enam belas

12.3K 2.7K 300
                                    


PAK Hilmy menerima kehadiran Rahman di kantor pribadinya dengan wajah masam.

"Saya sudah bilang, saya nggak akan mau bicara kalau bukan sama Pak Karnaka!" semprotnya galak.

Rahman tersenyum. "Boleh saya duduk?" tanyanya sopan.

"Duduk aja," balas Pak Hilmy sengak. "Mau ngerokok juga silakan. Ruangan ini tidak ber-AC."

Rahman menggeleng. Dia tidak merokok kecuali ketika kepalanya sedang butuh konsentrasi tinggi. Yang dia hadapi saat ini belum sampai ke level itu. "Apa yang akan Pak Hilmy lakukan setelah ini?" Rahman memilih kalimatnya dengan hati-hati.

"Memecat Rara tentu saja. Saya tidak tahan memiliki bawahan pembangkang seperti ini."

"Apakah hal itu akan menyelesaikan masalah?"

Pak Hilmy terdiam. Lalu menggeleng dengan ragu.

Rahman lagi-lagi tersenyum. Pak Hilmy adalah gambaran khas orang-orang berusia senja yang sedang menghadapi post power syndrome. Normalnya, dua tahun lagi pria senior ini purna jabatan. Mungkin secara fisik beliau masih terlihat segar dan penuh semangat. Namun faktor emosi yang semakin labil sangat berbahaya bagi seorang decision maker seperti pria senior ini.

"Saya memiliki dua opsi yang mungkin akan menarik bagi Pak Hilmy," kata Rahman kalem. Opsi yang sudah dia pikirkan masak-masak dalam waktu cukup singkat. Opsi yang dia putuskan setelah keluar dari ruangan Rara setengah jam yang lalu.

"Coba katakan, Pak Rahman. Biar saya bisa mempertimbangkan."

Rahman mengambil jeda beberapa saat sebelum berbicara. "Pertama, Pak Hilmy bisa kembali ke kantor pusat. Di sana Bapak bisa menunggu masa pensiun dengan damai, mengerjakan tugas-tugas yang tidak terlalu berat, dan meninggalkan cabang serta proyek ini untuk kami selesaikan."

Pak Hilmy mengerutkan kening, tidak menutupi kecurigaannya pada niat Rahman.

"Atau opsi kedua, Pak Hilmy bisa tetap bertahan di sini. Kami dari kantor pusat akan menunggu laporan saja dan berjanji tidak akan intervensi apa pun, membiarkan Pak Hilmy menyelesaikan keruwetan di sini menurut cara Pak Hilmy. Termasuk mau memecat siapa pun yang Bapak inginkan. Silakan mencari solusi sekaligus sumber pembiayaan untuk pembengkakan biaya konstruksi itu, kalau memang ada."

Rahman sengaja menekankan pada kalimat terakhir ini. Sulit sekali memancing pengakuan pria di depannya ini untuk jujur bahwa proyek ini bermasalah. Dan Rahman juga tahu kalau dirinya sedang berjudi dengan menawarkan opsi ini. Buah simalakama yang tidak akan menguntungkan posisinya sama sekali. Karena orang seperti Pak Hilmy pasti akan mencari jalan paling mudah untuk menyelamatkan diri, tak peduli efeknya pada orang lain.

"Apakah kalau saya memilih opsi pertama, artinya semua masalah di sini tidak lagi menjadi tanggungan saya?" tanya pria itu hati-hati.

Rahman mengangguk.

"Saya bebas sebebas-bebasnya?" pria itu menegaskan. "Termasuk urusan biaya konstruksi?" kali ini ada kewaspadaan di balik kata-kata Pak Hilmy.

Rahman menyembunyikan senyumnya. Ternyata pancingannya mengena. Jadi pembengkakan biaya konstruksi itu memang ada. Dan tekanan yang Pak Hilmy berikan pada Rara tak lain adalah bentuk denial yang pada akhirnya hanya akan membuat proyek ini semakin terpuruk karena salah kelola. Pak tua ini liciknya memang absolut! Rahman yakin 100% kalau sebenarnya Pak Hilmy pun tidak tahu cara mengatasinya. Usia telah membuat kemampuan analitis Pak Hilmy menurun drastis. Usia pula yang membuat pria ini keras kepala hingga pada tahap tidak masuk akal.

"Betul, Pak," jawabnya sambil mengangguk meyakinkan.

"Kalau opsi kedua? Artinya pihak kantor pusat akan menutup mata terhadap apa yang terjadi di sini? Semua di bawah kendali saya sepenuhnya?"

After All This Time (TERBIT) Where stories live. Discover now