Waiting for You || Hyouka (Or...

By Mizuraaaa

50.6K 7.6K 3.6K

Menjadi pengagum rahasia itu sulit, bukan? Haha, sialnya aku harus merasakan hal itu setiap hari. Tapi aku me... More

Note
END
(A/N)
Author's Side
(Y/n)'s Side (bagian 1)
(Y/n)'s Side (bagian 2)
(Y/n)'s Side (bagian 3)
Oreki's Side (bagian 1)
Oreki's Side (bagian 2)
Oreki's Side (bagian 3)
Fukube's Side (bagian 1)
Fukube's Side (bagian 2)
Fukube's Side (bagian 3)
Waiting for You
After All
After All (2)
After All (last)
Credit Story + Promotion

1.5K 233 101
By Mizuraaaa

Lautan lepas tak berbatas menjadi jarak pandangnya sore ini. Kepala yang menyender lesu pada kedua tangan memberikan efek lelah pada wajahnya.

Tak ada yang bisa dijadikan sandaran baginya yang masih terbilang dini, dikala macam macam pikiran buruk berlalu lalang di otaknya saat kesendirian mulai melanda kehidupan.

Pelukan pada kedua kaki semakin erat, disaat angin yang melintasi langit jingga menerpa dan mengelus kulitnya lembut. Dinginnya sore hari tak membuatnya beranjak dari tempat terbuka, yang diinginkan hanyalah ketenangan sementara yang dibutuhkan hati kecilnya.

Sekali lagi ia menekankan bahwa dirinya harus kuat, yang mana pemikiran anak seusianya hanyalah tentang bersenang senang, kali ini ia berusaha meneguhkan raganya untuk siap menjalani hari kedepannya.

Bahkan air mata tak lagi menetes, setelah terkuras habis oleh kesedihan yang mendalam, hatinya tak kunjung tenang meski ia mencobanya sekeras mungkin.

Jari jarinya meremas baju yang tengah ia pakai, bibirnya digigit sekuat mungkin, berharap rasa sakit yang terus menerus menyerang hatinya tanpa henti dapat berpindah walau hanya sebentar.

Figur kecil yang terduduk lesu di depan air laut terlihat menyedihkan, menularkan kesedihan juga keresahannya pada sekitar.

Pukk

Tubuh tersentak pelan, kepalanya perlahan menoleh dengan tatapan mengarah pada pundaknya. Sebuah tangan kecil nan lembut menepuk dirinya hingga tersadar dari lamunan.

Berawal dari tangan, tatapannya beralih pada sang pelaku. Gadis kecil itu melebarkan matanya dengan sirat keingintahuan nya yang tinggi, memiringkan kepalanya bingung.

"Niisan? Sedang apa sendirian di sini?"

~

Matanya berkedip beberapa kali disaat cahaya memasuki penglihatan. Tangannya terangkat, mengucek sebelah mata saat dirasa agak gatal.

Tubuhnya dengan reflek mendudukkan diri, dengan nyawa yang baru terkumpul sebagian, ia baru sadar ternyata sedang berada di rumahnya sendiri.

Helaan nafas dikeluarkan, pria itu menyandarkan diri pada sofa di ruang tamu sembari menutup mata dengan telapak tangannya. Ugh, sepertinya ia ketiduran di sofa karena terlalu lelah, ia bahkan tidak mempedulikan perutnya yang terus memanggil manggil makanan.

Matanya mengintip lewat celah tangan, menatap langit langit ruangan yang masih sama setelah bertahun tahun lamanya. Kini pikirannya tertuju pada suatu hal yang lain, manik matanya melirik ke samping dengan niat mengingat ingat.

'Mimpi itu lagi.' batinnya menghela nafas lelah, salah dua jarinya memijat pelipis yang sedikit pusing akibat tidur di sore hari, terlebih dengan waktu yang cukup lama.

Kenapa, ya? Batinnya bertanya tanya. Akhir akhir ini ia selalu memimpikan hal yang sama, dimana dua anak kecil sedang berkenalan di pantai dengan langit jingga sebagai latar belakangnya.

Ugh, sebenarnya ia sedikit bingung harus berekspresi seperti apa. Ia tidak membenci mimpi itu, tapi mimpi itu yang membuatnya membenci diri sendiri. Benci, karena melakukan suatu kesalahan.

