After All This Time (TERBIT)

By teru_teru_bozu

3.2M 35.6K 1.8K

Terbit Maret 2023 - Metropop Gramedia Pustaka Utama Wattys2018 winner The Contemporary Everyone deserves sec... More

satu
dua
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
enam belas
After All This Time (cetak)
PO After All This Time

tiga

12.9K 2.2K 86
By teru_teru_bozu

RAHMAN menunggu hingga mereka tinggal berdua saja sebelum menanyakan sesuatu yang menggelitik pikirannya.

"Lo nitip kepentingan apa?" tanyanya to the point. Sambil berdiri di depan jendela lantai 15 gedung Dhanubrata Grup, tempat kantor Track Construction berada.

Karnaka tersenyum memandang profil Rahman. Kedekatan yang terbina sekian lama membuat keduanya bisa saling memahami dengan baik. "Selesaikan semuanya tanpa ribut sama Pak Hilmy."

"Kenapa lo protektif banget sama Pak Hilmy? Dirutnya itu lo, Bro! Pengendali dan decision maker perusahaan. Kalau emang udah nggak layak, ngapain tuh orang dipertahanin?" kejengkelan yang sejak tadi ditahan Rahman, akhirnya terluapkan.

"Pak Hilmy orang yang pernah nolong bokap gue, Man. Nggak bisa dong gue seenaknya sama beliau! Yang bener aja lo! Itu yang bikin gue mikir seribu kali buat mengambil sikap. Emang lo pikir kenapa selama ini gue diem aja dengan segala tindakan beliau yang nggak masuk akal itu?"

"Tapi dia seenaknya sendiri sama lo!" bantah Rahman sengit. "Lagian orang macam beliau hanya mau bertindak berdasarkan kepentingan. Jadi harusnya lo paham, nggak mungkin Pak Hilmy nyerang civil engineering kalau nggak punya maksud khusus. Kalau ributnya sama orang gudang atau pengadaan, gue maklum, karena di situ sumber duit. Tapi engineering? Itu posisi paling kering kerontang buat orang mata duitan kayak Pak Hilmy."

"Mungkin dia punya orang untuk ditaruh di posisi itu, jadi orang lama harus dibuang dulu."

Orang lama yang dimaksud itu kebetulan bernama Asra Najah.

"Ya udah, kalau emang dugaan lo kayak gitu, mending kadivnya aja yang dimutasi ke sini," komentar Rahman berusaha terdengar senetral mungkin untuk menyembunyikan tendensinya. "Biasanya pegawai yang sudah sampai di posisi kadiv memiliki kualitas yang lumayan. Sayang kan, kalau dibuang begitu saja hanya untuk menjaga ego orang kayak Pak Hilmy? Lagian banyak kerjaan di engineering pusat. Si kadiv bisa bekerja di sini. Semua bisa segera beres, jadi gue nggak perlu lama-lama berada di sana."

"Masalahnya ini menyangkut duit gede, Man. Bukan melulu soal buang-membuang orang! Kalau urusan ini nggak secepatnya beres, gue harus bilang apa coba saat meeting dengan para investor di Singapura? Dan itu dua bulan lagi. Gila aja lo, kalau sampai leher gue digorok mereka yang udah gelontorin duit buat mainan Pak Hilmy ini," terlihat sekali betapa tertekannya sang bos. "Hampir enam ratus miliar nambahnya. Itu angka gede banget!"

Rahman menatap Karnaka tajam. "Urusan sama Pak Hilmy emang nggak bakal mudah. Tapi sesulit apa pun itu, gue akan coba selesaikan sebaik mungkin. Lalu balik ke sini."

"Omong-omong soal Pak Hilmy, kepikir nggak sama lo, kalau beliau udah tua dan bentar lagi pensiun? Just random thought, gue pikir orang yang tepat gantiin beliau itu lo."

Rahman memelototkan mata dengan garang kepada sahabatnya. "Apa sih yang lo nggak paham dari pernyataan bahwa gue nggak akan stay di Malang?"

