Jendela Joshua (End)

By meynadd

5.1K 1.3K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 02 - Menumpang
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 03 - Setahun Yang Lalu

272 62 110
By meynadd

     Busan, Februari 2004

     Perlahan-lahan angkasa dengan mudah bertugas menumpahkan buliran-buliran kristal menjadi sebuah gumpalan putih lembut sehingga segala penjuru daerah itu bagaikan hamparan permadani putih.

     Dan seorang pemuda berpakaian seragam sekolah berbalut jaket sedang berada di sana untuk menyaksikannya.

     Dia masih betah duduk di bangku sekitar pekarangan sekolah sambil melihat fenomena alam itu di penghujung masa kelulusan, tak lupa pula mendokumentasikan kedua hal tersebut dalam notebook mungil yang ada di pangkuan.

     "Tulisanmu sangat indah, Nak," tegur seorang pria yang sejak tadi berdiri di belakang bangku, menengok Joshua yang tengah menulis.

     "Eeh ... Ayah?"


     Dia tersentak, hampir saja mencetakkan coretan pada kertas begitu membalikkan wajah ke arah belakang.

     Pria itu lekas mendekat  kemudian duduk di sebelahnya, lalu sekilas  melihat  rombongan murid laki-laki dan perempuan berkumpul di area lapangan sebelah barat, tampak mulai berpose di depan kamera dengan gaya masing-masing sambil membawa sebuket bunga. Ada pula beberapa murid yang lain sedang asyik bercengkerama bersama kerabat  dan orang tua mereka.

     "Josh, kenapa kamu nggak mau kumpul bareng temanmu di sana? Kan hari ini adalah hari kelulusanmu?"

     Wajah Joshua berubah datar begitu melihat pemandangan tersebut dan memalingkan pandangan, menatap kosong tanah putih di hadapan.

     "Di saat teman-temanku sudah memikirkan tujuan dan prospek mereka ke depan. Aku sama sekali nggak tahu harus kemana. Rasanya sedikit mengganggu jika mereka membicarakan soal kuliah dan pekerjaan impian. Sedangkan aku  diam saja."

     Joshua lantas menutup notebook miliknya sambil menghela napas pelan.

     "Menurut Ayah, pantaskah aku melanjutkan jenjang perkuliahan?"

     Sang ayah, Evans Chandra, meremas pundak putra semata wayangnya dengan tatapan sendu. "Ayah nggak bisa mengatakan iya atau malah sebaliknya. Karena itu tergantung atas pilihan dan kemauanmu sendiri. Namun bagaimanapun juga ilmu memang harus diprioritaskan, Nak."

     Joshua hanya mendesah tanpa ada menanggapi obrolan sehingga menimbulkan keheningan panjang di  antara keduanya.

     Beberapa saat kemudian Evans berkata. "Tapi ... jika dilihat dari dasar potensialmu, kamu masih ada harapan Josh. Ayah sudah berkali-kali mendapatimu menulis dan membaca semua karangan indahmu itu semenjak kamu berusia sebelas tahun. Mungkin itu bisa dipertimbangkan. Bagaimana menurutmu?"

     "Entahlah, kalau di Busan siapa yang mau baca tulisanku ini? Penerbit mana yang bersedia menerima naskahku?" Joshua berkata getir.

     "Jangan pesimis gitu, Josh. Padahal kamu belum mencobanya saja. Kalau begitu ikutlah bareng ayah, lusa ke Jogja. Kemungkinan besar naskahmu akan diterima di sana?"

     Untuk beberapa detik, Joshua terkekeh.

     "Jangankan di sini yah, di sana juga pasti nggak bakal lolos. Katanya harus mencoba dulu?"

     Evans turut terkekeh, merangkul pundak Joshua seraya tersenyum lebar. "Nah, ini baru anak Ayah."

     Evans dan Joshua tergelak bersamaan tanpa memedulikan tatapan risih semua orang tua dan murid yang ada di sekitar mereka.

     Setelah acara perpisahan yang digelar tiga  jam yang lalu. Dan para orang tua dan murid-murid angkatan akhir sudah menghabiskan waktu untuk  bercengkerama satu sama lain serta mengabadikan momen tersebut melalui perantara kameramen bayaran. Akhirnya, semua orang satu per satu beranjak pergi meninggalkan area  sekolah.

     "Sebaiknya kita bergegas pulang, Nak," usul Evans yang dibalas anggukan oleh Joshua dengan suasana hati yang semakin membaik.

***

    Dua hari setelah hari kelulusan itu, sudah tibanya Evans pulang ke negara  asal. Joshua sendiri tidak tahu alasannya kenapa? Dia sempat berpikir  mungkin  saja ayahnya sedang melakukan urusan penting di sana. Soal pekerjaan bisa jadi. Entah kenapa rasanya Joshua  sedikit menaruh harap agar sang ayah tidak pergi.

