The Little Redhood and The Va...

By Swan_Odette

3.2K 319 560

"Saat purnama bersinar, hutan akan menghasilkan jeritan nanar." Di kedalaman hutan, terdapatlah seorang gadis... More

Prolog
Chapter 1 : Nona bertudung merah
Chapter 2 : Putri Angsa
Chapter 3 : Misi pertama
Chapter 4 : Mage
Chapter 5 : Eternal Love
Chapter 7 : Pangeran yang Dicuri
Chapter 8 : Bertemu Teman Lama
Chapter 9 : Cahaya Fajar
Chapter 10 : Mimpi Buruk yang Lolos
Chapter 11 : Kencan Teraneh
Chapter 12 : Sisi Lain
Chapter 13 : Manusia Setengah Serigala
Chapter 14 : Umpan
Chapter 15 : Penyusup
Chapter 17 : Pertarungan Terakhir (2)
Chapter 16 : Pertarungan Terakhir (1)
Chapter 18 : Pertarungan Terakhir (3)
Chapter 19 : Pertarungan Terakhir (4)
Chapter 20 : Pertarungan Terakhir (5)
Chapter 21 : Pertarungan Terakhir (6)
Chapter 22 : Pertarungan Terakhir (7)
Epilog

Chapter 6 : Elf dan Orc

199 14 19
By Swan_Odette

Angin menyerbu menyingkap dedaunan pohon yang menggumpal, atmosfer berderu sembari dengan nafas yang tersengal-sengal disertai dengan peluh yang berjalan menuruni dahi.

Ruby, Granger, dan Alucard tengah berlari menuju tempat tujuan di mana mereka ingin menyumbang bantuan pada suku Elf.

Awalnya, jarak mereka menuju Azrya Woodlands sangatlah jauh. Namun dikarenakan Alucard mendapatkan spell aneh yang tak tahu berasal dari mana bernama arrival, mereka dalam seketika berteleportasi berpindah tempat ke Azrya Woodlands.

Lokasi perang yang terjadi antar suku Elf dan Orc tidak terjadi jauh dari tempat mereka mendarat, oleh karena itu mereka bergegas dengan cepat menuju tempat di mana banyak nyawa yang melayang.

"Alucard, apa tempatnya masih jauh?" tanya Ruby gelisah.

"Sudah tidak jauh, kita hampir sampai," jawab Alucard dengan pandangan lurus ke depan.

Walaupun lelaki itu sedari tadi diam, namun bisa Ruby lihat bahwa sedari tadi pandangan pemburu iblis tersebut tidak tenang.

Ya, Alucard juga gelisah sama sepertinya.

Tatapan Ruby berpindah pada lelaki pembawa violin di sebelah kirinya, dalam seketika mata hijau itu berputar malas.

Mau dalam situasi apapun, Granger tetap sama. Selalu tenang dan seakan tak takut dengan apapun.

Telah banyak mil mereka lewatkan, hingga akhirnya suara teriakan sudah menjadi salam pembuka dari sesuatu yang akan mereka hadapi.

"Arghhh!!!"

Ruby mengeratkan genggamannya pada sabit besar yang gadis itu bawa. Darah terjatuh di mana-mana, banyak bangkai yang telah terbengkalai, pasukan Elf semakin sedikit dengan pasukan Orc yang telah mendominasi.

Dari saat ini juga mereka telah mengetahui, bahwa kekalahan telah mendesak mereka. Usaha, hanyalah satu-satunya harapan yang bisa mereka panjatkan dan lakukan untuk mengalahkan suku orc yang tak henti-hentinya merajalela.

"Miya!!"

Ruby dan Granger langsung menoleh ketika mendengar suara teriakan Alucard. Kini lelaki bersurai pirang itu langsung melesat menuju sebuah cahaya biru yang seakan menembus langit malam yang merah tanpa sinar rembulan.

Beralih ke Alucard, lelaki itu bergegas menuju gadis yang tengah berdiri di depan cahaya yang berkilau itu.

Helai demi helai perak milik gadis itu berayun dengan dirinya yang tengah melipat kedua tangannya meminta bantuan dari sang dewi.