Kringgg... Kringgg...

Tubuhnya kembali menegak saat suara nyaring memasuki indra pendengaran, dengan alis mengernyit bertanya tanya ia bangkit dengan malas untuk mengangkat telepon.

"Siapa sih? Tumben sekali menelpon jam segini," omelnya seorang diri, kesal karena mengganggunya yang sedang mengumpulkan nyawa.

Telepon itu ia angkat dan didekatkan dengan telinga, sejenak menunggu sang penelpon memberi penjelasan, tapi yang didapat hanya sapaan gugup dengan suara gadis.

"H-halo?"

"Halo, siapa ini?" tak ingin berbasa basi, pertanyaan langsung ditujukannya. Seragamnya belum dilepas, dan ini sungguh lengket oleh keringatnya sendiri, ia tidak suka.

"Oreki-san, ini Shimizu, maaf menelpon malam malam." jawaban terdengar dari seberang telepon, membuat Oreki sedikit terkejut mengetahui (Y/n) yang menelponnya.

"Oh? Shimizu-san? Tidak masalah, aku juga sedang tidak melakukan apa apa. Kalau begitu, ada apa?"

Sesaat setelah memberi jawaban, alis Oreki mengernyit, sekali lagi terheran heran akan sikapnya yang perlahan lahan berubah. Bicara sepanjang itu untuk sesuatu yang tidak penting? Ck, bukan Oreki sekali.

Ah, tentu saja, bukankah (Y/n) itu penting bagi Oreki?

"B-begini, Oreki-san, tolong, apapun yang Kei katakan jangan percayai dia!"

Alisnya kembali bertaut mendengar nama yang tidak asing. Sejenak tatapannya terarah ke atas, mencoba mengingat sesuatu yang ada didalam otaknya.

"Kei? Maksudku kakak Satoshi?" ah, anggap saja begitu.

"I-iya, gitu lah intinya. Tadi Kei pasti menelpon mu, kan? Pokoknya apapun yang dia katakan jangan percaya!"

Suara yang terdengar dari sambungan telepon bernada panik, membuat Oreki mau tak mau menjadi penasaran apa yang terjadi. Setelah sebelumnya berbicara dengan gugup, kali ini gadis itu nyerocos dengan lancarnya.

"Shimi—"

"Oreki-san aku mohon, percayalah padaku, semua yang Kei katakan itu tidak lain sebuah kebohongan, dia itu orang sinting!"

Sesaat Oreki menjauhkan teleponnya dari telinga, menatapnya sebentar dengan kebingungan dan kembali mendekatkan yang pada telinga. Batinnya menggerutu, akan keanehan yang terjadi pada gadis itu.

"Shimizu—"

"Dia akan membocorkan bahwa aku suka padamu!"

"..."

"..."

Blushhh

Temperatur wajahnya seketika memanas diikuti asap yang mengepul dari kepalanya. Sempat kehilangan keseimbangan, Oreki melangkah mundur seakan tidak percaya.

Tangan kanannya terangkat, mencoba menutupi rona dahsyat yang menyerang pipinya meskipun tak ada satupun orang yang melihat. Hanya saja, ia begitu malu!

Padahal perkataan itu belum jelas kebenarannya. Tapi tak dapat dipungkiri rasa senang yang menguar dari dalam tubuhnya mulai menyebar dan membuat kesan berbunga bunga sebagai latar belakang.

"S-Shimizu-san?"

"Ya, Oreki-san?"

"Satoshi-san tidak menelpon ku." Oreki mengungkapkan yang sebenarnya. Dia baru saja bangun tidur, bukan? Tidak mungkin ia mengangkat telepon dari Kei dalam keadaan mata tertutup dan jiwa yang mengarungi lautan mimpi.

Setelah itu tak terdengar jawaban. Oreki berusaha menetralkan nafasnya yang tercekat, menelan ludah susah payah saat hendak memberi pertanyaan lain untuk memastikan.

"Shimizu-san."

"Y-ya?"

"Kau menyukaiku?"

Tukk!

Tombol berwarna merah dipencet seketika, dengan panik melempar ponsel pada kasurnya hingga memantul berkali kali. Gadis itu melangkah mundur, menjauhi telepon yang sudah tidak tersambung dengan tatapan horor.