Membuat Karnaka tertawa terbahak-bahak. "Jangan buru-buru mutusin, Bro! Ini urusan serius yang perlu waktu buat mikirin. Kan, gue juga nggak minta lo langsung jawab. Sekarang lo capek banget kayaknya, makanya mood lo jelek."

Rahman mengusap rambut ikalnya yang mulai panjang.

"Lo bisa berangkat besok?"

"Gila! Kasih gue waktu buat istirahat dan bersiap-siap."

"Siap-siap apaan?" tanya Karnaka. Lalu matanya mengerling jail menangkap satu peluang untuk kembali menginsengi juniornya ini. "Emang lo mau siap-siap buat pindah domisili? Pastiin lo urus surat pindah dengan benar biar masalah KTP ntar lebih mudah."

"Gue cuma perlu potong rambut. Bukan ngurus surat pindah domisili!" Rahman memelototkan matanya dengan geram. "Lo seneng banget ya, bikin gue sebel."

"Kalau bukan gue yang resek gangguin lo, lalu siapa lagi?" Karnaka balas bertanya dengan geli. "Muka lo emang kusut banget hari ini. Emang kapan nyampe?"

"Jam dua dini hari tadi. Pesawat delay."

"Dan lo langsung ngantor gini?" tanya Karnaka sok dramatis sambil menggeleng-geleng. "Berapalah gue harus bayar gaji karyawan yang dedikasinya seperti lo? Tapi kalau dipikir-pikir, ngapain juga lo di rumah kalau nggak kerja. Keluarga nggak ada, istri nggak punya ...."

"Ada masalah apa sih, lo?" potong pria itu sebelum Karnaka semakin menjadi. "Jangan bilang gue harus bertanggung jawab pada lemak yang mulai muncul di perut lo itu," Rahman balas mengejek, sambil memandang seniornya yang mulai terlihat kepayahan bertarung dengan lemak tubuh.

"Salahkan bini gue untuk urusan lemak ini. Dia yang hamil, kenapa gue yang mulai buncit?" keluhan itu dilontarkan tanpa penyesalan. Rahman bahkan menangkap rasa bangga pada ekspresi temannya ini. "Dan gue serius banget soal bini ini, Man. Lo harus bener-bener udah mikirin berkeluarga lagi. Betah bener jadi duda. Udah berapa lama? Lima belas tahun? Atau dua puluh lima?" sindir Karnaka menyebalkan.

"Baru sebelas tahun. Jangan lebay dan pura-pura pikun. Pikun beneran tahu rasa, lo!"

"Pria normal ...."

"Jangan memulai! Gue normal, seratus persen!" tangkisnya cepat.

"Nah, ini salah satu ciri duda jablay. Sensi dan gampang emosi," balas Karnaka tak mau kalah. "Apa kabar hubungan lo sama cewek bule itu?"

Rahman menggeleng. Jasmine bukan bule. Dia hanya janda ekspatriat yang mantan suaminya sudah lama kembali ke negara asalnya. Dan sekarang wanita itu mengisi waktunya di sela kesibukan travelling dan menjalin hubungan tanpa ikatan dengan pria-pria yang kebetulan cocok dengan gaya hidupnya. Salah satunya adalah Rahman. Paling tidak sampai setengah tahun lalu. "Emang apa peduli lo soal Jasmine?"

"Bukan Jasmine atau siapalah itu namanya, yang gue peduliin. Tapi lo, Man. Cara lo berhubungan dengan cewek-cewek itu yang bikin gue susah buat respek. Sampai kapan lo mau kayak gini? Menjalin hubungan nggak jelas dengan perempuan yang juga nggak jelas. Tobat dong, Bro!"

"Lo kalau ngomong udah kayak nyokap gue aja."

"Man ...."

"Gue udah putus sama Jasmine awal tahun ini," katanya tenang. "Kemudian gue mondar-mandir Jakarta-Sumatra karena pekerjaan yang nggak keruan ruwetnya. Mana sempat gue memulai hubungan baru lagi? Gue lebih banyak di tengah hutan."

