Wasana

By kangcilok

763K 92.4K 19.7K

[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tungg... More

Prakata
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
a/n
Bab 6
Bab 7
Bab 8
a/n
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
daripada gak update
Bab 13
Bab 14
daripada gak update vol. 2
Bab 15
Bab 16
Bab 17
BAB 18
Bab 19
?
Bab 20
Bab 21
vote
Bab 22
Bab 22 (2)
Bab 23
Bab 23 (2)
Bab 24
Question
Answer
Bab 25
Bab 26
pengakuan dosa
support me, please
Bab 27
Bab 28
Bab 28 (2)
Bab 29
Bab 29 (2)
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab Tiga Puluh Empat
Bab 35
Bab 36 (1)
Bab 36 (2)
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
tolong dibaca dan dicermati
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
Bab 58
Bab 59
Bab 60
Bab 61
Bab 62
Bab 63
Bab 64
Bab 65

Bab 34

7.1K 1.2K 352
By kangcilok

Fiqa merangkul lengan kanan Aji. Kakinya mengikuti ke mana langkah adiknya itu pergi. Kepalanya bersandar pada pundak lelaki yang kini tubuhnya sudah melebihi tinggi badannya. Wajah sembabnya tak sekalipun ia tutupi. Rasanya, seluruh penghuni sekolah harus tahu jika ia sedang tidak baik-baik saja.

"Kak, tunggu sini, ya," ucap Aji ketika hendak memasuki ruang kelasnya.

Anak itu mengetuk pintu, seorang guru wanita mempersilakannya untuk masuk. Tanpa ia sadari jika Fiqa mengikuti langkahnya.

Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depan tempat duduk milik Fanya. Kedua matanya fokus menatap ke arah di mana Damar duduk. Ada perasaan tidak terima ketika menyadari bahwa lelaki itu tidak memiliki luka separah adiknya.

"Ji." Felix memberi kode melalui matanya, meminta Aji yang sedang merapikan isi tas sekolahnya untuk melihat ke arah yang ia tunjuk dengan tatapan matanya.

Aji menoleh, mendapati Fiqa yang sedang melangkah pelan ke arah Damar.

"Kamu mukul adek aku," ucapnya dengan tatapan penuh kebencian.

Dengan cepat, Aji berlari menghampiri Fiqa. Menahan gadis itu supaya tidak melakukan hal di luar kendali.

"Kak, gak apa-apa. Aku baik-baik aja."

"Kamu berdarah."

"Damar juga berdarah, Kak." Aji berusaha untuk melindungi temannya dari amarah Fiqa. Ia sangat tahu bahwa kedua kakaknya bisa melakukan apa saja untuk melindungi adik lelaki mereka.

Fiqa menatap Aji dengan kesal. Belum sempat ia mengeluarkan kalimat selanjutnya, seorang pria dengan tubuh kekar memeluknya dari belakang dan membawanya paksa meninggalkan ruang kelas.

Pria itu, Ervano. Membawanya menuju toilet siswa yang berada di ujung koridor. Ia berusaha untuk menenangkan kekasihnya. Keduanya saling melempar argumen; Fiqa yang merasa dirinya melakukan hal yang benar dan Ervano yang merasa bahwa tindakan Fiqa sangat salah.

"Permisi," ucap seorang murid lelaki dari dalam toilet. Rupanya, sepasang kekasih itu tidak sadar telah menghalangi pintu toilet.

Murid lelaki itu terus melangkah menuju kelasnya dan duduk di bangku miliknya.

"Seharusnya mulut lo bisa dijaga. Gak usah ngadu aneh-aneh ke Damar lagi tentang Aji," ucap teman sebangkunya, Arnaldo.

"Gue gak tau kalau Damar bisa semarah itu sama Aji. Dia keliatan yang paling gak peduli ke orang lain. Gue juga kaget, Do." Murid lelaki itu, Sean, merasa menyesal telah gagal menjaga bicaranya.

