The Thing Between Us

By Janeloui22

50K 4.6K 854

A collection of Jaerose's short fanfiction. [You may read or leave] More

•Before You Go•
[1] Amore
[2] Fallen Angel(s)
[4] Perfectly Match
[5] Meet You at September
[6] Scattered Heart
[7] Through The Basketball He Plays
[8-1] Fail Play
[8-2] Fail Play
[8-3] Fail Play
[9-1] Anomali Rasa
[9-2] Anomali Rasa
[9-3] Anomali Rasa
[9-4] Anomali Rasa
[10] Platonic Love
[11] Carnations
[12] Soulmate
[13] 47 Street
[14] MSG
[15] Wishlist
[16] Monster
[17] Ideal Life
[18-1] Aksara
[18-2] Aksara

[3] Tiga Tingkat

3.1K 297 44
By Janeloui22

Setelah part pertama yang aduh sekali, here I give you the sweet one.

Aku nulis ini setelah simping Harry Styles sampe dimarahin mamah karena teriak 'I love you Harry Styles'. Hope you like it!
☺️☺️☺️

•Tiga Tingkat•

Summary: An ignorant-sarcastic Jeffrey Atharis who planned to live his life as a plain and normal college student has hit by Roseanne Harits, a cheerful-optimisctic girl who is preparing for her university entrance. Jeffrey keeps turning down Rose’s feeling by saying she’s too young for him who’s already on his 20s. But the truth to be told, Rose’s just three years younger than him and already at the age when she can decide which one she can and cannot do. What kind of excuse Jeffrey will make later to turn down Rose’s feeling?

“No, this trick won’t work. How on earth are you ever going to explain in terms of chemistry and physics so important a biological phenomenon as first love?”
—Albert Einstein—

Hari ini bener-bener kayak tai. Itu cuma pikiran si cowok putih berambut gondrong yang lagi duduk bersila sambil ngerjain tugas yang dibencinya setengah mati. Namanya ‘ngerjain’ ya kadang isinya pun sengaja dibuat asal-asalan meskipun hasilnya selalu jauh di atas perkiraan. Dengan kata lain, nilai tugas Si Bujang yang selalu memikat tiap orang karena muka cakep khas vampirnya itu selalu fantastis—selalu bikin semua orang nggak habis pikir dengan kemampuan cowok 21 tahun itu.

Entah karena beruntung atau emang mutlak pinter, tapi semales-malesnya cowok satu ini, hasilnya selalu sama kayak seniat-niatnya para anak ambis yang siang-malem belajar dan cari perhatian ke dosen. Canda sayang. Itu cuma justifikasi yang bercampur kesombongan seorang Jeffrey Atharis—top student institusi berlambang Ganesha di Kota Kembang.

Katanya dalam hidup itu pasti selalu ada baik dan buruk. Beberapa kawan Jeffrey sangat setuju. Mereka bakal beramai-ramai ngejadiin Jeffrey sebagai contoh paling nyata yang nggak bisa diganggu gugat. Pasalnya, Jeffrey yang terlahir dengan fisik menawan nyerempet sempurna justru punya sifat nyeleneh, nyebelin, sombong, dan egois tingkat Namruj. Singkatnya, sifat dia kayak dakjal.

Hal itu langsung dibantah sama yang bersangkutan—tentu saja—dengan mengatakan kalau sifatnya itu bukan sebuah kesombongan melainkan bentuk percaya diri dan bentuk syukur atas karunia Tuhan yang udah ngasih face and brain yang ciamik sama dia. Orang gila. Atau lebih tepatnya, orang tampan gila. Meskipun gila di sini nggak dalam konteks yang sebenarnya. Bahkan mungkin Jeffrey itu terlalu waras buat jadi gila. Tipe gila yang lebih gila daripada gila itu sendiri. Tolong jangan terlalu serius, kalian mungkin bisa jadi gila beneran.

“Mau kopi nggak?” tawar Jeffrey ke temen yang duduk di sampingnya.

“Kopi sianida?” tanyanya sinis. Bisa banget Bambang kalau bikin humor gelap.

