dearly | sukufushi

By pitike17

4.3K 565 48

Dari semua opsi yang berada di depan mata, Fushiguro Megumi berharap ada pilihan lain. Ia berharap seseorang... More

序幕
01: the little prince
02: trouble maker
03: reveal
05: boss

04: warning sign

647 84 15
By pitike17

"Dikabarkan tiga belas orang selamat, lima puluh sembilan orang luka ringan, enam puluh tiga orang meninggal dunia, dan lima belas orang masih belum ditemukan. Untuk saat ini tim penanggulangan bencana masih berusaha sebaik mungkin dalam usaha pencarian."

Kalimat-kalimat berita terdengar seperti dengung samar. Ketika lelaki pirang menyalakan televisi pagi itu, suasana ruang makan terasa aneh. Naobito, sang ayah sudah duduk di sisi meja, menyantap set sarapan tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

"Apa Fushiguro Toji sudah tiada?" Pertanyaan itu terucap dengan nada lirih. Naoya melirik sang ayah yang sibuk dengan sumpit dan makarel. Dalam diam pria itu menyuwir-suwir dagingnya hingga kecil.

"Ya," sahut Naobito lalu memasukkan satu suwir ke dalam mulut. Ia kemudian terkekeh pelan. Sang anak hanya menatap kosong, bergeming seiring kekeh berubah menjadi tawa kencang yang tanpa sadar membuat lelaki itu sesak.

"Mati dan tercecer di laut," imbuh si pria kemudian menyumpit serpihan lain.

Naoya masih terdiam. Melirik piring makarel sang ayah yang isinya sudah tak berbentuk, lalu membandingkan dengan miliknya yang belum tersentuh. Apa tercecer seperti itu? Sampai wajah dan tubuhnya tak dapat dikenali lagi?

"Sekarang kau tak perlu risau lagi," sebut Naobito seraya menepuk pundak Naoya, kemudian meremas pelan sebagai tanda peringatan tersirat.

"Orang yang selalu mengganggu otakmu sudah pergi untuk selama-lamanya."

Ingatan sepuluh tahun yang lalu tiba-tiba terbesit seperti mimpi. Zenin Naoya sudah berada di ranjang sekarang, selepas dipukul berulang kali dan ditembak pada kaki. Hidungnya mengernyit tak nyaman. Aroma disinfektan bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pasien rumah sakit. Tapi Naoya juga tidak dapat kabur jika bahkan kakinya saja tak dapat digerakkan. Pipi dan hidung lelaki itu masih terasa perih dan tersengat. Mata rubahnya membuka sayu, menyisir ruangan untuk mendapati pria beruban yang sudah menunggu sejak tadi.

"Kau gegabah," diktenya sembari memukul lengan Naoya dengan kepalan tangan. Berulang kali.

"Kau tidak memperhitungkan kerugian karena memancing Ryomen Sukuna," imbuh pria itu kemudian mencengkram lengan kuat-kuat.

Naoya tidak mengucap sepatah katapun, meski cengkram di lengannya meninggalkan bekas memerah. Sakit dan menyiksa.

"Sadari kesalahanmu di kamar ini sampai aku selesai membenahi perusahaan," ucapnya final seraya beranjak pergi.

Hanya sebentar. Pria itu tidak pernah berlama-lama untuk mendikte sang anak. Namun setiap perkataan, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya sudah mampu membuat Naoya tak berkutik.

Ayahnya, Zenin Naobito memang sekejam itu. Hingga tanpa bertukar pandang pun Naoya sudah tahu bahwa dirinya sekarang berada di ujung tanduk.

.

.

.

Berjaga di depan sebuah bar minuman bukan hal asing bagi Megumi. Setidaknya dalam seminggu, minimal ia melakukan ini sebanyak tiga kali--tentu bersama anggota geng yang berada di bawah pimpinannya sejak sekolah menengah pertama. Bukan hal yang sulit untuk seseorang yang pandai bela diri. Hanya saja, akan sangat menyebalkan bila klien tidak memberikan bayaran yang sesuai. Megumi akan bertindak, menarik kerah dan mengancam mereka. Namun biasanya hal itu tidak terjadi, kecuali pada sebuah peristiwa di mana orang-orang Ryomen--yang kebetulan bermusuhan dengan klien--merusak semuanya.

Malam ini harusnya tidak. Megumi dan anggota gengnya sudah berjaga selama satu jam. Belum ada hal-hal aneh atau mencurigakan terjadi. Sampai pada detik ini, detik di mana beberapa orang berjas hitam datang dan mengepung bar. Sebuah sedan berhenti di depan, lalu sosok berambut putih sebahu turun untuk membuka pintu mobil bagian tengah. 

