Ex: The Daisy || Na Jaemin

By precioushin

1M 179K 23.1K

Poin penting dalam hidup adalah menghargai sesuatu yang telah kamu punya. Tapi sayangnya, Jaemin terlambat m... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
47
[-] Interupsi
48
49
Intermezzo : Jaemin's Day
50
51
Intermezzo : We Ended Up Like This
52
53
54
55

46

8.9K 1.6K 192
By precioushin

Tandai typo ya

Enjoy!!












Ga tau udah yang ke berapa kalinya dalam hampir satu setengah jam ini, Chaesa melamun dengan benak yang berisik. Tatapannya terlihat kosong dan menerawang. Sejak awal menemani mama ke pasar tadi, dia jarang banget mengajak mama ngobrol, lebih sering terlarut ke dalam pemikirannya yang selalu aja rumit itu.

Sentuhan pelan di lengannya membuat Chaesa menoleh, ternyata mama udah selesai membeli sekantong penuh selada. Tatapan mama kelihatan bingung, bertanya-tanya kenapa anak gadisnya justru melamun di pasar yang ramai ini.

Chaesa mengukir senyuman, terpaksa. Dia gamau membuat mama khawatir karena dia yang mendadak pendiam kayak gini. Tangannya terulur, mengode ke mama buat ngasih kantung selada di tangannya.

Mama justru mengibaskan tangan ke kiri dan kanan. "Biar Mama aja, tangan kamu udah penuh gitu."

"Tapi aku masih bisa bawa, Ma."

"Engga, Mama aja."

Chaesa merengut, memilih mengalah dan mengikuti langkah mamanya dari belakang. Mama melangkah keluar pasar, karena semua bahan makanan udah dibeli.

Menoleh ke belakang, dia menatap anaknya yang berjalan dengan gontai. Sebenarnya, mama Jo tau kalo anak gadisnya itu ga fokus dari tadi, pikiran Chaesa udah melalang buana kemana-mana.

Tangan mama Jo terulur, menarik pelan tangan Chaesa buat menyejajarkan langkah mereka. "Kamu kenapa? Dari tadi melamun terus."

Chaesa menggeleng pelan. Ga mau jujur dan menjawab.

Di benaknya sekarang, dengan kurang ajarnya dipenuhi oleh kata-kata Kim di sekolah tadi. Seolah kata-kata itu berhasil tersimpan di salah satu sudut benaknya dan terus-terusan berulang kayak kaset rusak.

Rasanya mengganjal, membuat Chaesa memikirkan lagi semua hal yang udah dilakukannya selama ini.

Ternyata, jadi orang baik ga selamanya menyenangkan. Ternyata, semua yang dilakukannya selama ini mengusik kebahagaiaan orang lain.

Sentuhan di lengannya lagi-lagi menyentaknya. Begitu menoleh, tatapan mama adalah yang pertama kali dilihatnya.

"Busnya udah mau datang. Nanti kamu ketinggalan, jangan melamun terus ah."

Chaesa terkekeh pelan, mengangguk mengiyakan dan memilih buat menggandeng tangan mama.

Ga lama, bus yang mengarah ke rumahnya berhenti di halte, membuat mereka langsung melangkah naik memasuki bus. Untungnya, keadaan bus ga terlalu ramai, jadi mereka bisa dapat tempat duduk.

Embusan napas lega keluar dari sela bibir Chaesa begitu plastik-plastik di tangannya akhirnya bisa juga dilepas dan ditaruh di lantai bus.

Begitu menyandarkan punggung ke sandaran bus, buat yang ke sekian kalinya Chaesa dibuat tersentak karena pergerakan tiba-tiba mamanya. Mama meraih tangan Chaesa ke genggaman hangatnya, mengelus lembut punggung tangan anaknya.

Mata cewek itu memerhatikan lamat ekspresi mama. Ada senyuman tipis yang sukar diartikan di bibir sang mama, juga tatapan hangat yang menyimpan beribu rahasia.

Selama 18 tahun hidupnya, kayaknya banyak hal yang belum diketahuinya tentang sang mama.

"Kamu harus selalu jadi orang baik ya?"

Chaesa terdiam, terhenyak begitu mengartikan gerakan tangan sang mama.