“Nggak ada sianida. Adanya obat nyamuk. Paling lebih pahit. Jadi mau nggak?” Cara Jeffrey nawarin kopi udah kayak para pelayan kafe yang cekatan dan suka ngomong ke sana ke mari di mana-mana hatiku senang. Sifatnya bikin kesel.

“Di mana kau letakan akhlakmu, monyet?” Bambang ngelempar senyum dan jari tengah, mukanya ikhlas banget.

Jeffrey nggak peduli, dia ngelengos dengan santai sambil makein bando ke rambut gondrongnya. Celana training merah baggy yang dipaduin sama sleeveless hitam ngebuat si bujang merasa seolah-olah dirinya merupakan Kpop Idol yang baru selesai rehearsal. Iya rehearsal, rehearsal otak. Pinter kagak sekarat iya. Meskipun pinter, tapi belajar enggak akan pernah jadi hal yang Jeffrey sukai. Cukup Mbak Nana dan Maudy Ayunda saja yang suka, Jeffrey tidak usah.

Kosan yang Jeffrey tempati memiliki delapan kamar. Bentuknya nggak lurus ngebosenin kayak sel penjara—tapi berkelok kayak rumah dua lantai dengan ruang tengah, dapur, bahkan garasi motor. Kamar Jeffrey ada di lantai dua, di pojok kanan supaya punya balkon meskipun bayarannya sedikit lebih mahal. Di sisi kiri ada kamar Bambang Sanjaya yang lebih sering ngehabisin waktu di kamar miliknya. Alasannya cuma satu: kamar Jeffrey selalu bersih dan rapih. Dua penghuni lantai dua lainnya kuliah di kampus sebelah—Raditya Khalid si buaya bermuka polos merupakan anak Hukum; sementara Gibran Kamil merupakan anak Fakultas Ekonomi yang suka dangdutan siang malem. Kamarnya berisik banget.

Terus di lantai satu ada empat penghuni lain yang sama-sama suka heboh nggak karuan. Skemanya sama kayak lantai atas—bedanya di bawah ada ruang tamu atau ruang tengah buat ngumpul karena ada TV—kamar pojok kanan depan tangga ditempati Kak Doni, anak Arsitektur semester 8 yang selalu pacaran di dalam kamar; di seberangnya ada Windu Bagaskara yang sifatnya sebelah dua belas sama Radit, bedanya Windu punya pacar, Mina selalu dateng ke kosan either buat pacaran atau curhat sambil nangis-nangis di depan penghuni lantai atas—mungkin karena keempatnya jomblo, Jeffrey juga nggak paham dengan kerandoman itu. Terakhir ada Dekis dan Winarto yang masing-masing menempati kamar paling depan.

Semua penghuni lantai satu punya pacar—kadang bikin iri sampai Bambang ngira kalau lantai dua itu kena kutuk yang ngebuat penghuninya pada jomblo. Teman satu jurusannya ini emang percaya sama hal mistis—Jeffrey nggak peduli selama Bambang nggak sampai nyalain menyan di kamarnya. Bukan apa-apa, Jeffrey cuma nggak suka sama baunya. Terlalu menyengat.

“Kak Jeffrey,” suara di belakang sempat ngebuat Jeffrey terlonjak. Anak bungsu pemilik kosan lagi diri di belakangnya, kelihatan cantik dengan kaos putih dan celana jeans baggy yang belakangan lagi jadi gaya favoritnya. “Mau ngasih kopi. Aku beli dua buat kamu.”

“Buat kakak,” Jeffrey ngoreksi. Tangannya terulur buat nerima kopi dari Roseanne Harits yang masang ekspresi cerah sambil melempar senyum gulalinya. Tentu saja, Jeffrey juga ngasih sebuah terima kasih karena usaha Rose buat ngegaet hatinya selalu konsisten.

“Biar aku tebak, berhubung udah jam empat, ini pasti jadi kopi ketiga yang Kak Jeff buat. Kakak ngopi terus, nanti giginya kuning lho.” Rose nunjuk sambil senyum. Bocah manis banget.

“Nih kuning gak nih? Enggak karena diriku rajin membersihkan gigi.”

