Joshua cemberut seketika dan membathin bahwa petunjuk-petunjuk yang akan mengantarkannya pada kemudahan malah berakhir menyulitkan. Informasi yang didapat pun masih mentah-mentah.
Apalah daya, Budi sama sekali tak tahu di mana lokasi rumah baru Evans berada. Dia sedikit canggung usai mengatakan hal tersebut lalu menggeser tubuh ke kanan hingga membuat jarak. Kemudian menoleh sekeliling halaman untuk menghindar kalau-kalau Joshua akan menanyakan hal lain.
Justru karena Budiman salah suatu teman Evans sepatutnya tahu dan memang wajar jika anak temannya bertanya. Budiman kemudian melirik arloji, menunjukkan pukul sebelas.
"Joshua, saya mau pergi dulu ke toko."
"Toko?"
"Iya, saya punya toko kelontong sendiri. Usaha keluarga."
Joshua hanya ber-oh rendah dan melihat pria renta itu beranjak dari bangku lalu berjalan menuju mobil yang terparkir tepat di seberang lalu masuk ke dalam mobil pick up. Tak lama mobil itu melesat, meninggalkan area pekarangan rumah.
Joshua mendesah, merasa tidak puas dengan obrolan yang menggantung seperti ini. Untuk menghilangkan rasa kesalnya, dia membongkar-bongkar isi ranselnya agar ide yang bersarang di kepala tidak hilang bersamaan terpaan angin yang terus menghembus melaluinya.
Dia kemudian menemukan sebuah note book mungil berwarna biru kelam dengan goresan J.E di bagian depannya. Untung saja buku itu tidak kenapa-napa lantaran tulisan yang dia ciptakan di dalamnya tidak bernasib sama seperti beberapa tulisan yang telah diamuk oleh ibunya sendiri.
Joshua memulai dari satu baris pertama, tapi tak pula tangannya bergerak. Dia mencoba lagi dengan mengarah bolpoint ke atas lalu ke bawah. Namun, belum menghasilkan apa-apa untuknya. Hingga terpaan angin berhenti bersamaan pikiran yang sudah tak berguna lagi. Idenya menghilang begitu saja, dia menghembuskan nafas gusar.
Hendak saja Joshua ingin masuk ke dalam rumah, dia mengernyitkan dahi ketika Hendra yang entah dari mana datangnya tiba-tiba melesat masuk bak orang kesetanan. Joshua yang berusaha mencegat justru ternganga begitu melihat Hendra yang tengah memantau keadaan luar dari balik celah pintu dan jendela dengan wajah yang berubah pucat pasi, terlihat ketakutan sekaligus panik.
"Josh, kalau ada orang yang nyari aku, bilang saja nggak lihat orangnya ya," ujarnya dengan nada gemetaran.
"Emangnya kenapa sih, Hen?"
Suara menggelegar pun terdengar dari balik punggungnya.
Joshua memutar badan, mendapati lima pria bertato dan berpakaian hitam menghampirinya. Salah satu di antaranya yang Joshua yakini sebagai pemimpin mereka, menggunakan rompi jeans dengan logo tengkorak di dada kanan. Ditambah kalung rantai perak meliliti bagian lehernya.
Dialah orang yang menyahut Joshua tadi.
Joshua lantas mendekat ke lima orang tersebut.
Sementara Hendra bersembunyi dari balik tirai jendela dan mengawasi kemungkinan apa yang akan terjadi di luar sana.
"Mohon maaf, om. Ada urusan apa om-om datang kemari?"
"Dek, kau ada lihat anak berambut kribo itu nggak? Aku tengok dia tadi berjalan ke sini," ujar si pemimpin dengan logat batak yang sangat kental.
Joshua lantas menggeleng cepat. "Nggak ada, om. Mungkin om salah lihat."
"Nggaklah, kau yang mungkin salah lihat!" tukas pria itu sambil mengeluarkan telunjuknya.
Entah kenapa Joshua merasa sedikit jengkel dengan preman satu ini. Sudah dibilang baik-baik, malah teriak-teriak.