Tapi, ada sesuatu yang ingin menghalangi keinginan gadis elf tersebut. Sebuah panah terpancar tepat menuju arahnya, dan melaju secara cepat.

Ting!

Gadis elf itu membalikkan badannya merasakan ada sesuatu di belakangnya. Saat matanya terbelalak kaget melihat anak panah yang meluncur dengan sangat cepat itu, sebuah pedang langsung menangkis benda tajam yang akan melukai gadis itu.

Iris lavendernya menatap tak percaya, dengan kehadiran sosok lelaki yang beberapa kurun waktu lalu ia temui.

Banyak sekali hal yang ingin ditanyakan oleh gadis berambut perak itu.

'Bagaimana bisa kau kembali?'

'Apa yang kau lakukan di sini?'

'Kenapa kau menyelamatkanku?'

Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benaknya, namun... tak satupun kata yang terucapkan. Tetap diam dan menatap, adalah hal yang bisa dilakukan oleh Miya.

Senyuman tipis dan anggukan yang Alucard berikan, seakan memberitahu segala jawaban atas pertanyaan tak tersampaikan yang ada di pikiran Miya.

Tanpa sadar, gadis itu juga menganggukan kepalanya. Ketika Alucard melompat dan kemudian mulai menyerang para iblis terkutuk yang akan menghancurkan tanah suci milik para Elf.

Miya lagi-lagi hanya bisa memandang punggung yang membelakanginya. Entah apa yang ada di pikiran gadis Elf tersebut. Namun, sebuah patah kata tiba-tiba terlontar dari bibirnya.

"Terima kasih, Alucard."

.
.
.
.

Sementara di sisi lain, sebuah ayunan kapak dan senjata tajam lainnya, sudah beberapa kali Ruby tangkis dengan sabit besarnya dan tangannya yang bergetar.

Bahkan jika ada musuh yang ingin menyergap dan mengepungnya, gadis itu langsung memutar sabitnya dan menyebabkan para Orc terkutuk itu terpental kesakitan dengan luka sayatan di perut mereka.

Dari samping, terdengar suara peluru yang sedari tadi memekakkan telinga. Ruby melirik sejenak, sepertinya lelaki yang sibuk menembaki musuh itu tengah baik-baik saja.

"Hoi, dibelakangmu!" Ruby lengah, hingga gadis itu tak sadar bahwa ada Orc yang berada di belakangnya ingin memenggal kepalanya.

Dor!

Kepala Orc itu bernafas, kemudian ambruk di tanah yang sudah teracuni oleh para iblis kotor.

Ruby sedikit menunduk dengan menahan bobot tubuhnya di sabit besarnya yang ia tusukkan di tanah.

Nafas gadis bersurai pirang itu tersengal, peluh bercucuran di dahinya dan sedikit membasahi helai rambutnya.

Jika saja... Granger tidak menyelamatkannya (lagi), sudah pasti tubuh dan kepalanya akan terpisah saat ini juga.

Bibir Ruby bergetar, dengan giginya yang bergemeretak. "Sebenarnya apa yang kulakukan dari tadi?!" geramnya dalam hati.

Jika seperti ini, maka sama saja dirinya hanyalah membebani Granger. Karena sedari tadi, ia terus-menerus diselamatkan oleh lelaki itu.

"Padahal aku yang seharusnya melindungi dia--"

Ruby mendongak ketika merasakan tepukan di bahunya. Dengan alis yang berkerut, gadis bermata hijau itu menatap sosok yang berdiri di depannya.

"Jangan gugup. Kau lebih kuat dari yang kau kira." Granger menatap dalam sejenak Ruby yang tengah menunduk di depannya, kemudian kembali bergerak untuk menghabisi musuh.

Ruby melipat bibirnya. Walaupun terkesan sederhana, namun dia tidak menganggapnya demikian.

Gadis itu kembali menarik sabitnya, dan langsung menebas musuh yang berniat menyerangnya dari belakang.

Tudung merah yang sempat berada di belakang tengkuknya, kini kembali ia letakkan di atas kepalanya.