Ia sangat ingin menghela nafas kasar, tapi bahkan gadis itu tak bisa bernafas sama sekali. Tolong. Jika ini terus berlanjut (Y/n) akan mati konyol karena rasa malu nya melebihi batas.

"Aku butuh udara segar," gumamnya lirih, segera berlari keluar kamarnya.

.

Brakk

"E-eh! Maaf maaf, aku tidak sengaja."

Laki-laki itu mengulas senyum tipis, mengangguk pelan dan mulai berjongkok untuk mengambil barang barangnya yang berjatuhan. "Tidak apa apa."

Meskipun jawaban telah didengar, (Y/n) masih merasa bersalah karena menabrak Fukube yang tidak tau menahu tentang apapun. Ia ikut membungkuk untuk mengambil beberapa barang yang Fukube jatuhkan.

"Kau sedang apa? Ini barang barang siapa?" (Y/n) bertanya di sela-sela kegiatannya mengambil beberapa barang kecil yang berceceran.

Semua sudah terkumpul. Fukube kembali berdiri tegak dengan tangan yang tidak sesibuk sebelumnya, karena (Y/n) mengambil sebagian pekerjaannya. "Aku membantu bibi Akita membawa barang barang ini ke gudang, katanya di kamar sudah penuh."

(Y/n) mengangguk paham akan penjelasan sahabatnya. Kakinya mulai melangkah mengikuti arah Fukube pergi, berjalan bersisian dengan jarak yang berdekatan.

"Ahh, ibu itu, masa dia ngerepotin tamu." gadis itu menggerutu bercanda, tanpa sadar Fukube menanggapinya serius dan menoleh menatapnya.

Ctakk

"Aww!" sebelah tangannya mengusap dahi yang sedikit memerah, rasa sakit yang tidak seberapa ditanggapi berlebihan karena memang biasanya seperti itu. "Apa sih? Sakit tau."

Setelah menyentil dahi sahabatnya dengan wajah tanpa dosa, Fukube membalas dengan nada sedikit kesal, "Kau yang apa! Kau pikir aku siapa? Sahabatmu ini kau anggap apa? Dua keluarga kita sudah seperti satu keluarga yang utuh tau."

(Y/n) yang masih mengusap dahinya tertawa geli, menggelengkan kepalanya pelan atas sikap yang Fukube tunjukkan. "Iya iya, aku mengerti. Lagian serius amat sih, aku kan bercanda."

Fukube menghembuskan nafas pasrah dengan mata merotasi malas. "Bikin kesel aja sih, masa aku dikira cuma tamu?"

"Iya juga ya, tamu gak akan keluar masuk rumah orang tanpa permisi, gak punya malu emang, hahaha!" tawanya kembali mengudara, sejenak melupakan segala keresahannya beberapa menit yang lalu.

Fukube menatap gadis di sampingnya, melihat tawa yang tidak pernah membuatnya bosan membuat laki-laki itu menyunggingkan senyum, tak lama ikut tertawa menikmati suasana hangat yang tercipta dengan tidak epiknya.

"Lah? Malah ketawa? Kau tidak kesal dikatai begitu? Aku seolah olah menganggap mu maling loh." (Y/n) melirik heran, masih tak bisa menghentikan tawa di sela sela perkataannya.

"Iya, maling yang mencuri hatimu."

"Jiahhh, jago gombal ternyata, hahahaha!"

Keduanya tertawa di lorong menuju gudang yang berada di bagian paling belakang rumah. Fukube tentu tak menanggapi atau berharap lebih, lagipula sebelumnya selalu seperti itu. Sisi menyebalkan ketika seseorang sering bercanda adalah perkataannya tak pernah dianggap serius.

Sudahlah, apa yang ia inginkan? Kehangatan ini lebih dari cukup untuk membuatnya begitu bersyukur telah dilahirkan dan bertemu dengan gadis seperti (Y/n).

"Fukube-kun. Apa hanya perasaanku saja, ya? Tapi akhir akhir ini sepertinya kau sedikit berubah."