Dan sosok yang paling tidak ingin Megumi lihat muncul, tersenyum sembari mengangkat pork pie di kepala yang berwarna senada dengan jas putihnya. Sepasang manik zamrud menatap tajam. "Mau apa?" tanya lelaki berambut legam itu seraya menghalangi pintu masuk  bar.

Pertanyaan tadi sejenak dibalas dengan kekeh pelan. Lalu sosok dengan rambut merah muda dan tato di wajahnya itu membungkukkan badan serta mengulurkan tangan. "Tuan Fushiguro Megumi, jet pribadiku sudah siap untuk mengantarmu ke Hokkaido."

Helaan napas lolos dari mulut sang ketua geng. Ia menepis uluran tangan Ryomen Sukuna dan balik berjaga ke sisi pintu. "Aku sudah bilang kalau aku tidak memerlukan jet pribadi ke Hokkaido, Tuan Ryomen Sukuna. Jangan mengganggu pekerjaanku dan pergilah."

"Jam berapa kalian selesai berjaga?" tanya pria itu kemudian mengambil sebatang cerutu dari saku jas, menaruhnya dalam mulut sementara sang asisten membakar sedikit ujungnya. Lalu asap tembakau dihembuskan di udara, menandakan bahwa saat ini si pria tidak peduli dengan usiran Megumi dan akan menunggu berapa pun lamanya. Tapi Megumi enggan menjawab. Ia hanya membuang muka dan membiarkan pertanyaan tadi berlalu seperti angin. 

"Pukul d-dua pagi," celetuk seorang anggota geng sembari tergagap. Megumi langsung melayangkan sorot tajam pada lelaki berjaket kulit itu.

"Masih tiga jam lagi. Kukira akan lebih lama," gumam Sukuna kemudian menengadahkan tangan untuk meminta jadwal kegiatannya. Sang asisten langsung menyodorkan tab dan membiarkan bosnya bekerja selagi masih berdiri di depan bar.

Dan Megumi masih enggan melakukan sesuatu. Ia tahu seseorang sepenting Ryomen Sukuna pasti punya banyak pekerjaan dan mengapa pria itu lebih memilih untuk menunggunya di tempat ini. Jelas lebih baik bekerja di kediamannya sendiri, dengan meja dan kursi serta ruangan yang hangat--bukan di tempat terbuka dan angin malam yang akan semakin dingin ini.

"Terserah," gerutu lelaki Fushiguro seraya beranjak dari pos jaganya. Ia pergi ke dalam untuk menghubungi Fujinuma. Sang tangan kanan sedang berdiri di depan pintu transaksi, menjadi penghubung antara anggota geng dengan klien mereka.

"Apa mereka masih belum menyelesaikan transaksinya?" tanya Megumi dengan nada terburu-buru.

Fujinuma menggeleng cepat, "Pembelinya baru saja masuk. Mereka sedang minum-minum. Gadis-gadis barnya juga belum masuk. F-Fushiguro-san, kurasa ini masih terlalu jauh dari kata selesai."

Megumi mendengkus jengah. Ini sungguh merepotkan. Di satu sisi ia lebih baik menunggu transaksi selesai dan mendapat ongkos tiket ferinya besok pagi, namun Megumi tidak suka membuat orang menunggu--apalagi seseorang sesibuk Ryomen Sukuna yang bebal dan tetap berdiri di depan bar bersama penjaga-penjaganya.

"Argh, kenapa dia tidak pergi saja?" geram Megumi kemudian kembali lagi keluar bar. Sukuna masih di sana, mendongak dan menatap sang pujaan hati yang baru saja tiba di sisi pintu.

"Pulanglah sekarang," bentak lelaki itu lagi, namun hanya dibalas geleng pelan dan ekspresi menyebalkan.

"Kenapa tidak?"

"Karena aku menunggumu," jawab Sukuna sembari menandai sesuatu di tab dengan jarinya.

"Bagaimana kalau tidak usah menungguku? Aku terbebani," sahut Megumi dengan raut jengah. Dalam penglihatan Sukuna, ia sudah seperti seseorang yang malu karena dikunjungi kekasihnya. Sangat lucu dan manis.

"Aku tidak," sahut pria merah muda itu kemudian tersenyum lebar.

"Bagaimana kalau kau saja yang mempercepat orang di dalam sana agar aku bisa segera selesai?"