Ruby kini berlari mengikuti jejak lelaki yang sempat memberinya semangat, dan melesat memasuki pasukan Elf yang telah berkumpul bersiap menyerang segerombolan Orc yang berada tepat di hadapan mereka.


Suara ricuh di atas tanah yang tak lagi murni, berbagai macam senjata terpahat untuk menumbangkan musuh. Tanpa keraguan lagi, pasukan Elf yang sudah kalah jumlah maju menerobos untuk memusnahkan kehadiran iblis yang kotor.

Alucard berada di garis depan, mengangkat pedangnya dan memimpin pasukan untuk menyerang dengan keberaniannya.

"Be gone, darkness!"

Dentingan yang terbentuk antara senjata yang saling beradu, teriakan yang tersalang ketika mendapatkan goresan rasa sakit, dan langit malam yang diselimuti oleh kabut merah.

"Aku akan melindungimu," ujar Ruby sembari tersenyum menahan serangan yang berniat menyerang lelaki di belakangnya.

Granger hanya diam setia dengan tatapannya seperti biasa. "Terserah."

Peperangan masih berjalan. Namun, pasukan Elf sedang dalam kondisi tidak menguntungkan. Para Elf kelelahan, dan pasukannya lebih sedikit daripada pasukan musuh.

Para Orc seakan tak kenal akan lelah, dan terus membabi-buta menghancurkan pasukan Elf yang malang.

"Bagaimana ini?! Kita semakin terdesak!!" teriak Ruby berusaha melawan para Orc yang ukurannya dua kali lipat lebih besar darinya.

Alucard menebas keras iblis di hadapannya dengan tatapan benci, kemudian mengelap pejuhnya sejenak. "Kita harus menahannya. Kita harus percaya pada Miya," ucap lelaki itu mantap.

Granger hanya menatap dingin tanpa bersuara sahabat karibnya tersebut, kemudian mulai menaruh pistolnya dan mulai mempersiapkan violinnya.

"Kuharap kalian tak menyia-nyiakan usaha kami," jawab lelaki berjubah hitam itu kemudian memegang violin nya.

"Ruby, tetaplah di sisiku dan lindungi aku," perintahnya.

Perasaan aneh tiba-tiba saja menusuk tepat di hati Ruby dan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun gadis itu tidak ingin menghiraukan perasaannya terlebih dahulu. Dirinya langsung mengikuti kemana arah rekannya tersebut pergi.

Ledakan yang cukup kuat mampu mengalahkan beberapa Orc bertubuh besar, tapi tetap saja pasukan musuh mendominasi.

Saat Granger merasakan peluru yang ada di dalam senjata berbalut violinnya, lelaki itu hendak kembali mengambil pistolnya.

Namun naas, ada iblis yang menyadari kelengahannya dan ingin menyerangnya secara langsung.

Ruby yang tengah menahan serangan Orc lain berteriak putus asa, karena dirinya juga tidak bisa menolong.

"Granger!"

Granger yang tersungkur dan berbaring di tanah, kini langsung menendang perut iblis yang tengah menganyunkan kapak padanya dengan kuat.

Kini iblis tersebutlah yang tersungkur, dengan sigap Granger langsung berdiri. Lelaki bersurai hitam dengan sedikit helai putih di depannya itu menarik belati dari dalam jubahnya, kemudian menusuk mulut iblis itu yang terbuka hingga akhirnya tewas.

Decihan terlayang dari bibir Granger, sembari dengan lelaki itu yang kemudian mengambil pistolnya di tanah. "Iblis hina sepertimu tak pantas melukaiku."

Ruby menghela nafas melihat rekannya yang satu itu baik-baik saja. Kemudian mata hijaunya kembali menajam menatap Orc yang ada di hadapannya.

Dengan tenaga yang tersisa di tubuhnya, Ruby mendorong Orc tersebut kemudian secara cepat memenggal kepala Orc itu dengan sabitnya.

Karena kelelahan, Ruby meletakkan sabitnya sejenak dengan menusukkannya ke tanah hingga senjata besarnya itu hingga berdiri.

