Jendela Joshua (End)

By meynadd

4.9K 1.1K 658

Di saat orang-orang di luar sana sudah bisa menentukan tujuan hidup dan kemana arah untuk pergi, berbeda ceri... More

Prakata
Bab 01 - Kedai Sejahtera
Bab 03 - Setahun Yang Lalu
Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya
Bab 05 - Urusan Hendra
Bab 06 - Ingin Membantu
Bab 07 - Traktiran
Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde
Bab 09 - Lima Menit Bersama
Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)
Bab 11 - Boss dan Anak-Anak Buahnya
Bab 12 - Shakespeare versus Dryden
Bab 13 - Ruang Temu Asa
Bab 14 - Masalah Yang Ganjil
Bab 15 - Perihal Ayah
Bab 16 - (Masih) Tanda Tanya
Bab 17 - Kecewa
Bab 18 - Vespa Ijo Tua
Bab 19 - Harapan Yang Tak Sia-Sia
Bab 20 - Hengkang dari Zona Nyaman
Bab 21 - Kepastian
Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan
Bab 23 - Sang Legenda
Bab 24 - Bertemu
Bab 25 - Ruang Pemimpin Redaksi
Bab 26 - Prioritaskan Siapa?
Bab 27 - Kedatangan Tamu Penganggur
Bab 28 - Kembali Ke Rencana Awal
Bab 29 - Tujuan dan Impian
Bab 30 - Pulang
Bab 31 - Merepet Di Pagi Buta
Bab 32 - Tersesat
Bab 33 - Kebenaran Di Atas Kertas
Bab 34 - Dorongan
Bab 35 - Perbincangan Berbalut Luka
Bab 36 - Yang Namanya Selalu Disebut
Bab 37 - Jendela Joshua
Penutup

Bab 02 - Menumpang

333 71 153
By meynadd

Joshua dan Hendra menyusuri sepanjang trotoar barangkali mendapatkan sesuatu yang berguna dalam perjalanan.

Masing-masing dari mereka menenteng barang bawaan berupa satu dus yang berisi perlengkapan mandi yang dibawa oleh Joshua dan sebuah tas teng-teng yang dibawa oleh Hendra, yang isinya pakaian-pakaian miliknya.

     Joshua sama sekali tak punya barang bawaan. Mengingat bahwa Joshua tidak memiliki apa-apa setelah musibah yang menimpa tempo hari. Kini yang dia punya hanyalah pinjaman dari Hendra.

"Nah itu dia!"

Joshua berseri-seri, ketika mereka berdua mendapatkan angkutan umum dengan penampakan luar sudah kusam, berkarat-karat di pinggiran, kaca jendela yang bertambal-tambal.

Setidaknya mereka tidak perlu lagi menenteng barang sambil menapakkan kaki ke tanah.

Kendaraan itu tengah terparkir betul dekat trotoar dan orang-orang mulai berdesak-desakan memasuki bus untuk memuat tempat duduk yang tersedia.

Seandainya Joshua dan Hendra mempercepat langkah, karena mereka sekarang tertatih-tatih mengejar dan menyamakan kecepatan dengan bus itu seraya memanggil-manggil "Mas! Mas!" Berharap agar sang sopir membagikan tumpangan.

Namun semakin mereka mengejar, bus itu melesat jauh dari jangkauan.

"Ahh, tahu gini mending aku tidur di luar kedai!" geram Hendra sambil mengacak rambut keritingnya, frustrasi.

"Kita putar balik aja gimana?" Sambut Joshua, santai.

"Ehh, gila kamu ya? kita sudah jalan jauh. Nggak lucu tiba-tiba kita putar balik! Capek Josh! Capek!" seru Hendra dengan wajahnya yang sudah dibanjiri keringat asin di kedua pelipisnya.

"Tahu gitu jangan dikit-dikit ngeluhlah, Hen!" pangkas Joshua tak kalah geram.

Hendra terdiam cukup lama, kemudian akhirnya bersuara.

"Ngomong-ngomong Josh, kemana tujuan kita sekarang?"

"Hmmm entahlah, Hen." Joshua merengut, tidak tahu lagi harus mengatakan apa.

Dia dan Hendra bukan warga asli sini. Jadi, tidak terlalu mengenal banyak tempat. Sama-sama berasal dari luar. Bedanya Hendra masih satu negara sementara dia?

Waktu itu Joshua pernah melapor pada kepolisian setempat atas kehilangan ransel yang berisi paspor dan barangnya yang lain, lalu meminta mereka untuk mencari pelaku dan membawakan kembali barang tersebut.

Namun pihak kepolisian malah mengindahkan, sesuai peraturan yang berlaku bahwa warga negara asing tidak hanya mengajukan laporan barang hilang seperti paspor, dan sebagainya. Maka mereka harus berurusan lebih lanjut di kantor imigrasi atau kedutaan besar.