Niat Jeffrey cuma bercanda saat dirinya nyengir sambil nyondongin badan ke Rose. Tapi si gadis yang baru lulus SMA dan lagi deg-degan nunggu hasil SBMPTN itu malah nangkup muka Jeffrey, narik ke arahnya, terus mengamati mukanya lamat-lamat. Sepasang mata cokelat gelapnya bak lampu kerlap-kerlip yang bikin Jeffrey terpana. Jari-jemarinya terasa lembut. Belum lagi muka cantik dengan warna kemerahan di kedua pipinya berada terlalu dekat—ngebuat jantung Jeffrey berdetak terlalu keras.

“Aw,” reaksi Jeffrey enggak seheboh keadaan hatinya.

“Maaf! Padahal kan megangnya nggak terlalu kuat!” Rose heboh sendiri. Dia buru-buru narik tangannya dari muka Jeffrey, kentara banget paniknya.

Ngelihat reaksi yang Rose tunjukin, tak pelak tawa Jeffrey keluar dan ngebuat anak bungsu pemilik kos sedikit ngedumel kesel. Jeffrey ngulurin tangan, ngelus-ngelus puncak kepala Rose pelan. Kadang dia nggak sadar kalau tindakannya merupakan salah satu alasan utama yang ngebuat perempuan itu jatuh hati. Rose terdiam—lagi ngerasain sensasi dag dig dug di dalam dada.

By the way, nyampe dari Lombok jam berapa?” tanya Jeffrey sambil narik tangannya, baru inget kalau alasan dia ke dapur itu buat nyeduh kopi.

“Tiga puluh menit yang lalu,” sahut Rose sembari ngerapihin rambut hitam panjangnya yang digerai melewati punggung.

Pandangan Jeffrey otomatis terarah ke Rose, merhatiin gadis yang bersandar ke kulkas sambil ngelipet tangan di depan dada. Mukanya kelihatan cerah untuk ukuran orang capek selepas flight. Badannya juga harum. Nggak ada bau keringat sama sekali. Alih-alih bau keringat, Rose malah punya aroma floral yang segar.

“Sebelum dateng ke sini mandi dulu ya?” tanya Jeffrey tanpa nengok ke arah Rose. Dia lagi sibuk ngaduk kopi.

“Iya, biar wangi dan cantik. Tujuan aku kan buat bikin Jeffrey Atharis jatuh cinta.” Rose ngebentuk tanda ‘Love’ pakai tangannya, sambil senyum, bahkan ngerlingin mata.

“Genit,” cetus Jeffrey pura-pura ketus.

“Tapi cantik kan?” tanya Rose setengah nodong.

“Iya cantik,” kata Jeffrey sebelum neguk kopi pemberian Rose. “Cantik banget.”

“Tahu aku cantik, kenapa masih nggak mau jadi pacarku? I’ll make an Only Fans account only for you if you become my boyfriend.” Kalimat terakhir bikin Jeffrey tersedak dan batuk-batuk. Rose ketawa sambil nepuk-nepuk punggung Jeffrey. Terus katanya setengah berbisik, “I’m being serious. I even do exercise regularly just so I can have a good body shape. You can see and tou—”

“Cukup nggak usah dilanjutin!” sergah Jeffrey sambil nutup mulut Rose. Mukanya agak merah. Di dalam otaknya berputar soal kalkulus—bukan karena dia suka, dia cuma mau mendistraksi pikiran yang mulai nggak sejalan sama prinsipnya sebagai bujang lajang bermartabat. Jeffrey narik napas dalam, sebelum narik tangannya, ngebiarin Rose menggerutu karena tindakan gegabahnya. “Jangan ngomongin hal gitu. Kecuali kalau kamu siap naggung semua resikonya. Banyak laki-laki yang hobi ngemanfaatin kelengahan perempuan buat menuhin kesenangan pribadi—meskipun perempuan juga ada aja yang kayak gitu. Kamu baru lulus SMA—masih 18 tahun, cantik, pinter, you got a nice body as well, dan punya pribadi yang menyenangkan. Banyak yang bakal suka sama kamu. Jadi pas masuk kuliah nanti, kamu harus ekstra hati-hati. Nggak semua cowok itu punya prinsip kayak aku.”

“Kenapa Kak Jeffrey nggak ngikutin sifat yang mainstream aja?” tanya Rose masang tampang serius.

