Wasana

By kangcilok

763K 92.4K 19.7K

[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tungg... More

Prakata
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
a/n
Bab 6
Bab 7
Bab 8
a/n
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
daripada gak update
Bab 13
Bab 14
daripada gak update vol. 2
Bab 15
Bab 16
Bab 17
BAB 18
Bab 19
?
Bab 20
Bab 21
vote
Bab 22
Bab 22 (2)
Bab 23
Bab 23 (2)
Bab 24
Question
Answer
Bab 25
Bab 26
pengakuan dosa
support me, please
Bab 27
Bab 28
Bab 28 (2)
Bab 29
Bab 29 (2)
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab Tiga Puluh Empat
Bab 34
Bab 35
Bab 36 (1)
Bab 36 (2)
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
tolong dibaca dan dicermati
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
Bab 58
Bab 59
Bab 60
Bab 61
Bab 62
Bab 63
Bab 64
Bab 65

Bab 40

5.5K 1K 452
By kangcilok

"Asad!" Fiqa berlari, memeluk sepupunya itu.

Pria itu mengecup sekilas pipi Fiqa. "I miss you, sist."

"I miss you too!"

Raaya mendongak, menatap Ervano yang bertubuh tinggi jika dibandingkan dengan dirinya. "Are you Fiqa's boyfriend?"

Ervano menoleh ke bawah, ia tersenyum ramah. "I'm."

"I want a boyfriend too." Raaya menatap dengan tatapan memohon.

Ervano terkekeh. Kekehan yang terdengar menyebalkan di telinga Aji. Ia mengusap puncak kepala Raaya. "You are too young."

Raaya menggeleng. "No. I'm seven."

Asad menghela napasnya. "No, Raaya. You are five."

"I hate you!" Raaya menghentakkan kakinya dan berlari pergi. Refleks, Fiqa dan Asad yang disusul oleh Ervano, mengejarnya.

"Guys! This is my friends!" Aji memperkenalkan teman-temannya pada para sepupunya.

Dalam Bahasa Inggris yang fasih, Aishah berbisik, "Lihat gadis itu, dia kekasih Aji tetapi dia tidak suka saat aku memeluknya."

"Aku akan memeluknya, kalau begitu," ucap sepupu perempuan Aji yang lain. Tanpa ragu, ia menghampiri Aji dan merangkul pinggang lelaki itu.

"Aishah," panggil Arnaldo.

Gadis itu menoleh.

"Foto? With me..? Ayo we foto berdua...?" tanya Arnaldo dengan terbata.

Aishah menoleh pada Damar. "Sorry, Damar. I don't understand."

"Do you want to take a picture with him?"

Kini, Aishah tersenyum. "Oh.. sure!"

Detik berikutnya, Aji beralih menjadi seorang fotografer untuk teman-temannya. Karena ulah Aishah, para sepupu Aji dari keluarga Mel itu tidak ingin berfoto dengan teman-teman perempuan Aji. Fanya adalah alasan mereka menolak ajakan foto.

"Aji, congratulation!" Ken, sepupunya yang tinggal di Singapura itu memberi selamat. Disusul oleh sepupu-sepupunya yang lain.

Mel datang, memberitahu anak-anak itu untuk kembali ke ruangan dan kembali keluar saat tim sekolah Aji kembali ke lapangan. Mereka pun menurut.

Tunggu. Ruangan?

"Ma, ruangan apa?" tanya Aji, bingung.

"Oh, kemarin Om Rendra ke sini, bantu Mama untuk siapin satu ruangan khusus buat suppoters dari kita."

"Mereka ke sini, ada acara apa?"

"Gak ada. Mama iseng aja, minta mereka ke sini. Ternyata mereka mau. Ya udah."

Aji menunjukkan ekspresi terkejutnya. "Uncles sama aunties dateng juga?"

"Iya, ayo ikut ke ruangan kalau mau ketemu."

Lelaki itu meminta teman-temannya untuk menunggu selagi ia pergi menemui para om dan tantenya.

"Fan, kayaknya lo gak bisa ya sehari aja gak bersikap lebay di depan Aji? Nunjukin sifat cemburu lo di depan sepupunya langsung, lo kira lo oke? Alay tau, gak?" sinis Damar.