Joshua tak punya akal lagi untuk membantah, sedangkan dia tidak memiliki uang yang cukup untuk pembuatan dokumen baru di sana.

Panas sang surya membakar ubun-ubun tepat di atas kepala sehingga mengeluarkan keringat dan membasahi di kedua pelipis. Dia mengatur nafas sesaat sebelum dia dan Hendra melanjutkan perjalanan.

Pada saat yang sama, mereka berdua dihampiri seorang wanita berusia lanjut, meminta mereka untuk membantu menyebrangi jalan raya yang dilalui sesak para pengendara roda empat dan roda dua.

Di seberang sana berdiri presensi pria yang berusia lanjut dan berperawakan kokoh kuat, memantau wanita itu lalu maniknya bergeser kepada dua pemuda berdiri tepat di sebelah wanita tersebut.

Perhatiannya tertuju pada pemuda berkulit putih pucat. Memperhatikan lamat-lamat dari pangkal kepala hingga ujung kaki. Seakan pria itu bisa mengenal Joshua dalam sekejap.

"Nek, kemarikan saja barang nenek biar teman saya yang bawakan," ujar Joshua yang tanpa sadar mendapati lototan dari Hendra di belakang kepalanya.

Kemudian Joshua menuntun wanita tersebut menuju ke seberang jalan sana. Semantara Hendra menahan diri untuk tidak meledak-ledak lalu menyusul sembari menenteng dua plastik yang berisi buah-buahan segar.

"Terima kasih, Nak."

"Sama-sama Nek," jawab mereka berdua nyaris serempak.

"Terima kasih, sekali lagi," ujar pria itu. Joshua mengangguk, melemparkan senyum.

Sedangkan Hendra sudah lebih dulu menyebrangi jalan menuju sisi lain trotoar. Begitu Joshua berbalik badan, pria tersebut kembali bersuara.

"Tunggu dulu. Apa kamu dan temanmu butuh tumpangan? Kalau iya, kalian bisa pergi bersama kami."

Joshua tertegun. Mulai menimang baik kata-kata pria itu sambil melirik mobil pick up tepat di depan matanya. Di bagian belakang mobil itu terdapat bermacam-macam perabotan rumah.


Joshua dapat mengambil kesimpulan dua orang di hadapannya ini sedang ingin pindah rumah.

"Maaf Pak. Tapi saya dan teman saya bisa mencari angkutan lain."

"Nggak ... kamu jangan menolak begitu. Jadi terima saja ya?"

Joshua melirik pria itu dan wanita di sebelahnya bersedia melontarkan sambutan hangat.

Tidak ada akal lain untuk menolak, Joshua menyetujui dengan rasa terima kasih dan Hendra yang sudah di seberang mendengar sautan dari Joshua kembali bergegas mengemasi barang-barang.

"Tapi ... Pak, saya nggak tahu harus kemana. Kami hanya ingin tinggal di suatu tempat."

"Nggak masalah, kalian bisa tinggal di rumah kami. Lagipun kami juga mau ke sana buat mindahkan barang-barang di mobil."

Joshua menyaksikan antar dua orang itu sedang melirik satu sama lain, memberikan isyarat kemudian beralih padanya, tersenyum ramah.

Joshua dan Hendra duduk menyantai di belakang, untunglah masih memuat banyak ruang untuk tubuh mereka walaupun mereka harus rela berdampingan dengan barang-barang yang lain, penuh sesak.

Sinar yang menembus kulit mereka kali ini tak terasa, yang akhirnya terpaan-terpaan membawa mereka pada kesejukan alami.

"Aku nggak nyangka, selama kamu bekerja dua minggu ini, ujung-ujungnya kamu kena masalah terus sama Pakde." Hendra teringat bagaimana Marzuki memperingatkan Joshua tadi pagi.

"Bukan begitu. Kamu tahu kan, kalau Pakde nggak suka orang luar kayak aku bekerja? Itu aja bersyukur beliau mau terima, karena aku butuh uang." Joshua menekankan ucapannya.

Memalingkan kepala sambil melihat sekeliling jalan raya, bangunan-bangunan yang berjejer apik melambai setelah melintasinya.

Ketika memasuki perempatan, dia terkesima dengan sebuah tugu yang berdiri di tengah-tengah. Didominasi cat putih dan emas dengan corak-corak klasik hingga bagian ujung meruncing ke atas dengan warna yang senada namun terlihat berkelas.

Orang-orang sekitar menjulukinya sebagai Landmark-nya daerah istimewa Yogyakarta.

"Hendra ... apa nama bangunan itu?" Joshua menunjuk-nunjuk, sebelum bangunan itu melambai menjauh.

"Itu namanya Monumen Tugu Jogja. Jangan bilang kamu baru mengetahuinya," ujar Hendra sambil menguap setelah beberapa saat kemudian terlelap dalam posisi terbaring dengan kaki-kaki yang menukik serta lengan kanan yang menjadi bantalan.