Senyum Jeffrey terukir lembut. Dia nyentil kening Rose pelan—jelas cuma iseng. “Kalo ngikutin arus, nanti aku nggak punya hal yang khas.”

“Kenapa butuh hal yang khas?” tanya Rose lagi.

“Entah. Supaya bisa bikin kamu suka, mungkin?” Jeffrey menikmati saat-saat ngelihat muka Rose memerah karena malu. Dia neguk kopinya, sebelum ngebawa satu gelas lain buat Bambang.

“Mau ke mana?” tanya Rose sambil negakin badan dan diri di depan Jeffrey.

“Kamar. Ngikut?” tawar Jeffrey santai.

“Iya,” jawabnya singkat dan  percaya diri. Rose ngambil salah satu gelas di tangan Jeffrey. Agak meringis karena panas. “Mau pinjem buku.”

“Udah pinjem balik lagi ya,” tutur Jeffrey meminta sebuah ‘ya’ dari Rose. Orang yang ditanya bilang okay—tapi Jeffrey pun jajaran malaikat tahu kalau ‘okay’ versi Rose itu sangat fleksibel dan ada kalanya nggak bisa ditepatin. Meski begitu, Jeffrey tetap nyuruh Rose buat jalan di depannya sambil bilang, “Hati-hati kopinya tumpah. Nanti kena tangan. Bisa melepuh tangan calon Bu Dokter nanti.”

Rose nyengir. Dia mulai jalan meskipun sambil ngoceh karena anaknya emang nggak bisa diem. Ketika mau menaiki tangga, langkah Rose terhenti, dia mundur lagi buat nempelin telinga di depan pintu kamar Kak Doni. Jeffrey yang ngelihat tingkah si anak pemilik kos buru-buru narik ujung bajunya, sebelum mengisyaratkan Rose buat naik ke atas.

“Privasi orang, jangan diganggu,” kata Jeffrey sama Rose. Lawan bicaranya cuma diem, dengan anteng ngikutin Jeffrey dari belakang.

Begitu sampai kamar, Jeffrey sedikit berdecak kesal karena lagi-lagi Bambang ninggalin kamarnya dalam keadaan berantakan. Heran, bisa-bisanya makhluk satu itu pergi tanpa penyesalan apapun setelah bikin kasur, karpet, dan meja milik Jeffrey berantakan.

Tersangka utama udah masuk kamarnya, lalu dengan santai dan nggak tahu malu teriak, “Jeff! Kopinya anter sini!”

“Si anjing,” desis Jeffrey sambil nyipitin mata.

Alih-alih Jeffrey yang nganterin, Rose yang diri di ambang pintu sambil ngasihin segelas kopi agak bikin Bambang terlonjak bahkan sampai nyebut istighfar. Bener-bener tipe orang paling menyebalkan.

“Eh ada si cantik. Kirain siapa, hehehe…” Bambang cengengesan.

“Nih kopinya,” kata Rose sambil nyimpen kopi Bambang di atas meja. Dia nengok ke luar, mendapati Jeffrey udah masuk kamar sambil uring-uringan. Katanya, “Kak Bam boleh minta tolong nggak?”

“Kalau minta tolong dibeliin mobil maaf aku nggak bisa. Uang jajan aja dikit aku mah,” tutur Bambang yang lagi duduk di atas karpet sambil main game malah curhat. Dia udah belajar, mengerjakan tugas, tinggal satu kegiatan lagi yang belum dia lakuin: main mobile legend sampe muntah.

Rose kelihatan kesel. Tapi ekspresi itu buru-buru dia hapus, terus katanya setengah berbisik dan sambil nyondongin badan ke arah Bambang, “Jangan ke kamar Kak Jeffrey ya? Diem aja di sini. Please please please, aku kangen banget sama Kak Jeffrey. Udah seminggu nggak ketemu.”

“Suruh siapa main ke Lombok nggak ajak-ajak,” sahut Bambang sambil ngupil.

“Padahal aku bawa oleh-oleh buat semua penghuni kosan ini. Ya udah deh, jatah anda nggak akan saya kasih!” ancam Rose bikin Bambang kalang kabut.

“Jatah apaan emangnya?” 