Alisnya bertaut menunjukkan bahwa ia kebingungan. Kepala menoleh dengan tatapan tanya yang diberikan, Fukube mulai bertanya, "Maksudmu?"

Kepala menunduk dalam, sembari mengulas senyum tipis pada bibirnya, jawaban yang dikeluarkan (Y/n) membuat Fukube tertegun di tempat.

"Entah kenapa, sikapmu terlihat lebih manis dari biasanya."

Tak

Langkah laki-laki itu terhenti seketika, ia berusaha menetralkan ekspresi wajahnya sedemikian rupa, meski tak dapat dipungkiri bahwa ia terkejut akan apa yang baru saja (Y/n) kemukakan.

(Y/n) yang menyadari langkah Fukube terhenti ikut berhenti, kepalanya menoleh ke belakang tanpa membalikkan tubuhnya. "Ada apa? Apa aku salah bicara?" tanya gadis itu memastikan, khawatir jika ucapannya tanpa sadar menyinggung perasaan Fukube.

"Ahh, tidak, bukan apa apa." Fukube menggelengkan kepala pelan, mengenyahkan segala pikiran acak yang menghampiri otaknya. Kaki kembali melangkah, langkah kembali sejajar dengan teman masa kecil.

"Kenapa kau bisa menyimpulkan hal itu?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Fukube ditanggapi dengan tawa geli oleh gadis itu. Ia mengangkat bahunya tak acuh, menjawab dengan nada yang sedikit menyebalkan.

"Yah, aku pun tidak tau. Hanya saja dibandingkan beberapa tahun yang lalu, citra mu sebagai sahabat sinting yang memiliki akhlak minus mulai memudar menjadi lebih lembut."

Fukube menghela nafas kasar, sekali lagi memutar bola matanya menanggapi candaan sahabat disampingnya. "Baiklah, aku anggap itu sebagai pujian, dan terimakasih."

Gadis itu mengeraskan volume tawanya hingga menggelegar, tidak menjaga image nya sama sekali di hadapan Fukube. "Haha! Tapi sungguh, aku lebih menyukaimu yang sekarang ini."

Untuk yang kedua kalinya langkah Fukube terhenti. Alisnya mengernyit dalam dengan tatapan yang memberi ribuan pertanyaan. "Maaf?" terlalu pusing, hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.

(Y/n) ikut menghentikan langkahnya. Kali ini ia menghadapkan tubuhnya pada Fukube, sehingga keduanya sekarang berhadapan. Dengan kepala sedikit mendongak akibat selisih tinggi badan, gadis itu meralat perkataan yang ia ungkapkan sebelumnya. "Sebagai perempuan."

"Hah?" Fukube semakin bingung. Sedikitnya ia senang apabila sikapnya yang secara tidak sadar berubah membuat (Y/n) senang, tapi entah kenapa setelah semua yang terjadi, Fukube merasa (Y/n) menyukainya adalah hal yang mustahil.

Kata kata seseorang yang sudah putus asa.

"Sebagai perempuan, aku menyukai sikapmu yang sekarang." (Y/n) memberi penjelasan singkat sebelum akhirnya menghela nafas panjang.

"Fukube-kun, apa kau menyukai seseorang?"

...

Tik tik tik

Suara jarum jam yang terus berputar mengisi lorong sepi yang hening oleh karena mulut tertutup rapat. Keduanya mengarahkan iris mata pada ubin di lantai, seakan saling enggan menatap sahabatnya sendiri.

"Entahlah."

Helaan nafas terdengar kembali, yang pasti berasal dari gadis dihadapannya. Tanpa mengalihkan tatapan, gadis itu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.

"Aku mengerti jika kau berusaha merubah sikapmu menjadi lebih baik demi mendapatkan hatinya. Tapi sejujurnya, sebagai sahabat aku lebih menyukaimu yang dulu." kepalanya terangkat, menatap yakin pada laki-laki dihadapan.

Otak Fukube dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Semakin pusing oleh perkataan yang (Y/n) lontarkan sementara ia sendiri tidak mengerti sama sekali akan hal itu. Perubahan sikap apa yang (Y/n) maksud? Mungkin itu menjadi pertanyaan yang cukup jelas diantara lautan pertanyaan yang membanjiri benaknya.

"(Y/n)-chan, aku tidak mengerti apa yang kau maksud."