Namun, para iblis dan Orc tak pernah melewatkan kelengahan. Hingga sebuah sayatan, tercipta di lengan kanan Ruby hingga gadis itu terduduk jatuh ke tanah memegangi lengan kanannya yang mengeluarkan darah.

Desisan kesakitan gadis berambut pirang itu keluarkan, ketika rasa perih mulai menyerangnya hingga seakan seluruh tenaganya menghilang begitu saja.

Ketika menyadari Ruby terluka, Granger langsung mendekati gadis itu dan mulai menembaki musuh yang mulai mendekati mereka berdua.

"Kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu dengan pandangan tak lepas dari sekitar mereka.

"Tidak. Karena aku tak bisa lagi mengangkat sabitku," jawab Ruby mengerutkan alisnya kesal sembari menahan sakit.

"Sepertinya kita akan tamat," celetuk Granger tenang.

Ruby menajamkan pandangannya. "Apa maksudmu?" tanyanya menatap lelaki yang tengah memunggunginya saat ini.

Hingga tak lama dari itu, Granger berbalik dan menatap gadis di belakangnya. "Karena aku kehabisan peluru."

Segerombolan musuh kembali mendekati mereka. Kali ini, mereka sudah tak bisa lagi menyerang.

Saat mereka hampir saja menyerah, tiba-tiba saja segelintir cahaya melesat menuju langit.


Miya menembak panahnya melalui busurnya yang dilapisi oleh cahaya perak berkat dari sang dewi bulan, membuat seluruh mahluk yang bertarung di tempat itu menatap ke arahnya.


Kabut darah perlahan-lahan memudar, terkalahkan oleh cahaya sang rembulan yang suci dan agung. Bintang-bintang kembali bersinar pada tempatnya, seakan memulihkan kembali semangat para Elf yang sudah hampir sepenuhnya terampas.

Dari kejauhan, Ruby dan Granger terperangah sejenak ketika bulan kembali memancarkan keagungannya.

Tak lama, hujan panah mulai terjatuh dari langit. Anehnya, panah itu sama sekali tidak melukai para Elf, maupun Ruby, Granger, dan Alucard.

Panah-panah itu hanya melukai para iblis dan Orc,  seakan tahu bahwa mereka adalah musuh sejati dan perusak ketenangan Azrya Woodlands.

Para Elf yang awalnya terluka dan kelelahan, kini kembali seperti sedia kala. Luka mereka menghilang, dengan semangat mereka yang kembali pulih.

Namun tidak dengan Ruby, sepertinya berkat penyembuhan hanya bisa diberikan pada suku Elf murni.

Teriakan kesakitan dari para Orc mulai terdengar, dengan darah hitam yang semakin mengotori tanah.

Miya yang berada di kejauhan langsung maju dengan busur perak berlapis kekuatan cahaya bulan miliknya memimpin para pasukan Elf.

Alucard tersenyum melihat Miya yang seakan bersinar terang di malam yang gelap ini. Gadis itu tampak sangat mengagumkan, dengan surai peraknya yang terus menari dan mata lavender nya yang seakan siap menerima beban apa saja di depannya.

Tanpa ragu lagi, Alucard terus mengikuti Miya yang menembakkan panah tanpa batasnya untuk membantu gadis itu sampai ke titik penghabisan.

Hingga akhirnya, kejayaan menghampiri para suku Elf. Musuh telah terbasmi sepenuhnya. Mereka telah mencapai kemenangan.

Para iblis yang kotor... telah kalah.

🎻

"Ugh! Sakit!" ringis Ruby ketika kain basah yang hangat menyapu lukanya.

"Tahanlah sedikit," jawab Granger kemudian kembali fokus membersihkan luka yang terdapat di lengan kanan rekannya tersebut.

Saat ini mereka telah berada di markas peristirahatan para pasukan Elf yang baru saja membawa kemenangan dan ketenangan kembali.

Memang benar berkat penyembuhan yang sempat diberikan oleh Dewi rembulan mampu menghilangkan luka suku Elf.

Namun penyembuhan itu tidak dapat menghilangkan luka yang telah tergores di bagian vital, sehingga tak sedikit para Elf yang terbaring lemah, dan juga kehilangan nyawa berharga mereka.

