After All This Time (TERBIT)

By teru_teru_bozu

3.2M 35.6K 1.8K

Terbit Maret 2023 - Metropop Gramedia Pustaka Utama Wattys2018 winner The Contemporary Everyone deserves sec... More

satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
enam belas
After All This Time (cetak)
PO After All This Time

delapan

11.5K 2.2K 80
By teru_teru_bozu

JADWAL kuliah kelas Rahman dimajukan harinya. Rara mengumpat dalam hati membaca pengumuman yang ditempel di depan kantor jurusan. Padahal jadwal sebelumnya sudah ideal karena buat Rara Rabu adalah hari paling longgar baginya. Ini kenapa jadi hari Selasa pagi, sih?

"Iya, dimajuin sehari," terdengar obrolan cewek-cewek teman setingkat Silvy. "Karena Rabu bentrok sama mata kuliah lain. Akhirnya Silvy yang berinisiatif menghubungi Pak Rahman untuk meminta ganti hari. Tahu sendirilah, kalau Silvy yang ngelobi, dosen cowok mana yang bisa nolak? Denger desahan dia aja udah pada mati kutu mereka."

Rara mengentakkan kaki sambil pergi meninggalkan tempat itu. Sebel banget dia mendengar tawa penuh konspirasi dari kelompok mahasiswa angkatan tua ini.

"Gimana aku nggak emosi, seenaknya aja ganti jadwal tanpa konfirmasi yang lain," omel Rara dengan kesal. "Itu hari Selasa, kamu tahu sendiri kan hari itu horor banget buat kita? Ada kelas Struktur Baja, Struktur Beton, dan sorenya ada praktikum di Lab Tanah. Kalau semua ngasih tugas barengan, gimana aku nggak mampus? Belum lagi kalau bertepatan dengan jadwal setor data lab. Apa nggak bikin begadang sampai pagi, tuh?"

"Kenapa kamu nggak menyampaikan keberatan aja, seperti yang dilakukan kakak tingkat? Mungkin bisa diambil kebijakan, geser hari lain lagi," kata Andy enteng.

"Nggak mungkin, Ndy. Di kelas itu aku masuk golongan minoritas. Sendirian. Keberatanku nggak bakal didenger. Mana dosennya itu rasis banget. Ngeselin! Dia cuma peduli pada mahasiswi yang cantik, semok, semlohai, yang suaranya mendesah kayak video mesum di HP kamu."

Tawa Andy meledak. "Ngegasnya jangan kekencengan, Ra. Ntar ketahuan kalau kamu sirik," cowok itu menatap Rara geli. "Perasaan kamu aja kali yang terlalu sensitif."

"Idih, nggak percaya," bantah Rara sambil menceritakan suasana di kelas. Tentang bagaimana dosen itu seperti sengaja melewati acungan tangannya meskipun gadis itu sudah duduk di bangku paling depan.

"Mungkin waktunya sudah habis," komentar Andy enteng.

"Tentu aja habis, kalau Pak Rahman berlama-lama dalam menjawab pertanyaan Silvy yang sama sekali nggak mutu. Aku yang baru semester empat aja tahu kok, pertanyaan cewek itu tolol."

Andy tergelak-gelak sampai membungkukkan badannya yang kurus. "Yah, dimaklumi aja, orang tolol nyambungnya lama. Jadi harus dijelasin dengan detail banget baru paham. Bersyukurlah Ra, kamu pinter. Bisa nyari jawabannya sendiri lewat baca buku! Eh katanya dosennya ganteng banget, Ra. Idola cewek-cewek."

"Apa hubungannya?"

"Ya mungkin aja, karena ganteng secara nggak sadar kamu jadi tertarik. Orang yang tertarik, biasanya berkespektasi tinggi, dan akhirnya jadi kecewa ketika harapan nggak sesuai kenyataan. Begitu!"

"Analisis ngawur!" semprot Rara. "Emangnya aku berharap apa sih, Ndy?"

"Kamu berharap diperhatiin dosennya."

"Ya iyalah, Ndy, ngaco, kamu! Itu hakku karena aku bayar SPP!" bantah Rara geregetan. "Dan nggak bakal aku tertarik sama Pak Rahman. Nggantengnya mainstream, pasaran, bukan seleraku!"

