FAR

Por SyifaZali

118K 18.7K 1.6K

Mungkin beginilah rasanya menjadi istri yang tak diinginkan. Menjadi pasangan yang tidak pernah didamba. Aku... Más

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Epilog
Free Chapter 🙊
INFOO

Chapter 13

2.2K 403 14
Por SyifaZali

Kehilangan Abi kedua
.
.
.
🍁🍁🍁

"Da, om minta tolong banget, ya.. jagain Aufar, bimbing dia..." Aku yang sedang meneguk es jeruk itu terdiam ketika tiba-tiba om Radit berkata seperti itu, seolah dia sudah tidak bisa lagi berada di sisi Aufar.

"Iya, om.. kita sama-sama jagain Aufar." Ucapku sambil menunjukkan deretan gigi putihku. Om Radit tersenyum.

"Om gak yakin bisa dampingi dia sampai dia benar-benar bisa berubah," om Radit menatap langit-langit. Mengapa aku jadi ingin menangis melihatnya. Aku jadi teringat Abi saat mengucap nasehat-nasehat terakhirnya.

"Sejujurnya, om selalu merasa bersalah seumur hidup... Om gak pernah tahu, seberapa kelamnya masa lalunya. Seberapa susahnya dia keluar dari masa kelam itu.." aku mengerutkan kening. Bukankah om Radit adalah ayah dari anak itu?

Lalu mengapa seorang ayah tidak tahu tentang  masa lalu anaknya?

"Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada Aufar jika saya tidak sempat mengucapkannya.."

"Om, om gak boleh ngomong gitu, loh. Om harus sehat!" Aku meletakkan gelas yang berisi es jeruk milikku di meja dekat sofa lalu mendekat ke arah om Radit.

"Om harus kuat. Bukankah Allah selalu bersama kita? Lalu kenapa kita berputus asa?" Om Radit tersenyum lalu meneteskan air mata. Entah air mata karena terharu karena kata-kataku, atau karena beliau memikirkan hal lain.

"Makasih ya, da..." Aku mengangguk lalu beralih mengupas buah. Tadi pagi bi Suni datang untuk mengantar buah dan mengambil pakaian kotor. Sepertinya pekerjaan rumah sangat banyak sehingga wajahnya terlihat kewalahan.

"Om mau buah apel atau pir?"

"Buah anggur aja." Aku terkekeh mendengar jawaban om Radit. Lalu aku mencuci beberapa butir buah anggur dan menaruhnya di mangkuk kecil. Setelah itu aku memberikannya kepada om Radit.

"Ngelihat om Radit makan buah anggur, Maida jadi keinget kisah Rasulullah," aku tersenyum melihat buah anggur yang ada di mangkuk putih kecil itu. "Memang kisahnya apa?" Aku melebarkan mata.

"Om Radit gak tahu?" Pria itu menggeleng. "Ayo ceritain." Wajah om Radit tiba-tiba berubah menjadi seperti wajah anak usia 5 tahun yang meminta di ceritakan kisah kepada ibunya. Aku tersenyum.

"Jadi, suatu hari, ada seorang pria miskin yang usianya sudah tua membeli anggur. Karena dia sangat miskin, dia hanya mampu membeli segenggam anggur yang dia niatkan untuk diberikan kepada Rasulullah," aku mulai menceritakan kisah yang sering diceritakan Abi dulu.

"Lalu ketika sampai di rumah Rasulullah, Rasulullah sedang berkumpul bersama para sahabat-sahabatnya. Lalu pria tua itu memberikan segenggam anggur yang sudah dia letakkan di wadah kepada Rasulullah," Om Radit tampak antusias mendengar ceritaku.

"Nah singkat cerita, akhirnya Rasulullah makan anggur itu. Satu butir beliau makan. Para sahabat melihat Rasulullah makan anggur, tentunya pengen dong. Lalu mereka menunggu giliran Rasulullah agar menawari mereka anggur itu,"

"Namun, tidak disangka, Rasulullah malah memakan habis semua anggur pemberian pria itu. Pria itu seneng banget dong karena orang yang dicintai, Rasulullah menghabiskan anggur pemberiannya, lalu singkat cerita pria tua itu pulang ke rumahnya..." Anggur di mangkuk yang di pegang om Radit masih utuh. Om Radit sungguh seperti anak kecil.