"Maaf," ujar Ruby tiba-tiba sembari tertunduk.

"Untuk?" tanya Granger sembari membalutkan perban di lengan Ruby yang sudah diberikan obat alami dari tumbuh-tumbuhan.

"Aku terus-menerus kau selamatkan, padahal seharusnya aku yang melindungimu."

Setelah selesai merawat luka Ruby, Granger mengambil senjatanya yang berada di sampingnya kemudian merapikan seluruh alat bertarungnya tersebut.

"Kau rekanku, jadi wajar saja kalau aku menyelamatkanmu, bodoh," balas Granger. "Jika aku bisa menjaga diri, kenapa aku harus membutuhkan perlindunganmu?"

"Tapi tetap saja—"

"Kau adalah gadis desa yang tiba-tiba memasuki perang massal, jadi wajar saja kalau kau gugup."

Ruby membelalakkan matanya, jadi lelaki itu sudah mengetahui kegugupannya dari awal?

"Oleh karena itu, berhentilah merengek dan menyalahkan dirimu sendiri. Karena kau justru membuatku semakin merasa bersalah."

Bingung, adalah hal yang menimpa Ruby saat ini. Dirinya tak tahu harus menjawab apa dan bereaksi seperti apa.

"Yo, bagaimana? Apa kalian masih hidup? Atau jangan-jangan yang kulihat sekarang adalah arwah kalian? Hahaha!" gelak Alucard tiba-tiba datang dengan perban di dadanya.

"Berhentilah tertawa, Manusia. Atau kau akan mati karena luka di dadamu terbuka lagi," sahut Miya memukul baju kiri lelaki bersurai pirang tersebut.

"Aw, aw! Miya, kau membuat lukaku menjadi sakit lagi!" gaduh Alucard.

"B-benarkah? M-maaf, aku benar-benar tak sengaja!" Seketika raut wajah Miya yang awalnya dingin dan datar menjadi khawatir.

"Tapi bohong! Hahaha!" Lagi-lagi, Alucard tergelak tanpa berdosa.

Karena kesal, Miya pun langsung mencubit pinggang Alucard hingga lelaki itu berteriak kesakitan.

"Aw aw aw! S-s-s-sakit! Ampun Miya, aku hanya bercanda! Aw!"

"Bodoh," celetuk Granger. Sedangkan Ruby tertawa kecil melihat adegan di hadapannya.

"Jadi, aku kesini untuk berterimakasih kepada kalian. Tanpa bantuan kalian, mungkin tanah ini sudah berada di dalam kendali iblis," ujar Miya sembari menunduk hormat.

"Bukan masalah besar. Lagipula, kami tidak terlalu membantu sebanyak itu. Justru kau lah yang telah menyelamatkan tanah ini dari cengkraman iblis. Kami sudah melihat, betapa tangguhnya kau menghadapi musuh ketika dalam keadaan terdesak," jawab Ruby panjang lebar sembari tersenyum.

Gadis bermata hijau itu pun berdiri kemudian menghampiri Miya. "Seharusnya, kau berterimakasih kepada dirimu sendiri. Karena kau adalah pahlawan dalam perang ini. Semua orang juga berpikir seperti itu."

Seketika, semua orang yang ada di tempat itu tersenyum, kecuali Granger. Seperti biasa, lelaki itu sangat jarang menunjukkan ekspresi.

Walaupun Miya tidak terlalu sering menunjukkan ekpresinya di luar, namun pada kenyataannya, jauh di dalam lubuk hatinya, gadis itu terharu.

Semua beban yang awalnya ia tanggung saat perang berlangsung, seakan menghilang terhapuskan oleh banyaknya senyum yang tertuju padanya.

"Awalnya kukira semua manusia adalah mahluk yang egois, mahluk yang mementingkan diri sendiri. Namun sepertinya aku salah," curah Miya sedikit tertunduk.

Seperkian detik kemudian, Ruby pun sedikit terpelongo ketika melihat sesuatu yang tercipta di wajah Miya.

Miya tersenyum tipis. "Ternyata, masih ada manusia yang berhati emas seperti kalian."