Beruntung, hanya ada dirinya, Arnaldo, Sean, Fanya dan Rania di sana. Jadi, tidak ada yang mengetahui percakapan kelimanya selain mereka sendiri.

"Ya udah, sih. Itu tanda kalau gue sayang sama Aji." Fanya membalas dengan ketus.

"Sayang?" Sean tertawa.

"Liat, noh. Kakaknya Aji ciuman sama sepupunya di depan pacarnya. Ciuman loh, Fan. Tapi pacarnya gak cemburu." Arnaldo ikut bicara.

"Itu karena dia tau kalau kakaknya Aji sayang sama sepupu-sepupunya. Termasuk Aji juga." Damar melipat kedua tangan di depan dada.

"Seharusnya gak sampe pelukan juga, dong! Jangan samain gue sama pacar kakaknya Aji, lah!" Fanya membela diri.

"Udahlah, Mar. Susah ngomong sama orang yang gak tau apa itu kasih sayang." Arnaldo mencibir.

"Lo kira gue sama yang lain gak tau kalau lo sebenernya gak sayang sama Aji? Lo tuh gak lebih dari cewek yang cuma bisanya manfaatin Aji aja." Sean berkata dengan sinis.

"Tunggu aja, Fan. Lo sama Aji gak akan lama lagi," ucap Damar disertai tawa sinisnya.

"Udah, udah, ini tempat umum." Rania menengahkan. "Yuk, Fan, kita pergi dari sini."

"Gak mau." Fanya menepis lengan Rania. "Gue mau nunggu Aji di sini.

***

Di sisi lain, Aji memasuki sebuah ruangan yang di pintunya tertempel sebuah keetas bertuliskan Lathief's Family. Ia membuka pintu, dan benar saja, ruangan itu dipenuhi oleh kesepuluh sepupunya termasuk Asad dan Raaya. Juga kedua orang tua mereka. Tak lupa, ada beberapa asisten mereka yang juga hadir.

"Aji! Hi, love! How are you?" sapa salah seorang tantenya.

Aji tersenyum, membalas pertanyaan-pertanyaan yang mulai berdatangan dari para orang tua itu.

"Nooo! Don't touch Aji!" teriak Raaya dari tempatnya yang berhasil mengejutkan semua orang. "He is my real brother!"

"Oh, Raaya. Nooo." Asad, kakak kandung gadis itu, menjatuhkan diri ke lantai, menyentuh dadanya, dan berpura-pura sakit. Tetapi, anak kecil itu membuang muka.

Sontak, gelak tawa terdengar.

"I'm Aji Alvarendra." Aji berusaha menyembunyikan senyum jahilnya.

"Nooo! You are Aji Lathief!" Raaya memajukan bibir bawahnya dan berkacak pinggang.

"I'm sorry, love," ucap Asad yang kini sudah duduk dalam posisi tidak seperti orang yang sakit.

"Mommmm!" Merasa kecewa karena Aji tidak mengakui nama keluarganya sendiri, Raaya menangis dan terus memangil ibunya.

Lagi, gelak tawa kembali terdengar. Semua orang merasa terhibur oleh kelakuan si kecil Raaya.

Pandangan Aji tak sengaja melihat Ervano dan Fiqa yang sedang saling merangkul. Merasa kesal, iapun berpamitan untuk pergi. Kakinya melangkah menuju tempat teman-temannya tadi menunggu.

"Aji!" panggil Fanya dari tempatnya.

"Hei!" Aji tersenyum, menyapa teman-temannya.

"Aku kesel sama temen-temen kamu." Fanya memajukan bibir bawahnya.

"Ya udah, Fan. Diemin aja," ucap Rania.

"Dih? Gak jelas lo," ucap Arnaldo.

Belum sempat Fanya mengadu lebih lanjut, Lafi sudah berlari ke arah Aji dan memeluk lelaki itu dengan erat.

"Bang Aji!" suara Arion terdengar. Disusul oleh kemunculan keluarganya.

"Ini temen-temennya Aji, ya?" tanya Avlar dengan ramah.

"Iya, Om," jawab Damar dengan sopan.

"Ini om gue, suaminya bunda, adek kembarnya bokap." Aji memperkenalkan keluarganya.

Gio yang datang bersama dengan Nadya, memberikan sebuah botol air mineral pada anaknya. "Ini, minum."

