The Scar We Choose βœ”

By Taeslandlady

80.6K 11.3K 10.4K

[ Cerita tamat. Chapter lengkap GRATIS! Namun hanya via PDF, dan hanya bagi yang sudah follow + drop email di... More

Prologue: Black Silhouette
1: Noon Talks
2: First-Timer πŸ”ž
3: Unfamiliar Feeling
4: Initial JK ( republish )
5: Impedance
6: Ghost from The Past
7: The Essential of Necessity
8: Red Dahlia πŸ”ž(PDF)
9: Flaming Heart
10: Jealousy πŸ”ž(PDF)
11: Sense
12: Pristine Anger
13: Dragged Across Reality
14: Broken Fragments
15: Big Ego
16: Awakening πŸ”ž
17: Gone for Good
18: Blood Money
19: Pain πŸ”ž(PDF)
20: Lost & Found
21: Discouraged
22: Deep in Depth
23: The Final Distance πŸ”ž(PDF)
24: In The End of Winter
25: Inconvenient Truth
26: Darkest Winter
27: Dantae and His Punishment
28. Hardest Goodbye
29. Thick Red Firework
30. Forgiven Souls
31. That Scar
32. Echoes of Memories
33. Meticulous Surrender
34. How the Autumn Ends, How We Meet Our End
Perihal Bonus Chapter

Epilogue: White Shilouette

1.5K 298 266
By Taeslandlady

Hai, sebelum mulai membaca, aku cuma mau bilang, aku punya hidden chapter lanjutan bab terakhir kemarin (bab 34). Seperti biasa, hidden chapter ini berlabel "mature", ada tanda 🔞nya, maka ga akan aku publish terang-terangan di sini. Hanya yang FOLLOW (aku akan tandain) yang akan aku kasih akses. Jadi, kalau mau hidden chapternya, silahkan FOLLOW akun ini dulu ya :) Kalau ketauan ga follow tapi minta hidden part, aku ga akan kasih. Bagi yang udah follow, silakan komen "done", akan kukirim semuanya serempak di tanggal 30 Desember 2023 hingga batas waktu yang ga ditentukan.

(Komen done di DM juga boleh sekalian setor alamat email ya)
.

.

Taehyung melihat kehidupan seperti baris-baris dalam sebuah partitur musik. Tiap unsurnya membentuk nada berbeda, tiap not yang dipijaki akan membawanya ke pengalaman yang beragam. Melodinya tidak selalu lembut dan harmonis, ada kalanya ia harus melalui ketidaksempurnaan, namun karena inilah tiap babak kehidupan yang telah dilalui dalam prespektifnya menjadi begitu berarti dan tak terlupakan.

Sudah hampir dua tahun Isabelle kembali bersamanya setelah tujuh tahun perpisahan yang penuh makna. Setelah pasang surut kehidupan yang memberi keduanya banyak pengalaman yang tak terkisahkan. Dan satu tahun yang lalu, mereka memperbatui perjanjian pernikahan di rumah pantai ini, di tempat Taehyung berpijak kini, disaksikan oleh birunya langit yang terbentang luas dan segarnya angin laut yang meniup seluruh semenanjung. Tidak ada yang lebih mereka butuhkan daripada kehadiran masing-masing untuk saling melengkapi.

Penanda waktu pada oven berdenting, Taehyung tersadar dari lamunan yang dari tadi dia lepaskan jauh ke tengah-tengah lautan yang seakan tanpa batas dengan ombak berlapis-lapis. Dia meninggalkan patio untuk kemudian masuk ke dalam bagian belakang rumah melalui satu pintu kayu ganda bergaya Perancis. Gemuruh desiran laut yang seakan tak pernah tidur masih bisa menembus gendang telinganya ketika Taehyung membelah dapur dan tiba di depan pemanggang besar bergaya modern minimalis. Dia mengambil sarung tangan tebal anti panas, membuka penutup oven, lalu mengeluarkan satu loyang kue bundar berbau manis vanila dan mentega yang menggiurkan.

"Oh, sudah masak?"

Taehyung berpaling ke balik bahunya, pada sumber suara yang baru saja didengarnya. Seorang pria dengan lengan baju menyingsing hingga siku dan menampilkan lengan kanannya yang penuh seni rajah tubuh sudah berdiri di sisi counter yang berseberangan dengannya.