"Namun tetap saja, aku harus memberikan imbalan atas usaha kalian dalam membantu kami. Jika ada yang kalian inginkan, katakan saja," lanjut gadis Elf tersebut.

Ruby terdiam sejenak. Dia bingung, tidak ada yang ia perlukan saat ini. Saat dirinya ingin membuka suara, Granger telah memotongnya terlebih dahulu.

"Emas. Apa kau bisa memberikannya?" ucapnya lantang dan tenang.

Menghela nafas, Ruby melirik Granger sejenak di belakangnya, kemudian kembali menatap Miya. "Seperti yang dia bilang. Kami membutuhkan emas."

"Hal yang sederhana. Kami akan segera memberikannya pada kalian secepat mungkin." Miya melipat kedua tangannya. Kemudian gadis itu pun menatap Alucard. "Kau ikut aku sebentar," perintahnya kemudian berlalu.

Alucard awalnya sedikit bingung, namun jika ini perintah dari gadis yang ia sukai, maka dirinya tak bisa menolak. Lelaki itu pun kini mengikuti kemana jejak langkah kaki Miya membawanya.

Alucard hanya memandang sekitar dan punggung Miya yang berada di depannya. Sepanjang perjalanan, Miya tidak berbicara.

Gadis itu hanya diam sembari membawa Alucard entah kemana. Hingga akhirnya langkah kaki gadis Elf itu berhenti, dengan tubuhnya yang mulai berputar menghadap lelaki bermata biru di belakangnya.

"Apa kau ingat? Pertemuan kita pertama kali? Waktu itu kau terluka, sehingga kau dirawat sementara di sini." Lagi-lagi, Miya membelakanginya sembari menatap langit biru yang memukau.

Alucard mengingatnya tentu saja. Lelaki itu tidak akan pernah lupa, ketika dirinya melihat Miya untuk pertama kali, perasaan asing ini tak bisa ia hilangkan dan singkirkan.

"Awalnya, aku mengira, bahwa kau hanyalah orang asing yang akan berlalu di kehidupanku. Namun tidak kusangka, kau selalu kembali menemuiku dan menolongku." Miya menatap ke tanah, sembari menendang beberapa batu yang kemudian tercebur di air sungai di hadapannya.

Alucard tak tahu ingin berkata apa. Yang lelaki itu inginkan hanyalah diam sembari mendengarkan segala perkataan Miya yang memicu perasaan asing kembali di dadanya.

"Jika saja... kau tidak menahan anak panah itu, mungkin aku tak akan sempat memperjuangkan kaum Elf. Jika saja... kau tidak datang membantu dan memimpin pasukan Elf, mungkin kami sudah tamat."

Dengan tatapan lurus, Miya terus berbicara. Gadis itu tidak melirik Alucard sedikitpun, hingga akhirnya sebuah senyuman tipis kembali terukir.

Senyuman itu lagi... walaupun sangat samar, senyuman itu merupakan hal yang paling nikmat untuk dipandang bagi Alucard.

"Aku menyukainya...," gumam Alucard tanpa sadar.

"Apa?"

"Senyummu. Kau sangat manis ketika tersenyum."

Miya terbelalak sejenak, kemudian langsung memalingkan wajahnya. Namun, bisa gadis itu rasakan bahwa telinganya sedikit menghangat dengan sedikit rasa aneh namun menyenangkan di perutnya.

"Oleh karena itu, aku ingin membalas kebaikanmu. Karena aku tak suka berhutang budi," ucap Miya terdengar mengalihkan topik. "Apa ada yang kau inginkan?"

"Cium aku."

Bugh!

Sebuah pukulan melayang di bahu Alucard, membuat lelaki itu langsung tergelak. "Aku hanya bercanda!"

Tatapan membunuh yang dilayangkan Miya membuat tawa Alucard semakin menjadi-jadi.

"Hmm... benar juga. Aku belum memikirkannya. Mungkin aku akan memberitahumu nanti ketika aku telah memikirkan imbalan apa yang kuinginkan," terang Alucard tampak berpikir.

"Terserah kau saja. Sebaiknya, kita kembali sekarang." Miya kemudian berjalan melewati Alucard berniat untuk kembali ke markas.