Komentar Rara justru membuat teman dekatnya sejak dari SMA itu semakin ngakak. Andy cukup mengenal Rara, yang suka gengsi mengakui perasaan sendiri. Jangankan di kehidupan nyata begini, urusan ngefans artis saja Rara jaim banget kok.

Zaman mereka SMA, Maroon 5 lagi ngetop-ngetopnya. Tetapi gadis itu bilang nggak tertarik dengan alasan yang benar-benar tidak bergizi seperti ciki. Yaitu karena teman-temannya yang lain udah pada suka. Dia nggak mau ikutan. Padahal ketika diputerin lagu-lagu yang dinyanyikan Adam Levine itu jempol Rara goyang juga. Absurd banget emang cewek satu ini.

***

Apa yang Rara khawatirkan terjadi juga. Di pertemuan keempat, secara bersamaan ada tugas yang membuatnya harus begadang dan bangun kesiangan esok harinya. Meskipun sudah meminta ayahnya yang mengantar pagi ini untuk ngebut, ternyata dia masih terlambat juga. Dengan napas tersengal karena berlari, Rara tiba di depan pintu kelas empat menit lebih lambat. Untung saja batas toleransi keterlambatannya lima menit. Sehingga gadis itu berani mengetuk pintu ruangan yang sudah tertutup.

Ketika terdengar suara sang dosen mempersilakan masuk, tanpa merasa bersalah, Rara membuka pintu, menutupnya kembali, mengangguk singkat pada dosen ganteng –eh? – itu, dan mencari-cari tempat kosong. Dengan pasrah dia harus menerima ketika satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di depan meja dosen.

Pagi ini Rahman berangkat ke kampus dengan suasana hati tidak tenang. Semalam Om Ruby, paman Shinta yang juga dekan fakultas teknik, membawa berita tidak menyenangkan. Perusahaan yang dikelola Rahman gagal mendapatkan proyek incaran. Padahal dia sangat berharap pada proyek yang nilai down payment-nya cukup besar itu. Rahman berencana menggunakan uang muka itu untuk membayar cicilan utang warisan ayah Shinta yang hampir jatuh tempo. Karena agunan utang ini tidak main-main, yaitu rumah keluarga mertuanya.

Rahman masih berpikir untuk mencari alternatif solusi lain ketika beberapa menit kemudian, secara tak terduga dia menerima telepon pribadi dari Silvy. Gadis itu memang pernah menemuinya di kantor untuk mengajukan permintaan –berbalut rayuan, hal yang mudah dideteksi oleh Rahman—pergantian jadwal kuliah. Makanya dia heran ketika gadis itu kali ini menghubunginya lagi, kali ini lewat telepon. Nomor pribadi lagi. Nomor khusus yang hanya digunakan untuk urusan keluarga. Dan hampir saja dia reject panggilan daro nomor tak dikenal itu.

"Emang dari mana kamu dapet nomor ini?" tanya Rahman.

"Dari Om Ruby," jawab Silvy ceria. Lagi-lagi gadis itu memperdengarkan tawanya yang lembut merayu itu. "Sebab Pak Rahman sombong, sih. Tadi Silvy kirim pesan ke nomor satunya, nggak dibalas juga. Jadi ya, Silvy gerilya tanya-tanya begini."

Rahman tidak suka dengan cara-cara seperti ini. Sepertinya Silvy memahami pengaruh kekuasaan sang ayah, yang salah satunya berperan penting dalam memosisikan orang-orang di jabatan yang tepat. Termasuk Om Ruby, yang menjadi dekan karena promosi dari sang mantan rektor. Tapi bukan berarti gadis itu bisa memanfaatkannya semaunya begini! Dan Rahman risih dengan caranya menyebut nama –alih-alih 'saya'—sebagai kata ganti orang pertama.

"Saya memang sengaja mematikan ponsel di saat tidak bekerja," jawab Rahman lugas.

"Aduh, jangan terlalu serius gitu dong, Pak. Nggak baik untuk kesehatan. Pak Rahman harus rileks dong. Mau ditemani, biar rileks?" goda Silvy. Lalu tawanya pecah berderai-derai. "Silvy cuma bercanda, Pak. Jangan marah, ya ...."

"Ada perlu apa?"