"Walau ga selamanya menyenangkan, tapi kamu tetap harus jadi orang baik." Senyuman hangat itu hadir lagi di bibir sang mama. "Mungkin kamu ga dapat balasan di dunia, tapi Tuhan bakalan membalas kamu di akhirat nanti."

Tatapan Chaesa berubah menjadi sendu begitu menelisik jauh ke dalam bola mata hitam sang mama. Ada banyak hal yang mau dia sampaikan, tapi semuanya tertahan di lidah karena sekali lagi, dia ga mau membuat mamanya khawatir dan sedih.

"Kamu juga harus selalu bahagia. Ya? Janji ke Mama?" Jari kelingking mama teracung ke arah Chaesa, tapi yang dia lakukan cuman terdiam menatap ke jari-jari yang selama ini menggenggam hangat tangannya itu.

Bukannya mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking sang mama, Chaesa justru beralih menggenggam tangan sang mama dan membawanya ke atas pangkuan.

Dia... ga bisa berjanji.

Gimana nantinya kalo Chaesa ga bisa berbahagia?

Embusan napas pelan keluar dari sela bibir mama Jo. "Nanti, kalo Mama udah ga ada, janji ke mama kamu harus tetap jadi orang baik."

Chaesa menunduk, mendadak hatinya berdenyut sakit. Sisi emosionalnya berhasil mengendalikan dirinya sekarang, mati-matian dia menahan diri buat ga menangis di sini.

Kepalanya menggeleng pelan, menolak buat menatap lagi pergerakan mamanya karena Chaesa tau, topik pembicaraan yang ada di antara mereka ga bakal bisa dia terima sampai kapan pun.

Dia... ga sanggup membayangkan gimana hidupnya tanpa sang mama di sisinya.

Sebelah tangan mama yang bebas bergerak merapikan helaian rambut Chaesa. "Gapapa kalo kamu ga bisa janji ke Mama." Ada jeda sejenak yang dipakai mama buat menatap lamat anak gadisnya. "Tapi kamu harus janji ke diri sendiri buat bahagia. Maaf karena mama selalu menuntut kamu buat jadi kuat, tapi dunia memang sejahat itu, Nak. Kamu harus jadi kuat buat bertahan."

Chaesa menggeleng sekali lagi, kepalanya makin tertunduk dalam karena sekarang air mata berhasil jatuh membasahi pipinya.

"Maaf karena Mama belum bisa membahagiakan kamu." Mama Jo menutup mata erat, beralih memeluk anaknya dari samping, menyandarkan jidatnya di sisi kepala sang anak.



🌼



"Lo gapapa? Muka lo pucat." Pertanyaan ini adalah yang pertama kali Chaesa dengar begitu dia selesai mengganti seragam karyawannya kembali jadi baju casual.

Begitu menoleh, dia mendapati sosok Jinyoung yang berdiri di dekat ruang ganti, bersandar dengan tas Chaesa di genggamannya.

"Tas gue kenapa di lo?" Tanya cewek itu sambil meraih tasnya.

Jinyoung mengembuskan napas pelan dan memerhatikan muka pucat cewek di hadapannya. "Lagian tas malah ditinggal gitu aja di lantai."

"Eh? Iya kah? Ga inget." Dia benar-benar ga inget udah mengeluarkan tasnya dari loker tadi, soalnya buru-buru ganti baju.

Maunya langsung pulang aja, soalnya badannya kerasa benar-benar gak enak sekarang. Ditambah perasaan sesak di hatinya sedari tadi pagi belum hilang sama sekali. Chaesa masih sibuk mempertanyakan kejadian tadi pagi, juga sibuk mempertanyakan seberapa besar kebencian Kim buat dirinya.

"Ayo, gue janji mau nraktir lo."

Chaesa baru aja mau bersuara ketika Jinyoung menyela dengan cepat, "ga ada penolakan. Ayo"

Bukannya ikut melangkah mengikuti Jinyoung, Chaesa justru terdiam dengan tangan yang menggenggam erat tali tas digenggaman.

Setelah kejadian tadi pagi... bukannya lebih baik dia sedikit memberi jarak ke orang-orang? Kalo dipikir-pikir, omongan Kim ada benarnya ya?