Alucard awalnya juga berbuat beranjak, namun gerakan tiba-tiba dari Miya membuat lelaki itu terbengong.

Kecupan ringan dari bibir yang lembut dan hangat membekas di pipinya sekilas, membuat seluruh tubuh lelaki bermata biru itu beku seperti es.

Miya kembali berjalan meninggalkan Alucard seolah tidak terjadi apa-apa. Namun sebelum itu, gadis itu berbalik sejenak kemudian berkata.

"Senang bertemu denganmu, Alucard."

Dengan begitu saja, Miya berlalu meninggalkan Alucard yang masih terdiam di tempatnya.

Lelaki itu terdiam dengan tangan kanannya yang mulai meraih dan menyentuh pipi yang terdapat bekas kecupan Miya.

Sebuah lekukan senyum lebar tak dapat lagi lelaki itu sembunyikan, Alucard pun tersenyum sendiri seperti orang gila.

"Hah... aku bisa merasakan jiwa kebahagiaanku bergetar."

🎻

"Ehh?!! Yang Mulia Raja Elf ingin menemui kami?!" teriak Ruby tak percaya.

"Begitulah," jawab Miya seadanya.

"T-tapi, atas alasan apa?! Apa kami membuat kesalahan?!" Ruby tak bisa tenang. Gadis itu sangat panik, karena tiba-tiba saja seorang raja ingin bertemu dengan dirinya dan juga rekannya secara tiba-tiba!

"Tentu saja tidak. Raja tidak selalu menemui kalian ketika kalian ada kesalahan. Justru dia membutuhkan pertolongan kalian," jelas Miya.

"Pertolongan apa yang Raja butuhkan dari gelandangan seperti kami?" sahur Granger.

Awalnya Ruby kesal ketika lelaki itu secara langsung mengatakanan bahwa dirinya gelandangan. "Siapa yang kau bilang gelandangan?" kesalnya.

"Aku hanya mengatakan fakta." Granger menjawab tenang.

"Sudahlah! Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Jadi, bantuan mengenai apa, Miya?" tanya Ruby.

Miya tampak berpikir. "Entahlah, aku juga tidak tahu."

Granger dan Ruby juga tambah bingung dengan kejadian ambigu ini. Miya pun kembali melanjutkan perkataannya.

"Namun yang pasti, dia bilang sesuatu tentang keselamatan kekaisaran Moniyan."

.
.
.
.

End of Chapter 6.
Publish, 22 Mei 2021.

Hehe... Odette bingung gimana mau ngomong sama readers setelah berbulan-bulan gak update :'

Pokoknya Odette bener-bener minta maaf karena udah selama itu ga update. Alasannya?

Jiwa kemageran Odette mendominasi, dan sampai gak sadar kalo Odette udah lama gak update :(

Yah, seperti yang Odette bilang, cerita ini pasti tamat. Jadi jangan khawatir kalo cerita ini bakal gantung.

Mulai sekarang, Odette bakal fokusin ni FF dulu biar kelar. Tapi gak janji kalo updatenya cepet.

Sekali lagi, terimakasih banyak banget bagi kalian yang masih nungguin dan support Odette.

Semoga hari kalian menyenangkan!

Adios! 

Story by Swan_Odette





Continue Reading

You'll Also Like

3.9K 2.9K 64
Arsy seorang pelayan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Zein Zulkarnain, seorang putra mahkota kerajaan Bintang Tenggara. Sayangnya pria bersura...
334 286 15
"Capek?" "Lumayan" "Ya udah kalo gitu aku langsung anter kamu pulang" "Tapi jangan pulang ke rumah ya" "Lho, kenapa?" "...." "Kamu aneh, dimana-m...
372 238 8
Mereka yang Menghadapi semua masalah duniawi sendiri walaupun sangat berat. Hidup mereka menderita namun mereka saling menguatkan. 3 sahabat yang me...
402 323 11
Selamat membaca cerita RAYYANKAREN: RAYYAN GLEN PRADIPTA & KAREN ANASTASYA Rayyan Glen Pradipta adalah seorang siswa yang dikenal karena kenakalannya...