"Cuma mau ngingetin, besok pagi ada kelas. Jangan terlambat, ya. Udah gitu aja. Dadah, Pak Rahman!"

Semoga ini hanya perasaan Rahman saja, bahwa Silvy meneleponnya di waktu malam begini hanya sekadar iseng. Bukan bermaksud apa-apa.

Pagi ini, Rahman memaksa kepalanya tetap dingin. Dia hanyalah seorang pria dengan mata yang secara otomatis terpesona pada segala hal yang berjudul daya tarik dari lawan jenis. Seperti yang seolah sengaja Silvy pamerkan di setiap kehadirannya di kelas. Dengan penampilannya yang menonjol, membuat pria sulit berpaling.

Seperti kali ini. Pria itu berdiri di depan kelas seperti biasa, dan berusaha tidak melihat ke arah Silvy yang sudah siap duduk dengan menumpangkan kakinya yang seksi berbalut celana ketat itu, di baris terdepan. Bahkan seperti menantang, gadis itu memilih posisi tepat di depan meja dosen.

Setelah menyapa para mahasiswa, pandangan Rahman tertuju pada salah satu kursi kosong yang ada di baris kedua. Lalu dia ingat, mahasiswi pemarah berwajah manis dan lucu itu belum kelihatan batang hidungnya. Jangan-jangan .... Satu ide muncul di kepalanya.

"Biasanya kelas ini penuh, sekarang mulai terlihat ada kursi kosong. Hm ...," Rahman pura-pura berpikir. "Oh ya, bagaimana kalau Silvy pindah ke belakang?" perintahnya, mengusir dengan halus.

Silvy terkejut. "Lho? Buat apa?" wajahnya yang cantik itu memang menggemaskan saat terkejut. Sayang Rahman sudah kehilangan respek pada cewek putri pejabat ini.

"Bukan apa-apa. Cuma saya ingin menyiapkan tempat ini buat mahasiswa yang terlambat. Kalau ada," kata Rahman. "Oke? Pindah deh. Nggak banyak beda kok duduk di baris depan atau di baris kedua."

Diikuti tatapan seluruh isi kelas, meskipun terlihat tak rela, Silvy menurut juga. Tepat setelahnya, terdengar suara pintu diketuk. Nah! Yang ditunggu akhirnya tiba. Rahman sangat antusias menanti siapa yang akan datang berikut ini. Kalau memang dia si mahasiswi yang dia maksud, pria itu ingin sedikit iseng. Siapa tahu bisa menjadi boosting semangatnya hari ini.

Dan Rahman hampir terbahak ketika dugaannya tepat. Si culun itu muncul dengan penuh percaya diri, melenggang riang setelah dipersilakan. Lucu sekali melihatnya celingukan mencari tempat kosong. Sampai akhirnya menyerah dan mengempaskan tubuhnya yang kurus di satu-satunya tempat yang tersedia. Tepat berada di depan Rahman. Here we go!

"Kamu terlambat?" tanya Rahman meskipun sadar ini 100% basa-basi nggak penting.

Rara yang baru bisa bernapas lega setelah berlari-lari dari tepi jalan hingga ke komplek gedung perkuliahan, dan harus memanjat tangga hingga ke lantai dua, sama sekali tidak siap ditanya begini. Jadi dia hanya bisa terbengong-bengong memandang dosennya.

"Kok bengong? Saya tanya, apakah kamu terlambat?" tanya Rahman lagi, menatap tajam.

Duh, sinisnya. Udah tahu terlambat pakai nanya lagi, omel Rara kesal dalam hati. "Iya, Pak. Tapi baru lima menit, masih dalam batas toleransi," jawabnya, tanpa sadar memandang dosennya dengan bersungut-sungut. Kekesalannya pada pria itu memang telah menumpuk, membuatnya susah menutupi keinginan untuk membangkang.

"Kok malah kamu yang nawar?" Rahman sedang ingin bermain-main.

Eh? Rara jadi bingung. Apakah ucapannya salah? "Batas maksimal keterlambatan lima menit, kan?" tanya Rara serius. "Dan saya terlambat lima menit pas. Jadi tidak salah, kan?"