"It's all yours," ucap Taehyung seraya meletakkan kue tersebut dia atas permukaan keramik yang berkilau bersih.

Jungkook mengambil apron dari laci counter dan melilitkannya pada pinggang. "Baiklah, tinggalkan saja padaku. Aku akan mengurusnya mulai dari sini."

"Yakin tidak butuh bantuan?" tanya Taehyung.

"Aah, ke mana semua perempuan di sini," keluh Jungkook dengan raut dramatis, "mengapa isi dapur ini hanya pria?"

Taehyung tertawa, tahu bahwa Jungkook tidak bersungguh-sungguh melemparkan pernyataan misoginis semacam itu, tapi dia menganggap lelucon retoris tersebut sebagai sesuatu yang memang butuh jawaban. "Isabelle masih bersiap-siap di atas," balasnya, "dan karena istrimu sedang hamil, berikan dia pengecualian."

Jungkook membuka kompartemen dinding tak jauh dari tempatnya berdiri, lalu mengeluarkan beberapa peralatan menghias kue dari dalamnya. Dia menyisihkan benda yang tampak seperti rak mini dari besi dan bergerak hati-hati meletakkan penganan manis itu di atasnya.

"Ngomong-ngomong, terima kasih karena sudah menyiapkan kamar kami dengan sangat baik," sebut Jungkook. Dia berjalan ke arah kulkas, membuka pintunya, lalu kembali mengeluarkan beberapa benda dari dalamnya. Ini bukan kali pertama dirinya, Marin beserta Kaito, menginap di rumah pantai milik Taehyung dan Isabelle. Sekali pada berbulan-bulan sebelumnya, ketika ingin mengurusi sekelumit hal di Rabbit Pit cabang Seoul, rumah pantai ini juga sempat menjadi tempat menginap mereka selama sepekan.

"Bantal kehamilan itu ... benar-benar ide yang luar biasa," ujar Jungkook lagi, "bagaimana bisa kau memikkirkan hal-hal semacam ini?" Dia meletakkan selembar lapisan *fondant yang sudah dipersiapkan ke dalam piring khusus, lalu bersiap membentuknya dengan sebilah pisau kecil selagi Taehyung masih berdiri memerhatikan di sisi seberang counter.

(*lapisan tipis yang padat dan manis berbentuk lembaran yang biasanya digunakan untuk menghias kue)

Untuk menjawab pertanyaan Jungkook, Taehyung mengangkat bahu, "Hanya merasa itu memang hal yang harusnya dilakukan," jawabnya.

Gerakan tangan Jungkook terhenti. Pisau dekoratif khusus kue yang sedang digenggamnya hanya menggantung di atas permukaan fondant. Taehyung tidak pernah benar-benar mengalami bagaimana rasanya mendampingi wanita yang dicintainya melalui masa kehamilan dengan baik, suatu hal yang bagi Jungkook teramat membahagiakan. Dia pikir, mungkin alam bawah sadar pria itu masih merindukannya. Laki-laki mana yang memikirkan bantal tidur untuk kehamilan? Belum lagi di hadapannya, pandangan Taehyung mendadak kosong. Pria itu menatap kue yang sedang Jungkook hias, tapi dengan sorot yang terlihat hampa.

"Pernah memikirkan untuk memiliki bayi lagi?"

Lamunan Taehyung terputus. "Maaf, apa?"

"Tuan Ahn, kau terlihat siap untuk memiliki bayi lagi."

Taehyung terperanjat. Selama lima detik dia hanya menatap Jungkook tanpa sanggup memberi balasan.

"Maaf kalau perkataanku sedikit lancang dan terlalu mencampuri urusan pribadimu," sebut Jungkook lagi. Dia menyelimuti kue dengan lapisan fondant yang sudah dibentuknya sedemikan rupa, lalu beralih pada mangkuk berisi semacam cairan berwarna biru tua yang terlihat kental.

"Tidak, tidak. Aku tidak keberatan sama sekali," ujar Taehyung.

"Jadi?"

Taehyung mendesah berat. "Ya, aku siap untuk memiliki bayi lagi. Maksudku, siapa yang tidak mau memiliki anak secemerlang Kaito?"