Manik merah melirik, beralih dari tab di tangannya. "Ide bagus," ucap Sukuna sembari meraih pistol di pinggangnya.

"Kau mau menembaknya? Dan membuatku tidak dibayar lagi seperti kemarin?" panik Megumi seraya mengambil satu langkah maju.

Sukuna hanya terkekeh sebagai balasan, lalu mengantongi pistolnya kembali. "Aku hanya ingin memegangnya saja, sayang. Tidak perlu takut," ucap pria itu kemudian berjalan memasuki bar seorang diri. Megumi mengekor di belakang, memastikan Ryomen Sukuna tidak berbuat macam-macam--walaupun sebenarnya mendobrak pintu ruangan transaksi di dalam bar sudah tergolong macam-macam.

"Oh, Jogo-san dari Kagoshima dan-- Hanami-san? Bisa kalian percepat transaksinya?" tanya Sukuna sambil bersandar di  ambang pintu layaknya seorang model yang tengah menunggu difoto. "Aku dan kekasihku--," sebut si pria sembari merangkul pundak Megumi, "--punya janji untuk bulan madu."

Semua orang termasuk Fujinuma terkejut atas pertanyaan barusan, apalagi Megumi yang sekarang sudah menelan ludah sebanyak tiga kali saking gugup dan bingungnya. Kliennya sekarang sudah panik. Beberapa orang kalang kabut untuk menukar koper coklat besar dengan kotak beludru berukuran sedang. Dalam lima menit orang-orang di dalam sana sudah selesai melakukan kegiatannya.

"Ternyata menjadi pebisnis yang berbahaya dan suka mencari masalah ada untungnya juga," gumam Sukuna seraya berlalu dari bar. Klien dan anggota geng Megumi juga berhambur keluar setelah itu, membuat bar yang mereka jaga mendadak sepi.

Ponsel di saku celana lelaki Fushiguro bergetar, sebuah notifikasi transfer muncul di layar, ditambah beberapa ratus ribu yen bonus yang entah mengapa diberikan kepadanya. Megumi membagi hasil pekerjaan pada rekening semua anggota lalu kembali pada Sukuna, menyuruhnya pulang untuk yang terakhir kali.

"Aku sudah selesai di sini. Jadi pulanglah. Aku harus bangun pagi untuk naik kapal ke Hokkaido," sebut Megumi cepat kemudian berlalu ke area parkir bar untuk mengambil sepeda motornya.

Namun tiba-tiba langkahnya ditahan beberapa penjaga. Megumi menendang ke belakang dan menumbangkan satu, kemudian melayangkan beberapa pukulan untuk menumbangkan yang lain. Padahal malam ini ia rasa tidak akan ada ajang untuk bertarung, tapi sekarang, demi bisa kembali ke kedamaian kamarnya di apartemen, Megumi harus menghajar beberapa suruhan.

Sampai tanpa sadar seseorang sudah berada di belakang lelaki itu dan membekap mulutnya dengan saputangan beraroma kloform. Kepalan tangan yang hendak memukul lagi berangsur kehilangan tenaga. Lalu tubuhnya jatuh dalam rengkuhan Ryomen Sukuna--yang juga membuat Megumi hilang kesadaran tadi.

"Maaf, sayangku. Kalau tidak dibius, kau akan menyia-nyiakan satu tiket untuk naik pesawat jet pribadiku," gumam Sukuna sembari menggendong Megumi ke dalam sedan.

Mobil itu melaju cepat meninggalkan bar, juga Fujinuma yang tengah memproses kejadian barusan dalam kepalanya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya--asisten Ryomen Sukuna yang berambut putih sebahu. Sosok itu menyodorkan tab yang sejak tadi digunakan bosnya, menunjukkan sebuah surat yang harus ditandatangani Fujinuma.

"Apa ini?" tanya lelaki berjambul itu sembari membaca isinya. "Bersama surat ini saya menyanggupi permohonan untuk mengemban tugas sebagai pimpinan geng selama Fushiguro Megumi tidak berada di tempat."

Kedua mata Fujinuma membulat sempurna, terkejut dengan isi surat yang baru diberikan oleh asisten Ryomen itu. "Tanda tangan saja. Kalau Anda dan anggota geng memiliki masalah, silakan hubungi saya," sebutnya sembari menelusupkan sebuah kartu nama ke dalam saku jaket.

Tangan kanan Megumi itu memilih untuk menurut, membubuhkan tanda tangan di bawah surat kemudian mengembalikannya pada sang asisten.

"Terima kasih," ucap sosok itu kemudian berlari ke arah area parkir.