Joshua mendadak menemukan inspirasi atas apa yang dilihat barusan, lantas mencari-cari sesuatu yang dapat digunakan yaitu sepucuk amplop kusam kekuningan terhimpit di bawah barang-barang bawaan, tak lupa bolpoint yang selalu dia bawa.

Joshua membenarkan posisi duduk agar leluasa dan merasa nyaman ketika menorehkan kata-katanya.

Perjalanan mereka ternyata memakan waktu cukup panjang. Melintasi sebuah pemandangan yang belum pernah Joshua lihat sebelumnya, pemandangan dimana orang beramai-ramai berkumpul mengelilingi semacam gunungan makanan yang ditopang kayu, mereka tampak antusias menyediakan tempat menampung, siap-siap bila empat orang yang membawa gunungan itu memberikan secara percuma.

Itu menjadi sumber inspirasi baru dia untuk ditorehkan ke dalam bait berikutnya.

Mobil yang ditumpangi berbelok arah, menuju gang yang di apit dua tembok kiri-kanan hingga melalui kompleks perumahan berderet-deret. Kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah besar dengan hamparan halaman yang hijau asri. Perpaduan antara tradisional dan klasik yang begitu mengagumkan.

***

***

"Seharusnya saya bertanya dari awal. Sebelum itu perkenalkan saya Budiman, lalu siapa nama kalian?" tanya pria itu, membuka percakapan ketika mereka bertiga sedang makan malam di tengah meja bundar dengan hidangan seadanya.

"Saya Joshua Evans dan ini Hendra Gunawan," balas Joshua singkat. Sedangkan Hendra mengangguk dan mengiyakan.

"Kalian berdua anak rantau ya? Nampaknya kalian bukan orang sini."

"Ya, Pak Budi. Kami tinggal di sini sejak lama, tapi sekarang kami terpaksa mencari tempat lain karena boss kami sedang menutup kedai," sela Hendra, bergabung dalam percakapan.

Budiman lantas mengernyit.

"Loh? Kenapa tinggalnya di kedai toh?"

"Memang aturannya dari dulu begitu, Pak. Setiap karyawan yang bekerja di sana harus menetap tinggal di kedai," tanggap Joshua.

"Kalau kata boss kami biar nggak telat kerjanya. Padahal buka kedainya malam-malam, tapi nyiapin semuanya kudu dari pagi-pagi," sambung Hendra.

Budiman lantas manggut-manggut.

Mereka bertiga kembali menyantap seporsi nasi beserta lauk ayam goreng dan tumis kangkung dengan nikmat.

"Maaf. Kalau lauknya seadanya."

"Eh ... nggak apa-apa kok, Pak." Joshua menimpali di saat mulut terisi penuh.

Sejenak ada yang terasa kurang.

Dari tadi Joshua tidak melihat presensi wanita itu semenjak mereka menempati meja.

"Eumm, kalau boleh tahu, ibu bapak dimana?" Joshua lekas menanyakannya hingga Budiman nyaris tersedak usai menelan sesuap nasi.

"Oh, beliau tante saya. Kalau ibu saya sudah meninggal saat saya dilahirkan. Sekarang Mbok Susi sedang istirahat di dalam kamar. Beliau memang mudah capek dan sayalah yang mengurusnya. Dan sudah menganggap beliau seperti ibu saya sendiri."

"Jadi, Pak Budi hanya tinggal berdua saja?" tanya Hendra.

"Iya. Istri dan anak saya pulang kampung beberapa bulan. Karena Mbok nggak bisa ikut, jadi saya temani saja sekalian."

Entah kenapa, mendengarkan soal "ibu" tadi Joshua tergugu. Wajahnya mendatar dan kedua tangan mencekram pinggiran meja kuat-kuat, seakan dia ingin menahannya agar tidak tumbang.

Padahal hati dialah yang harus dipertahankan dari rasa goyah, meskipun ingatan-ingatan itu perlahan menumbangkannya akibat kesalahan yang telah diperbuat.

Masa-masa itu, masa seorang anak berani bersikap semena-mena terhadap orang yang selama ini berjasa kepadanya.



Hlm 02 | Jendela Joshua

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 763 31
[Rom-Com] Cerita klasik, picisan, dan cheesy tentang Chanyeol dan Wendy. Jane merupakan mahasiswi yang hobi ngegas sana-sini dan prinsipnya adalah se...
4.3K 648 17
[Cerita ini DISCONTINUED/ tidak akan dilanjutkan, berakhir pada chapter terakhir yang di upload author -ARE] ___ 18 tahun setelah Jia dan Wonwoo meni...
402K 2.4K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
Their Notes By vira

Teen Fiction

33.5K 4.1K 17
They met at the library. They talked trough the notes. He loved her, she doesn't know. cover by @rdnanggiap Copyright © 2015 by MeWriteLove