Jungkook tersenyum dengan dengkusan yang pelan. Dua tangannya cekatan menuangkan lapisan kental itu pada kue hingga membuat permukaannya mengilap. "Dia sudah delapan tahun, mulai memasuki fase pencarian jati diri, dan itu sedikit membuatku pusing. Dia banyak bertanya--selalu banyak bertanya. Jawaban apa pun yang kuberi tidak pernah membuatnya puas. Anak itu tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih kritis dibanding anak-anak seusianya."

Jungkook menggeleng-geleng kecil sambil tertawa pelan, dan itu membuat pria di hadapannya tersenyum hangat. Taehyung teringat pada perdebatan kecilnya dengan Jimin tentang kemungkinan sosok yang menjadi ibu Kaito. Saat itu, dia lega bukan main ketika mengetahui bahwa Kaito adalah anak Jungkook bersama Marin. Namun di sisi lain, sebagian kecil dirinya ingin situasi menjadi sebaliknya.

Taehyung merasakan hatinya perih. Dia merindukan kehadiran seorang bayi lagi.

Tuan Ahn?

"Tuan Ahn?"

Taehyung terlepas lagi dari lamunannya. Suara Jungkook yang ternyata sudah memanggilnya berkali-kali lekas menyadarkannya.

"Y-ya?" jawab Taehyung terbata.

"Bagaimana? Kau suka?"

Pandangan Taehyung jatuh pada sebulatan besar kue yang sudah dihias oleh lapisan mengilap seperti lukisan galaksi. Berwarna biru tua dengan bias hitam keunguan, juga titik-titik putih bak bintang yang tersebar di langit.

"Bagaimana caramu melakukannya secepat itu?" tanya Taehyung takjub.

"Aku tidak melakukannya dengan cepat, kau yang sepertinya meninggalkan bumi sedikit lama," goda Jungkook.

Taehyung tersipu menyadari Jungkook melihatnya melamun. "Maaf, aku hanya ..."

"Tidak perlu kau jelaskan padaku, Tuan Ahn. Aku mengerti."

Taehyung mendesah lagi. "Aku jadi memikirkannya," sebutnya pelan, tapi Jungkook dapat mendengarnya dengan baik.

"Soal memiliki anak lagi?" tanya Pria Jeon itu. Taehyung mengangguk samar.

"Ya, aku menginginkannya, tapi kehilangan Sora adalah masa-masa yang berat bagi Isabelle."

Dan tidak ada yang lebih memahami ini daripada Jungkook sendiri. Dia ingat melalui masa itu bersama Isabelle. Masa-masa yang memang berat, pelik, entah berapa kali Isabelle hampir luput mengendalikan hidupnya. Kesedihan yang dirasakannya terlalu getir bila disandingkan dengan apa pun. Yang membuat wanita itu kuat hanya keinginannya untuk meneruskan mimpi mendiang ayahnya, melihatnya sukses meraih gelar dokter. Jungkook menyetujui ucapan Taehyung itu meski tanpa suara. Dia sengaja tak mengeluarkan sepatah kata pun agar Taehyung dapat bercerita dengan nyaman.

"Aku akan menunggu hingga Isabelle yang menginginkannya," sambung Taehyung lagi, "aku tidak akan menyatakannya lebih dulu."

Jungkook mengangguk paham. Lagipula, percakapan seperti ini pasti bukan sesuatu yang Taehyung inginkan untuk berlangsung lebih lama, maka Jungkook kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Bagaimana kau ingin aku menulis kata-kata di atas kuemu?" tanya Jungkook setelah yakin semuanya sudah 95% rampung.

"Umm, bagaimana kalau kalau hanya namaku dan angka 39 saja?"

"Bukankah itu terlalu klise?"

Taehyung meringis. "Aku payah dalam hal ini," katanya.

"Oke. Bukan masalah besar. Namamu dan angka 39 juga sudah bagus. Yang sederhana memang cocok untukmu, Ahjussi," kelakar Jungkook.

Taehyung tertawa. Dia mengulurkan tangan ke depan dan menepuk pundak Jungkook di sisi seberang counter, "Terima kasih. Chef terkenal seantero Jepang dan Korea memasak kue ulang tahun di dapurku, bisa kau bayangkan itu?" balasnya juga dengan sedikit kelakar, dan Jungkook hanya menggeleng-geleng kecil dengan cengiran di bibir.