"Makasih, Pa." Aji menerimanya.

Mereka semua saling berbincang. Melontarkan lelucon, saling tertawa. Kecuali Fanya yang terlihat tidak menikmati suasanya, ekspresi wajahnya masam.

***

Tim basket sekolah lain yang seharusnya menjadi lawan tim sekolah Aji di babak selanjutnya, didiskualifikasi. Hal itu membuat tim sekolah Aji memasuki babak semi final.

Karena kegigihan selama masa latihan dan dukungan fasilitas dari kedua orang tua Aji, sekolahnya pun berhasil memasuki babak selanjutnya, yakni babak final. Babak penentu siapa yang akan menjadi juara pertama dan ke dua.

Sebelum meninggalkan ruang persiapan, Jenal sempat berkata, "Semuanya, ini adalah pencapaian terbesar bagi tim kita dan juga sekolah. Kita belum pernah masuk semi final sebelumnya. Jadi, kita seharusnya bersyukur udah ada di titik ini sekarang.

"Apapun hasilnya nanti, gak usah sedih. Gak usah kecewa. Karena mau juara satu atau dua, yang penting kita semua tetep kompak."

Kini, para anggota tim basket itu sudah bersiap di pinggir lapangan. Arnaldo menoleh ke sisi lapangan yang lain. Ekspresinya berubah menjadi khawatir ketika menyadari siapa lawannya selanjutnya.

"Kenapa, Do?" tanya Damar yang menyadari perubahan ekspresi temannya.

"Itu lawan kita, gue denger-denger, mereka mainnya curang. Suka main fisik di lapangan. Gak pernah kena tegur."

"Udah, yang penting kita tetep fokus. Gak usah takut, oke?" saut Jenal.

"Siap!" jawab mereka dengan kompak.

Aji menepuk pundak Damar, "Jangan emosi, ya. Jangan sampe berantem waktu lagi di lapangan."

Damar mengangguk. "Tenang."

Kedua tim basket itu memasuki lapangan.

Aji menoleh ke arah lantai dua. Kini, seluruh anggota keluarga besarnya memenuhi pinggiran dinding pembatas lantai dua. Senyumanya terukir.

Lagi, dari lantai dua, kembali terkibar sebuah banner pendukung sekolah Aji. Sesungguhnya, anak itu masih tidak tahu siapa mereka.

"Aji!!! You can do it, my brother!" teriakan Raaya terdengar. Rupayanya, gadis kecil itu sudah tidak marah pada Aji.

Kini, pandangan Aji beralih pada sisi kira lapangan. Di sana, ada Kakek dan Nenek yang ditemani oleh Gio dan Avlar. Tak jauh dari mereka, ada Rendra yang berdiri dengan beberapa pria dewasa berpostur tubuh serupa.

Namun, para pria itu memakai pakaian santai yang bukan berwarna coklat. Tidak ada kacamata hitam yang terpasang di wajah mereka.

Suara peluit terdengar. Kedua tim itupun mulai saling berebut bola basket dan berlomba memasukkannya ke dalam ring. Lagi dan lagi, tim sekolah Aji berhasil memasukkan bola ke dalam ring, mencetak poin demi poin.

Tim sekolah lawan itu berusaha mengejar hingga poin keduanya berbeda tipis. Meski begitu, tim sekolah Aji masih unggul dalam jumlah poin.

Aji berlari, merebut bola dari tangan seorang lawan. Ia melemparnya pada Damar, lelaki itu menerimanya dengan sempurna dan berlari menuju ring.

Pandangannya beralih pada seorang anggota tim lawan yang berlari mengejar Damar seolah ingin menabraknya. Sontak, Aji berteriak, "DAMAR, AWAS!"

Damar menoleh, detik berikutnya, ia terjatuh karena kakinya disandung oleh anggota tim lawan. Orang yang sama dengan yang Aji lihat tadi.

"DAMAR!" Aji berteriak dengan keras, membuat teman satu timnya berhenti berlari.

Kini, lelaki itu menghampiri sahabatnya yang sedang kesakitan. Tubuhnya tergeletak di bawah, dengan kedua tangan yang terus memegang kakinya.

Melihat kejadian itu, Gio menghampiri seorang wasit, ingin meminta orang itu untuk menjeda pertandingan. Kepalanya pun menoleh ke arah lapangan ketika mendengar ada yang meneriakkan nama anaknya.