Di luar ruang kelas, ada Fiqa yang sudah terlihat lebih tenang. Ia berjalan berdampingan dengan Ervano. Di depannya, ada Mel yang berjalan dengan Aji di samping kanannya. Tak lupa, Gio dan seorang guru laki-laki yang berjalan di paling depan, seolah memimpin ke mana mereka akan melangkah.

"Aji," panggil seseorang yang membuat Aji dan Mel menghentikan langkahnya.

Lelaki itu menoleh, dilihatnya Jenal yang mengulurkan sebuah amplop putih ke padanya.

"Apa ini?" Mel mengambil amplop itu.

Di belakangnya, Fiqa dan Ervano ikut menghentikan langkah mereka.

"Buka, Ma," ucap Fiqa.

Tanpa ragu, Mel membuka amplop itu. Selembar kertas izin orang tua tertera di sana. Wanita itu membacanya dengan serius. Senyumnya terukir, ditatapnya Aji dengan bangga.

"Kamu mau ikut lomba basket?"

Aji terlihat gugup. "Sebenernya ... itu kalau Mama ngasih izin."

Mel menatap Jenal. Masih dengan senyumnya, ia bertanya, "Kamu punya pulpen?"

Jenal merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah pulpen dari dalam sana dan memberikannya pada Mel.

Tanpa pikir panjang, wanita itu menandatangi surat perizinan. Aji tersenyum.

"Kamu kaptennya?" Mel melipat kertas itu dan kembali memasukkannya ke dalam amplop.

"Iya, Tante."

"Kalian udah ada sponsor?" Kini, ia kembali menatap Jenal.

"Kami didanai pihak sekolah, Tante."

"Bukan, maksud Tante, pihak yang mendanai kebutuhan kalian. Kalau ngandalin sekolah aja, Tante rasa itu kurang, ya. Mengingat dana sekolah harus dibagi rata sama kegiatan yang lain."

"Oh, saya rasa belum perlu, Tante. Kami masih kecil, masih turnamen antar sekolah."

Mel tersenyum. "Baju latihan kalian gimana? Aji kan baru, ya."

Jenal tampak gugup. "Karena Aji baru, jadi belum dapet baju, Tante ... Mungkin nunggu tahun depan. Untuk baju yang dipake saat lomba nanti, Aji bisa pake baju anggota yang lain dulu."

Wanita itu menoleh ke arah suaminya yang kini sedang sibuk berbincang dengan beberapa guru yang entah sejak kapan ikut bergabung. "Pa, tolong tas Mama."

Gio menoleh, mendekati sang istri. "Ini."

Mel menerimanya. Ia mengambil sebuah kartu nama dari dalam sana. "Pa, Aji mau ikut lomba basket."

Pria itu menatap anaknya, senyum tipisnya tak bisa ia tutupi. Sejak dahulu, ia selalu ingin melihat anak-anaknya mengikuti kegiatan sekolah dan berpartisipasi dalam perlombaan, seperti apa yang ia lakukan saat masih duduk di bangku sekolah.

Mel memberikan kartu nama itu kepada Jenal. "Ini kartu nama Tante. Kamu bisa hubungi Tante untuk bahas masalah sponsor ini. Suami saya bisa bantu urus masalah sponsor."

Mendengarnya, Gio tak bisa menutupi ekspresi terkejutnya. "Sebenernya, perusahaan saya gak bisa ngasih sponsor secara asal. Harus ada manfaat yang didapat."

Mel tersenyum licik. "Kamu tenang aja, karena Tante yakin, Keluarga Lathief bisa memberikan sponsor secara cuma-cuma. Mereka gak sepelit Keluarga Alvarendra."

Jenal menerima kartu nama tersebut dengan ragu.

"Kalau kamu gak ngehubungin Tante dua puluh empat jam dari sekarang, Tante bisa batalin perizinan buat Aji." Ia menatap suaminya sekilas, tersenyum penuh kemenangan.

Aji terkejut. Iapun menatap Jenal penuh harap.