"Lalu ada sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, mengapa engkau memakan semua anggurnya, dan tidak menawarkan kepada kami?' karena biasanya Rasulullah selalu menawarkan makanan kepada para sahabat, lalu Rasulullah tersenyum,"

"Dan menjawab, 'Buah anggur itu rasanya masam dan pahit. Aku takut jika kalian memakannya ekspresi di wajah kalian berubah. Aku sungguh takut membuat pria itu sakit hati.' jawaban Rasulullah yang sungguh membuat para sahabat terkagum-kagum." Aku menghela nafas setelah menceritakan kisah Rasulullah itu kepada om Radit.

"Wah, masyaAllah. Kisah-kisah kayak gitu om malah gak tahu banyak. Om pengen banget bisa tau kisah-kisah nabi..." Om Radit memakan satu butir anggurnya.

"Om mau? Maida punya banyak buku-buku tentang Sirah Nabawiyah lho... Kalau mau, Maida ambilin dirumah." Kataku antusias. Aku senang jika ada seseorang yang ingin tahu kisah nabi dan rasul.

"Boleh-boleh. Om sendirian juga gakpapa, da.  Om pengen banget baca buku-buku kayak gitu." Aku mengangguk.

"Oke om. Maida pulang dulu, ya. Om tidur dulu aja, nanti Maida bawa buku yang banyak. Oke?" Om Radit mengangguk. Aku segera memakai gardiganku lalu memberi polesan sedikit bedak di wajahku.

"Assalamualaikum, om!" Pamitku sebelum benar-benar menutup pintu.

"Waalaikumussalam." Jawab om Radit lirih.

🍁🍁🍁

Aku memasukkan beberapa buku kisah-kisah nabi kedalam tas punggungku. Sebelum sampai di rumah tadi, Umi menelpon menanyakan keadaan om Radit. Aku membereskan kamar yang mungkin tidak dibereskan oleh Aufar.

Kamar yang ku tinggalkan 4 hari lalu dalam keadaan bersih dan rapi, kini menjadi kotor dan berantakan layaknya kapal pecah. Aku tidak tahu apakah Aufar yang memang jorok atau dia sengaja ingin membuat Bi Suni kewalahan membereskan kamarnya.

Bruk

Sebuah foto jatuh ketika aku merapikan spray kasur itu. Aku yakin itu milik Aufar, karena siapa lagi yang tidur di kasur ini. Aku mengambil foto itu.

Foto yang menunjukkan seorang gadis cantik berkerudung ungu muda dengan pose tersenyum itu membuatku terkejut. Dia memiliki pacar selain Nanda?

Aku mengamati perempuan cantik itu. Kulitnya putih bersih, matanya hampir mirip seperti mata milik pria itu. Namun, mengapa om Radit tidak menjodohkan pria itu dengan wanita ini saja? Aku menghela nafas lalu meletakkan foto itu di atas meja dekat kasur.

Seharusnya aku biasa saja melihat foto wanita lain selain Nanda. Seharusnya aku tahu bahwa Aufar tidak mungkin hanya memiliki satu wanita. Namun, mengapa harus wanita berhijab yang ia permainkan? Itu yang membuat hatiku sedikit sakit.

Aku segera membereskan hal lainnya. Setelah semua beres dan kamar itu kembali terlihat rapi, aku harus segera kembali ke rumah sakit, om Radit pasti sudah menungguku.

"Lho.. gak makan dulu, non?" Bi Suni yang sedang menyapu menyapaku. Aku tersenyum lalu menggeleng. Aku belum merasa lapar. Padahal, makan bukan hanya saat lapar saja. Namun, yang aku ingin hanya cepat-cepat kembali ke rumah sakit.

"Enggak, bi. Saya balik langsung aja." Bi Suni tersenyum.

"Kagum sekali saya sama non Maida ini." Aku hanya geleng-geleng kepala melihat bi Suni. "Duluan ya, bi!" Pamitku laku berjalan cepat. Segera ku masukkan kunci motor agar motor itu mau menyala.

"Assalamualaikum!" Salamku kepada bi Suni yang lalu melambai ke arahku. Aku langsung menuju Rumah Sakit.

🍁🍁🍁

Aku memarkirkan motorku di parkiran rumah sakit . Panas terik matahari seakan memberitahu bahwa aku harus segera memasuki rumah sakit. Pintu besar bangunan serba putih itu telah ku lewati.

Banyak suster dan perawat yang berlalu lalang. Aku segera berlari menuju tangga di ujung lorong itu. Kamar om Radit berada di lantai dua. Sejak kejadian bertemunya aku dengan mas Azzam, entah mengapa mas Azzam malah pindah kamar.