Kamu emang ga pantes dikelilingi orang-orang baik, Chaesa. Batinnya berkata lirih.

"Oi, ngapain diem di sana?"

Chaesa mendongak, menatap Jinyoung di depan sama dengan tatapan menerawang. Harusnya... dia ga usah berteman sama Jinyoung dari awal. Harusnya dia ga mengenal Jinyoung dari awal. Begitu juga dengan Chani, Haechan dan Jaemin. Harusnya dia ga mengenal mereka dari awal dan ga memasuki dunia mereka.

Harusnya dia tetap jadi Jo Chaesa si kutu buku yang hobi menyendiri.

"Ck, ayo." Jinyoung melangkah ke arah Chaesa, hampir meraih tangan cewek itu tapi Chaesa justru menghindar dengan menyandang tasnya di kedua bahu.

"Ga perlu, Jinyoung. Gue nolong lo juga dengan lapang dada kok. Jadi lo ga perlu traktir. Ga perlu ngerasa ga enak juga. Bukannya kita emang harus saling membantu?"

Jinyoung terdiam beberapa saat, menelisik jauh ke dalam tatapan Chaesa dan langsung menyadari ada yang aneh dari cewek itu.

"Gue beneran gapapa kalo terus lo mintain tolong. Jadi lo ga perlu merasa berhutang dan merasa harus membalas gue kayak gini." Senyuman kecil terukir di bibir cewek itu. "Gue duluan ya."

Tanpa menunggu respons Jinyoung, Chaesa langsung melangkah keluar dari restoran melalui pintu samping. Embusan napas berat keluar dari sela bibirnya seiring dengan langkahnya yang semakin menjauhi restoran.

"Jo Chaesa!" Seruan ini membuat langkahnya terhenti. Begitu menoleh, dia mendapati Jinyoung lagi berlari kecil ke arahnya.

Jidat Chaesa berkerut. "Kenapa?"

Langkah Jinyoung akhirnya berhenti tepat di hadapan Chaesa. Bukannya langsung bersuara buat merespons pertanyaan sederhana Chaesa tadi, Jinyoung justru terdiam menatap lurus ke cewek itu. Tatapannya terkesan sukar diartikan, membuat Chaesa merasa kebingungan setengah mati karena nyatanya baru kali ini Jinyoung menatapnya dengan tatapan kayak gitu.

Biasanya, cowok bermarga Bae itu bakalan menatapnya dengan tatapan dingin atau datar.

"Oke, anggap kalo ini bukan buat balas budi. Anggap aja kalo gue mau nraktir lo sebagai temen. Oke? Kita temen kan?"

Chaesa mengalihkan tatapan. Ga tau kenapa dia justru merasa kalo dia ga pantas buat menjalin pertemanan dengan Jinyoung. "Kita cuman partner kerja. Bukan temen."

Mata Jinyoung terlihat sedikit melebar mendengarnya. "Lo--"

"Jangan ganggu gue lagi ya, Jinyoung?"

Bibir Jinyoung terbuka, tapi gaada satu pun kata yang keluar dari sana karena lidahnya mendadak kelu.

"Gue duluan kalo gitu." Chaesa tersenyum, sebuah senyuman yang terlihat benar-benar asing di mata Jinyoung.

Begitu sadar cewek itu udah melangkah terlalu jauh darinya, Jinyoung terburu merajut langkah, mencoba menyusul Chaesa. Sebelum Chaesa melangkah memasuki halte, Jinyoung terlebih dahulu meraih tangan cewek itu.

Tatapan kosong Chaesa adalah yang pertama kali dia lihat. "Lo-- Lo kenapa? Kenapa tiba-tiba kayak gini?"

Chaesa menggeleng pelan, mencoba melepas tangannya dari genggeman Jinyoung tapi hasilnya nihil. "Jangan kayak gini, please?"

"Harusnya gue yang ngomong gitu ke lo!" Jinyoung tanpa sadar membentak. "Lo tadi pagi baik-baik aja ke gue! Kenapa sekarang lo malah kayak gini?!"

Jidat Chaesa berkerut samar, mencoba menahan semua emosi yang rasanya meminta diluapkan. Ada banyak hal yang berkecamuk di dalam benaknya sekarang, membentuk benang-benang kusut yang ga tau dimana ujung dan pangkalnya.