Suara Jeffrey yang menabrak punggung Rose agak bikin dia terkejut. Rose nengok, mendapati Jeffrey udah diri di belakangnya. Tatapannya melipir ke Bambang, agak melotot dan penuh ancaman. Kata Rose, “Bukan apa-apa. Kak Bambang bilang dia mau main game. Ayo ke kamar kakak aja.”

Enggak ada protes yang Jeffrey ajukan. Dia nurut aja waktu Ros ngedorong punggungnya terus masuk ke kamarnya. Pintu balkon sengaja dibuka karena setengah jam lalu Bambang abis ngerokok sambil nugas. Jeffrey juga udah nyemprotin pewangi buat menghilangkan asap rokok dari kamarnya. Meskipun dia nggak ngerokok, tapi dia baik-baik aja sama asap rokok. Satu-satunya alasan kenapa dia sampai nyemprotin pewangi itu karena Rose punya asthma. Dia emang selalu memastikan kamarnya bersih nggak berdebu karena Rose selalu main ke situ.

Begitu masuk, Rose langsung menjatuhkan diri ke atas kasur, mejamin mata bentar sebelum berguling dan ngelihatin Jeffrey yang duduk di bawah sambil mainin handphone. Dia bangkit, terus megang rambut Jeffrey yang gondrong dan dipakein bando.

“Rambutnya aku iket ya?” tanya Rose masih mainin rambut Jeffrey.

“Nggak,” sahut Jeffrey singkat.

Rose agak merajuk. Dia tengkurep sambil ngacak rambut Jeffrey—lalu ngulurin tangan ke depan, bikin cowok di depannya terlonjak karena Rose tiba-tiba meluk. “Barusan Kak Doni sama Kak Jennie lagi ngapain? Kok suaranya campur sama suara musik sih?”

Tanpa melepas pelukan Rose, Jeffrey yang duduk bersandar ke tepian kasur nyahut, “Lagi bonding.”

“Hah?” Rose ngerutin dahi.

“Lagi praktek pelajaran biologi materi fertilisasi. I know you catch what I mean. IPA kamu kan selalu excellent. Dan aku juga tahu kalau kamu nggak polos-polos amat. Jadi nggak usah mancing-mancing. Aku nggak tertarik.” Jeffrey noleh ke belakang, ngelempar senyum sambil ngusap rambut Rose. “Kamu boleh ngiket rambut aku kalau mau.”

“Can I kiss you?” tanya Rose tiba-tiba.

Jeffrey menggeleng, masih senyum saat ngasih kotak iket rambut ke Rose. “Nope. Aku nggak mau menanggung perasaan bersalah dan nggak nyaman karena udah ‘nyentuh’ anak Ibu Kos.”

“Kalau aku bukan anak Ibu Kos, mau?” Rose masih mencoba. Dia bangkit buat duduk di tepian kasur dan mulai ngerapihin rambut Jeffrey yang punya aroma stawberry. “I can keep a secret kok.”

“Bukan masalah kamu bisa dan nggak bisa jaga rahasianya, Rose. Dan bukan masalah kamu anak Ibu Kos atau bukan. Masalahnya, aku nggak mau. Atau belum mau. You don’t have to test me all the time. Kekang yang aku punya bisa putus,” tutur Jeffrey sambil ketawa pelan. Dia ngelirik ke bawah, ngelihat kedua kaki Rose yang entah bagaimana melingkar ngebelit tubuhnya.

Sekali lagi Rose meluk Jeffrey. Sentuhannya terasa sendu. Deru napasnya yang menghantam daun telinga Jeffrey terasa hangat—dan frustasi. “Aku takut nggak keterima di UI. Meskipun kalau nggak keterima ya tinggal ikutan SIMAK, kan. Aku udah daftar juga,” tutur Rose berusaha ngelepas kekhawatirannya. Dia ngelepas pelukannya, cuma buat turun dan bersandar ke bahu Jeffrey. “Dan aku takut kalau harus pisah sama Kak Jeffrey. Gimana kalau kakak punya pacar? Atau gimana kalau ada lebih banyak perempuan yang deketin kakak? Aku makin nggak punya kesempatan. Bahkan saat aku ada di sini dan aku nyoba banyak hal pun, aku masih tetep ditolak.”