Bahu gadis itu naik turun, tersenyum singkat sembari membalikkan tubuhnya. Kakinya kembali melangkah, sementara mulut berkata ragu, "Aku pun tidak mengerti, hanya saja, apabila kau memasang sikap itu sebagai tempelan agar kau bisa mendapatkan hati seorang perempuan, ku rasa hentikan saja."

Langkah kakinya terhenti, menoleh ke belakang saat (Y/n) dan Fukube sudah terpisah oleh jarak. "Aku suka kau yang apa adanya, tidak memaksakan sikap yang bukan dirimu sendiri. Aku yakin, orang yang kau incar pun berpendapat sama denganku."

Sejenak Fukube mengangkat sebelah alisnya, (Y/n) yang terlihat mengatakan kata kata bijak sedikit aneh dimatanya. Laki-laki itu terkekeh sebentar, menggelengkan kepalanya tidak percaya akan apa yang baru saja didengar.

Kali ini (Y/n) yang mengernyitkan alisnya bingung. Fukube tampak menghampirinya, terpaksa ia pun ikut membalikkan badan agar keduanya berhadapan.

"(Y/n)-chan, aku sama sekali tidak merubah sikapku untuk seseorang."

Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, sangat ketara dari wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Benarkah?"

Fukube mengangguk, setelahnya mengangkat kedua bahu dengan tidak acuh. "Aku bahkan tidak menyadari perubahan yang terjadi padaku. Memang begitu, kah?"

(Y/n) membalas dengan anggukan ringan, keningnya masih berkerut tanda tidak mengerti akan apa yang terjadi. Mungkinkah ia terlalu memperhatikan Fukube hingga perubahan kecilnya begitu terasa?

Ah, rasa rasanya tidak. Fukube memang berperilaku lebih manis dari biasanya, meskipun hanya terjadi di beberapa saat dan tidak selalu begitu.

"Mungkin saja waktu membimbingku menjadi pribadi yang lebih berbeda? Tidak ada yang bisa memperkirakan rencana waktu, semua hal bisa terjadi."

(Y/n) menatap Fukube dengan pandangan menyipit, seolah tidak percaya pada ucapan Fukube. Tapi tak lama setelah itu ia terkekeh, kembali melangkahkan kaki. "Masa pendewasaan, eh?" kelakarnya.

Fukube dengan segera mensejajarkan tubuhnya dengan (Y/n) yang sudah melenggang pergi terlebih dahulu. Menanggapi candaan sahabatnya, ia merenggut kesal dengan ekspresi yang dibuat buat.

"Hih, kau kira umurku berapa? Aku sudah SMA!" tegasnya

Kepala menoleh dengan sebelah alis terangkat, (Y/n) kembali tertawa geli seraya mengangkat sebelah bahunya. "Lalu apa yang salah? Kita baru kelas satu SMA, itu adalah hal yang normal."

"Ya ya ya." Fukube tampak menirukan gerakan (Y/n), hendak meledek sang sahabat hingga muncul perempatan siku siku di dahi gadis itu. "Terserah, yang penting aku dewasa lebih cepat daripada kau."

"Dih, kata siapa?" protes gadis itu. "Maaf saja, aku sudah lebih dewasa daripada kau yang bermental bocah." (Y/n) mengibaskan tangannya, seakan menunjukkan bahwa Fukube dan dirinya tidak berada di level yang sama.

"Iya deh, anak muda ini ngalah sama nenek nenek pikun."

"Sembarangan! Sumpel juga tuh mulut pakai busa kasur!"

"Gapapa isinya busa kasur, asal bukan berbusa karena kebanyakan makan janji palsu."

"Dih! Ni anak kalau kasmaran seremnya ngelebihin kecoa yang lagi terbang."

.

Keduanya sudah sampai di gudang. Membuka pintunya pelan, debu yang terbawa angin membuat hidung terasa geli dan membuatnya ingin bersin. Saklar lampu ditekan hingga gudang yang sebelumnya gelap dan menimbulkan kesan horor menjadi terang benderang.

"Kemari, biar aku saja yang menyimpan barangnya di gudang. Di dalam banyak debu, kau bisa bersin bersin."