"Dari awal kita emang ga pernah temenan, Bae Jinyoung."

"Bullshit." Rahang Jinyoung mengeras. "Ga pernah temenan? Omong kosong banget lo."

Chaesa mengalihkan tatapan.

"Bilang ke gue, lo sebenernya kenapa hah?" Desak Jinyoung, menatap serius ke cewek di hadapannya.

Tapi gaada satu pun jawaban yang keluar dari sela bibir tipis itu. Chaesa memilih buat bungkam. Dia bahkan merasa ga berani buat balas menatap Jinyoung sekarang.

"Jo Chaesa." Panggil Jinyoung, menarik pelan tangan Chaesa berharap cewek itu mau balas menatapnya. "Kalo lo kayak gini gua justru bakalan tambah ngerasa bersalah." Lirihnya teramat pelan.

Chaesa mengambil napas dalam-dalam, memberanikan diri buat menatap Jinyoung sekarang. "Dari awal emang gitu, Jinyoung. Gue gak pernah bener-bener menganggap lo sebagai temen gue. Puas?"

Genggaman Jinyoung di pergelangan tangan Chaesa mengendur, tatapannya seolah menyimpan banyak misteri. "Oke. Kalo gitu mau lo." Katanya penuh penekanan dan langsung melangkah menjauhi Chaesa, tanpa sengaja menabrak bahu cewek itu sampai si empu bahu terhuyung mengambil langkah mundur.

Bahkan dia juga ga sadar kalo udah menjatuhkan sesuatu tepat di depan Chaesa.

Mata Chaesa melebar begitu melihat dompet Jinyoung yang terjatuh dengan posisi terbuka. Ga tau kenapa dompet itu bisa jatuh, yang jelas sekarang dia harus mengembalikannya sebelum Bae Jinyoung hilang dari pandangannya.

Memungut benda berwarna hitam itu, Chaesa justru terdiam menatap foto yang ada di dalamnya. Foto keluarga. Tanpa sosok sang mama. Cuman ada Jinyoung kecil, kakaknya dan juga papanya.

Mengerjap cepat, Chaesa langsung menutup kembali dompet itu dan menoleh ke segala arah, berharap menemukan Bae Jinyoung tapi nihil. Cowok itu udah ga kelihatan dimana-mana.



🌼



Malam ini, bukannya langsung tidur setelah bersih-bersih, Chaesa justru memilih buat berkutat dengan segala macam buku di hadapannya walau jam udah menunjukkan pukul 00.30 pagi.

Dia ga bisa tidur. Ada banyak hal yang mengganggunya, jadi dia lebih memilih buat mengalihkan pikiran buat belajar.

Berkali-kali, tatapannya tertuju ke arah dompet hitam Jinyoung yang ada di atas tas sekolahnya. Rencananya, dia mau mengembalikan dompet itu besok pagi. Walaupun rasanya pikirannya benar-benar terusik takut Jinyoung kesusahan mencari benda itu sekarang.

Embusan napas berat keluar dari sela bibirnya. Matanya kembali fokus ke buku paket di hadapannya, sedangkan tangannya beralih menopang dagu.

Bukannya meneruskan mengerjakan latihan soal, Chaesa justru terdiam dengan mata menerawang.

Dia jadi ingat potret keluarga di dompet Jinyoung tadi. Ga ada satu pun senyuman dari orang-orang yang ada di dalam foto itu. Bahkan kakak Jinyoung yang masih terlihat berumur sekitar 4 tahun sekalipun ga senyum sama sekali. Seolah... mereka ga benar-benar bahagia beradi di dalam satu keluarga. Tapi... sebenci-bencinya Jinyoung sama papanya, seengganya cowok itu masih menyimpan foto sang papa di dompetnya.

Kepala Chaesa menggeleng pelan, sadar kalo ga seharusnya dia memikirkan Jinyoung dan keluarganya.

"Tapi juga mau deh foto begitu sama mama..." gumamnya pelan, bibirnya terlihat maju, cemberut. "Mahal ga ya?" Dia meraih hpnya, mencoba mengecek harga foto studio di browser.