Kata-kata yang terlontar dari mulut Rose ngebuat Jeffrey terdiam. Untuk sesaat dia ngebiarin perempuan itu bergelut sama perasaannya. Lalu, setelah pertimbangan yang cukup matang, Jeffrey mengulurkan tangan kanannya buat ngerangkul Rose. “Kamu udah melakukan yang terbaik. Sekarang waktunya buat mengapresiasi diri kamu. Give yourself a break. Rose, aku yang biasa-biasa aja bisa lulus ke Teknik Elektro, apalagi kamu yang pinter dan rajin belajar. Perihal keputusan aku buat belum nerima kamu, itu juga ada alasannya. Kamu masih terlalu muda, aku nggak mau pacaran sama anak SMA.”

“Jujur banget,” kekeh Rose pelan.

Jeffrey menyunggingkan senyum. “Tunggu sebentar lagi aja. Dan jangan ngajakin aku pacaran lagi. Kamu udah berusaha terlalu banyak. Setelah itu, ijinkan aku buat memainkan bagianku juga. Kamu bisa kan?”

“Setelah itu Kak Jeffrey nggak akan sok-sokan kayak orang dewasa lagi kan?” Rose nanya gitu sambil ketawa.

“Aku emang udah dewasa,” tutur Jeffrey yang ekspresinya mendadak balik kayak semula: datar.

“Kamu cuma tiga tahun lebih tua dari aku,” kata Rose sambil ngacungin tiga jarinya. Dia ketawa sambil meluk Jeffrey, mendapat sedikit penolakan yang nggak dia gubris. “Gak sabar nunggu besok. Semoga aku menerima sebuah ‘selamat’ dan bukan ‘semangat’. Terus aku juga bisa menyandang dua status sekaligus: sebagai mahasiswi FKUI dan sebagai pacar Kak Jeffrey. I like how it sounds.

“Pulang sana,” kata Jeffrey tiba-tiba. Andai Rose tahu kalau semua dorongan dan penolakan dari Jeffrey itu merupakan bentuk dari rasa malunya yang nggak bisa ditunjukkan dengan jelas. “Nanti orang tua kamu nyariin.”

Muka Rose terangkat. Dia ngelepas pelukannya sebelum ngambil satu novel tipis dan balik rebahan di atas kasur Jeffrey. Katanya dengan santai, “Enggak akan. Aku udah bilang mau main ke sini.”

“Masa diizinin main ke kosan cowok lama-lama sih,” sahut Jeffrey sambil ngelihatin Rose dengan tatapan curiga.

“Diizinin soalnya aku bilang mau main ke temen. Berhubung Kak Jeffrey belum resmi jadi pacarku, berarti kehitungnya masih temen. Mamah nggak akan nyariin, terus papah lagi ke luar kota. Dan kita juga nggak ngapa-ngapain meskipun kalau ngapa-ngapain juga gak apa-apa sih.” Rose menjelaskan alasannya dengan lancar tanpa hambatan.

Kadang Jeffrey nggak ngerti dengan pola pikir Rose yang cenderung ekstrim dan blak-blakan. Ada perasaan ingin melindungi supaya perempuan di hadapannya nggak dimanfaatin sama orang-orang yang punya niat jahat. Sepertinya jadi orang yang positive thinking nggak selalu menguntungkan.

Jeffrey nengok ke belakang. Baru sepuluh menit dan Rose udah ketiduran. Dia merhatiin cara tidur Rose yang meringkuk kayak kucing. Dengan hati-hati dia nyelimutin perempuan yang selama tiga tahun penuh selalu meramaikan hari-harinya. Jeffrey menggeser tubuhnya, kembali ngerjain kegiatan yang dia benci: belajar.

Tiga jam berlalu, langit udah gelap, bahkan Jeffrey udah ngelewatin dua kali adzan di mesjid. Dia masih pakai sarung dan peci saat ngelihat tujuh orang bujang yang lagi pada ngegelar karpet sambil nyiapin makan malem di teras depan. Jeffrey celingukan, ngelihatin kawan kosnya satu-satu.

“Rose belum bangun?” tanya Jeffrey sambil ngebuka pecinya terus nyisir rambut pakai jari-jari lentiknya yang indah.