(Y/n) mengangguk patuh. Ia mulai memindahkan barang di dekapannya pada tangan Fukube sembari menggerutu pelan. "Emangnya kenapa kalau bersin bersin, coba?"

Sembari menyunggingkan seringai jahil, Fukube masuk ke dalam gudang seraya menjawab tanpa menolehkan kepalanya ke belakang.

"Kau kan lemah."

(Y/n) menyandarkan bagian samping tubuhnya pada pintu di gudang, menunggu Fukube selesai dengan pekerjaannya dengan wajah tertekuk karena kesal.

Apa hubungannya lemah dengan bersin? Ah, sepertinya kekhawatiran yang ia berikan sebelumnya sia sia, sikap Fukube sama sekali tidak berubah.

Tak berselang waktu lama hingga Fukube kembali, matanya terlihat melebar mendapati (Y/n) di pintu gudang. "Eh, kau belum kembali? Kan sudah ku bilang duluan saja."

Fukube yang terus melangkah memaksa (Y/n) untuk mengikutinya. Gadis itu nampak menggelengkan kepala, hingga bibirnya terbuka untuk suatu alasan. "Aku ingin bertanya padamu."

"Tanyakan saja." Fukube dengan santai memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Tatapannya beralih pada (Y/n), menunjukkan bahwa ia memperhatikan dengan seulas senyum di wajahnya.

"Kau memberikan nomorku pada Chitanda-san?"

Fukube menatap ke atas dengan ekspresi mengingat ingat. Tatapannya kembali beralih pada gadis di sampingnya lalu mengangguk. "Iya, aku memberikannya karena dia memaksa. Maaf aku tidak meminta izin padamu terlebih dahulu."

(Y/n) menggeleng lucu hingga rambutnya terbang ke sana kemari, terkekeh menyikapi permintamaafan Fukube. "Tidak masalah, aku tau kau tau apa yang terbaik untukku, kan? Pasti ada alasan dibalik hal itu."

Tangan laki laki itu terangkat, mengusap tengkuk gugup dengan tawa renyah yang mengiringi. "Yah, meski aku sedikit tidak menyukai Chitanda karena kejadian terakhir kali, aku rasa Chitanda cukup baik untuk dijadikan teman sekilas mu."

"Apa Chitanda mengganggumu lagi?"

Gelengan diterima sebagai jawaban dari pertanyaan laki-laki itu. "Tidak ada, tadi Chitanda-san yang meneleponku di tengah makan malam, aku pikir siapa dan sedikit terkejut Chitanda-san bisa mempunyai nomor ponselku."

"Hehe, maaf sekali lagi."

"Apa masih ada yang ingin kau tanyakan?"

"Um!" gadis itu mengangguk pelan tanpa mengalihkan tatapannya dari depan. Sedari tadi fokusnya hanya pada jalanan yang dilewati, mencegah insiden seperti tersandung atau semacamnya.

"Kau mengetahui sesuatu tentang foto yang dibicarakan Oreki di rumahnya waktu itu?" kini kepalanya menoleh, ingin tau ekspresi apa yang Fukube tunjukan untuk menanggapi pertanyaannya.

Fukube tampak berfikir dengan normal, tak ada sesuatu yang disembunyikan dari raut wajahnya. Kepalanya menggeleng pelan, menunjukkan ketidaktahuannya.

"Aku juga tidak tau, yang pasti Oreki sedang mencari seseorang yang ada dalam foto itu."

"Seseorang?" (Y/n) menaikkan sebelah alisnya, mulai tertarik dengan pembahasan selanjutnya.

"Iya, Oreki sedang mencari seseorang yang sampai sekarang belum juga ada titik terang. Hanya foto itu satu satunya kenangan yang ia miliki, foto itu pun diambil saat Oreki masih kecil."

(Y/n) terlihat menggigit kuku jarinya sendiri, entah kenapa perasaan resah menyerangnya tiba tiba. Jari mulai dijauhkan dari bibir, sejenak melamun hingga akhirnya mengajukan pertanyaan. "Kau mengenal siapa yang ada di foto itu?"

Gelengan disertai bahu yang naik turun membuktikan bahwa Fukube pun tidak tau. "Aku pun tidak pernah melihat foto itu, Oreki selalu menyembunyikannya, ia bilang itu sangat berharga baginya, jadi pantas apabila ia marah padamu saat itu."

