HaruJo

By MissHanyu7590

48.9K 4.9K 364

Aku melihat nyala api di curuk iris matanya telah padam. Cintaku, belahan sukmaku telah kehilangan jati dirin... More

Bagian 1: Cinta
Bagian 3: Jonathan
Bagian 4: Haruka
Kartu Nama
Bagian 5: Sugar Dating
Bagian 6: Sepemikiran
Bagian 7: Bergairah
Bagian 8: Wanita
Bagian 9: Gemas
Bagian 10: Sweet Gal
Bagian 11: Bersikap Tenang
Bagian 12: Anak Polos
Intermezzo
Bagian 13: Stupid Bastard
Bagian 14: Pertama Kali

Bagian 2: Berbeda

4K 453 26
By MissHanyu7590

"Good evening, sir. Welcome to The Aston Sentul Hotel. How can I help you?"

"Saya sudah memesan kamar melalui ticket.com. Suite room dengan double bed atas nama Jonathan Robsahm."

"Pffft!" Haruka tidak kuasa menahan tawa. Jelas sekali ia tergelitik karena sudah seringkali menyaksikan ketidaktahuan orang-orang akan kemampuanku dalam berbahasa Indonesia.

"Ah... baik. Sebentar ya pak." Mata wanita penerima tamu itu sedikit membelalang lalu berusaha seprofesional mungkin menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia cepat beralih memandang layar monitor dan mencari namaku.

"Baik, saya ulangi ya pak. Satu suite room dengan double bed atas nama Pak Jonathan Robsahm?"

"Betul."

"Tunggu tunggu. Kamu pesan suite room...?" Haruka yang tadinya tertawa seketika memandangku dengan ekspresi serius.

"Iya. Supaya lebih romantis dan cocok juga buat kamu yang mager ke luar kamar. Kenapa?" Tanyaku balik.

"Gapapa." Haruka menggeleng-gelengkan kepalanya bak anak kecil. Bibirnya termanyun.

"Kamu mau kamar yang lain?" Tanyaku lagi memastikan.

"Nggak nggak. Apa yang kamu pesan, kita ambilnya itu!" Seru Haruka sambil menjentakan jarinya di atas meja resepsi. "Btw aku nggak mau tahu harganya. Aku mau tutup kuping dulu."

Aku hanya bisa menahan tawa. Haruka. Dia memang selalu suka seperti itu.

***

"Susah nggak Jo jadi bule di Negara Rumpun Melayu begini?"

Setelah sampai di kamar hotel, Haruka langsung berceletuk dengan sebuah pertanyaan lucu.

"Nggak." Jawabku tanpa berpikir panjang. "Malah aku merasa lebih baik, meskipun orang-orang suka salah sangka kalau aku berasal dari Inggris atau Amerika."

Mata heterokromia biru hijau, rambut coklat keemasan, hidung mancung, kulit putih kemerahan, dan berpostur tubuh tinggi adalah apa yang dikenali orang-orang di sekitar terhadapku. Sebagai informasi, aku berasal dari salah satu negeri Nordik, Norwegia.

Politik apertheid di Afrika tahun 1948 adalah pemicu penyebarluasan rasialisme anti-hitam sekaligus supremasi dari kaum kulit putih. Meskipun politik tersebut sudah dimusnahkan sejak bertahun-tahun silam, di abad maju seperti sekarang ini, orang-orang bermental rasis tetap saja masih mengakari kehidupan masyarakat di negara mana pun, termasuk Indonesia.

Tidak jarang aku menemukan orang-orang yang merasa inferior ketika berada di dekatku. Rasanya seperti... mereka memujaku. Tapi Haruka adalah satu dari segelintir orang yang mengenalku karena aku adalah Jonathan, aku adalah aku. Dan itu adalah alasan kedua kenapa aku mencintainya.

"Kalian punya wajah yang sama. Ras kaukasoid memang tipikal." Celetuk wanita berambut hitam logam itu sembari melepas jaket denim dari tubuhnya.