Berhubung Raditya merupakan penghuni lantai dua yang sangat ‘care’ sama perempuan, dia buru-buru nyahut, “Belum. Pintunya masih ditutup. Windu bolak-balik ke kamar Bambang karena lagi berantem sama Mina dan para bocah setan pada berisik juga Rose tetep nggak bangun.”

“Jangan-jangan dia koma breh,” timpal Dekis bikin semua orang ngelihatin dia dengan tatapan sinis, nggak ngerti lagi sama otak manusia satu itu.

“Tadi pas maghrib dan isya gue udah ngetuk-ngetuk pintu kamar lo. Tapi doi nggak nyahut. Mungkin tidurnya emang nyenyak,” terang Bambang selaku tetangga terdekat yang keterangannya bisa Jeffrey anggap paling valid.

“Oh ya udah. Gue ke atas dulu ya,” kata Jeffrey buru-buru jalan ke atas, orang-orang di situ cuma saling lempar senyum sebelum balik lagi nyiapin makanan.

Dengan sangat hati-hati Jeffrey muter knop terus ngedorong pintu kamarnya pelan-pelan. Lampu belum dinyalain—sengaja biar Rose bisa tidur lebih nyenyak sekaligus hemat energi. Empunya kamar masih ngelihatin dari ambang pintu, berniat nyalain sakelar sebelum urung karena nggak mau ganggu Rose. Dia masuk ke dalam dengan langkah tenang, terus duduk di tepian kasur—menahan diri buat nggak nyentuh wajah Rose yang kelihatan damai dalam tidurnya.

“Kak Jeff?” panggil Rose spontan bikin Jeffrey narik tangannya.

“Minum dulu,” kata Jeffrey sembari nyodorin air putih kemasan yang selalu ada di kamarnya. Dia ngelihatin Rose yang duduk bersila di atas kasurnya. Bisa-bisanya dia kelihatan sesantai itu di dalam kamar laki-laki yang gelap dan sunyi. Bahkan Jeffrey ngerasa perlu buat menjauhkan diri.

Dia berdiri, berniat nyalain lampu setelah ngelipet sarung yang udah dibuka sebelum masuk ke dalam kamar—menyisakan celana pendek krem selutut yang selalu dia pakai sehari-hari. Tapi, belum sempat tangannya menyentuh sakelar, tubuhnya merasakan sentuhan hangat yang bikin terkesiap. Jeffrey nahan napas—berusaha tenang saat Rose meluk dirinya dari belakang.

“Jeffrey,” panggil Rose menanggalkan istilah ‘kakak’ yang selalu dia pakai. “I don’t think I will like the world without you in there. My world is much brighter and happier when you entered my life by saying my name for the first time. I wish I could go back to that time, hearing you call my name and standing without feel distant.”

Jeffrey berbalik, menatap sepasang mata Rose yang dalam, seolah bisa menenggelamkan eksistensinya kapan aja. Setelah narik napas panjang dan ngatur laju emosinya, Jeffrey menempatkan kedua tangannya di pundak Rose, mulai berbicara dengan nada serius tapi tetap halus. “Rose, kamu nggak ngerti dampak omongan yang kamu lempar ke aku. Kamu nggak paham bisa seberbahaya apa berada di dalam satu ruangan temaram sama laki-laki kayak sekarang ini. Kamu nggak paham sebanyak apa kerugian yang bakal kamu dapet dari hubungan kayak gini. Ada mimpi yang mau kamu wujudkan. Aku nggak mau menghalangi apalagi sampai merusak jalan menuju mimpi itu—mimpi kamu bahkan mungkin mimpi orang tuamu. Sekarang pulang, aku anterin.”

“Okay,” tutur Rose sangat pelan. Tatapannya terarah ke bawah, ngerasa sedih dan sedikit malu.

“Roseanne?”

Itu adalah sapaan pertama yang Jeffrey kasih ke Rose. Gadis itu mengangkat muka—membulatkan mata saat menerima kecupan singkat dari pria yang dia kagumi, ah bukan, dia cintai sejak kelas 1 SMA. Rose menggoreskan senyum. Itu cuma kecupan di kening, tapi hatinya sudah bersorak senang bak baru menang lotere lima milyar. Mungkin ini lotere paling baik yang mau dia menangkan. Terutama saat Jeffrey turut menyertakan pengakuan yang ngebuat Rose melayang.