Taehyung meninggalkan dapur dengan perasaan yang lebih ringan. Senyum tipis di bibirnya masih belum hilang ketika dia menaiki tangga menuju lantai atas. Dia menengadah ketika mendengar derap kaki yang melangkah cepat menyusuri lantai dua. Sedetik kemudian, anak lelaki tampan dengan mata sebulat almond muncul di batas tangga teratas.

"Ingin bermain keluar lagi, Kaito?" tanya Taehyung dengan bahasa Jepang yang fasih. Walau berdarah Korea murni, Kaito tidak dapat berbahasa Hangul selancar ia berbahasa Jepang, maka Taehyung, yang untungnya bisa berbahasa Jepang, lebih sering mengajaknya berdialog dengan bahasa tanah kelahiran anak itu.

"Ya, aku ingin membuktikan sesuatu!" jawab Kaito bersemangat. Dia tidak mau repot-repot menunggu balasan Taehyung dan meluncur menuruni tangga secepat kilat.

Ketika Taehyung baru akan melanjutkan langkahnya lagi, Marin mendadak muncul, juga dari lantai atas. Sepertinya wanita itu baru saja keluar dari kamar. Perutnya sudah jauh lebih besar dari terakhir kali Taehyung melihatnya beberapa bulan lalu. Marin bahkan terpaksa menopang belakang pinggangnya dengan kedua tangan, tapi anehnya dia tetap bisa melangkah dengan cekatan.

"Kaito! Pakai jaketmu! Kau sedang pilek!" Marin berseru. Dia menyerah menuruni tangga sebelum tiba sejajar dengan Taehyung. Melihat Kaito melesat terlalu cepat, Marin sepertinya mengurungkan niatnya untuk menyusul. Dia tak akan sanggup mengejar. Tidak dengan perut sebesar itu. "Dia baru saja mendengar cerita tentang *bulgasari dan sekarang ingin melemparkan seluruh koin yang dia punya ke dalam laut," keluh Marin yang sudah terlihat pasrah.

(*monster laut dari mitologi Korea, berbadan anjing dan berkepala gajah, kadang juga digambarkan berkepala babi hutan. Monster ini akan semakin besar jika memakan logam)

Taehyung tergelak pelan. "Bagaimana tidurmu, Nona Jang?"

"Luar biasa," ujar Marin. Matanya jadi berbinar. "Dan bantal kehamilan itu ... apa itu ide Isabelle?"

"Tidak. Itu ideku. Tapi Isabelle juga pasti akan menyarankannya jika aku belum melakukannya kemarin."

Marin mengucapkan terima kasih melalui gerakan tangannya yang dia tangkupkan di depan dada, "Itu sangat brilian," ungkapnya, "nah, sekarang, ke mana anak itu pergi? Aku akan menyuruh ayahnya untuk menyusulnya dan memakaikannya ini." Marin menunjukkan sebuah jaket yang ternyata sudah disampirkannya di salah satu lengannya.

"Jungkook masih di dapur, masih menyelesaikan kuenya," Taehyung memberitahu.

"Bagus. Aku bisa mengambil alih itu dan menyerahkan mandat untuk mengejar Kaito padanya."

Taehyung melipat bibir untuk menahan senyum ketika Marin akhirnya turun melewatinya. Ulang tahunnya kali ini benar-benar meriah. Drama dari keluarga kecil ini memberi warnanya sendiri, juga kehangatan yang diam-diam dirindukannya.

Taehyung melanjutkan langkahnya lagi, menaiki tangga, menyusuri lorong panjang lantai dua hingga tiba di sebuah pintu. Ketika membukanya, dia bisa merasakan terpaan angin yang mengalir masuk melalui salah satu jendela yang terbuka, juga wangi manis bunga bluebell yang memenuhi kamar.

Tidak sulit untuk mencari keberadaan Isabelle di sana. Di birai jendela yang terbuka lebar, wanitanya tengah berdiri memunggungi. Rambut cokelat gelapnya digelung separuh leher, sekelumit helai-helainya dibiarkan lepas, menyapu pundaknya lembut, salah satu fitur dirinya yang menjadi favorit Taehyung akhir-akhir ini. Bagian bawah gaun panjangnya yang berwarna putih berkibar pelan, lalu jatuh, lalu berkibar kembali seiring angin laut yang terus berembus. Tirai-tirai di sekelilingnya semakin menyelaraskan semua pemandangan yang tengah Taehyung saksikan. Siluet putih, menenangkan, dan dia nyaris kehilangan kemampuan bersuaranya ketika Isabelle berbalik.