Aku tidak tahu apakah mas Azzam sendiri yang memintanya, atau istrinya itu. Yang jelas, mereka sudah tidak berada di kamar dekat kamar om Radit lagi.

Aku menapakkan kaki di lantai dua. Ramai sekali. Para perawat berlalu lalang dengan beberapa tenaga medis lainnya. Hampis saja aku menjatuhkan plastik berisi makanan yang aku bawa ketika mengetahui bahwa kamar om Radit lah yang ramai dengan para perawat.

"Mohon maaf, mas. Itu ada apa ya?" Aku memberanikan bertanya kepada Salah satu perawat laki-laki yang sedang membawa beberapa alat medis.

"Pasien kritis, mbak. Mohon maaf, saya duluan." Mas perawat itu menundukkan kepalanya lalu berjalan cepat menuju kamar om Radit.

"Zay!" Terdengar bentakan seseorang yang setelah kulihat adalah Aufar. "Lo kemana? Gue telfon gak diangkat. Lo ninggalin bokap gue, dan sekarang apa?! Dia kritis!!" Aku menatap Aufar dengan tatapan penuh kesedihan.

Memangnya kritis itu kesalahanku, ya? Mataku memanas, air mata sudah berkumpul di pelupuk mataku. Bibirku bergetar, tidak sanggup mengatakan sepatah kata kepada pria yang sedang mengacak rambut di hadapanku.

Pria itu tampak gusar lalu menelpon seseorang melalui ponselnya. Aku mengingat bagaimana Abi dulu yang berjuang mempertahankan hidupnya.

"Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim," lafadz istighfar ku lantunkan untuk menenangkan diriku. Bukankah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.

Seorang perempuan dengan celana ketat dan baju lumayan pendek dengan rambut pirang bergerak datang dengan tergesa-gesa. Nanda?! Disaat seperti ini bukankah tidak seharusnya dia memanggil Nanda? Seharusnya dia memanggil Farez, bukan?

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan tidak ingin melihat mereka berdua.

"Maaf, siapa keluarganya?" Dokter yang sudah keluar dari ruangan om Radit itu akhirnya bertanya. Aku berdiri, namun Nanda menghalangiku. Beberapa saat kemudian,

"Innalilahi, Pak Radit Setiawan dinyatakan meninggal pada pukul 14.10. Beliau mengalami gangguan pernafasan dan gagal ginjal yang sudah lumayan parah. Seluruh tim sudah berusaha keras, tetapi tetap tuhan yang menentukan."

Air mataku mengalir deras. Lagi, aku merasakan kehilangan seorang Abi. Aku menggenggam erat tas yang berisi kisah-kisah nabi. Ingin aku menceritakannya lagi, dan melihat ekspresi om Radit yang sangat bahagia karena cerita tentang nabi.

Aufar menatapku bersamaan dengan tatapan Nanda. Tatapannya nampak sinis, seolah aku tidak boleh menangisi kematian om Radit.

"Silahkan mbak, mas, jika mau melihat jasad pak Radit Setiawan." Dokter itu mempersilahkan kami untuk menengok jasad om Radit, sama seperti dulu, aku menengok jasad Abi.

Aku, Aufar, dan Nanda memasuki kamar itu berbarengan. Aku berada disisi kanan, lalu Aufar dan Nanda disisi kiri. Aku langsung membacakan surah Al-fatihah yang aku kirimkan kepada almarhum om Radit.

Jika beberapa orang tidak percaya jika doa yang kita kirimkan akan sampai ke orang yang sudah meninggal, aku justru percaya. Karena doa adalah kekuatan terampuh semua orang.

"Yang, malah bagus, kan. Udah gak ada yang ngehalangin kita. Lo bisa cepet cerai in tu wanita jalang!" Bisikan yang sungguh amat sengaja dikeraskan. Aku mendengarnya, sangat jelas.

Bahkan, kalimat terakhirnya membuat air mataku semakin deras.

🍁🍁🍁

Alhamdulillah, bisa update hari ini!

Makasih yang udah baca sampe chapter ini💜

Jazakumullahu Khairan Katsiran 🥰

Jangan lupa al-Kahfian gaiss, malam Jum'at 😊

Kira-kira Aufar bakal cerai in Maida gak, ya? Huhuuu

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

Seguir leyendo

También te gustarán

10.6M 675K 44
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
7M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...