Bibirnya meringis pelan melihat beragam harga yang tertera di layar hpnya. Dan rata-rata memakan uang ratusan ribu.

"Sayang banget... mahal. Tapi mau... tapi duitnya bisa dipakai buat sewa rumah dan keperluan lain." Embusan napas berat sekali lagi keluar dari sela bibirnya. "Kapan-kapan aja deh."

Hp di tangannya tergeletak lagi di atas meja, seiring dengan decakan yang berkali-kali keluar dari sela bibirnya. "Jangan mikirin hal lain, Chaesaaa. Fokus aja buat biaya sehari-hari, ish." Protesnya ke diri sendiri, menyesal sempat punya pikiran buat mengajak mamanya foto studio di saat keuangan mereka ga mendukung buat itu.

Beberapa menit berkutat sama latihan soal yang menguras pikiran, gerakan tangan Chaesa yang memegang pulpen seketika berhenti begitu melihat titik-titik darah mulai mengotori buku tulisnya. Dia terburu memundurkan bangku, refleks mendongak sambil memegangi hidung.

Tangannya menggapai-gapai ke depan, mencoba meraih tisu yang ada si atas meja belajar. Dengan tenang, Chaesa membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya. Ini bukan kejadian yang pertama, jadi dia ga merasa panik sama sekali, justru merasa terbiasa.

Helaian-helaian tisu yang berubah menjadi merah kemudian terlihat mengotori lantai kamar.

"Astaga Tuhan..." Embusan napas lega akhirnya keluar dari sela bibirnya selang beberapa menit berkutat membersihkan hidungnya dari darah. Akhirnya mimisannya berhenti.

Bibirnya meringis pelan melihat tisu penuh darah yang berserakan. "Ah, semoga hari ini sekali ini aja. Jangan lagi." Dia merengut, memungut tisu-tisu itu dari lantai kamarnya dan memasukkannya ke plastik hitam, baru setelah itu membuangnya ke tempat sampah kecil di sudut kamar.

Kembali duduk di kursi meja belajar, hpnya yang bergetar panjang berhasil mengalihkan fokusnya. Matanya mengerjap cepat melihat kontak Jaemin di sana. Bukan cuman telepon biasa, tapi video call.

"Na Jaemin ngapain siiiih???" Chaesa gelagapan, langsung mencabut tisu yang masih bertengger di hidungnya dan meraih hpnya.

Bukannya mengangkat telepon Jaemin, dia justru terdiam dengan mata melotot horor ke layar pipih itu. Jantungnya berdup kencang karena nyatanya hal ini ga biasa buatnya. Jaemin ga pernah meneleponnya tengah malam gini, apalagi video call kayak gini.

Baru aja napasnya terembus lega karena sambungannya mati, panggilan masuk yang lain justru terlihat lagi di layar hpnya. Masih dengan kontak yang sama.

Refleks, Chaesa melempar hpnya ke atas meja belajar, tapi sedetik setelahnya menyesal karena dia sadar hpnya bisa aja rusak.

"Duh-- EH KE PENCET????!" Serunya panik begitu dia ga sengaja menggeser ikon hijau di layar hp.

Kekehan Jaemin adalah yang pertama kali didengarnya.

Chaesa refleks menjauh, bersandar ke punggung kursi dengan mata menatap layar hpnya was-was.

"Lucu banget sih, Sa? Eh itu kenapa cuman atap ruangan aja yang kelihatan?? Sa?? Esaaa???"

"K-- Kenapa?" Chaesa berujar ketus, masih enggan menampakkan diri.

"Muka kamu manaaa?"

Mata Chaesa melebar begitu sadar kalo Jaemin mendekatkan mukanya ke hp sampai dia bisa melihat dengan jelas muka cowok itu.

"Ngapain sih?!" Sentak Chaesa galak, kaget sekaligus deg-degan.

"Mau lihat muka kamu."

Chaesa refleks menoleh ke arah cermin, seketika mengumpat begitu sadar seberapa kacau dirinya. Sekitar bawah hidung dan dagunya dikotori oleh darah mimisannya. Gimana bisa Chaesa memperlihatkan muka kacau balaunya ke Jaemin????!!!!

"Ga punya muka."