"Bagaimana denganmu, nona keturunan Jepang? Sulit beradaptasi dengan lingkungan...?" Godaku sembari meninggikan alis kanan. Kusampirkan jaket parka hitamku ke gantungan tiang berdiri di dekat pintu.

"Pertama, aku keturunan Jepang generasi ketiga jadi 75 persen darahku adalah dari genetik orang Indonesia. Kedua, aku hanya nggak suka bergaul dengan banyak orang. Dan ketiga, Chitra adalah nama asliku." Sanggah Haruka seraya menatapku.

Ia berjalan mendekat dan berjinjit. Mendongak ke arah wajahku.

"Ini sudah malam dan kamu bertambah tinggi."

"Itu karena kamu sudah melepas sepatumu," Ucapku sembari menyunggingkan senyum. "Tinggimu hanya sebatas pundakku."

"Hei! Itu nggak benar! Aku setengah dari lehermu!" Ujar Haruka sedikit kesal.

Aku tertawa pelan. Menepuk kecil lalu mengusap lembut kepala wanita itu.

Aku dan Haruka tertegun sejenak. Dua pasang mata saling menatap, memerhatikan masing-masing keindahan ceruk iris yang menghiasi kornea kami.

Iris mata wanita itu sangat hitam. Tapi aku bisa melihat nyala merah yang terpancar di antara serabut hitam itu.

Kugenggam kedua lengannya. Menyambar bibir kecilnya. Menutup kelopak mata kami. Merasakan kulit kuning langsatnya di sekujur wajahku. Kulingkarkan lengannya ke pundakku lalu memeluk pinggangnya dengan erat.

"Sehabis mandi akan lebih enak." Haruka berbicara dengan suara kecil.

Aku mengangkat sedikit kelopak mata kananku.

"Bagaimana kalau mandi bersama?"

"Terlalu cepat untuk itu!" Haruka menjawab pertanyaanku dengan sangat cepat sembari menggeleng kilat. Ia mendorongku jauh-jauh. Wajahnya seketika memerah.

"Aku mandi duluan." Haruka meraih kopernya yang masih tergeletak di dekat pintu.

Aku memerhatikannya dari belakang seraya menyilangkan tangan. Apa ia kira aku tidak tahu ia sedang berusaha menyembunyikan wajahnya?

Aku memindai pandanganku ke sudut-sudut ruangan. Mengambil langkah demi langkah lalu menoleh ke arah jendela kaca yang luas memenuhi satu sisi ruangan. Gemintang bertebaran menghiasi gulita langit dan menemani rembulan yang menyembur kirana. Bangunan-bangunan bercahaya jauh di bawah kami menghiasi lembah pegunungan dengan sangat apik. Memesan kamar hotel dengan menyajikan panorama yang luas dan indah merupakan tindakan yang membanggakan.

Aku beralih melangkah mendekati sofa dan duduk memanjakan diri. Nirwana kecil di balik kaca itu cukup melepas letih dan penatku yang sudah berkendara selama tiga jam ini. Selama menikmati pemandangan selama beberapa menit, Aku menatap kedua kakiku. Ternyata aku masih mengenakan kaos kaki abu-abuku. Kuturunkan tepi kaos kaki yang melingkari betis kananku. Menarik ujung lainnya dari jemari kakiku dan terlepas satu buah. Tidak lama, aku mendengar langkah kaki dari sisi ruangan yang lain.

"Jonathan, giliranmu." Haruka menyambarku yang masih duduk di tengah-tengah sofa.

"Hm?" Aku mendongak kearahnya. Mendelik keheranan.

"Giliranmu mandi." Ucap Haruka sembari memiringkan kepalanya.

"Oh?" Aku terkejut karena ia mandi dengan sangat cepat.

"Aku mandi selama 15 menit, for your information." Jelas Haruka berusaha menyanggah keheranan yang menguasai ekspresi wajahku.