"Om, kalau ngomong jangan ngegas. Dibawa santai saja,"celetuk Joshua.
Hendra yang mengintip dari balik tirai seketika menepuk jidat. Ingin sekali bilang ke Joshua kalau cara orang Medan berbicara rata-rata seperti itu.
"Aku udah ngomong baik-baik sama kau. Terus kau bilang aku ngegas?!?"
Kedua alis Joshua menaut ke bawah, bibirnya bergemetaran begitu pria itu menaikkan nada bicara beberapa oktaf.
"Bukan begitu, om. Maksud saya—"
Belum Joshua menyelesaikan kalimatnya, si pemimpin sudah lebih dulu meninju bagian wajahnya hingga membuat tubuh kurusnya ambruk ke tanah.
Hendra yang menyaksikan itu memelotot ngeri. Dia sudah menduga dari awal bahwa sesuatu yang buruk pasti terjadi.
Pemimpin itu membungkukkan diri ke arah Joshua yang dalam keadaan terlungkup.
"Dek ...."
Pria itu mencoba menggoyangkan tubuhnya.
"Dek ...."
Sayangnya, tak ada tanda-tanda pergerakan di sana.
Sesaat si pemimpin tersentak, kembali berdiri tegak. Wajahnya terlihat bercucuran keringat. Sampai salah satu anak buahnya bertanya, "Kenapa, Boss?"
"Gawat, adek itu pingsan."
"Jadi gimana, Boss?" desak anak buahnya yang lain yang terlihat panik. "Bahaya kalau sampai tahu orang tuanya. Bisa-bisa nggak cuma kau, kami semua bisa kena imbasnya!"
"Ah, sudahlah, biarkan saja dia," perintah si pemimpin dengan nyali yang menciut. Mereka berlima ketar-ketir berlarian seperti sekumpulan pengecut yang tak berani bertanggung jawab.
Hendra memastikan keadaan luar sudah aman, buru-buru memapah temannya yang tertidur di tanah. Rasa kesal, jijik, kasihan bercampur aduk menjadi satu. Namun, dia merasa bersalah karena membiarkan temannya dipukuli di depan matanya sendiri.
***
***
"Bisa-bisanya pingsan ditonjok sama preman," ledek Hendra sambil menggeleng-geleng kepala.
Joshua terpaku di atas kasur, merapatkan kaki ke badannya lalu memeluknya erat agar angin malam yang berhembus dari luar jendela tidak menggelitik tubuh. Awan-awan berarak ke sebelah barat kemudian sang rembulan lekas terlihat sedang melambai ke arahnya seolah senang melihat kehadiran pemuda itu lagi.
"Sudahlah, Hen."
Joshua langsung membenamkan wajah di antara kedua kakinya.
"Gara-gara kamu pingsan, preman-preman itu pada panik terus kabur."
Hendra tertawa begitu renyah. Joshua langsung mendongak dan menatap pemuda di seberangnya dengan skeptis.
"Nggak mungkin rasanya mereka mencarimu tanpa alasan. Pasti ada sesuatu yang membuat mereka marah. Sebetulnya ada masalah apa kamu dengan preman-preman itu?"
Tawa Hendra seketika terhenti. Dia memalingkan wajah ke arah lain. Beranjak dari kasur lalu berjalan menuju ke ambang pintu. "Nggak penting, bukan urusanmu."
"Hen! Bilang saja padaku!"
Ketika Joshua ingin turun dari kasur, pintu kamar pun terbuka. Terlihat Budiman yang keheranan melihat mereka berdua saling bersisih tatap seperti dua anak kecil yang sedang berkelahi.
Budi hanya menyampaikan bahwa makan malam sudah siap di atas meja dan menunggu mereka agar mau menyusulinya. Pintu kemudian tertutup. Hendra menghela nafas panjang, seraya menghilangkan keraguannya.
"Oke, oke. Aku punya utang dengan preman-preman itu. Cuma aku belum bisa bayar sekarang. Jadi, aku berusaha untuk mengumpulkan uang agar mereka nggak menerorku kayak tadi."
Hlm 05 | Jendela Joshua