"Kau terlihat cantik mengenakan gaun ini," puji Taehyung. Dia semakin mendekatkan diri, selangkah demi selangkah, sampai akhirnya dia bisa memeluk pinggang Isabelle dengan lebih leluasa. "Rasanya aku ingin menikahimu untuk yang ketiga kali," bisiknya lembut di samping wajah Isabelle. Dia mengecup sang istri, dan kecupannya tak cukup sekali, tak berhenti hanya di bibir, kalau saja Isabelle tak lekas menghentikannya.

"Biasanya kalau sudah begini, kau jadi mau yang lainnya," Isabelle berusaha menghindar walau tanpa mengerahkan tenaga yang berarti.

"Bolehkah? Masih ada sekitar lima belas menit sebelum Jimin dan Jihee datang."

Dua tangan Taehyung tidak tahan untuk tidak menelusuri garis punggung Isabelle. Perlahan, hati-hati, membawa sosok ramping di dalam dekapannya itu semakin rapat padanya. Gerakan mendambanya berlabuh sebentar di pinggang, lalu meremasnya, tidak kuat, namun cukup untuk menggambarkan betapa dirinya menginginkan Isabelle saat ini juga. Dia mengerang kecil ketika wanita di dalam pelukannya berhasil melepaskan diri dengan penoolakan yang halus.

"Kita punya lebih banyak waktu setelah selesai acara," terang Isabelle. Dia mengganti pelukan Taehyung dengan sekilas ciuman lembut pada bibir.

"Tapi aku mau sekarang," balas Taehyung.

"Tuan Ahn."

"Nona Takahashi."

"Taehyung, aku serius."

"Tidak ada yang lebih serius daripada ini. Siapa suruh berdandan secantik ini?"

Isabelle menepuk pundak Taehyung yang kembali memeluknya dengan pukulan pelan. "Aku berdandan hampir satu jam untuk ini," dalihnya.

"Dan aku bisa membuatnya tetap terlihat sempurna. Tidak akan ada yang menyadarinya."

"Taehyung ...."

"Please?"

Satu klakson melengking nyaring. Taehyung tahu betul, walau tanpa memastikan terlebih dahulu, klakson ini adalah milik mobil Jimin. Dia kembali mengerang kecewa karena terpaksa melepaskan pelukannya untuk yang kedua kali, lalu berjalan ke tepi jendela. Sesuai dugaannya, Jimin sudah datang. Pria itu menggunakan mobil dengan kap terbuka, Taehyung bisa melihat Jihee melambai padanya dari kursi sebelah.

"Pergilah. Pestanya dibatalkan!" teriak Taehyung, dan teriakannya itu membuat Isabelle menghadiahi sebuah pukulan lagi di pundaknya.

"Kami sedang bersiap. Masuk saja!" timpal Isabelle. Dia juga berteriak dari pinggir jendela pada Jimin dan Jihee yang sengaja memasang wajah kesal dengan dramatis.

"Bohong! Kami sedang kencan," balas Taehyung sambil terkekeh, "makanya, pulang saja! Sana! Putar balik mobilmu."

Jihee menggeleng tak percaya, sementara Jimin balas berteriak, "Pacaran terus, kapan bikin anaknya!" dengan dua tangannya yang membuat corong mengelilingi mulut.

"Untuk apa? Untuk ditinggalkan terus-terusan dengan neneknya seperti yang kalian lakukan?" Taehyung kembali membalas. Tawanya makin merekah. Sungguh, saling balas mengerjai seperti ini tidak pernah terasa membosankan.

"Itu namanya me time! Justru bikin makin mesra!"

"Me time tapi terus-terusan!"

"Maka itu, coba dulu biar tahu rasanya!" balas Jimin masih dengan berteriak. Di sebelahnya, Jihee yang sudah bosan dengan kelakuan kekanak-kanakan antara Taehyung dan suaminya itu lekas membuka pintu mobil dan turun sambil menyampirkan tasnya pada bahu.