Ah... berarti aku terlalu menikmati sofa dan pemandangan kota sampai-sampai lupa waktu.

Kulepas kaos kaki kiriku dan beranjak dari sofa. Melepas kaitan kancing kemeja biru mudaku satu persatu. Tubuhku terekspos, menyisakan celana slim fit yang tengah kukenakan.

"Hih!" Haruka memekik. Ia membuang muka dariku.

"Aku nggak pernah tahu kamu sepemalu ini." Tuturku sambil terkekeh.

"Maaf kalau aku nggak seberpengalaman dirimu, pak tua." Balas Haruka seraya mengejekku. Ia berjalan menjauhiku.

"Kasar." Ucapku singkat.

Selagi kakiku melangkah masuk ke kamar mandi, aku masih tertawa memikirkan reaksi istriku itu. Rasanya aku ingin terus menggodanya sampai ia mati rasa.

Siapa yang tidak suka melihat pria dengan tubuh proposional sepertiku? Aku tahu ia menginginkannya. Maaf, ini tidak ada kaitannya dengan pamer, aku hanya berusaha realistis saja. Oh, dan lagi, aku tidak terlihat tua dan tetap akan seperti ini. Kujanjikan itu.

Mandi tidak perlu memerlukan waktu lama untukku. Membersihkan tubuh, rambut, wajah, tak lupa juga menggosok gigi. Dan... sedikit mencukur rambut jambang di dekat telingaku. Setelah menyelesaikan ritual mandi di bawah gemercik air shower, Kutarik handuk yang sudah disediakan di pojok ruangan lalu kukeringkan wajah, rambut, dan tubuhku.

Aku melangkah keluar kamar mandi sembari membalut tubuh dengan bathrobe. Kudapati Wanita itu sedang duduk termenung di sofa seraya menopang dagu, memandangi panorama kota dan alam.

Kutaruh ujung-ujung jariku di atas pundak wanita berhidung kecil itu, memijatnya pelan.

"How's the view?" Tanyaku lembut.

"Mmm... bagus." Ucap Haruka sembari melenggut. Ia masih memandang ke arah pancarona kota.

Aku tersenyum. Kulingkarkan kedua lenganku di pundaknya, berayun ke depan dan belakang. Rambutnya yang lembab sedikit membasahi wajahku, tapi aku tidak peduli. Kusentuh tengkuknya dengan ujung hidungku, menjelajahi tubuh wanita itu dengan penuh hasrat. Ia sedikit menggeliat.

"Aku benar-benar menunggu momen ini." Tuturku sembari memejamkan mata.

Haruka menghela napas. Mulutnya sedikit ternganga lalu bergerak menciptakan kata-kata serupa.

"Sebenarnya aku juga," Bisik Haruka seraya menoleh ke arahku. Tangan kecilnya meraih rambutku yang juga lembab. "Akhirnya aku bisa sedikit bernapas."

Dua pasang mata kami saling bertemu. Cahaya ruangan dan gelapnya permadani langit malam menciptakan perpaduan yang hangat dan penuh eksotis. Wajah kami hanya terpisah beberapa inci. Sekonyong-konyong dengan gilanya, tanpa malu-malu, kudekap bibirnya dengan bibirku. Gerakan naik turun yang tercipta dari permainan bibir kami menambah hikmat suasana hangat sehangat musim panas di Oslo.

Suara cumbuan menyelingi aktivitas kami. Api sulbi yang kian membuncah tidak bisa ditahan lagi. Dengan cekatan, bergerak gancang, kuangkat wanitaku setinggi-tingginya dari genggaman kedua tanganku, mencium lagi bibirnya, kemudian kuhempaskan tubuhnya di atas kasur yang melenting.

"Besok, kita akan menghadapi hari yang berbeda," Kataku dengan suara kecil. "Berbeda... jika dibandingkan dengan hari kali pertama kita bertemu."

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 190K 30
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
239K 748 9
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
6.6M 332K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.3M 18.2K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...