     Namun, sisi baiknya, Evans telah berjanji  akan  berkirim kabar melalui surat setiap bulannya. Hal itu yang membuat hati Joshua sedikit tenang.

     "Joohwa, kamu tidak ada rencana untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi?" tanya Lim Seo Mi, ibunya,  begitu merebahkan diri di sebuah sofa, ruang keluarga, usai mereka berdua mengantar Evans ke bandara tadi pagi.

     "Aniya, Eomma (nggak, ibu)," timpal Joshua sambil merebahkan diri tepat di sebelah ibunya. Kalau sudah membahas tentang kuliah, Joshua langsung angkat tangan.

    "Lalu, apa yang akan kamu lakukan nanti? Menganggur selama setahun? Dua tahun? Atau kamu mau mati saja sekarang ha?!" seru Seo Mi sedikit meninggikan nadanya, masih dalam posisi merebahkan tubuh.

     Joshua lekas menggeleng cepat, kemudian menatap ibunya lekat. "Tentu saja tidak. Aku ingin memikirkannya dulu. Jadi beri aku waktu, Eomma."

     Seo Mi lantas beranjak dari sofa, berjalan menjauh sambil berujar, "Asal itu bukan menghabiskan waktu dengan tumpukan sampah itu, Joohwa."

     Joshua menggerutu, bangkit dari sofa dengan gusar.

     "Tolonglah Eomma, dukung saja anakmu ini seperti yang Appa pernah lakukan!"

     Langkah Seo Mi seketika berhenti lalu membalikkan badan ke arah anaknya. 

     "Baiklah," ujarnya sedikit tenang, melemparkan tatapan tak bersahabat. "Kalau itu yang kamu inginkan, Nak."


***

***

     "Tuan Kim, saya ingin mengajukan naskah kepada anda, mungkin bisa anda lihat-lihat terlebih dahulu." Joshua menyerahkan setumpuk kertas yang dikerjakan sepanjang malam kepada editor akuisisi yang ternyata merupakan salah satu mantan guru yang mengajar di SMA-nya dulu.

     Sebelumnya, Joshua sudah membuat janji temu jauh-jauh hari di kantor penerbit Tuan Kim dan pria itu bersedia meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya mengurus naskah.

     Mereka duduk berhadapan dengan meja kerja yang nyaris seluruh bagian dipenuhi oleh tumpukan kertas. Joshua kikuk, menggigit jari ketika pria itu fokus menggulir lembar demi lembar kertas sekitar dua puluh menit ke depan.

     "Dari cara penulisanmu menurut saya cukup bagus. Sangat rapi. Lebih bagus lagi kalau kamu mengetiknya di laptop," interupsi Tuan Kim setelah mengkhatamkan naskah di genggaman beberapa saat yang lalu.

     Joshua tersenyum. Dari yang disampaikan barusan, ada benarnya. Dia sama sekali tidak memikirkan hal itu dari awal. Entah itu meminjam ke orang atau mungkin mampir ke tempat penyewaan komputer.

     "Namun masalahnya naskah ini tidak segampang itu untuk diterbitkan di sini."

     Kening Joshua berkerut. "Maksud, Tuan?"

     "Begini ... sesuai prosedur yang ada ...." Pria itu melambatkan intonasinya, menimang-nimang sejenak lalu kembali bersuara.

     "Naskahmu belum memenuhi persyaratan penuh dari kami. Yang artinya naskahmu kami tolak dan tidak bisa diterbitkan. Saya mohon maaf, mungkin suatu saat kamu bisa kembali kemari dan mendatangi saya lagi. Terima kasih untuk waktunya, Lim Joohwa."

     "Tolong dipertimbangkan lagi, Tuan!" pinta Joshua harap-harap cemas.

    Tuan Kim beranjak dari kursi, mendekat ke Joshua lalu menepuk pundaknya dengan tatapan prihatin. "Kamu memang penulis berbakat, Joohwa. Namun, tulisan yang hanya terpampang di mading sekolah berbeda dengan tulisan yang akan disebarluaskan ke toko-toko buku. Saya harap kamu bisa mengerti."

     Pria itu berjalan lalu, meninggalkan Joshua yang kini meratapi setumpuk kertas yang ada digenggaman.

***

     Sepulang dari kantor penerbitan, Joshua menghembus nafas gusar ketika hendak memasuki kamar. Seketika dia tersentak, kedua mata melotot pada pemandangan tak lazim yang dia saksikan saat ini.

     Seo Mi, mengacak-ngacak meja belajar, mengambil beberapa kertas-kertas yang telah dikerjakan Joshua, mengoyak-ngoyak kumpulan kertas yang tertempel di tembok sehingga pulau kertas itu berubah menjadi teluk tak berujung.