"Aku akan masuk kau suka atau tidak suka," seru Jihee pada Taehyung, "aku bisa melihat Isabelle frustrasi di balik bahumu."

Taehyung semakin terkekeh. Ketika dia melihat Jimin mengikuti Jihee turun dari mobil, dia ikut-ikutan mundur meninggalkan jendela. Ada kelegaan tertentu yang merebak di dadanya, dan sebagian besarnya karena keberadaan rumah pantai ini. Uang itu, uang yang menjadi titik dari seluruh tragedi yang terjadi sembilan tahun lalu, sudah mereka pergunakan dengan sangat baik. Inflasi memang membuat nilainya sedikit menurun setelah hampir satu dekade mengendap di rekening lama milik Isabelle, tapi nominalnya masih sanggup membangun rumah pantai seluarbiasa ini, juga mewujudkan keinginan Isabelle untuk mendirikan sebuah klinik di tengah kota.

Klinik sederhana, namun memiliki makna besar di balik namanya. Klinik yang menjadi tempat Isabelle menghidupkan kembali memori tentang ayahnya. Di bagian depan, sebuah tulisan berukuran besar terukir pada dinding batunya; Kazuo's Hope Center.

Senyuman yang hangat mengembang di bibir Taehyung. Dia merasakan lagi bagaimana kaki-kakinya melangkah dengan lebih ringan. Beban-beban yang bersarang di pudaknya kini sudah tak bersisa lagi. Tujuan hidupnya menyempit menjadi sesuatu yang begitu mudah untuk digapai, seolah-olah jalan dengan batas tegas membentang di hadapannya dan dia tinggal mengikuti jalurnya saja. Ini semua berakhir sejalan dengan harapannya, setidaknya begitu pikir Taehyung, hingga suara Isabelle yang tengah menantinya di ambang pintu terdengar lagi,

"Bolehkah aku memberi hadiahmu lebih cepat?"

Walau ucapan Isabelle membuatnya bingung, Taehyung tetap menyusul hingga jarak mereka begitu dekat. "Tentu," jawabnya. Tangannya mendekap lagi pinggang Isabelle dengan lembut. "Sayang, kau tidak perlu meminta izin hanya karena ingin memberiku hadiah lebih cepat," sambungnya. Jemarinya menyelipkan beberapa rambut yang jatuh di pipi Isabelle ke belakang telinga. "Jadi, apa hadiah untukku? Oh, apa ini ada hubungannya dengan benda yang sedang kuinginkan akhir-akhir ini?"

"Taehyung, aku sudah terlambat dua bulan."

Ucapan Isabelle yang tiba-tiba menyambar itu membuat Taehyung terkesima. Matanya mengerjap beberapa kali. "Kau apa?"

"Aku sudah melakukan tesnya, dan hasilnya positif."

"Sayang, apa itu artinya ..." Taehyung berusaha berkata, namun lidahnya terasa berat, dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Lima detik kemudian dia kembali mencoba, "Apa itu artinya ..." Tapi lagi-lagi dia gagal. Sesuatu seperti menjalar dan menari-nari memenuhi diafragmanya. Kupu-kupu. Ribuan, bahkan jutaan kupu-kupu. Taehyung seperti bisa menebak ke mana ini semua akan berakhir.

Isabelle mengangguk. Satu senyuman yang begitu sempurna menjelma di garis bibirnya yang menipis. "Ya, Taehyung. Aku hamil."

Dan semuanya berakhir jauh di atas harapan Taehyung. Dia lekas memeluk Isabelle, melirihkan frasa aku mencintaimu berkali-kali, lalu melepas pelukannya hanya untuk mengecup bibir Isabelle kemudian kembali memeluknya erat. Taehyung kewalahan, dalam arti yang baik. Baru kali ini dia merasa seakan keberuntungannya tak pernah usai.

Taehyung baru bisa menguasai dirinya lagi ketika Isabelle menepuk punggungnya lembut sebelum melepaskan pelukan. Dia mengembuskan nafas yang panjang. Wajahnya terlihat luar biasa puas.

"Ayo. Yang lain sudah menunggu," ujar Isabelle. Dia menarik tangan Taehyung, membuat pria itu mengikutinya menuruni tangga, lalu berpaling sekali lagi hanya untuk memberi Taehyung senyum terbaiknya dan memastikan pria itu sudah bisa menguasai dirinya dengan benar. Kadang-kadang, Taehyung yang terlampau gembira itu bisa terlihat dengan jelas, dan kadang-kadang juga bisa membuatnya sedikit ceroboh. Pemikiran ini membuat Isabelle menggeleng kecil dengan tawa yang terlepas samar.