“Aku peduli sama kamu. Bukan, aku sayang sama kamu. Bukan sebagai kakak, tapi sebagai pria. Oleh karena itu, aku juga mau belajar bertanggung jawab dan menjaga mimpi-mimpi kamu. Tapi, kalau kamu mau, aku juga bisa sedikit ngelonggarin prinsip dan sedikit ngelakuin hal-hal gila bareng kamu. Dan sebagai permintaan maaf karena kelancangan aku barusan, ijinkan aku buat jadi orang pertama yang ngasih selamat—atau semangat—saat kamu ngebuka pengumuman SBMPTN besok. I wanna be your support system, just like you be mine as well.

“Ah meleyot,” kata Rose sambil ketawa dan nahan air mata bahagia.

“Ayo pulang,” ajak Jeffrey.

“Kak Jeffrey?”

Jeffrey ngangkat kedua alis, ngelihatin Rose penuh perhatian. “Hm?”

Kali ini Rose ngebunain kedua tangannya buat ngegenggam tangan Jeffrey. Matanya tetap berbinar dalam gelap saat bilang, “Bisa nggak kalau aku ngasih tahunya setelah menyandang status baru? Sebagai pacar kakak, bukan cuma sebagai anak bungsu Ibu Kos yang Kak Jeffrey hormati.”

Ada jeda yang tercipta. Rose sempat merasa was-was. Tapi, kekhawatirannya segera sirna waktu Jeffrey ngacak rambutnya bahkan meminta izin buat meluk dia. Jeffrey menyembunyikan sebagian kegugupannya di belakang Rose. Lalu dengan lembut dia bilang, “Roseanne Harits, I would like to hear any kind of news you’ll tell to me tomorrow as… um… okay, doesn’t it sound too simple if I said I wanna be your boyfriend because I adore you so much?”

Rose narik diri, dia ketawa sambil gelengin kepala. “No, seriously, no. I mean, yeah, a bit. But who cares? It’s only for me after all. I’m the type who likes you no matter what you do because you’re my type. Actually I will always love you even though you weren’t my type. I just really really love you.”

“How much do you love me?” tanya Jeffrey dengan tampang serius.

“Em, let me think, probably more than the moon loves the night.” Lagi-lagi sebuah senyum terulas di wajah Rose yang cantik dengan segala kekhasan Asia-nya. Bahkan kulit putihnya kelihatan lebih bercahaya daripada biasanya.

“Then mine for you is ten million folds than it. I would like to spend more time with you in the future as someone who commits to love, treasure, and respect you as woman and lover.” Jeffrey menutup pengakuannya dengan sebuah kecupan di kedua punggung tangan Rose.

Keduanya bertukar senyum lebar. Meski agak canggung dan nggak direncanakan, tapi hubungan mereka berjalan jauh lebih baik dari yang siapapun kira. Jeffrey melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Ternyata memutuskan untuk menerima dan mengusahakan untuk diterima itu nggak sesulit mengerjakan tumpukan soal kalkulus. Jeffrey mengeratkan genggamannya di tangan Rose—mengiringi langkahnya sebagai pasangan yang penuh dukungan dan kasih sayang.

—Fin—

Ada yang bisa nebak penduduk kosan itu siapa aja?

Btw, kalian ada cerita spesifik yang mau dibaca nggak?

Guys, to be really honest, I feel so ashamed to the point I wanna lock myself in the room after publishing part two on The Thing Between Us. Like what the heck? I was so bad. Hahaha... My vocabs were so narrow and everything was so messy. I try to find some excuses and turn them into scapegoat but nah, being not good is just a process to be a better one. But, regardless of what I was saying and feel anxious about, I still feel a little relieve on my vein and I'm happy for that. I'd be so happy if this hobby of mine can help others release a bit of their stress as well.

Thanks a lot for coming today's too! I'll see you with the hottie one~
❤💝💙💘💜💕💚💗❣🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

79.7K 7.7K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
333K 27.7K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
484K 48.6K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
246K 36.8K 67
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...