     Sang ibu buru-buru memasukkan semua ke dalam kantong goni, membawa ke luar kamar tanpa memperdulikan putranya yang sedang menarik lengannya. "Eomma ... apa yang Eomma lakukan?"

     Seo Mi berjalan tak acuh menuju area halaman belakang yang tertutupi gumpalan-gumpalan putih dan terdapat pula sebuah tong pendek nan besar berada di tengah-tengahnya dengan nyala api yang berkobar-kobar.

     Lantas kantong goni itu dilempar, menimbulkan nyala api yang semakin berkobar sehingga yang bisa Joshua lakukan hanyalah meratapi situasi yang telah terjadi, menatap punggung sang ibu yang sedang memantau agar api melahap abis semuanya.

     "Eomma ... semua itu sangat berharga bagiku!" jerit Joshua, tak bisa menahan air mata keluar, membasahi pipi dan membuat kacamatanya mengembun.

     Seo Mi berbalik, dengan lancang merampas paksa setumpuk kertas di genggaman putranya.

     "Eomma sudah bilang bukan? Agar jangan menghabiskan waktumu dengan tumpukan sampah ini!!" Sekilas Seo Mi menunjukkan setumpuk kertas tepat ke wajah Joshua, kemudian melempar tumpukan tersebut ke kobaran api.

    Joshua tak bisa melawan, menunduk dalam sesaat sang ibu melontarkan tatapan tak suka, ditambah wajah putih pucat itu berubah sedikit kemerah-merahan.

     "Eomma tak ingin lagi melihatmu disibukkan dengan tulisan-tulisan bodohmu itu. Karena itulah penyebabnya, kamu tidak melanjutkan kuliah."

***

     Busan, Februari 2005

     Menjelang usia ke dua puluh tahun, setahun setelah apa yang menimpanya. Joshua tetap mengelus dada, membiarkan segala sesuatu dan menganggapnya sebagai ujian terberat sepanjang hidup. Paling buruk ialah ketika mendaftarkan diri ke salah satu perguruan tinggi negeri di Busan. Memang kalau dipandang jauh, masih ada harapan untuk menempuh ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

     Akan tetapi dengan nilai pas-pasan yang tidak sesuai target yang ditetapkan oleh pihak kampus, dia terpaksa  mengangkat kaki, kembali pulang ke rumah tidak membawa kabar yang menyenangkan hati sang ibu.

     Joshua menatap refleksi dirinya di depan cermin, melepaskan kacamatanya perlahan dan kini pandangan terlihat lebih jelas. Joshua seakan melihat dirinya seperti orang lain atau dalam artian menjadi sosok yang baru. Hingga terlintas di benak akan suatu hal, dia bergegas mengambil ransel yang tergeletak di atas kasur.

     "Joohwa, kamu mau pergi kemana?" tanya Seo Mi dari balik pintu kamar, memergoki Joshua yang sedang bersiap-siap.

     "Menyusuli Appa ke Jogja," jawabnya getir. Melewati sang ibu tanpa menoleh sedikitpun.

     "Kenapa?"

     "Eomma sadar tidak? Sudah setahun Appa tidak pulang ke rumah dan Eomma malah bertanya kenapa?!" Joshua berhasil melontarkan kemuakannya, tidak peduli apa yang akan direspon oleh Seo Mi atas perkataannya barusan.

    "Joohwa, kamu tak perlu—"

     "Tak perlu apa Eomma? Aku sudah mengikuti kemauan Eomma untuk melanjutkan kuliah, dan Eomma sudah lihat sendiri kan? Tolong untuk kali ini jangan menghalangiku untuk menemui Appa!"

     "Lim Joohwa ... Eomma minta maaf ...." Suara Seo Mi bergetar, wajahnya berubah pilu, sampai mengeluarkan setetes air mata penyesalan.

     "Namaku bukan Lim Joohwa, namaku adalah Joshua Evans. Joshua Evans!"

     Seo Mi menutup mulut, melihat presensi putra semata wayang lalu menghilang dari ambang pintu. Air mata kembali luruh menggenangi perasaan terutama hati yang semakin tercabik oleh kesalahannya sendiri.



Hlm 03 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

2K 233 36
Bloom (noun): A Beautiful Process of Becoming. Sederhana saja, Areksa Gatra Sadajiwa jatuh cinta pada target incaran sahabatnya sendiri. Namira Gea R...
2M 47.7K 54
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
STRANGER By yanjah

General Fiction

667K 75.2K 52
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
1.7K 238 9
[Cerita pendek] Kisah singkat dari pemilik paras cantik bernama Dewi Sri Retno Widowati yang tak pernah mau menyerah dengan rasa akan Raden Arjuna Ba...