Rahman tumbuh di keluarga dengan empat anak laki-laki yang berwatak keras serta kompetitif. Andai dia diberi adik perempuan, sosok seperti gadis di depannya ini pasti cocok sekali menjadi adiknya. Bisa menjadi lawan bertengkar yang imbang buat Raji, adik bungsunya.

"Kalau toleransinya lima menit, bukannya berarti kamu nggak boleh masuk?" tanya Rahman yang tiba-tiba menemukan keseruan bermain kata dengan anak ini. Anak yang lucu, sedikit kurang ajar, juga nekat.

"Toleransi lima menit, itu batas maksimal diperbolehkan, Pak. Yang tidak boleh itu mulai dari lima menit lebih satu detik dan seterusnya."

Tangguh dan ulet juga dia. Nggak gampang menyerah. Menarik nih, untuk dikerjain.

"Lagipula kalau memang sudah dianggap melewati batas toleransi, buat apa tadi Bapak mempersilakan saya masuk?"

What? Rahman tertegun, karena tidak mengantisipasi serangan balik sepolos ini.

Wajah Rara memucat begitu menyadari telah keceplosan bicara dengan sangat kurang ajar. Ya Tuhan! Ini mulut! Dia tidak akan heran kalau dosen ini menendangnya keluar saat ini juga! Atau lebih buruk lagi, mencoretnya dari daftar mahasiswa peserta kelas ini.

"Di kelas ini saya yang menetapkan aturan," kata Rahman seserius yang dia bisa. Menahan tawa yang hampir meledak. "Boleh tidaknya kamu masuk kelas, itu saya yang menentukan!" suara sengaja ditinggikan satu oktaf.

Efeknya, seketika seluruh ruangan menjadi hening.

Di tempatnya, Rara berusaha menahan diri dari keinginan untuk membantah. Kalau emang nggak boleh, kenapa tadi disuruh masuk, Pak Dosen Tampan tapi Pikun?

"Berapa NIM---Nomor Induk Mahasiswa---kamu?" tanya Rahman tajam. Tangannya menyambar map berisi daftar hadir mahasiswa yang tergeletak di meja.

Yah, sudah telanjur juga membuat dosen itu marah. Maka Rara pun tak punya pilihan selain menyebutkan nomor induk mahasiswanya.

Rahman menunduk. Menyadari betapa sulitnya mempertahankan ekspresi serius di saat dia ingin tertawa terbahak-bahak. Dia melambatkan gerakan dan membolak-balik daftar nama itu hingga ke lembar terakhir dan menemukan NIM yang dimaksud. Semester empat? Apa?

"Hm ... kamu dari angkatan paling muda di kelas ini, ya?" tanya Rahman.

Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Mata kuliahnya memang tidak menuntut banyak syarat. Tetapi selayaknya diikuti oleh mahasiswa tingkat lanjut yang sudah pernah mengikuti berbagai macam mata kuliah lain agar materinya bisa dipahami dengan lebih baik. Siapa dosen pembimbing yang meloloskan mahasiswi semester empat ini untuk ikut? Lagipula gadis ini harusnya masih sibuk dengan berbagai praktikum dan tugas besar.

"Menjadi paling muda tidak membuatmu otomatis mendapatkan privilege untuk bertindak semaunya. Kamu nggaj berhak bersikap kurang ajar di kelas ini."

Duh, Pak Dosen, sinis banget ih! "Saya tidak sengaja terlambat, Pak," Rara mengoreksi statement dosennya. "Saya memang kelewatan tadi, dan juga bersikap kurang ajar. Tetapi saya merasa perlu mengatakan kalau keterlambatan saya masih dalam batas toleransi."

Pria itu mengangkat wajah dan memandang Rara kembali. "Masih dalam batas toleransi?" tanyanya dengan nada berbahaya. "Kenapa terlambat?"

"Saya terlambat bangun," jawab Rara jujur.

"Karena?"

"Saya terlambat bangun, Pak," Rara mengulang jawabannya lagi.

"Lha iya, kenapa kamu terlambat bangun?" pertanyaan itu dilontarkan dengan nada merendahkan, seperti berbicara dengan anak TK. "Begadang?"

"Iya," jawab Rara sambil mengangguk dan merasa benar-benar seperti orang idiot. "Ada laporan praktikum yang harus disetorkan hasilnya siang ini. Jadi saya lembur."