Di belakangnya, Fiqa merasa heran dengan sikap Mel. Ibunya itu tidak pernah secara terang-terangan menyebut nama Keluarga Lathief untuk menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Nama keluarga milik Kakek memang sangat dikenal sebagai keluarga yang berpengaruh di Asia. Kekayaan keluarga mereka juga tidak diragukan lagi. Beberapa kali ia membaca berita bahwa negara ini merasa beruntung karena salah satu anggota Keluarga Lathief memilih untuk menetap di sini.

Berita semacam itu sering bermunculan di internet tanpa menyebut siapa saja anggota keluarga tersebut. Mereka hanya menyebut nama Kakek.

Fiqa sangat tahu dengan jelas bahwa ibunya bukan seseorang yang suka menyombongkan nama keluarganya atau pekerjaan suaminya. Kini, melihat wanita itu beberapa kali menyebut nama keluarga, ia yakin bahwa suamuanya tidak baik-baik saja.

Sejak tadi, Gio hanya diam. Ia kembali membawakan tas istrinya meskipun keduanya terlihat sedang tidak akur.

"Kamu mau sama Mama, atau Ervano?" tanya Mel ketika keduanya telah berada di parkiran mobil.

"Mama aja."

Ervano tersenyum, mengusap lembut puncak kepala Fiqa. "Hati-hati, ya."

Fiqa mengangguk. "Kamu juga." Iapun masuk ke dalam mobil, disusul oleh Aji, Mel, dan Gio.

"Dikit-dikit nelepon Ervano. Kurangin. Kasian dia lagi kerja jadi keganggu," ucap Gio.

Fiqa yang sedang bersandar pada tubuh adiknya, tak menjawab.

"Papa bicara sama kamu, Fiqa." Pria itu berucap tegas.

"Iya, Pa."

***

Fiqa terus mengubah posisi tidurnya. Ia menyentuh kening, meraba sebuah  kasa yang menempel pada keningnya. Kepalanya terasa pusing. Samar-samar, ia mendengar suara isak tangis.

Ia bangun dari tidurnya. Dilihatnya sang ibu yang sedang tertidur pulas. Dengan hati-hati, ia turun dari tempat tidur, berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.

Pandangannya terpaku pada pintu kamar miliknya dan Qila yang terbuka lebar. Dari sana asal suara tangis itu terdengar. Dengan ragu, ia melangkah mendekati asal suara itu. Qila tidak pernah menangis seperti ini sebelummya. Suara tangisnya terdengar begitu pilu.

Ia berdiri di pintu kamar. Dilihatnya Qila yang duduk di pinggir kasur dengan kedua kaki menggantung. Tubuhnya masih terlalu kecil untuk ukuran kasur mereka yang besar.

Menyadari ada yang datang, Qila menoleh, menatap saudara kembarnya dengan sedih. "Fiqa, aku sakit."

Air matanya terus menetes dengan deras. Wajahnya merah, rambutnya berantakan.

Dengan bingung, Fiqa melangkah mendekat. Qila menunjukkan betisnya yang kini terdapat beberapa garis berwarna merah muda.

"Aku dipukul papa," ucapnya di tengah isak tangis.

Fiqa menatap takut bekas pukulan itu.

"Aku udah bilang, bukan aku yang bikin kamu jatoh tapi papa gak percaya." Tangisan Qila pecah. "Kenapa kamu gak bilang ke papa kalau kamu jatoh sendiri?"

Fiqa kembali meraba keningnya. Ada luka yang baru saja dijahit karena ia terjatuh dan terkena batu. Tanpa merespons perkataan saudara kembarnya, ia kembali melangkah, meninggalkan kamarnya. Membiarkan Qila menangis.

Kakinya terus melangkah, menuruni anak tangga dan berhenti tepat di anak tangga terakhir. Dari sini, ia masih dapat mendengar suara tangis Qila. Dilihatnya sang ayah yang sedang duduk di salah satu kursi meja makan, mengetik sesuatu di laptop miliknya.

Fiqa merasa bingung karena pria itu terlihat seperti tidak mendengar suara tangis Qila.