Fujinuma menghela napas sejenak, mencoba menenangkan diri selepas pengambilan paksa Megumi. Sembari menyusuri trotoar, ia bergumam pelan, berharap tidak ada hal aneh yang terjadi.

"Semoga Fushiguro-san baik-baik saja."

.

.

.

Wilayah utara Jepang memang terkenal dengan iklim dingin. Salju turun hampir sepanjang tahun hingga orang-orang mendirikan resor ski dan penginapan yang menyajikan makanan hangat. Gojo Satoru adalah salah seorang pemilik, mungkin yang paling berpengaruh di wilayah utara, terutama Hokkaido. Apabila para pejabat ingin mencari liburan bersalju paling nyaman, maka orang yang paling tepat untuk mereka hubungi adalah lelaki berambut putih bermarga Gojo itu.

Bahkan sesepuh klan Zenin yang memiliki perusahaan konstruksi terbesar di Tokyo juga memesan tempat pada Gojo Satoru. Malam ini Zenin Naobito datang ke restoran, memesan seporsi besar jingisukan serta bir, dan berbincang dengan sang pemilik.

"Untuk seseorang yang hampir tiga perempat abad, kau cukup nekat untuk datang kemari," sebut Gojo sembari memperhatikan pak tua itu menyeruput kuah sup.

"Aku tidak ke sini untuk bermain ski," sahut Naobito sembari menyeka bibirnya dengan serbet, "makanannya enak."

"Sebuah kehormatan untuk mendapatkan pujian dari ketua klan Zenin," balas lelaki itu dengan nada culas. Pria di hadapannya tertawa keras sambil memegangi perut.

"Apa kau senang mendapat pujian dari kakek tua sepertiku?"

Sepasang manik biru menatap lurus, tajam seiring kedua tangan Gojo dilipat di depan dada. "Sebenarnya tidak sama sekali. Apa tujuanmu kemari, kakek tua? Cucumu ada di Tokyo."

"Sejujurnya aku tidak peduli dia ada di mana. Aku hanya ingin menjenguk mantan calon menantu klan Zenin setelah sepuluh tahun tragedi kecelakaannya."

Gojo terdiam sejenak. Sepuluh tahun itu waktu yang jelas-jelas lama. Tapi pundaknya tetap bergetar setiap orang-orang mengungkitnya. Karena saat memikirkan hal itu, Gojo hanya akan menyalahkan diri sendiri dan alasan remeh mengapa ia memaksa Fushiguro Toji untuk pergi ke Hokkaido juga menyeret sang kekasih dalam bahaya.

"Dia bahkan bukan anggota klan Zenin," ucap Gojo setelah beberapa saat, "dan aku bukan mantan calon menantu kalian."

Naobito terkekeh, mengusap jari pada embun di gelas bir dan membuat kulitnya basah. "Darah lebih kental daripada air. Walaupun begundal itu menempelkan nama mendiang istrinya di atas marga asli. Fakta bahwa ia lahir sebagai anggota klan Zenin tidak bisa ditutupi."

"Lalu apa hubungannya denganku?" tanya lelaki berambut putih itu sembari meraih gelas anggurnya, menghirup aroma manis dan asam sebelum mencicip sedikit.

"Kupikir kita harus mulai menjalin hubungan persaudaraan."

Sebelah alis Gojo naik. Ia memasang ekspresi skeptis pada tetua klan di hadapannya. Kemudian tanpa ragu bangkit dari kursi restoran untuk angkat kaki dari sana. Lelaki itu sudah menduganya, bahwa cepat atau lambat Zenin Naobito akan datang kemari dan meminta sebuah kerja sama untuk memperluas kekuasaan klan.

Dan Gojo sangat tidak suka dimanfaatkan.

Pada meja berisi jingisukan, Naobito masih di sana, duduk dan memasukkan supnya ke dalam mangkuk kecil. Pria itu terkekeh sebelum menyeruput kuahnya lagi, melahap makanan enak yang sempat ia puji.

"Padahal kukira aku tidak akan perlu melukaimu lagi, Gojo Satoru."

.

.

.

To be continued

Mulai sudah ini plot rumitnya. Btw, btw, apakah di antara kalian yang membaca ada yang merasa bingung? Kalau ada katakanlah padaku agar aku bisa berinteraksi dengan Anda-Anda semua~

Oke? Okelah!!

Sampai jumpa pada updetan yang selanjutnya~

Continue Reading

You'll Also Like

111K 9.7K 22
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...
283K 24.1K 36
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
52K 11.4K 131
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
311K 3.5K 79
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...