Pintu utama mulai terlihat. Suara-suara riuh yang sayup milik Jungkook, Jimin, Jihee, Marin dan Kaito yang sudah berada di luar, perlahan-lahan terdengar semakin jelas. Jihee mengomeli Jimin tentang betapa dirinya ingin menebas kepala Pria Park itu karena menyentuhkan ujung jarinya pada kue, sedangkan suara Marin melengking nyaring ketika menyuruh Kaito keluar dari bawah meja dan duduk dengan sopan pada kursi yang sudah disediakan. Semuanya begitu meriah. Tawa yang semakin terangkai, bau manis mentega bercampur vanila yang masih tersisa di udara. Angin laut yang segar. Deburan ombak. Burung camar yang menyelaraskan harmoninya. Untuk yang ke sekian kali, Taehyung tersenyum hangat. Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakannya daripada ini.

Taehyung melembutkan pandangannya pada Isabelle, pada siluet putih yang menuntun jalannya. Di hadapannya, Isabelle membuka pintu yang dalam sekejap lekas melimpahkan terang, dan semua yang ada di balik cahaya itu adalah lembar-lembar cerita mereka yang baru, lembar-lembar yang akan mengisahkan pada kedua insan yang tengah bergandengan tangan ini, juga pada kehidupan baru yang akan lahir setelahnya, bahwa sesuatu yang menyebabkanmu terjatuh, akan membuatmu bangkit berkali-kali lebih tinggi.

- The End -

.

.

Waaaah akhirnya tamat jugaaaa.... Untuk Epilog ini, aku sengaja ngambil lebih banyak dari prespektif Taehyung yaa, gantian sama prolog yang pov 1 Isabelle. Makanya judulnya juga sebaliknya. Tadinya mau bikin pov 1 juga, tapi takut aku tidak bisa menyampaikan kesannya dengan baik. Semoga berkenan dengan epilognya 😁👌*sungkem sama yang udah baca*

Ada sedihnya juga sih ya, ketika akhirnya aku bisa namatin cerita ini sampai tuntas, karena cerita ini banyak banget kenangannya. Bayangin, hampir tiga tahun aku revisinya. Benerin plot hole sampe jungkir balik, salto, koprol, ah udah semua deh pokoknya :') Dan dalam tiga tahun itu, aku udah kehilangan banyak pembaca. Tapi di sisi lain, aku juga seneng karena banyak juga pembaca baru ❤️*dadah2 sama yang baru mampir setelah revisi*

Kalau masih menemukan kekurangan, aku mohon maaf ya... Maklumlah, namanya juga cerita pertama (tapi kumat lagi di cerita kedua, wkwkwkw... kapan tobaaatt)

Akhir kata, terima kasih buat kakak-kakak reader-nim yang udah baca sampai sini, yang udah menemaniku update walau kadang suka lamaaa, haha... Sayang banget sama semuanya 💕

Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain yaa ❤️

Nanti aku akan menelurkan satu cerita romance lagi yang castnya Taehyung dan Isabelle meski beda cerita <3

.

.

.

Foto Taehyung pada masa itu yang membuat cerita ini tercipta❤🤸🏻‍♀️

Continue Reading

You'll Also Like

7.6K 878 36
Kim Taehyung kembali menemukan cintanya. Dan kali ini, ia bersumpah tidak lagi membiarkannya pergi. Cover by: me Story Β©nadassi 2023
143K 16.5K 41
[COMPLETE] [TELAH TERBIT & TIDAK TERSEDIA DI GRAMEDIA] Seona tidak menyangka jika separuh hidupnya dihabiskan untuk berurusan dengan seorang pria ber...
72.3K 8.4K 37
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
50.8K 6.1K 32
[π™’π™–π™§π™£π™žπ™£π™œ! π™ˆπ™–π™©π™ͺπ™§π™š π™˜π™€π™£π™©π™šπ™£π™© +Β²ΒΉ] Bagaimana jika seseorang pria dewasa berusia 28 tahun menikah dengan gadis remaja yang genap akan b...