"AJI, AWAS!" teriak Sean.

Dua detik kemudian, kepala Aji terkena bola basket yang sengaja dilempar oleh tim lawan ke arahnya. Kejadian itu disaksikan oleh sebagian penonton karena sisanya terlalu fokus pada tubuh Damar yang tergeletak.

Aji menyentuh keningnya dengan jari telunjuk. Iapun melihat ada cairan merah pada jarinya.

Tanpa pikir panjang, Rendra dan para pria bertubuh kekar yang sejak tadi bersamanya, berlari memasuki lapangan. Mereka tidak lagi peduli dengan peraturan dalam pertandingan, yang mereka pikirkan adalah kesalamatan Aji.

Raaya, yang sejak tadi berada di gendongan Asad, berteriak. Pekikannya sangat keras hingga seluruh orang yang berada di sana dapat mendengarnya. Dengan cepat, Asad membawa adik kecilnya itu untuk menjauh.

Aji dibawa ke pinggir lapangan. Jemarinya terus menujuk ke arah anggota tim lawan. Untuk kali pertama di hidupnya, ia memanfaatkan kekuasaan kedua orang tuanya.

"Jangan dibebasin," ucapnya pelan. Kepalanya terasa begitu pusing. Hingga pandangannya pun berubah gelap.

Mel yang baru sampai di lantai bawah pun semakin panik. Beruntung, ia mengajak beberapa teman dokternya untuk berjaga-jaga. Kini, mereka semua membantu untuk mengobati Damar dan Aji.

Kini, dua lelaki itu berada di ruang kesehatan. Fiqa yang menangis, sedang ditenangkan oleh para sepupunya. Di luar ruangan, para om dan tantenya sedang berdiskusi menggunakan Bahasa Inggris.

Para orang tua itu terlihat sangat marah. Bagaimana bisa ada orang yang berani menyakiti anggota keluarga mereka? Terlebih, ini semua terjadi di tempat umum, hal ini mampu membuat mereka merasa direndahkan.

Solidaritas Keluarga Lathief memang tidak perlu diragukan lagi. Sejak kecil, mereka semua dididik untuk saling menyayangi meskipun kepada sepupu jauh. Tidak ada budaya saling membandingkan, membuat para anak merasa nyaman saat sedang berkumpul.

Gio merasa sangat dipermalukan. Para supporters yang memakai kaus berwarna coklat selain keluarga besarnya adalah orang-orang yang bekerja di tokonya.

Hari ini, ia menutup lebih dari lima toko KT's dan meminta para karyawannya supaya hadir dan memberi dukungan untuk tim basket sekolah anaknya. Dan di depan para karyawannya, anaknya sendiri terkena lemparan bola basket hingga tak sadarkan diri.

Teringat sesuatu, Gio berlari dan memasuki ruang kesehatan. "Aishah! Aishah!" panggilnya dengan panik.

Aishah yang duduk tak jauh dari kumpulan sepupunya, berdiri. Di tangannya, ada sebuah kamera. Sejak dulu, hobinya adalah merekam tiap momen yang ia hadiri bersama para sepupu. Acara pertandingan Aji merupakan salah satu momen yang harus dia abadikan menggunakan kameranya.

Tanpa pikir panjang, ia memberikan kemara itu pada Gio. Pria itu bernapas lega. Dengan ini, ia bisa mencari tahu siapa pelaku yang melemparkan bola itu kepada anaknya.

Pria itu memberikan kamera milik Aishah kepada Rendra dan meminta orang kepercayaannya itu untuk mengecek.

"Pak, seluruh akses keluar sekolah udah ditutup." Seorang pria bertubuh kekar, menghampiri Kakek dan memberi laporan.

"Bagus, kumpulin semua anggota tim, murid, guru, pendukung atau siapapun yang berhubungan sama tim sekolah yang tadi," ucap Kakek dengan tegas.

Gio kembali memasuki ruang kesehatan. Dihampirinya Aji yang kini masih belum sadarkan diri.

"Kira-kira, kapan Aji sadar?"

"Gak bisa diperkirakan berapa lamanya. Tapi, pasti hari ini," ucap salah seorang dokter yang juga mengenakan kaus berwarna coklat.

