dan bercerita dengan Yoo Jonghyuk seperti ia masih berusia tiga belas tahun.

Yoo Jonghyuk sendiri tidak keberatan. Ia memahami Biyoo yang tersibukan oleh jadwalnya yang padat. Namun, kadang-kadang, Biyoo akan meluangkan waktu beberapa jam dalam sehari untuk mengobrol dengan Yoo Jonghyuk.

"Kamu tidak harus selalu menemaniku," kata Yoo Jonghyuk yang entah sudah ke berapa kali.

"Kenapa tidak? Aku kan sudah berjanji pada Kakek, aku akan selalu menemani Kakek," balas Biyoo dengan keras kepala. "Lagian hari ini hari libur."

Yoo Jonghyuk hanya dapat mendesah menghadapi kepala batu Biyoo.

Biyoo nyengir melihat Yoo Jonghyuk nampak pasrah.

Keduanya melakukan kegiatan yang biasanya mereka lakukan. Duduk berdua, mengobrol. Kalau sudah kehabisan bahan cerita, mereka akan duduk diam sambil melihat orang-orang yang lewat.

"Kakek bilang apa?" Biyoo menatap Yoo Jonghyuk yang duduk di sampingnya. Barusan sepertinya Biyoo mendengar Yoo Jonghyuk mengumankan sesuatu. Tapi karena suaranya terlalu pelan dan suasana Stasiun sangat ramai, Biyoo tidak menangkap apa yang Yoo Jonghyuk gumamkan.

"Bukan apa-apa." Yoo Jonghyuk menggeleng.

Biyoo ingin bertanya lagi, namun Yoo Jonghyuk seperti tidak ingin membicarakannya. Jadi, Biyoo hanya bisa menelan kembali rasa perasaannya.

Tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat, penantian Yoo Jonghyuk tidak membosankan bila ada kehadiran Biyoo di sisinya.

Harus Yoo Jonghyuk akui, dengan adanya Biyoo. Setidaknya Yoo Jonghyuk tidak terlalu kesepian.

"Sudah sore, kapan kau mau pulang?" tanya Yoo Jonghyuk. Menatap jam gantung Stasiun yang jarumnya mengarah ke angka enam.

"Sebentar lagi," balas Biyoo dengan nada merengek.

Yoo Jonghyuk menghela napas. Kalau sudah begini, Biyoo pasti bakalan susah pulang. "Apa orangtuamu tidak marah karena kamu selalu menemani orang tua sepertiku?"

"Mengapa aku harus mendengarkan mereka? Mereka selalu sibuk dan tidak pernah ada waktu untukku. Aku tidak mau pulang. Di rumah pun, aku selalu sendirian." Biyoo mengerucutkan bibirnya.

Lagi-lagi Yoo Jonghyuk menghela napas, lalu mendesah. "Aku akan mengantarkanmu."

"Kakek~ aku tidak mau pulang," pinta Biyoo, mencengkeram baju Yoo Jonghyuk. Matanya menatap memohon.

Yoo Jonghyuk menyentil dahi Biyoo pelan. "Pulang," perintahnya dengan nada tegas.

Pipi Biyoo yang masih memiliki lemak bayi menggembung. Membuatnya nampak terlihat mengemaskan. Akhirnya Biyoo terpaksa menuruti perkataan Yoo Jonghyuk.

Sampai di sebuah gedung tinggi, di mana Biyoo tinggal, gadis remaja yang sedang beranjak dewasa itu masih merajuk. Menolak berbicara dengan Yoo Jonghyuk yang tidak ada niatan untuk membujuk.

Kedekatan mereka sudah seperti antara kakek dan cucu sungguhan. Bukan sepasang orang tua dan remaja yang menghabiskan waktu bersama. Jadi di antara keduanya tidak ada lagi rasa kecangungan.

Saat Biyoo berniat masuk ke dalam gedung tanpa berpamitan, Yoo Jonghyuk memanggil.

"Biyoo."

Biyoo berhenti melangkah, tapi tak menoleh.

Yoo Jonghyuk tidak mempermasalahkan sikap Biyoo yang jelas-jelas marah.

"Aku ingat kau akan pergi ke rumah nenekmu besok, kan?" ujar Yoo Jonghyuk dengan nada tanya. Memastikan.

Masih dengan sikap memberi bahu dingin, Biyoo mengangguk.

"Kapan kau akan pulang?" sambung Yoo Jonghyuk.

"Minggu depan," jawab Biyoo pelan.

"Setelah kau punya waktu luang, berkunjung 'lah ke rumahku. Bukan 'kah dari sejak dulu kau ingin melihat rumahku?"

"Benar 'kah?" Biyoo berbalik. Sorot matanya senang bercampur tidak percaya. Senyumnya mengembang. "Kakek tidak berbohong, 'kan?"

"Tidak."

"Baiklah. Karena kakek memaksa aku akan datang ke Rumah kakek sepulang dari Rumah Nenekku.."

"Tidak usah terburu-buru." Yoo Jonghyuk memberikan selembar kertas yang bertuliskan alamat rumahnya. "Ini alamat rumahku." Tatapan Yoo Jonghyuk melembut. "aku akan menunggumu."