"Nah, itulah, kamu memang belum layak hadir di kelas ini karena kamu belum mampu. Jangankan memahami materinya, mengatur waktu dengan kuliah lain saja kamu nggak becus!"

Duh! Apaan sih nih orang? Urusan akan beres kalau Pak Dosen Yang Terhormat ini mengusirnya dari kelas. Bukan malah muter-muter tidak jelas. Sensitifnya macam cewek PMS aja, gerutu Rara sebal. "Ini memang kesalahan saya. Maaf karena saya teledor dan tidak bisa mengatur waktu dengan baik."

Rahman memandang Rara dengan saksama. Mahasiswa lain pasti akan diam mati kutu menghadapi kemarahan dosennya. Bukannya terus-menerus bicara seperti gadis ini. Dari awal si kurus ini memang agak spesial tingkahnya. Melihatnya mukanya yang ditekuk begini membuat Rahman harus kembali mati-matian menahan tawa.

Sudah ah, main-mainnya. Cukup, sebelum kebablasan! "Namamu... Asra Najah?"

Rara mengangguk. "Iya, Pak."

Hm ... unik juga. Bisa dikerjain mungkin ya? pikiran iseng itu muncul lagi. "Panggilanmu 'Asra'? 'Sra'? Atau 'As'? Kamu yakin ini maksudnya bukan 'Astra' dan salah tulis?" Ada nada mengejek dalam suara Rahman, membuat seisi kelas tertawa.

"Bukan, Pak. Nama saya memang Asra," Rara menjawab dengan tabah.

"Apa artinya?" tanya laki-laki itu, seolah nama itu menarik.

Bapak ingin mengolok-olok saya? Oke, saya turuti! "Dari Bahasa Arab. Asyaro. Artinya 'sepuluh'."

Menarik juga idenya dalam memberi nama. Membuat Rahman teringat kembali pelajaran Bahasa Arab yang didapatnya saat masih kecil, ketika dipaksa ibunya masuk ke madrasah diniyah di masjid komplek sebelah. "Kamu anak kesepuluh, Asro?" tanyanya, sengaja melafalkan Asro dan bukan Asra. "Produktif sekali."

Bangsat ini keterlaluan! maki Rara dalam hati, berusaha menenangkan diri agar tidak terpancing. "Saya cucu kesepuluh. Itu nama dari kakek saya."

"Baiklah, Sepuluh, kita mulai kuliah hari ini. Waktu kita sudah banyak terbuang gara-gara keterlambatanmu," kata Rahman sambil menutup daftar nama dan melemparnya kembali ke meja.

Rara merasa wajahnya memerah. Bukan salahnya kalau pria itu memilih untuk bertanya-tanya tak penting soal namanya. Bukan salahnya kalau kuliah jadi terlambat karena dialog absurd barusan. Dan Rara sebal karena sepanjang kuliah berlangsung, pria itu membombardirnya dengan banyak pertanyaan tanpa peduli ada atau tidak ada hubungannya dengan kuliah. Dan dia terus memanggil Rara dengan "Sepuluh", yang pasti selalu diikuti tawa seluruh kelas.

Bagi orang dengan kelebihan fisik seperti Rahman, yang seumur hidup bergelimang sanjungan karena parasnya yang rupawan, pasti tidak tahu rasanya sakit hati karena diolok-olok di depan kelas seperti Rara.

***

Continue Reading

You'll Also Like

23.4K 2.6K 33
[ Romance - Comedy ] Mary Angelica Mulyabakti punya nama tengah lain: chaotic. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah hari-harinya sebagai jurna...
288K 8.1K 45
GREEZELLA SYERRA AELFDENE, atau yang dikenal dengan QUEEN ZELLA. Seorang gadis yang dijuluki Queen bullying di SYERRA HIGH SCHOOL. siapapun tidak ber...
464K 75.1K 20
Cerita tentang Arum dan Yusra. Pastry Chef yang sedang berjuang mewujudkan impiannya melalui toko roti sederhana yang didirikannya. Hingga seorang ak...
228K 46.5K 54
[BACA SELAGI ONGOING] Dunia itu panggung sandiwara. Kamu nggak perlu nunggu jadi aktor atau aktris ternama buat berperan, karena kamu adalah aktor d...