"Ahh, begitu kah." (Y/n) mengangguk anggukan kepalanya mengerti, jari jarinya kini memegang dagunya sendiri.

Jika mengulang beberapa hari yang lalu, ia sangat malu karena bertindak tidak sopan seperti itu. Memasuki kamar orang lain dan melihat barang privasinya, sungguh memalukan.

"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"

Kepala menggeleng singkat. "Tidak ada sih, tapi kenapa kau seperti sedang terburu-buru? Dari tadi kau menanyakan hal yang sama."

Langkah Fukube terhenti seketika, membuat (Y/n) mau tak mau ikut berhenti dan berbalik, mendekati sahabatnya yang mulai mengangkat tangan sembari melihat jam yang terpampang di pergelangan tangannya.

"Tadi ayah menelpon dan dia sudah pulang, ayah menyuruhku segera kembali untuk membicarakan suatu hal."

"Ehhh?" nada terkejut tak bisa gadis itu sembunyikan. Tatapannya tampak terarah tepat pada iris mata Fukube, manik (e/c) yang penuh pengharapan sedikit berkaca kaca. "Kau tidak jadi menginap?"

Ahh.

Fukube mengulas senyum tipis, tangannya terangkat untuk mengacak surai panjang (Y/n) yang tergerai indah dengan gemasnya. "Maaf ya, aku tidak bisa membantah keinginan ayah, siapa tau penting."

(Y/n) menunduk lesu, perlahan mengangguk dengan terpaksa. Gadis itu memaksakan dirinya untuk mengerti kondisi Fukube yang lebih sibuk dari biasanya, tapi tetap saja menyakitkan ketika waktu bermain dengan sahabatmu terpotong begitu saja.

"Akan aku antarkan kau ke depan, bibi Hina juga sepertinya sudah menunggu." mencoba tegar, gadis itu mengembalikan senyum cerahnya hingga kedua mata menyipit.

Seulas senyum tercipta, diikuti helaan nafas lega akan suatu hal.

"Terimakasih, gorila rakus," canda Fukube, mencubit hidung (Y/n) dan menggerak-gerakkan tangannya hingga wajah (Y/n) ikut terbawa.

"Eum..."

.

"Ck, akhss! Kei!"

(Y/n) meringis keras saat pipinya memerah akibat cubitan maut Kei. Tanpa rasa bersalah, Satoshi sulung itu malah menarik narik dan menggerakkan pipi (Y/n) hingga menjadi elastis.

"Dadahhh, bakpao pemarah!"

Kei baru melepas cubitannya saat tubuhnya mulai melenggang pergi. Sebelumnya ia sudah berpamitan pada Akita, jadi ia langsung pergi mencari udara segar bersama Kazumi.

(Y/n) hanya mematung sweatdrop seraya mengusap pipinya yang memerah. Rasanya sakit, orang lain harus mencobanya sesekali. Terkadang ia bingung, kenapa Kei tidak mencubit pipi kekasihnya saja? Malah merepotkan anak orang!

Sementara Hina masih sibuk dengan perpisahan panjangnya dengan sang sahabat masa kecil, Akita. Fukube melangkah maju dan mengikis jarak antara ia dan sahabatnya.

Ctakk

"Hadahhhh!!"

Usapan kasar diberikan pada dahi, kesal karena yang jadi incaran Fukube adalah tempat yang sama. "Kalian ini kenapa sih? Adik kakak sama aja. Mau pamitan atau cari ribut?"

"Cari jodoh."

"Jual diri aja sana!" ketus gadis itu.

Fukube tertawa, tangannya kembali terangkat untuk menepuk-nepuk kepala (Y/n) lembut dengan tatapan geli. "Bercanda bercanda."

"Jangan tidur terlalu larut, ya. Aku tau Kei bodoh itu membawakan mu bahan bacaan."

(Y/n) sedikit melebarkan matanya, tidak menyangka bahwa Fukube bisa mengetahui rencana sempurnanya untuk nge-date bersama para komik yang berisi cogan sadis.

"Lagian berhenti ah, baca baca yang begitu kau bisa jadi psikopat beneran," tegur Fukube, bergidik ngeri apabila mengingat (Y/n) yang tengah menggenggam pisau di dapur dengan seringai keji nya.