"Hm ...."

"Jadi bisa dibilang tahun ini gue masih sesuci perjaka. Puas?"

Karnaka menyemburkan tawa, membuat Rahman mendengus sebal. Beda status dan jabatan, serta selisih usia empat tahun di antara kedua pria ini tidak membuat hubungan mereka kering dari humor.

"Udah cukup ngobrolnya, kan? Kalau iya, mending gue angkat kaki dari sini dan lanjut kerja," tantangnya.

"Yaelah, Man. Gue yang punya perusahaan, kenapa lo yang lebih posesif sama pekerjaan? Kan gue jadi nggak enak," cibir Karnaka. "Jangan paksa gue bayar lo lebih banyak lagi. Karena lo hidup sendiri, jadi life expenses lo nggak banyak karena sebagian besar waktu lo habisin di lapangan. Gue jadi merasa berdosa kalau kasih duit lebih yang lo nggak bisa nikmatin."

Rahman tertawa sumbang oleh candaan penuh hinaan dari Karnaka. Tidak mungkin baginya mengaku terus terang pada seniornya ini tentang bagaimana dia menjalani setiap detik kehidupannya. Dan alasan di balik kegilaannya pada pekerjaan. Tanpa risiko semakin dijadikan bulan-bulanan.

Entah apa komentar Karnaka andai tahu bahwa bagi Rahman, suasana kantor yang sibuk jauh lebih menarik daripada suasana sepi di apartemennya. Dan bertemu dengan orang banyak serta memecahkan berbagai masalah jauh lebih menyenangkan daripada hanya berbaring sendirian di ranjang seperti orang tua yang kesepian. Delapan tahun berlalu sejak Karnaka mengajaknya bergabung di Track Construction. Dan hidupnya kini hanya berputar pada aktivitas lapangan dan kantor. Bergerak dari satu proyek ke proyek berikutnya. Jadi hidupmu buat apa lagi kalau tidak digunakan untuk kerja, Man?

"Lo emang paling resek ngatur hidup gue."

Dan Karnaka tidak bisa menahan tawa melihat kejengkelan Rahman. "Gue seneng aja lihat lo masih bisa marah-marah gini. Tandanya lo masih normal. Jujur deh sama gue. Selama ini, hanya gue kan, yang bisa memancing sisi defensif lo?" tanya Karnaka berpuas diri.

Rahman melengos kesal. Tetapi dia tidak akan mau mengakui kalau seniornya benar. Hubungan mereka sudah seperti kakak adik yang selalu ribut, tetapi saling mendukung dan saling membutuhkan. "Lo pikir gue nggak paham dengan trik social construct lo, hanya agar gue menerima pendapat lo? Kalau nyinyir mah, nyinyir aja!"

"Tapi gue memahami lo, Man."

"Paham apanya? Lo nggak pernah jadi gue, kan?"

"Tapi gue pernah berada di posisi dan usia kayak lo, Man. Ketika gue merasa hidup gue nggak guna. Kerja, terima duit, belanja ngabisin duit, kerja lagi. Begitu terus. Berputar pada siklus yang seolah tanpa akhir, dan hanya berujung pada kekosongan. Gue merasa terjebak sampai gue bertanya ke diri sendiri buat apa gue hidup kalau cuma ngelakuin kayak gini."

Ucapan Karnaka seolah mendorongnya untuk bercermin pada diri sendiri serta kehampaan yang semakin dia rasakan dalam hari-harinya. Tetapi mana mau Rahman mengakuinya secara terus terang, yang hanya akan memberi kepuasan pada Karnaka karena membuktikan teorinya benar? "Dan lo menganggap pernikahan sebagai jalan keluar dari situasi itu?" tanya Rahman curiga.

"Dalam kasus gue, iya. Menikah kembali ternyata bisa menjadi salah satu solusi hidup gue. Karena buat gue, moral gue sebagai laki-laki tercermin dari cara gue memperlakukan perempuan. Dan memberinya status sah adalah bentuk penghargaan tertinggi gue pada perempuan. Gue merasa damai ketika tahu gue melakukan sesuatu dengan benar."