Biyoo mengambil selembar kertas itu dengan gembira, membungkuk, dan berpamitan.

Selama mengenal Yoo Jonghyuk, belum pernah Biyoo mengetahui di mana pria paruh baya itu tinggal. Sudah lama sekali Biyoo ingin melihat rumah Yoo Jonghyuk, namun pemiliknya selalu menolak kunjungannya.

Siapa yang dapag mengira, akhirnya Yoo Jonghyuk si pria tua yang selalu berekspresi datar itu, bersedia memberikan alamat rumahnya bahkan mengundang Biyoo ke rumah.

Ketika Biyoo memberitahu orangtuanya tentang kunjunga itu, mereka juga sama antusiasnya. Walau orangtua Biyoo jarang di rumah karena kesibukan kerja, mereka tetap memperhatikan aktivitas keseharian Biyoo.

Orangtua Biyoo memutuskan akan ikut dengan anak mereka untuk berkunjung ke rumah Yoo Jonghyuk.

Biyoo yang mendengar rencana orangtuanya tersenyum senang. Ia tak sabar menanti hari di mana dirinya melihat rumah Yoo Jonghyuk, tak sabar pula memperkenalkan orangtuanya pada pria yang sudah memberikan banyak nasihat.

Biyoo ... tak sabar menunggu minggu depan.

Dan di sisi lain pun, Yoo Jonghyuk merasakan hal serupa

***

Namun sayangnya, hari yang dinantikan tidak pernah terjadi.

Biyoo yang berjanji akan pulang setelah seminggu berlibur dari Rumah Neneknya tak pernah kembali lagi. Apartemen tempatnya tinggal dijual. Pemiliknya telah berganti.

Yoo Jonghyuk yang seperti biasa duduk di bangku peron kesukaannya hanya bisa menunggu.

Melirik bangku peron sebelahnya yang kosong.

Sama halnya dengan hati Yoo Jonghyuk yang hampa.

Yoo Jonghyuk mengukir senyum sedih. Dia kian mengerti, inilah hidup.

Bila ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Siap atau tidak siap, pasti harus berpisah meski sudah mengukir janji akan bersama.

Dalam perpisahan itu yang menyakitkan bukan saat mengucapkan kalimat 'selamat tinggal'. Tapi saat kita harus hidup dengan kenangan yang ditinggalkan. Kenangan yang tak kan bisa diulang kembali meski sekuat apa pun kita ingin. Harus membiasakan diri untuk terus melangkah maju tanpa sesuatu atau seseorang yang sudah melekat dalam ingatan.

Yoo Jonghyuk memejamkan mata, menahan kepedihan yang bergejolak dalam dirinya. Kelebihan manusia adalah terbiasa dan Yoo Jonghyuk yakin dirinya juga pasti akan terbiasa tanpa kehadiran seorang remaja naif yang cerewat.

Yoo Jonghyuk juga pernah merasakan sebelumnya.

Jadi, Yoo Jonghyuk tidak terlalu kaget lagi.

Tak apa, Yoo Jonghyuk sungguh tidak apa-apa.

Ini hanyalah siklus kehidupan yang akan terjadi pada setiap manusia.

Pertemuan, mengenal, berpisah, lalu mengenang, mungkin juga melupakan.

Semua itu ... sudah biasa.

Mendengar suara lokomotif, akhirnya Yoo Jonghyuk perlahan membuka kelopak matanya. Berdiri untuk melihat wajah orang-orang yang turun dari kereta.

Dulu Yoo Jonghyuk hanya menantikan seorang namun sekarang berbeda.

Kini yang Yoo Jonghyuk nantikan, ialah kedatangan Kekasihnya dan Biyoo.

Hidup itu lucu, kan? Kalau diibaratkan mungkin seperti kereta.

Ada yang datang dan ada pula yang pergi, juga ada yang kembali. Terkadang berhenti tapi bukan berarti itu tujuan akhir.

****

Suatu hari, setelah kepergian pemiliknya. Setiap kali orang melihat bangku peron itu, mereka akan melihat bayangan seorang pria paruh baya yang menunggu cinta sejatinya dan seorang remaja naif.

Mereka akan mengingat kisah seseorang yang menunggu dengan setia kepulangan yang dicinta tanpa banyak mengeluh.

Orang itu bernama Yoo Jonghyuk.

Menunggu untuk menepati janji yang Yoo Jonghyuk buat dengan mereka.


Tamat

****

Sebenernya ini tuh terinspirasi dari kisah nyata. Cuma saya sedikit kasih perbedaan sama cerita aslinya biar gak terlalu sama.

Setingg latar waktunya pas tahun 90-an. Jadi keretanya bukan jenis MRT, oke.

Btw ini gak diedit lagi, males. Jadi, kalau kurang fell, dan banyak typo di mana-mana, maklumi saja, yah. :>
.
.
.
.
.
.
.
.


Selesai pada hari minggu, 08-08-2021


Dipublis pada hari senin, 16-08-21

Continue Reading

You'll Also Like

70.1K 6.4K 40
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
336K 3.8K 81
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
422K 43.6K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
211K 32.1K 58
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...