Yah, bagaimana lagi? (Y/n) memang suka komik bergenre dark fantasy dengan karakter ikemen haus darah. Yang pasti bukan vampire, terlalu mainstream itu mah....

"Iya iya, terimakasih atas perhatian anda, yang mulia Satoshi-sama," ejek gadis itu, memeragakan seorang putri yang tengah memberi salam kepada keluarga kerajaan.

"Bagus, babu ku yang hina."

"Ni anak, pengen tak hihhh!!!!"

.
.
.
.
.

"Ibu, aku berangkat, ya!" seru seorang gadis di depan pintu rumahnya.

"Iya, hati hati di jalan!"

Gadis itu melangkah dengan riang, mulai menjauh dari rumah dan memperdekat jaraknya dengan sekolah. Tak ada alasan untuk keceriaannya, berjalan santai di pagi yang sejuk cukup membuat hatinya tenang.

Tak ada yang menarik sejauh ini. Dunia berputar dengan normalnya, diisi oleh jutaan manusia yang berlalu lalang dengan berbagai macam kegiatannya.

Bahkan saat kakinya menginjakkan kaki di sekolah, hatinya masih tenang tanpa gangguan yang muncul. Yah, ini lebih menyenangkan dibanding hidup penuh konflik sebagaimana tokoh utama di novel.

Hari (Y/n) cukup lancar dikala kegiatan belajar mengajar mulai berlangsung. Begitu normal dengan candaan Fukube, kejahilan Fukube, contekan Fukube, gurauan Fukube, kemalasan Fukube juga kegabutan Fukube yang tak henti henti memainkan rambutnya.

Yup, semuanya tentang Fukube.

Suara yang begitu nyaring di telinga membuat beberapa murid bersorak bahagia. Disaat otak mulai penuh oleh ocehan guru, bel tanda istirahat menyelamatkan mereka dari kondisi sekarat akibat perut yang keroncongan.

Fukube, selaku teman satu kelas yang kebetulan duduk dibelakangnya langsung melesat keluar dari kelasnya, meninggalkan (Y/n) yang speechless karena harus istirahat sendirian. Huh, padahal keduanya sudah berjanji ke kantin bersama saat di tengah jam pelajaran, bahkan sampai mendapat teguran dari guru.

Mungkin sejauh ini hanya itu yang membuat moodnya turun. Tapi tak masalah, sekotak susu yang didapat dari vending machine bisa membuat harinya kembali cerah secerah senyuman bayi matahari teletabis.

Kedua kaki melangkah bergantian dengan santai, sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang karena menghalangi pandangan. Matanya melirik kanan kiri, jika beruntung bisa bertemu dengan Chitanda untuk menemaninya ke kantin.

"Shimizu-san!"

Tubuh membeku seketika. Dengan gerakan patah patah (Y/n) menoleh ke belakang, mata melebar diiringi keluhan tertahan. 'Oreki-san...'

Duhh, mau ditaruh dimana wajahnya kali ini?

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Note: 1 chapter full with Fukube-kun!

Continue Reading

You'll Also Like

36.6K 5.5K 16
"Bukankah membuka aplikasi tanpa melihat cerita buatanku itu sungguh hal yang membosankan? Kemarilah, buat sebuah imajinasi fana bersamaku." [Semua P...
182K 28K 45
Seorang gadis kecil yang selama 7 tahun hidup dalam sangkar emas dilepas begitu saja pada dunia bebas oleh orang tuanya yang khawatir ia akan membawa...
45.4K 5.5K 13
❪㑭。𝙿𝙰𝚁𝙺 𝙹𝙾𝙽𝙶 𝙶𝚄𝙽 𝚇 𝙵𝙴𝙼! 𝚁𝙴𝙰𝙳𝙴𝚁 ❫ ❝ 𝖥𝗈𝗋 𝗒𝗈𝗎, 𝗂 𝗐𝗈𝗎𝗅𝖽 𝖻𝗎𝗒 𝗍𝗁𝖾 𝗌𝗍𝖺𝗋𝗌 ❜❜ ▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄▀▄ 𝓢...
208K 22.4K 43
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...