Gio duduk di samping tubuh anaknya. Pandangannya pun beralih menatap sekitar. Ada Fiqa yang masih terus menangis meski sudah ditenangkan oleh Ervano dan para sepupunya.

Di dekatnya, ada Raaya yang menangis di pangkuan Asad. Meski anak kecil itu sering berkata bahwa ia tak mencintai Asad, tetapi hanya lelaki itu yang ia butuhkan di saat ia merasa sedih.

"Permisi, Pak." Seorang pria menghampiri Gio. Ia merupakan salah satu orang kepercayaan Kakek.

"Iya?" tanya Gio.

"Ada yang ingin mencoba masuk ke dalam sekolah."

"Siapa?"

"Katanya, dari Keluarga Alvarendra. Sopirnya yang bicara, Pak."

Gio berdiri dari duduknya dan bergegas meninggalkan ruang kesehatan.

***

Aji mulai sadar dari pingsannya. Kepalanya menoleh ke arah Damar yang kini sedang duduk dan terus memandang ke arahnya.

"Kenapa, lo?" tanya Aji yang merasa aneh melihat ekspresi sahabatnya itu.

"Lo udah sadar?!" pekiknya senang.

Refleks, Fiqa yang mendengar suara Damar, berlari menghampiri adiknya. "Dedek!"

Aji mencoba untuk mengubah posisinya menjadi duduk.

"Nooo! Please, don't!" teriak Raaya dari tempatnya. Ia meminta Asad untuk membawanya pada Aji.

"Jangan duduk, Ji. Tiduran aja," ucap Damar.

"Aji, I love you." Raaya mengusap punggung tangan sepupunya.

"Are you crying? Again?" Aji memaksakan tawanya meski kepalanya masih terasa sedikit sakit.

Raaya mengangguk. "I don't like it. So I crying."

Kini, Aji tersenyum tulus. Diusapnya pipi tembam anak kecil itu. "My baby sister."

Raaya menyentuh jemari Aji yang berada di pipinya. "I'm crying not because I'm a baby. But I'm crying because I love you. You know it right?" ucapnya dengan gaya seperti orang dewasa.

Para sepupunya yang menyaksikan itu pun tertawa gemas. Merasa terhibur dengan sikap Raaya yang begitu menggemaskan.

"Too much Netflix for her, Asad," ucap Ken. Menurutnya, Asad terlalu sering mengajak adiknya itu menonton serial romantis di Netflix.

Asad hanya tertawa.

Kini, Fiqa mengusap pipi adikya. Ia merasa sakit melihat sebuah kain kasa yang dibalut plester pada kening Aji.

"Mereka gak akan bebas. Mereka pasti dapet balesannya," ucapnya dengan pandangan yang terfokus pada luka adiknya.

"Kak, it's okay."

Aji menoleh pada Damar. "Kaki lo masih sakit?"

"Udah membaik. Makasih, ya. Ini karena temen-temen dokter nyokap lo." Damar tersenyum.

"Temen dokter? Mana?" Aji terlihat bingung. Ia memerhatikan sekitar. Hanya ada beberapa wanita asing yang menggunakan kaus berwarna coklat.

"Mereka temennya mama," ucap Fiqa.

Lagi, Aji merasa pusing dengan kelakuan orang tuanya sendiri.

Mulai dari membuatkan jersei latihan dan lomba, memberi sepatu gratis, membayar mahal seorang pelatih basket, menyewa sebuah lapangan untuk berlatih, hingga membawa para sepupunya yang tinggal di luar negeri untuk datang dan mendukung timnya.

Apalagi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tetapi tidak ia ketahui?

"Dedek?"

Aji menoleh pada Fiqa yang kini masih menatap wajahnya dengan tatapan sedih, seolah tidak ingin memalingkan pandangannya. "Kakak manggil aku?"

"Dek?"

Aji menoleh ke sumber suara. Sebuah senyum sumringah terukir di wajahnya.

"Kaela?!"

***

Yang mau upload tentang cerita-cerita aku di Wattpad di Story/Instagram Stories/Snapgram, bisa tag akun aku yaa!

Qila udah nongol. Sekarang mau apa lagi? Selain Aji putus sama Fanya wkwkwk

30 Mei 2021

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
309K 22.9K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 228K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 74.4K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...