Rahman terdiam. Pemberontakan yang dilakukan pria itu dalam diam, membuat Karnaka tertawa geli. "Gue tahu, lo beda. Dan formula ini nggak harus berlaku buat lo."

"Oke, deh. Gue udah relain kuping gue pengeng dengerin khotbah lo tanpa membantah. Apakah sebagai imbalannya setelah ini lo bakal berjanji nggak bahas kehidupan seks gue sama siapa pun lagi?" tanya Rahman dengan mengancam.

Pilihan kata Rahman membuat Karnaka menyeringai. "Kalau bukan urusan seks, bagaimana kalau kita lanjut pembahasan tentang peluang lo menikah kembali?" tanya Karnaka masih jail.

"Warning masih berlaku. Jangan coba-coba lo jodohin gue dengan siapa pun. SIAPA PUN!" Rahman melanjutkan dengan tegas.

"Lo takut amat sama pernikahan," ejek Karnaka.

"Karena pernikahan udah nggak cocok lagi buat gue. Pernikahan hanya ideal buat yang berusia dua puluh delapan sampai tiga puluh lima tahun. Yang hormonnya stabil."

"Dan lo? Hormon lo emang udah jompo gitu?" tanya Karnaka sambil tertawa terbahak-bahak.

Di usianya yang mulai menginjak kepala empat, Rahman memang mulai merasakan kalau dirinya sudah tidak terlalu ambisius lagi dalam beberapa aspek hidup. Seperti pekerjaan ini. Hanya karena merasa pekerjaannya ini masih berguna bagi orang banyak, dan keberadaannya bisa membantu menggerakkan roda ekonomi ratusan karyawan yang hidupnya bergantung pada gaji bulanan yang diberikan perusahaan ini, Rahman masih bisa memberi alasan pada diri sendiri untuk apa dia bekerja setiap hari.

Juga dalam hal berpasangan, yang menjadi salah satu naluri paling dasar dari manusia. Pelan-pelan Rahman mulai menghindari hubungan tanpa ikatan dengan wanita. Tetapi untuk menjalani komitmen yang melibatkan akad nikah, terus terang pria itu belum ingin mempertimbangkannya kembali. Selalu saja ada alasan baginya untuk menunda memikirkannya secara serius. Yang semua bersumber dari pelajaran berharga yang dia dapatkan saat pernikahannya kandas. Demi berdamai dengan dirinya sendiri, akhirnya Rahman memilih diam.

Bukan sekali dua kali Karnaka mengingatkannya dengan kata-kata "Tobat dong, Bro!" Kata-kata yang semakin mengusik ketentraman hatinya. Dan tepat seperti kata Karnaka, akhir-akhir ini Rahman mulai sadar bahwa apa yang dijalani selama sebelas tahun terakhir ini telah mulai membentuk siklus yang secara perlahan namun pasti memerangkapnya dalam hidup tanpa arti. Mengejar sesuatu yang tidak bermakna, yang hanya berujung pada kehampaan.

Bahkan sekarang aku telah menjadi orang yang harus selalu memberi alasan kepada diri sendiri untuk setiap hal yang kulakukan.

***

Continue Reading

You'll Also Like

464K 75.1K 20
Cerita tentang Arum dan Yusra. Pastry Chef yang sedang berjuang mewujudkan impiannya melalui toko roti sederhana yang didirikannya. Hingga seorang ak...
269K 20K 11
[Sebagian part sudah dihapus. Buku tersedia di Shopee & Ebook tersedia di Playstore. Link ada di bio] Ekspresinya yang datar, irit bicara, dan sikapn...
441K 30.5K 41
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
289K 8.1K 45
GREEZELLA SYERRA AELFDENE, atau yang dikenal dengan QUEEN ZELLA. Seorang gadis yang dijuluki Queen bullying di SYERRA HIGH SCHOOL. siapapun tidak ber...