"DIIIIIH??? KOK SEREM?????!" Pekikan Jaemin terdengar.

Duh, Chaesa beneran salah tingkah ini. Gatau kenapa dia refleks menjawab kayak gitu. Kalo dipikir-pikir... emang seram.

"Ya-- ya ngapain sih emang????" Chaesa sedikit mengintip, menatap muka Jaemin yang kelihatan kebingungan.

"Ini aku beneran lagi ngomong sama kamu, kan Sa? Jo Chaesa kan? Bukan yang lain?"

Chaesa memutar bola mata malas. "Coba lihat kontak di hp kamu."

"Tulisannya di sini 'Sayang' pake tiga love, Sa."

"Buaya darat." Gumam Chaesa refleks.

"Engga, engga. Kontak sayang cuman kontak kamu doang, Sa. Spesial pakai love tiga."

Chaesa menipiskan bibir. "Ya-ya-ya terserah."

Jaemin terkekeh, sekali lagi mendekatkan mukanya ke hp membuat mata Chaesa melebar.

Na Jaemin ngapain sih???! Gerutunya dalam hati. Ga baik buat jantung melihat Jaemin dari jarak sedekat itu.

"Lihat muka kamu dulu."

Chaesa berdecak, akhirnya mengangkat hpnya dan menyejajarkan dengan muka. Tapi dia sengaja menutup sebagian muka dengan tangannya. "Udah kan? Aku tutup nih."

"Ya jangan!!" Protes Jaemin langsung.

Chaesa mengembuskan napas panjang. "Mau ngapain lagi emang????"

"Ga kangen apa?"

"Engga."

"Sedikit pun?"

"Engga."

"Setitik?"

"Engga."

"Yah..." ekspresi Jaemin berubah sedih. "Aku kangennya sepihak dong?"

"Ya."

Jaemin menipiskan bibir. "Jangan cuek-cuek, cantik." Tangannya bergerak menyugar rambutnya ke belakang, membuat Chaesa refleks mengalihkan tatapan. "Lagi apa?" Tanya Jaemin setelahnya.

"Bernapas."

"Ya-- ya kalo ga bernapas kamu tewas lah???!" Duh, Jaemin jadi greget sendiri. Tapi dia harus sabar. "Maksudnya, lagi ngapain?"

"Ya sama aja???"

"Ya-- ah terserah deh." Jaemin merengut, bibirnya kelihatan maju.

Diam-diam, bibir Chaesa yang masih kotor karena darah itu menyunggingkan senyum. Duh, ini ga etis banget rasanya dia senyum-senyum dengan darah mengering di daerah hidung bibir dan rahangnya.

"Tidur sana."

Mata Jaemin melebar mendengarnya. "Duh, Sa. Ga baik buat jantung ternyata kalo kamu perhatian gini."

"Apa sih. Lebay."

Jaemin tertawa, terdengar hangat. "Serius ituuu."

"Iya terserah."

Jaemin mengulum bibir, memerhatikan Chaesa dengan lamat. "Pasti lagi belajar ya makanya belum tidur?"

Chaesa mengangguk singkat.

"Tidur, Sa. Jangan dipaksain."

Chaesa refleks menatap lurus ke arah Jaemin.

"Kalo dipaksain, takut kamu kenapa-napa."

Udah kenapa-napa.

"Sekarang tidur ya?"

"Iya."

Jaemin tersenyum lebar mendengar sahutan itu. "Okay kalo gitu. Malam, Sa. Tidur aja yang nyenyak ya? Jangan mimpi apa-apa."

Chaesa cuman mengangguk kecil, ga mau menanggapi.

"Aku sayang kamu, Sa."

Setelahnya sambungan terputus, menyiskan Chaesa yang terdiam ga mampu berkata-kata.






Bosen gak seeh??

Kayaknya sekitar 2 atau 3 chapter lagi konflik utamanya bakalan muncul deh. Kayaknya, hehe

Continue Reading

You'll Also Like

1M 61.4K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
213K 32.5K 59
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
39K 2.6K 11
«Jika dunia tidak menerima kita,mari kita buat dunia kita sendiri,hanya kau dan aku didalam nya» Lalisa Manoban. +++ GIP area! jangan ditiru 🔞
426K 43.8K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...