Gio menoleh, menyadari kehadiran Fiqa mampu membuatnya mengehentikan pekerjaannya dan menghampiri sang anak.

Ia tersenyum manis, mengusap kepala sang anak dan berucap dengan lembut. "Kamu gak tidur siang?"

"Qila nangis." Fiqa menatap sang ayah.

Gio menoleh sekilas ke arah lantai atas. Ia menghela napas. "Kamu keberisikan ya? Keganggu?"

Fiqa diam. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Kamu tunggu di sini, ya." Gio melangkah menuju lantai atas, meninggalkan Fiqa yang kini dipenuhi rasa khawatir.

Tak lama kemudian, pria itu kembali turun. Ekspresinya terlihat kesal. Namun, ekspresinya berubah ketika kembali berbicara pada Fiqa.

"Kamu tidur, ya. Banyakin istirahat. Papa mau keluar dulu."

"Iya."

"Mau Papa temenin ke atas?"

Fiqa menggelengkan kepalanya. Iapun kembali melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Pintu kamarnya sudah tertutup. Suara tangis Qila tak lagi terdengar.

Kakinya kembali melangkah, mendekat. Telinganya ia tempelkan pada pintu kamar, tidak ada suara dari dalam sana. Entah mengapa, ia merasa cemas. Tangannya berusaha meraih gagang pintu, mencoba membuka pintu.

Terkunci.

***

Fiqa terbangun dari tidurnya dengan napas yang terengah. Mimpimya terasa begitu nyata. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak memimpikan tentang hari itu.

Hari di mana ia meragukan fakta bahwa ayahnya yang terlihat begitu penyayang mampu berbuat kasar kepada saudara kembarnya.

Hari yang menjadi penyesalannya hingga saat ini.

Seharusnya, ia membantu Qila.

Seharusnya, ia tidak membuat situasi menjadi lebih buruk.

Seharusnya, ia segera memberitahu Kakek dan Opa.

Banyak penyesalan-penyesalan lain yang sangat mengganggunya hingga hari ini. Seandainya ia bisa berbuat lebih saat itu, mungkin situasinya akan berbeda sekarang.

Pintu kamar dibuka dari luar, ia segera memejamkan kedua matanya. Dapat dirasakan seseorang mendekat. Tanpa bisa ditahan lagi, air matanya pun keluar, membuatnya gagal dalam misi pura-pura tidurnya.

"Papa tau kamu sedih. Gak apa-apa, sayang. Semuanya akan baik-baik aja."

Fiqa membuka matanya. Dilihatnya Gio yang sedang menatapnya. Fakta bahwa pria itu tidak tahu apa yang membuatnya menangis membuat dirinya terisak.

Gio terus mengusap rambut sang anak. Ingatannya kembali pada saat dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah. Saat dirinya masih sering bertengkar di sekolah. Ia akan pulang dalam keadaan penuh luka dan mendapati Nadya yang menangisi dirinya.

"Kak?" Aji yang sejak tadi tertidur di samping Fiqa, terbangun.

Mendengar suara sang adik mampu membuat tangis Fiqa pecah. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga lelaki itu dari sang ayah.

"Kakak kenapa nangis? Aku gak apa-apa." Aji memeluk tubuh Fiqa.

"Papa gak boleh marahin Dedek," ucapnya dengan nada penuh kesal.

Gio mengangguk. "Iya."

"Kalau Papa marahin Dedek, aku telepon Qila! Biarin aja Qila keganggu!"

"Iya, sayang. Papa janji gak marahin Dedek." Gio mengusap air mata Fiqa dan mengecup pipi anaknya itu.

Ingatannya pada Nadya membuatnya memaafkan kesalahan Aji di sekolah hari ini.

***

Next part akan ada bom yang kalian tunggu-tunggu hehe. Siaoa yang gak sabar?

Jangan lupa komen, vote, dan share! Hahaha

11 April 2021

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.2M 70.6K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.5M 276K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
4M 310K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...